Home / Horor / Mati Kembar / 3. Sosok Aneh

Share

3. Sosok Aneh

Author: Kalara Marvela
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mahluk buruk rupa itu menatap tajam dengan kedua bola mata merah menyala ke arahku. Tanpa rasa takut, kugerakkan langkah dan meraih ranjang bayiku. Anehnya, ketika kudekati , iblis itu menghilang  begitu saja. Dengan cepat kedua tanganku memeluk mereka yang masih terkulai lemah saking lelapnya tertidur.

 

 

“Sayang! Ternyata kamu di sini. Aku dari tadi manggil kamu,” seru Beni yang baru pulang dari kantor.

 

 

“Iya, Sayang. Aku cuma mau lihat si kembar aja kok,” jawabku singkat.

 

 

“Kamu sendiri udah selesai urusan kantor?” tanyaku penasaran.

 

 

“Udah, Sayang. Yuk kita tidur!” ajak suamiku sembari merangkul bahuku dan melangkah ke arah kamar kami.

 

 

Saat tidur, pikiranku menerawang entah kemana. Aku masih heran kenapa sosok tadi ingin mendekati putriku? Ah, mungkin itu pikiran burukku saja. Bisa jadi dia ingin mengunjungi saja tidak lebih.

 

 

Paginya, aku menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk suamiku, aku pikir harus melakukannya karena ini kewajibanku. Karena setelan aku melahirkan, Beni bahkan jarang sarapan di rumah melainkan di kantor. Sementara Nadia membantu menjaga Andin dan Andita, ia sangat tahu bagaimana kewalahannya aku jika merawat mereka seorang diri.

 

 

“Mbak, sedang apa?” tanya Nadia yang tiba-tiba datang menghampiriku yang masih sibuk menyiapkan sarapan.

 

 

“Nggah, Nad. Mbak lagi masak nasi goring putih kesukaan Mas Beni,” jawabku sembari menoleh dan tersenyum kecil pada sepupuku itu.

 

 

“Oia, aku hari ini ada interview kerja, Mbak.” Nadia berkata seraya meraih piring di rak untuk diserahkan padaku. 

 

 

“Akhirnya … Selamat, ya, Nad.” Dengan cepat aku memeluk gadis cantik itu karena ikut bahagia mendengar berita baik ini.

 

 

“Tapi, Mba, gak apa-apa kan tinggal sendiri di rumah?” tanya Nadia lirih.

 

 

“Iya, Nadia Sayang. Mbak gak apa-apa,” lanjutku meyakinkan sepupuku agar tidak cemas.

 

 

Di dapur, kami sempat mengobrol banyak sampai berujung pada penglihatanku yang kemarin malam melihat mahluk gaib itu berdiri di depan kedua putriku. Seperti biasa, Nadia tetap meyakinkanku bahwa sebenarnya itu hanya persoalan biasa  selama mereka yang tak terlihat itu tidak mengganggu kita.

 

 

 

“Sayang, aku lembur lagi hari ini. Mungkin nanti langsung ke bogor karena masih banyak yang perlu diurus. By … Sayang.”

 

 

Selesai sarapan, akhirnya suamiku kembali berangkat ke kantor seperti biasa. Dan sepupuku tidak berapa lama juga pergi ke tempat interview. Aku kemudian mencuci semua bekas piring kotor yang tadi dipakai sarapan. Selama mengambil cuti, aku jadi merasa suntuk di rumah seperti tidak tahu mau berbuat apa. Terlebih jika si kembar belum terbangun dari tidurnya.

 

 

Rumah ini lumayan besar untuk kami tinggali, kamar tidak semuanya terisi bahkan hanya kami jadikan gudang untuk menaruh barang-barang yang jarang dipakai. Selesai membereskan piring, aku menaiki satu persatu anak tangga menuju ke kamar bayi-bayiku. 

 

 

Kulihat wajah mereka berdua begitu mirip dengan Beni—papanya. Kulit lembut imut dan menggemaskan membuat aku selalu mengembangkan senyumku pada mereka. Kadang- kadang bola mata mereka ikut berkedip-kedip padaku dan itu sangat lucu dan membuatku bangga menjadi Ibu mereka.

 

 

Aku memberi kasih sayang dengan sepenuh hatiku pada kedua putri yang menjadi pelipur lara kala hatiku gundah. Namun, sebaliknya rasa sayang itu akhir-akhir ini tidak terlihat pada Beni yang tidak bukan adalah Papanya sendiri. Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku, seringkali aku mendapati ia bersikap acuh pada dua putri kami. Aku tahu, suamiku itu sangat sibuk bekerja di kantor tapi, Andin dan Andita juga butuh Papanya. 

 

 

Beni sekarang sudah jarang di rumah bahkan ia sudah tidak sempat melihat putrinya lagi karena pada saat ia pulang pasti mereka sudah tertidur. Aku tidak ingin membuat jarak antara si kembar dan Papanya. 

 

 

Hari berganti hari sedang Beni semakin bersikap aneh pada kedua putri kami. Aku pernah bertanya padanya dan jawaban Beni sungguh sama sekali tidak masuk akal, katanya gara-gara si kembar kami jarang menghabiskan waktu bersama. Sungguh aneh bukan? Yang seharusnya orang tua itu bersyukur diberi anugerah oleh Tuhan, ini malah menyalahi nya. Aku tidak percaya suamiku sendiri bersikap seperti itu. 

 

 

“Sayang, kalian jangan baik-baik, ya, jangan buat papa marah.” Aku mencoba mengobrol dengan Andin dan Andita. Mereka hanya mengedipkan matanya dan sedikit tersenyum, itu membuatku bahagia sepanjang hari.

 

 

Melihat posisi si kembar sudah tidak nyaman di tempat tidurnya, aku berpikir mungkin ini waktunya untuk menggantikan popok mereka. Benar saja, tampak basah sekali di sana dan aku menuju lemari di sebelah jendela lalu mengganti popok mereka secara bergantian.

 

 

“Wah! Telaten sekali Mbak Dinda mengganti popok si kembar,” ucap Nadia yang sudah berada di kamar. 

 

 

“Kamu udah pulang, Nad? Gimana tadi interviewnya, lancer?” tanyaku yang langsung mendongak pada dan berbalik badan ke arah sepupuku.

 

 

“Hasilnya belum tahu, Mbak. Karena hasilnya baru diumumkan satu minggu dari sekarang,” lanjut Nadia seraya menggendong si kembar yang sudak berganti popok.

 

 

“Mbak, berhubung Mas Beni nggak ada di rumah kita mala mini tidur di kamar ini aja. Kan biar bisa barengan terus sama si kembar dan nemenin mereka tidur juga, gimana?”ucap Nadia antusias menatapku dengan senyum manisnya.

 

 

 

“Oke, boleh juga tuh idenya,”ucapku membalas senyum gadis cantik itu. 

 

 

Obrolan berlanjut seru bercampur gelak tawa antar aku dan Nadia. Gadis itu memang pandai mencari ide untuk dijadikan bahan tertawa. Sejak aku tinggal dengan Nenek Idah, aku sangat dekat dengan Nadia dan keluarganya dan aku sangat menyayanginya.

 

 

 

Malam  ini tidurku tidak tenang. Entah, yang jelas pikiranku  tertuju pada dua putriku yang sedang terlelap. Tiba-tiba tenggorokan terasa kering lantas aku beranjak meraih segelas air putih di atas meja sebelah ranjang. Samar-samar aku melihat sosok bayangan putih dengan bau anyir yang menusuk rongga hidung. Lagi-lagi mahluk astral itu mendekati ranjang Andin dan Andita, lalu aku melangkah tanpa takut ke sisi ranjang bersamaan dengan lenyapnya mahluk dari dunia lain itu.

 

 

 

Kudekap si kembar dengan erat seolah tak ingin ada mara bahaya menghampiri mereka—malaikat kecilku tersayang. Aku melirih ke arah Nadia yang masih memeluk guling dalam tidurnya, berharap gadis itu tidak menyadari yang baru saja terjadi. Aku bersyukur, kehadiran mereka tidak mengganngu karena aku percaya benar kata nenek bahwa terkadang mereka yang tidak sama wujudnya dengan kita tidak bermaksud mengusik kehidupan kita.

 

 

 

Dua hari telah berlalu. Akhirnya suamiku pulang ke rumah juga dan ia sering menghabiskan waktu hanya untuk menonton acara kesayangannya saja. Aneh, bahkan Beni kembali menyalahkan dan mencari sebab tidak jelas atas kehadiran si kembar dalam kehidupan kami.

 

 

 

“Sayang, jangan ngambek gitu dong. Aku nggak ke mana-mana kok, cuma main sama si kembar di rumah.”Aku merebahkan kepalaku ke sisi pundak Beni dan dua tanganku merangkul pinggangnya.

 

 

 

“Iya! Tapi, kan, aku juga butuh kamu, Dinda!” pekik Beni seraya melepaskan tanganku, dari ekspresi wajahnya ia telihat sangat kesal dan marah.

 

 

 

“Maaf, aku capek mau istirahat!” Beni menarik napas kasar dan mengacak rambutnya itu.

 

 

 

Akhirnya kubiarkan suamiku ke kamar untuk beristirahat, mungkin aku sebagai istri juga harus memahaminya dengan baik.

 

 

 

Aku semakin tidak percaya dengan sikap suamiku sekarang. Beni sangat berbeda dan aneh tidak seperti dulu yang romantic dan penuh perhatian.

 

 

 

Aku mencoba bersikap selalu baik padanya meski terkadang si kembar kutinggal dan tidak kupedulikan karena ada Nadia yang menjaga dan merawatnya.

 

 

 

Sampai malam itu tiba. 

 

 

 

Bersambung ....

 

 

Bersambung …

Related chapters

  • Mati Kembar   4. Berubah

    Hingga kejadian malam itu membuatku bergidik, melihat suamiku berdiri cukup lama di sisi ranjang bayi kami. Lelaki yang kucintai nyaris mengarahkan kedua tangannya ke leher Andin dan untung saja aku segera menegurnya. Namun, ketika kutanya Beni dan menuduhnya bermaksud jahat pada putri kami, dia berdalih karena dia ingin menggendong Andin yang masih tertidur pulas. Walau kadang rasa hati ingin membenarkan pendapat diri sendiri akan tetapi aku lebih percaya kepada suamiku sendiri karena tidak akan mungkin menyakiti anaknya sendiri terlebih kini kami mempunyai dua putri kembar yang sangat manis dan lucu. “Mbak, sampai sekarang belum ada kabar dari perusahaan tempat aku interview kemarin. Kok, aku jadi sedih, ya, mbak?” ucap Nadia sembari memainkan tangan mungil Andin dan Andita.

    Last Updated : 2024-10-29
  • Mati Kembar   5. Mengawasi

    “Terkadang mencoba untuk hidup damai berdampingan dengan mereka itu tidak terlalu buruk asal kita sebagai manusia tidak mempunyai niat buruk untuk mempersekutukan dirinya dengan Tuhan.” “Ma, apa Papa nggak sayang, ya, sama kita?” ucap Andita yang ikut memelukku dengan matanya yang berkaca-kaca. “Stt … Jangang bilang gitu, ah, Sayang. Papa kalian itu sayang banget sama kalian berdua hanya sama mungkin Papa lagi kelelahan aja karena di kantor banyak kerjaan yang harus diselesaikan.” Aku menatap kedua putriku dengan rasa gelisah yang mendera, berharap apa yang mereka pikirkan tidak benar-benar terjadi. “Mama! Andin mau es krim,” seru gadis kecil itu dengan nada agak tinggi. Itulah sifat Andin setiap punya kemauan ingin segera dituruti.  

    Last Updated : 2024-10-29
  • Mati Kembar   6. Pelukan Hangat

    Udara pagi ini begitu sejuk hingga membuatku betah berlama-lama berjalan dengan langkah kecil di seputaran halaman rumah yang lumayan luas. Dengan senyum ceria kedua putriku ikut mengiringi langkah Mamanya. Pun aku ikut terbawa dalam gelak tawa mereka beberapa saat, memainkan beberapa helai rambutnya yang terurai panjang hingga ke punggung mungilnya.Ternyata sebagai seorang Ibu yang mengurus anak kembar tidak terlalu buruk juga.Bahkan, aku sangat menikmatinya terlebih kala dua senyum yang begitu manis mengembang dengan kelembutan antara keduanya.Aku masih ingat bagaimana manjanya Andin memintaku untuk setiap hari merapikan rambutnya dan memakaikan bando berpita untuknya. Pun tingkahnya andita yang selalu ingin terlihat cuek tanpa harus memakai bando yang menempel terus di kepalanya seperti kakaknya. Rasa syukur terus terucap kala menatap dua pasang bola mata yang indah dan bening terpaku ikut menatapku dengan ribuan rasa cinta yang mereka punyai.B

    Last Updated : 2024-10-29
  • Mati Kembar   7. Penunggu Baru

    “Sayang, kok, berdiri aja? Sini peluk anak-anak kita!” Aku mencoba menepis pikiran buruk ini dengan mengajak suamiku ikut memeluk Andin dan Andita—putri kembar kami tersayang.“Udah nggak ada waktu lagi berpelukan sekarang, Dinda. Kita harus segera pindah dari rumah ini,” ujar suamiku yang terlihat kelelahan abis dalam perjalanan ke sini.“Papa … Andin senang banget bisa tinggal bareng sama Papa sekarang, Yeiii!” teriak gadis kecilku dengan penuh senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mungilnya.“Iya, iya tapi jangan nakal, ya, kalian?” lanjut Beni membulatkan matanya pada kedua putri kecil di depannya.“Iya, Pa,” jawab mereka serempak.Aku membantu Beni mengangkat semua koper kami dari kamar dan disusul ke kamar putri kami hingga berpindah turun ke bawah. Sebelumnya Beni telah memesan mobil angkutan untuk membawa semua bara-barangnya, lantas ti

    Last Updated : 2024-10-29
  • Mati Kembar   8. Rasa Penasaran

    Sepersekian detik aku masih mematung di tempat itu sampai kumpulkan seluruh keberanian untuk menoleh.“Dinda! Kamu ngapain di sini mendingan cek dulu barang-barang kita, sini!” Belum sempat aku melirik ke belakang tiba-tiba terdengar suara Beni memanggil. Aku lega karena tangan yang menyentuh tadi adalah milik suamiku.Aku dan Beni berjalan menuju halaman depan. Di sana terlihat Andin dan Andita sedang duduk di teras dengan raut wajah yang kelelahan. Kemudian aku mencoba untuk mengecek semua barang yang kami bawa sejak sore tadi ke rumah baru sekarang yang akan kami tempati. Sebagian sudah dimasukkan ke dalam sana hanya tersisa koper pakaian saja yang masih di luar.Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya semua barang telah tertata seadanya untuk sementara. Mungkin nanti kami akan mengaturnya kembali secara bertahap karena waktu dipastikan selalu ada untuk berbenah.Usai membayar semua biaya pada dua orang pria yan

    Last Updated : 2024-10-29
  • Mati Kembar   9. Hantu Bermata Sendu

    "Sayang, bangun!" Aku mendengar suara suamiku dari dekat, ternyata sudah balik ke rumah."Iya, Sayang," jawabku dengan malas membuka mata karena masih terasa sangat berat."Yuk, makan dulu! Kamu belum makan, kan? Panggil Andin dan Andita juga, mereka harus ikut makan takutnya masuk angin pula." Beni mengajak kami semua makan malam padahal juga sudah sangat larut.Dengan tubuh yang masih terasa lemah aku melangkah ke kamar putri kembar ku. Perlahan membuka pintu dan berjalan ke arah dua gadis mungil yang masih pulas di alam mimpinya."Sayang, bangun! Kita makan malam dulu, Yuk!" ajakku dengan mengguncang ke dua bahu mungil mereka."Ma, tapi Andin masih ngantuk banget. Andita masih tidur tu, dia, Ma." Andin menoleh pada adiknya kemudian bangun menatap aku yang tersenyum kecil."Andita ... Andita ... Bangun, Sayang!" Adinda membangunkan putrinya untuk kedua kalinya."Ya udah, Sayang. Kamu duluan aja ada Papa nunggu di sana." Aku me

    Last Updated : 2024-10-29
  • Mati Kembar   10. Kejutan Mengerikan

    "JANGAN!"Aku berteriak sekeras mungkin agar suamiku segera bangun dari tidurnya.Sumpah!Aku takut setengah mati kali ini. Tapi, bagaimana caranya hantu itu tidak menggubris sama sekali teriakanku melainkan kukunya yang tajam itu telah mencengkram kuat leher Beni. Aku menatap wajah suamiku yang sudah tidak berdaya dengan matanya yang melotot menahan cekik sosok yang mengambang itu hingga darah mengucur begitu deras saking tajam kukinya mencengkram.Setelah Beni tak bernyawa lagi, kini kedua tangan perem puan itu menjulur ke arah batang leherku. Dengan sekuat tenaga aku meronta-ronta berusaha keras melepaskan tangan yang mengerikan itu dari leherku.Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupalingkan wajahku ke samping dan ternyata Beni masih tertidur di sebelahku.Astaga! Ternyata ini semua cuma mimpi? Aku mengucap syukur tanpa henti lantas kuedarkan pandangan ke seluruh sisi kamar, lega karena

    Last Updated : 2024-10-29
  • Mati Kembar   11. Pohon Angker

    Mata ini seperti memaksa untuk tidak berkedip dan menahan untuk tidak melihatnya. Semakin lama semakin jelas tampak bayangan hitam meliuk-liuk di sekitar pohon besar itu. Kali ini aku seperti terkuras energi yang begitu besar sehingga gumpalan seperti asap hitam itu seperti menarik aku ke sana. Sungguh, energiku sudah habis semua dan tubuhku juga ikut melemah hingga semuanya menjadi gelap. "Sayang, kamu udah bangun?" "Ma, Mama buka matanya, Ma!" "Ma, kenapa tiba-tiba pingsan, Pa?" "Kok, Mama nggak jawab, Pa?" Aku ternyata pindang dan tidak sadarkan diri beberapa menit. Terdengar olehku di serentetan pertanyaan dari Beni, Andin, dan Andita. "Aku, nggak apa-apa, kok, Sayang." Aku menatap wajah Beni dan kembali tersenyum padanya. "Andin, Andita. Makasih karena kalian udah menunggu Mama dari tadi di sini. Mama nggak kenapa-kenapa

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Mati Kembar   Penebusan

    Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhe

  • Mati Kembar   Pembalasan Dendam

    Adengan demi adegan kelam masa lalu Beni terpampang begitu nyata dalam penglihatan batin ku. Yang palin mengejutkan ketika kebejatannya terungkap olehku ketika adegan pemerkosaan terhadap gadis cantik yang tidak lain adalah Maya. Iya, gadis yang selama ini gentayangan di rumahku dan selama ini terus menggangguku. Ternyata kata Nenek Idah benar adanya, bahwa kehadiran mereka bukan untuk mengusik kehidupanku akan tetapi ada urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan mungkin ada hubungannya denganku. Kebenaran yang dulu tersembunyi kini telah muncul ke permukaan. Bahkan kelakuan menjijikan Beni terhadap gadis mata sendu yang bernasib malang."Dinda, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nenek mohon jangan sampai membuatmu menyesal nanti. Tolong kamu pikirkan baik-baik, Nak." Nenek Idah mencoba memperingatkanku akan konsekuensi yang akan terjadi pada kehidupanku."Tapi, Nek, Dinda sama sekali nggak pernah menyangka kalau Beni tega berbuat kejam pada

  • Mati Kembar   Menembus Masa Kelam

    “Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?” Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping. Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti. Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku. Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah. “Bunuh!” Entah apa maksudnya kata-kata itu. Ak

  • Mati Kembar   27. Pemeriksaan Pencarian Pelaku

    "Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai."Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang. Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, a

  • Mati Kembar   26. Pemakaman Memilukan

    “Adinda, Sayang!” Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat. “Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius. “Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu. “Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya. “Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begin

  • Mati Kembar   25. Nasib Malang Putri Kembar Ku

    Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit

  • Mati Kembar   24. Darah Siapa Ini?

    Beberapa hari ini selama kondisi fisikku kurang stabil suamiku selalu menjaga kami dengan baik. Hampir setiap waktu makan Beni yang memasaknya. Dengan sepenuh hati ia melakukannya dan itu terkadang membuatku merasa bersalah biarpun Beni harus bertanggung jawab menghidupi keluarga ini.Bahkan seperti hari ini ia menjelma menjadi seorang suami idaman setiap istri. Bagaimana tidak, baru tadi sebelum ia berangkat ke kantor, Beni memberitahu bahwa ia akan berbelanja keperluan bulanan kita di pasar.Benar saja, saat ia pulang sumpah aku di kagetkan barang-barang dibelanjakannya. Lemari es penuh dan beberapa bahan mentah yang lain ia simpan di lemari gantung dan juga di atas meja.Selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua, Beni akhirya berangkat ke kantor dengan senyum bahagia dan semangat. Aku melihatnya ketika ia memapahku sampai ke depan pintu dan mengecup kedua putri kembar kami.Beni ke kantor, rumah pun menjadi senyap seketika. Sedangkan

  • Mati Kembar   23. Bahaya

    Hati kecilku masih tak percaya menyaksikan dua gadis manis sedang terlelap dalam pelukan sang Papa. Sungguh anugerah terindah yang pernah ada. Sesaat aku maju di langkah dan duduk di sisi ranjang khusus menikmati pemandangan membahagiakan yang mungkin telah langka sejak mereka beranjak tumbuh dewasa.“Sayang? Udah pulang?” Tiba-tiba Beni menyadari kehadiran aku yang tanpa mengetuk pintu dulu hingga langsung memasukinya.“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu udah jagain putri kita sampai mereka tertidur begitu. Liat! Matanya mirip banget sama kamu, kan, Sayang?” Aku tersenyum kecil pada Beni sembari mengusap rambut si kembar.“Sama-sama, Sayang. Oh, iya, gimana tadi dapat mobil angkutannya?” tanya Beni serius kelihatannya.“Iya, tadi kebetulan waktu kami sampai di sana, langsung ada bis dan Nadia nggak perlu nunggu lama.“Sayang, yuk kita angkat si kembar ke kamarnya!&rdq

  • Mati Kembar   22. Kegelisahan Adinda

    “Mbak, Mbak Adinda! Tadi mau nanya apa? Kok, bengong gitu?”“I- Iya, Nad. Mbak, nggak apa-apa, kok.” Aku menjawab pertanyaan Nadia sepertinya karena aku barusan gagal fokus. Aku malah memikirkan sosok di belakang sepupuku tadi.“Syukurlah, kalo mbak, gak, apa-apa. Soalnya lama lho tadi mbak duduk kayak matanya melihat sesuatu di belakang aku.” Nadia melanjutkan tanyanya karena masih terlalu penasaran dengan apa yang kualami barusan.“Oh, iya, NAD. Sepertinya itu suara mobil Mas Beni pulang. Kamu masuk saja ke kamar tamu di sebelah ruangan ini, ya, soalnya Mbak mau liat suami Mbak dulu.” Aku beranjak sembari menatap Nadia dan menunjukkan kamar untuknya menaruh barang-barangnya.Terlihat Beni sangat kelelahan dengan jas yang ditaruh di sikunya dan ia memegang erat sebuah dokumen sepertinya. Beni tersenyum kecil melihat aku yang berdiri di depan pintu untuk menyambut dirinya.

DMCA.com Protection Status