Beranda / Horor / Mati Kembar / 4. Berubah

Share

4. Berubah

Penulis: Kalara Marvela
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-21 16:11:37

Hingga kejadian malam itu membuatku bergidik, melihat suamiku berdiri cukup lama di sisi ranjang bayi kami. Lelaki yang kucintai nyaris mengarahkan kedua tangannya ke leher Andin dan untung saja aku segera menegurnya. Namun, ketika kutanya Beni dan menuduhnya bermaksud jahat pada putri kami, dia berdalih karena dia ingin menggendong Andin yang masih tertidur pulas. 

 

 

 

Walau kadang  rasa hati ingin membenarkan pendapat diri sendiri akan tetapi aku lebih percaya kepada suamiku sendiri karena tidak akan mungkin menyakiti anaknya sendiri terlebih kini kami mempunyai dua putri kembar yang sangat manis dan lucu.

 

 

 

“Mbak, sampai sekarang belum ada kabar dari perusahaan tempat aku interview kemarin. Kok, aku jadi sedih, ya, mbak?” ucap Nadia sembari memainkan tangan mungil Andin dan Andita. 

 

 

 

“Saba raja, Nad. Mungkin ini belum rezeki kamu. Mana tahu ksuatu hari kamu akan diterima bekerja di perusahaan lain, kan?” Aku menanggapinya dengan member semangat dan juga harapan pada sepupuku.

 

 

 

Toh, selama ada gadis itu di sini, aku jadi lebih mudah mengawasi dan merawat putri kembar ku. Sifat keibuannya buat aku tak ingin menitipkan anakku ke orang lain karena bagiku hanya Nadia yang mampu menjaga dengan kasih sayang yang tulus.

 

 

 

Usai mengganti pakaian si kembar, aku melangkah ke kamar memeriksa beberapa helai pakaian kotor Beni karena dua hari lagi ia akan kembali ke lokasi proyek. Selama di rumah, aku hanya bergelut dengan beberapa pekerjaan yang sangat biasa dilakukan seperti memasak, mengepel dan mencuci piring. Iya, walau terkadang ada Nadia yang siap membantuku kala si kembar sedang terlelap.

 

 

 

Hari-hari yang kulalui sekarang begitu sibuknya hingga waktu berjalan begitu cepat yang membuat usia si kembar semakin bertambah. Bergantian menjaga dan juga merawat dengan Nadia terkadang juga sangat melelahkan sedang Beni bisa dihitung jari untuk member perhatian terhadap anak-anaknya. Bahkan saat-saat seperti ini mereka lagi aktif-aktifnya. 

 

 

 

Seperti biasa, Beni pergi ke kantor dan lembur  hingga harus pulang larut malam. Dan ketika suamiku pulang seringkali Andin dan Andita sudah tertidur. Waktu terus berlalu tanpa terasa si kembar saat ini sudah tumbuh besar menjadi gadis kecil yang sangat cantik. Nadia sering mengatakan mereka sangat mirip denganku—Ibunya. Usia enam tahun banyak member mereka pengalaman baru daan seringnya mereka tidak pernah melewati untuk bercerita padaku.

 

 

 

 

Walau sekilas wajah mereka sangat mirip tapi, aku dapat membedakan masing-masing di antara penampilannya. Aku selalu menandai Andin dengan bandonya yang lucu selalu lengket di kepalanya sedangkan Andita aku tandai dengan tidak memakai bando karena ia tipe anak yang agak cuek tak ingin ribet apalagi ada benda yang nyangkut di pucuk kepalanya.

 

 

 

Satu hal yang membuatku suka dengan mereka adalah di bagian rambutnya yang tergerai sepunggung dengan potongan poni yang rapi di kening keduanya. Aku bersyukur dan bahagia sekali mendapat anugerah terindah seperti mereka dalam kehidupanku.

 

 

 

“Ma, Papa mana, sih, kok nggak pernah lagi jenguk kita di rumah?” tanya Andin yang terlihat heran sembari bergelayut manja di dekatku.

 

 

 

“Iya, Ma. Andita juga udah kangen banget sama Papa. Udah satu minggu ini belum juga pulang, Ma?” timpal  Andinta yang ikut berekspresi sedih di depanku.

 

 

 

“Mungkin Papa masih sibuk dengan kerjaannya di kantor,  Sayang.”Aku mencoba menjawab dengan sikap tenang di hadapan kedua putriku meski sesak dalam dada ini terasa.

 

 

 

Dua hari yang lalu, tiba-tiba Nadia mendapat panggilan kerja ke luar kota. Jadilah aku tinggal di rumah dengan bertiga dengan putri kembar ku. Semenjak Nadia tidak ada lagi, rumah terasa sepi karena canda tawa gadis itu lenyap bersama kepergiannya. Hingga waktuku tersita hanya untuk mereka saja bahkan sikapku itu membuat Beni merasa terabaikan.

 

 

 

Siang ini aku baru saja mendapat telepon dari suamiku, katanya, ia akan pulang sebentar lagi. Beni juga  ingin membicarakan sesuatu padaku. Untuk menyambut kedatangan sang suami aku memasak makanan kesukaannya dan merapikan kamar serta menggantikan seprainya agar suamiku mendapatkan kenyamanan dan bisa betah di rumah. Terlebih si kembar sangat ingin berjumpa dengan papanya.

 

 

 

“Mama! Papa pulang … Horee ….” Suara teriakan Andin dan Andita begitu jelas terdengar ditelingaku. Akhirnya rindu mereka terobati  juga yang mengharap orang tuanya pulang.

 

 

 

“Iya, Sayang. Yuk kita sambut Papa!” Aku mengajak mereka ke depan pintu gerbang sembari membukanya.

 

 

 

Benar saja, begitu Beni turun dari mobil seketika si kembar myambarnya dengan memeluk papanya dengan erat seolah tak terlepas lagi. Aku tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar sinarnya di hadapanku. Begitu juga aku sendiri ikut menikmati kebahagian ini.

 

 

 

Beberapa saat kemudian, kami makan siang bersama. Andin sangat antusias ingin duduk di sebelah papanya sedangkan Andita hanya tersenyum menatap mereka. Sikap cuek gadis itu terlihat jelas Karen aia tak ingin menganggap segala sesuatu itu berlebihan. 

 

 

“Kakak jangan manja begitu sama Papa nanti juga Papa pergi lagi dan ninggalin kita bareng Mama,” ucap Andita menatap sang sang Kaka yang tidak ingin jauh dari papanya walau hanya sedetik.

 

 

 

“Tapi kan, aku masih kangen Papa,” jawab Andin menatap Beni yang tiba-tiba berubah sikap menjadi acuh.

 

 

“Udah, ya, manja-manjanya, sekarang Papa mau tidur dulu karena capek, tahu!” seru Beni  yang nyaris membuat Andin menangis karena di bentak oleh papanya.

 

 

 

“Sayang, jangan gitu, dong, sama Andin. Kan, wajar kalau ia kangen sama papanya,” ucapku mencoba memberi pengertian pada suamiku itu.

 

 

 

Melihat ekspresi wajah Beni aku segera member kode pada dua putriku, “Andin … Andita, kalian masuk kamar dulu ya, Sayang. Mama mau bicara sama Papa dulu sebentar. Nanti mama nyusul ke kamar kalian, ya?” Mungkin mereka tidak boleh tahu dulu dengan sikap papanya yang selalu aneh tiba-tiba.

 

 

 

“Sayang, aku minta, ya, sama kamu tolong perhatiin mereka barang sebentar saja.” Aku mengusap lembut punggung tangan suamiku berharap ia melunak hatinya dan memahami apa yang putri-putrinya rasakan.

 

 

 

“Kamu … bela aja terus mereka! Apa kamu tahu, gara-gara mereka aku sebagai suamimu sama sekali tidak kamu pedulikan. Apa segitu pentingnya, ya, mereka buat kamu. Jawab Dinda?” gerutu Beni padaku seakan ini semua adalah salahku. 

 

 

 

“Sayang, bukannya aku tidak peduli sama kamu tapi waktuku selama ini habis hanya untuk ngurus anak-anak kita. Kamu bisa mengerti kan, gimana aku repotnya merawat mereka berdua,”balasku beranjak dari tempat dudukku.

 

 

 

“Oke, cukup. Aku mau istirahat dulu,” lanjut Beni sambil berlalu dan menaiki tangga menuju ke kamar.

 

 

 

Aku menarik napas cukup dalam dan mengembuskannya perlahan agar pikiran dan hati bisa lebih tenang sejenak. Rasanya sulit bagiku untuk percaya bahwa suamiku sangat abai dengan Andin dan juga Andita yang jelas-jelas begitu merindukan papanya karena selama ini jarang bertemu.

 

 

 

Keesokan harinya, aku perhatikan Beni sudah sedikit jauh lebih baik dari dari kemarin. Itu semua terlihat kala Andin dan Andita menyapanya dan mengajaknya untuk bermain bersama.  Harusnya pemandangan seperti itu yang selalu tercipta di antara anak dan orangtuanya.

 

 

 

Beberapa menit belalu, sembari menagawasi si kembar, aku berusaha mendekati Beni dan ikut bermanja dengannya. Memberinya sebuah kecupan hangat dan ia pun membalasnya di hadapan kedua putri kami. Melihat itu semua rasanya kebahagiaan yang kumiliki telah lengkap dan tidak kurang satu apapun. 

 

 

 

“Sayang, kemarin di lokasi aku ketemu dengan seorang klien dan orang sangat baik. Aku beberapa kali minum kopi dengannya tapi, entah kenapa wajahnya itu terasa familiar banget buat aku.”Beni berucap tersenyum sembari mengusap lembut rambutku.

 

 

 

Namun, perlakuannya kali ini bukan di hadapan si kembar melainkan saat ini kami sedang berada di kamar saja. Lagi, saat kami hendak melewati waktu romantis tiba-tiba andin dan Andita mengetuk pintu dan gangguan sikembar lansung membuat wajah Beni berubah begitu melihat aku memeluk kedua putriku.

 

 

 

Beni bangun dari tempat tidur lalu menutup pintu dengan sangat keras hingga suaranya seakan memekakkan telinga kami.

 

 

 

“Mama … Andin takut sama papa,”ucap Andin yang tubuhnya tiba-tiba memelukku dengan kedua tangannya yang begetar hebat. 

 

 

 

Bersambung …

 

 

 

Bab terkait

  • Mati Kembar   5. Mengawasi

    “Terkadang mencoba untuk hidup damai berdampingan dengan mereka itu tidak terlalu buruk asal kita sebagai manusia tidak mempunyai niat buruk untuk mempersekutukan dirinya dengan Tuhan.” “Ma, apa Papa nggak sayang, ya, sama kita?” ucap Andita yang ikut memelukku dengan matanya yang berkaca-kaca. “Stt … Jangang bilang gitu, ah, Sayang. Papa kalian itu sayang banget sama kalian berdua hanya sama mungkin Papa lagi kelelahan aja karena di kantor banyak kerjaan yang harus diselesaikan.” Aku menatap kedua putriku dengan rasa gelisah yang mendera, berharap apa yang mereka pikirkan tidak benar-benar terjadi. “Mama! Andin mau es krim,” seru gadis kecil itu dengan nada agak tinggi. Itulah sifat Andin setiap punya kemauan ingin segera dituruti.  

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • Mati Kembar   6. Pelukan Hangat

    Udara pagi ini begitu sejuk hingga membuatku betah berlama-lama berjalan dengan langkah kecil di seputaran halaman rumah yang lumayan luas. Dengan senyum ceria kedua putriku ikut mengiringi langkah Mamanya. Pun aku ikut terbawa dalam gelak tawa mereka beberapa saat, memainkan beberapa helai rambutnya yang terurai panjang hingga ke punggung mungilnya.Ternyata sebagai seorang Ibu yang mengurus anak kembar tidak terlalu buruk juga.Bahkan, aku sangat menikmatinya terlebih kala dua senyum yang begitu manis mengembang dengan kelembutan antara keduanya.Aku masih ingat bagaimana manjanya Andin memintaku untuk setiap hari merapikan rambutnya dan memakaikan bando berpita untuknya. Pun tingkahnya andita yang selalu ingin terlihat cuek tanpa harus memakai bando yang menempel terus di kepalanya seperti kakaknya. Rasa syukur terus terucap kala menatap dua pasang bola mata yang indah dan bening terpaku ikut menatapku dengan ribuan rasa cinta yang mereka punyai.B

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-14
  • Mati Kembar   7. Penunggu Baru

    “Sayang, kok, berdiri aja? Sini peluk anak-anak kita!” Aku mencoba menepis pikiran buruk ini dengan mengajak suamiku ikut memeluk Andin dan Andita—putri kembar kami tersayang.“Udah nggak ada waktu lagi berpelukan sekarang, Dinda. Kita harus segera pindah dari rumah ini,” ujar suamiku yang terlihat kelelahan abis dalam perjalanan ke sini.“Papa … Andin senang banget bisa tinggal bareng sama Papa sekarang, Yeiii!” teriak gadis kecilku dengan penuh senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mungilnya.“Iya, iya tapi jangan nakal, ya, kalian?” lanjut Beni membulatkan matanya pada kedua putri kecil di depannya.“Iya, Pa,” jawab mereka serempak.Aku membantu Beni mengangkat semua koper kami dari kamar dan disusul ke kamar putri kami hingga berpindah turun ke bawah. Sebelumnya Beni telah memesan mobil angkutan untuk membawa semua bara-barangnya, lantas ti

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-14
  • Mati Kembar   8. Rasa Penasaran

    Sepersekian detik aku masih mematung di tempat itu sampai kumpulkan seluruh keberanian untuk menoleh.“Dinda! Kamu ngapain di sini mendingan cek dulu barang-barang kita, sini!” Belum sempat aku melirik ke belakang tiba-tiba terdengar suara Beni memanggil. Aku lega karena tangan yang menyentuh tadi adalah milik suamiku.Aku dan Beni berjalan menuju halaman depan. Di sana terlihat Andin dan Andita sedang duduk di teras dengan raut wajah yang kelelahan. Kemudian aku mencoba untuk mengecek semua barang yang kami bawa sejak sore tadi ke rumah baru sekarang yang akan kami tempati. Sebagian sudah dimasukkan ke dalam sana hanya tersisa koper pakaian saja yang masih di luar.Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya semua barang telah tertata seadanya untuk sementara. Mungkin nanti kami akan mengaturnya kembali secara bertahap karena waktu dipastikan selalu ada untuk berbenah.Usai membayar semua biaya pada dua orang pria yan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-14
  • Mati Kembar   9. Hantu Bermata Sendu

    "Sayang, bangun!" Aku mendengar suara suamiku dari dekat, ternyata sudah balik ke rumah."Iya, Sayang," jawabku dengan malas membuka mata karena masih terasa sangat berat."Yuk, makan dulu! Kamu belum makan, kan? Panggil Andin dan Andita juga, mereka harus ikut makan takutnya masuk angin pula." Beni mengajak kami semua makan malam padahal juga sudah sangat larut.Dengan tubuh yang masih terasa lemah aku melangkah ke kamar putri kembar ku. Perlahan membuka pintu dan berjalan ke arah dua gadis mungil yang masih pulas di alam mimpinya."Sayang, bangun! Kita makan malam dulu, Yuk!" ajakku dengan mengguncang ke dua bahu mungil mereka."Ma, tapi Andin masih ngantuk banget. Andita masih tidur tu, dia, Ma." Andin menoleh pada adiknya kemudian bangun menatap aku yang tersenyum kecil."Andita ... Andita ... Bangun, Sayang!" Adinda membangunkan putrinya untuk kedua kalinya."Ya udah, Sayang. Kamu duluan aja ada Papa nunggu di sana." Aku me

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-14
  • Mati Kembar   10. Kejutan Mengerikan

    "JANGAN!"Aku berteriak sekeras mungkin agar suamiku segera bangun dari tidurnya.Sumpah!Aku takut setengah mati kali ini. Tapi, bagaimana caranya hantu itu tidak menggubris sama sekali teriakanku melainkan kukunya yang tajam itu telah mencengkram kuat leher Beni. Aku menatap wajah suamiku yang sudah tidak berdaya dengan matanya yang melotot menahan cekik sosok yang mengambang itu hingga darah mengucur begitu deras saking tajam kukinya mencengkram.Setelah Beni tak bernyawa lagi, kini kedua tangan perem puan itu menjulur ke arah batang leherku. Dengan sekuat tenaga aku meronta-ronta berusaha keras melepaskan tangan yang mengerikan itu dari leherku.Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupalingkan wajahku ke samping dan ternyata Beni masih tertidur di sebelahku.Astaga! Ternyata ini semua cuma mimpi? Aku mengucap syukur tanpa henti lantas kuedarkan pandangan ke seluruh sisi kamar, lega karena

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-14
  • Mati Kembar   11. Pohon Angker

    Mata ini seperti memaksa untuk tidak berkedip dan menahan untuk tidak melihatnya. Semakin lama semakin jelas tampak bayangan hitam meliuk-liuk di sekitar pohon besar itu. Kali ini aku seperti terkuras energi yang begitu besar sehingga gumpalan seperti asap hitam itu seperti menarik aku ke sana. Sungguh, energiku sudah habis semua dan tubuhku juga ikut melemah hingga semuanya menjadi gelap. "Sayang, kamu udah bangun?" "Ma, Mama buka matanya, Ma!" "Ma, kenapa tiba-tiba pingsan, Pa?" "Kok, Mama nggak jawab, Pa?" Aku ternyata pindang dan tidak sadarkan diri beberapa menit. Terdengar olehku di serentetan pertanyaan dari Beni, Andin, dan Andita. "Aku, nggak apa-apa, kok, Sayang." Aku menatap wajah Beni dan kembali tersenyum padanya. "Andin, Andita. Makasih karena kalian udah menunggu Mama dari tadi di sini. Mama nggak kenapa-kenapa

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Mati Kembar   12. Keanehan yang Nyata

    “Sayang, Mama peringatin ya?! Jangan keluar rumah tanpa izin dulu karena nggak aman, Sayang,” kataku dengan nada rendah tapi agak tegas.“Iya, Ma. Tapi Andin masih boleh main sama Tante Maya kan, Ma?” tanya Andin serius menatap padaku dengan tatapannya yang begitu polos.“Mama tadi nggak liat siapa-siapa, Sayang.” Aku mencoba bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa di hadapan mereka.“Ada, Ma! Andita juga liat, ya, kan?” Andita melirik ke arah adiknya.“Iya, Mama. Tadi Andita yang nanyain nama Tante Maya,” jawab Andita tersenyum kecil menatap tepat padaku.“Ya, udah. Yuk masuk ke dalam, Sayang!” Akhirnya aku meraih ke dua tangan mereka dan mengajaknya melangkah menuju ruang makan.Saat aku menutup pintu belakang, hawa aneh mulai kembali menyergap jiwa ini. Lagi, untuk kesekian kalinya aku mencium arom

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23

Bab terbaru

  • Mati Kembar   Penebusan

    Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhe

  • Mati Kembar   Pembalasan Dendam

    Adengan demi adegan kelam masa lalu Beni terpampang begitu nyata dalam penglihatan batin ku. Yang palin mengejutkan ketika kebejatannya terungkap olehku ketika adegan pemerkosaan terhadap gadis cantik yang tidak lain adalah Maya. Iya, gadis yang selama ini gentayangan di rumahku dan selama ini terus menggangguku. Ternyata kata Nenek Idah benar adanya, bahwa kehadiran mereka bukan untuk mengusik kehidupanku akan tetapi ada urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan mungkin ada hubungannya denganku. Kebenaran yang dulu tersembunyi kini telah muncul ke permukaan. Bahkan kelakuan menjijikan Beni terhadap gadis mata sendu yang bernasib malang."Dinda, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nenek mohon jangan sampai membuatmu menyesal nanti. Tolong kamu pikirkan baik-baik, Nak." Nenek Idah mencoba memperingatkanku akan konsekuensi yang akan terjadi pada kehidupanku."Tapi, Nek, Dinda sama sekali nggak pernah menyangka kalau Beni tega berbuat kejam pada

  • Mati Kembar   Menembus Masa Kelam

    “Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?” Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping. Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti. Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku. Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah. “Bunuh!” Entah apa maksudnya kata-kata itu. Ak

  • Mati Kembar   27. Pemeriksaan Pencarian Pelaku

    "Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai."Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang. Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, a

  • Mati Kembar   26. Pemakaman Memilukan

    “Adinda, Sayang!” Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat. “Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius. “Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu. “Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya. “Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begin

  • Mati Kembar   25. Nasib Malang Putri Kembar Ku

    Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit

  • Mati Kembar   24. Darah Siapa Ini?

    Beberapa hari ini selama kondisi fisikku kurang stabil suamiku selalu menjaga kami dengan baik. Hampir setiap waktu makan Beni yang memasaknya. Dengan sepenuh hati ia melakukannya dan itu terkadang membuatku merasa bersalah biarpun Beni harus bertanggung jawab menghidupi keluarga ini.Bahkan seperti hari ini ia menjelma menjadi seorang suami idaman setiap istri. Bagaimana tidak, baru tadi sebelum ia berangkat ke kantor, Beni memberitahu bahwa ia akan berbelanja keperluan bulanan kita di pasar.Benar saja, saat ia pulang sumpah aku di kagetkan barang-barang dibelanjakannya. Lemari es penuh dan beberapa bahan mentah yang lain ia simpan di lemari gantung dan juga di atas meja.Selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua, Beni akhirya berangkat ke kantor dengan senyum bahagia dan semangat. Aku melihatnya ketika ia memapahku sampai ke depan pintu dan mengecup kedua putri kembar kami.Beni ke kantor, rumah pun menjadi senyap seketika. Sedangkan

  • Mati Kembar   23. Bahaya

    Hati kecilku masih tak percaya menyaksikan dua gadis manis sedang terlelap dalam pelukan sang Papa. Sungguh anugerah terindah yang pernah ada. Sesaat aku maju di langkah dan duduk di sisi ranjang khusus menikmati pemandangan membahagiakan yang mungkin telah langka sejak mereka beranjak tumbuh dewasa.“Sayang? Udah pulang?” Tiba-tiba Beni menyadari kehadiran aku yang tanpa mengetuk pintu dulu hingga langsung memasukinya.“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu udah jagain putri kita sampai mereka tertidur begitu. Liat! Matanya mirip banget sama kamu, kan, Sayang?” Aku tersenyum kecil pada Beni sembari mengusap rambut si kembar.“Sama-sama, Sayang. Oh, iya, gimana tadi dapat mobil angkutannya?” tanya Beni serius kelihatannya.“Iya, tadi kebetulan waktu kami sampai di sana, langsung ada bis dan Nadia nggak perlu nunggu lama.“Sayang, yuk kita angkat si kembar ke kamarnya!&rdq

  • Mati Kembar   22. Kegelisahan Adinda

    “Mbak, Mbak Adinda! Tadi mau nanya apa? Kok, bengong gitu?”“I- Iya, Nad. Mbak, nggak apa-apa, kok.” Aku menjawab pertanyaan Nadia sepertinya karena aku barusan gagal fokus. Aku malah memikirkan sosok di belakang sepupuku tadi.“Syukurlah, kalo mbak, gak, apa-apa. Soalnya lama lho tadi mbak duduk kayak matanya melihat sesuatu di belakang aku.” Nadia melanjutkan tanyanya karena masih terlalu penasaran dengan apa yang kualami barusan.“Oh, iya, NAD. Sepertinya itu suara mobil Mas Beni pulang. Kamu masuk saja ke kamar tamu di sebelah ruangan ini, ya, soalnya Mbak mau liat suami Mbak dulu.” Aku beranjak sembari menatap Nadia dan menunjukkan kamar untuknya menaruh barang-barangnya.Terlihat Beni sangat kelelahan dengan jas yang ditaruh di sikunya dan ia memegang erat sebuah dokumen sepertinya. Beni tersenyum kecil melihat aku yang berdiri di depan pintu untuk menyambut dirinya.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status