Home / Horor / Mati Kembar / 2. Andin dan Andita

Share

2. Andin dan Andita

Author: Kalara Marvela
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku masih mematung di hadapan cermin, menatap dua bola mata sendiri sedang satu tangan sebelah kanan memegang alat uji tes kehamilan. Jujur, ini pengalaman pertama buat aku dan wajar kan jika saat ini tanganku bergetar. Kutatap wadah kecil yang berisi air seni yang baru saja kutampung dan lagi-lagi tanganku kaku ketika mencelupkan benda pipih kecil berwarna putih itu. Saat ini rasa gelisah mulai menguasai pikiran seakan tidak siap menerima kenyataan akan sebuah hasil yang akan mengecewakan.

Menunggu selama tiga menit cukup buat diri ini menggigit bibir dan melangkah maju mundur di ruangan mungil ini berharap sang suami tidak menyadari keberadaanku di sini karena biasanya ia selalu mencari jika aku tiba-tiba menghilang dari kamar. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengangkat benda kecil itu dan sesaat kupejamkan mata ini lalu perlahan kubuka.

 Seketika mata membelalak dan mulut pun menganga, dua garis merah tercetak jelas di alat uji itu. Akhirnya spontan aku meloncat girang dan segera kubawa hasilnya keluar dan melangkah ke depan suamiku yang masih terbaring dengan lelapnya di tempat tidur.

“Sayang! Aku berteriak kencang mendekati mulutku ke telinga Beni saking rasa bahagia yang  membuncah dalam diri dan tidak dapat tertahan ingin segera memberitahu lelaki di hadapanku.

“Iya, Sayang.  Kamu kenapa berteriak gitu sih? Bangunin orang lagi tidur aja. Emangnya ada apa?” tanya Beni begitu paniknya dan juga tampak kesal dari raut wajahnya itu.

“Aku hamil anak kamu, Sayang.” Aku langsung meloncat dan melingkarkan kedua tanganku ke tubuh Beni.

“Apa? Kamu hamil?” tanya suamiku lagi seolah tidak percaya kabar bahagia ini.

“Iya, Sayang. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah dan aku jadi ibunya.” 

Akhirnya Beni mengangkat tubuhku lalu mendekapnya dengan sangat hangat. Ternyata begini rasanya menjadi seorang ibui saja. Ah, andai saja Ibuku masih ada pasti akan sangat bahagia mendengar berita bahagia ini tapi, tak mengapa. Toh, masih ada Nenek Idah yang akan selalu menyayangiku. 

Selesai sarapan, akhirnya kami berangkat besama ke kantor. Kali ini Beni sangat berbeda dari biasanya, perhatiannya untukku bertambah dan berlipat-lipat besarnya. Bagaimana tidak, ia menggendongku lalu membawaku masuk ke mobil.

“Sayang, hari ini kamu jangan capek-capek ya, kalau bisa jangan terlalu banyak gerak. Nanti di kantor, kamu duduk di ruangan aku aja,” ucap Beni sembari memutar arah setirnya. 

“Iya, Sayang. Aku tahu kok, gimana caranya ngejaga kandunganku. Kamu tenang, ya?” jawabku menoleh ke arah suamiku.

Tak berapa lama, akhirnya kami sampai ke kantor. Aku menuju tempat kerjaku dan Beni masuk ke ruangan kerjanya. Hari ini tidak terlalu banyak pekerjaan karena belum ada proyek baru untuk dikerjakan melainkan hanya beberapa berkas dokumen dan beberapa laporan keuangan yang perlu diketik. Sesaat aku baru mengetik, tiba-tiba aku mendengar dering ponselku dan kulirik benda pipih yang menyala itu di meja. Tertera nama Nenek Idah memanggil, lantas aku menekan tombol hijau dan menjawabnya.

“Halo, Nenek Idah?” 

“Iya, Adinda. Nenek telpon cuma mau nanya kabar kamu saja, Nak?” ucap Nenek Idah dari balik telingaku.

“Pas banget Nenek telpon, Dinda mau ngasih tahu kabar bahagia sama Nenek Idah. Dinda mengandung. Nek,” lanjutku dengan tersenyum bahagia.

“Wah, kabar bahagia sekali itu, Sayang. Kamu jaga baik-baik ya, jangan sampai kecapean karena bisa bahaya buat janinmu lho,” ujar Nenek Indah mengingatkan.

“Iya, Nenek Idah Sayang.” Aku lalu mengakhiri pembircaraanku dengan perempuan tua yang selama ini merawatku hingga sekarang.

Akhirnya kulanjutkan proses mengetik hingga selesai. Saat menyusun beberapa file ke atas rak tiba-tiba pinggangku terasa nyeri dan segera aku taruh file tadi kembali ke meja. Aku beristirahat sejenak di kursi sampai Beni menghampiriku.

“Sayang, kan, udah aku bilang kamu jangan kerja terlalu lama. Tuh kan, pasti sakit ya di pinggangnya? Beni menatap ke arahku yang dari tadi memegang pinggang.

Suamiku datang ternyata ingin mengajak makan siang, kebetulai ada kafe terdekat dengan kantor. Usai makan, kami kembali bekerja hingga kembali pulang bersama. 

Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Aku dengan kesibukanku di kantor dan di rumah, begitu juga denga Beni yang mulai mengerjakan proyek ke luar kota tepatnya di bogor. Saat ini usia kandunganku sudah tujuh bulan dan ini saatnya aku memeriksakan kandunganku. Kebetulan Beni tidak masuk kantor hari karena ia juga ingin menjaga aku dan calon bayi dalam perutku.

Aku terpaku menatap kea rah layar yang didalamnya ada mahluk mungil yang bernama janin bergerak-gerak ke kanan dan kiri dan perlahan aku tersenyum bahagia begitu juga Beni ikut mengusap rambut ikalku yang tergerai.

“Sayang, bayi kita lincah banget deh, geraknya,” ucap Beni mengarahkan telunjuknya ke layar monitor.

“Iya, Sayang,” jawabku menatap sang suami yang terpana dengan calon bayi kami.

“Selamat, ya, Bapak dan Ibu karena kalian akan mempunyai bayi perempuan yang kembar,” ucap seorang dokter perempuan yang tengan menggerakkan alat USG-nya ke atas perut buncitku.

“Terima kasih, dok,” jawabku tersenyum kecil pada perempuan paruh baya itu.

“Sayang, teryata anak kita kembar.” Aku kembali memeluk suamiku dan tak peduli meski itu di hadapan dokter. Akhirnya kebahagiaanku utuh dalam sebuah keluarga. 

Sebenarnya, selama kehamilan aku tidak terlalu tenang karena hamper setiap malam keberadaan mereka yang tak tampak bisa kurasakan. Aku juga takut akan kesehatan dua janin yang ada dalan perutku ini karena tekanannya langsung kontak ke perutku jika aku bereaksi dan merasa ketakutan akan kehadiran mahluk halus yang mengelilingiku. 

Dengan sekuat tenaga mencoba menghadapinya setiap gangguan itu hingga kehamilanku beranjak Sembilan bulan dan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk melahirkan.

Lagi-lagi malam mini aku harus tidur sendiri karena suamiku masih berada di lokasi proyek. Mungkin Beni besok pagi baru pulang ke rumah. Entah kenapa aku merasa sebentar lagi waktunya. Tiba-tiba hujan turun begitu deras disertai angin kencang, aku segera menutupi tubuhku dengan selimut tebal agar tidak merasa menggigil. Kutatap kea rah jendela dengan tirai putih yang berayun-ayun di hempas angin. Dengan sangat jelas aku mulai mencium aroma seperti bangkai bercampur anyir yang menyeruak ke seluruh kamar. Benar saja, sosok- sosok tanpa jiwa melayang bagai asap yang mengepul yang sesekali menampakkan sisi buruknya itu. Spontan aku memegang perutku dan berharap keadaan ini menghilang tanpa jejak.

 Akhirnya mahluk-mahluk itu lenyap bersama redanya hujan dan aku pun melanjutkan tidurku.

Seminggu kemudian, aku merasakan kontraksi hebat di perutku sampai tekanannya semakin kuat hingga pertahananku juga melemah. Aku masih membereskan beberapa piring kotor bekas kami makan malam bersama. Sementara suamiku sibuk menonton acara pertandingan bola di televisi.

“Beni!” teriakku memanggil suamiku karena perutku semakin kuat kontraksinya.

“Sayang? Kamu kenapa, kok udah lemas dan pucat begitu. Atau jangan-jangan ini tandanya kamu akan melahirkan,” tanya Beni yang panic melihat posisiku terdudul tak berdaya di lantai.

“Ayo kita ke rumah sakit, Sayang!” ajak Beni seraya belalu menyambar kunci mobilnya.

Sesampai di rumah sakit, aku segera dilarikan ke ruangan bersalin. Sementara suamiku menunggu di luar. Aku juga meminta Beni untuk mengabari Nenekku dan Nadia—sepupuku karena mereka wajib tahu keadaanku saat ini.

Setelah aku merasakan perjuangan untuk melahirkan sang buat hati ke dunia ini, akhirnya aku dapat melihat kedua bayi kembarku yang sangat menggemaskan. Tuhan, terima kasih atas anugerahmu pada kami. Aku bahagia karena orang-orang tersayang kini berada di dekatku. 

“Adinda, bagaimana penglihatan kamu sekarang?” tanya Nenek Idah yang terlihat menatap serius padaku.

Saat ini hanya kami berdua dan bayi kembarku di sebelah karena Beni dan Nadia keluar mencari makan malam.

“Ada apa Nek? Kok, kelihatannya ada sesuatu yang Nenek ingin bicarakan sama Dinda,” lanjutku masih penasaran.

“Tidak apa-apa. Nenek hanya ingin memastikan kesehatan kamu dan juga bayi kamu, Sayang. Karena nenek merasakan ada bahaya dengan mata batinmu dan itu akan member pengaruh besar terhadap putrid-putri nantinya,” ucap Nenek Idah mencoba menjelaskan kondisi yang ku alami.

“Nggak, Nek. Dinda nggak mau membahayakan anak-anak, Dinda, Nek. Jadi, Dinda harus gimana, Nek?” tanyaku dengan gelisah dan panik seketika.

“Mata batinmu itu ada dua tingkatan. Pertama, penglihatan yang peka terhadap keberadaan mahluk gaib dan melihat penampakannya sedangkan kedua, penglihatan yang mampu menembus ke masa lalu kelam seseorang. Dan yang kedua ini adalah yang terberat untukmu, Adinda,” terang Nenek Idah padaku yang membuat diri ini ketakutan akan bahaya yang menghampiri kedua putriku.

“Nenek, Dinda ingin menutup mata batin Dinda, Nek. Karena ini akan sangat berbahaya bagi pertumbuhan anak-anak Dinda nantinya. Setidaknya sampai mereka besar,” balasku yang masih belum bisa tenang.

“Tapi, Nenek hanya bisa menutup satu tingkatan saja, Sayang. Baiklah, Nenek akan menutup mata batinmu di tingkatan kedua karena tidak bisa tertutup seluruhnya.” Nenek Iah mengusap bahuku lalu memelukku dengan hangat.

“Dinda setuju, Nek. Lagian yang penglihatan Dinda yang pertama itu tidak terlalu berbahaya kok, Dinda yakin bisa mengatasinya,” jawabku meyakinkan Nenek Idah dengan jawabanku.

Setelah petemuanku dengan Nenek Idah, aku merasa lega. Selama masa nifas, Nadia menemaniku dan membantu merawak bayi kembarku. Aku dan suami member nama si kembar  Andin dan Andita, dan itu namayang sangat indah untu buah cinta kami. Sesaat setelah menidurkan putrid kembarku tiba-tiba aku melihat sosok aneh sedang menatap ke dua putriku dengan tangan yang berkuku runcing dan panjang mencengkram kuar ranjang bayi. Astaga! Apa yang harus aku lakukan?

Bersambung

Related chapters

  • Mati Kembar   3. Sosok Aneh

    Mahluk buruk rupa itu menatap tajam dengan kedua bola mata merah menyala ke arahku. Tanpa rasa takut, kugerakkan langkah dan meraih ranjang bayiku. Anehnya, ketika kudekati , iblis itu menghilang begitu saja. Dengan cepat kedua tanganku memeluk mereka yang masih terkulai lemah saking lelapnya tertidur. “Sayang! Ternyata kamu di sini. Aku dari tadi manggil kamu,” seru Beni yang baru pulang dari kantor. “Iya, Sayang. Aku cuma mau lihat si kembar aja kok,” jawabku singkat. “Kamu sendiri udah selesai urusan kantor?” tanyaku penasaran. “Udah, Sayang. Yuk kita tidur!” ajak suamiku sembari merangkul bahuku dan melangkah ke arah kamar kami. Saat tidur, pikiranku menerawang entah kemana. Aku

  • Mati Kembar   4. Berubah

    Hingga kejadian malam itu membuatku bergidik, melihat suamiku berdiri cukup lama di sisi ranjang bayi kami. Lelaki yang kucintai nyaris mengarahkan kedua tangannya ke leher Andin dan untung saja aku segera menegurnya. Namun, ketika kutanya Beni dan menuduhnya bermaksud jahat pada putri kami, dia berdalih karena dia ingin menggendong Andin yang masih tertidur pulas. Walau kadang rasa hati ingin membenarkan pendapat diri sendiri akan tetapi aku lebih percaya kepada suamiku sendiri karena tidak akan mungkin menyakiti anaknya sendiri terlebih kini kami mempunyai dua putri kembar yang sangat manis dan lucu. “Mbak, sampai sekarang belum ada kabar dari perusahaan tempat aku interview kemarin. Kok, aku jadi sedih, ya, mbak?” ucap Nadia sembari memainkan tangan mungil Andin dan Andita.

  • Mati Kembar   5. Mengawasi

    “Terkadang mencoba untuk hidup damai berdampingan dengan mereka itu tidak terlalu buruk asal kita sebagai manusia tidak mempunyai niat buruk untuk mempersekutukan dirinya dengan Tuhan.” “Ma, apa Papa nggak sayang, ya, sama kita?” ucap Andita yang ikut memelukku dengan matanya yang berkaca-kaca. “Stt … Jangang bilang gitu, ah, Sayang. Papa kalian itu sayang banget sama kalian berdua hanya sama mungkin Papa lagi kelelahan aja karena di kantor banyak kerjaan yang harus diselesaikan.” Aku menatap kedua putriku dengan rasa gelisah yang mendera, berharap apa yang mereka pikirkan tidak benar-benar terjadi. “Mama! Andin mau es krim,” seru gadis kecil itu dengan nada agak tinggi. Itulah sifat Andin setiap punya kemauan ingin segera dituruti.  

  • Mati Kembar   6. Pelukan Hangat

    Udara pagi ini begitu sejuk hingga membuatku betah berlama-lama berjalan dengan langkah kecil di seputaran halaman rumah yang lumayan luas. Dengan senyum ceria kedua putriku ikut mengiringi langkah Mamanya. Pun aku ikut terbawa dalam gelak tawa mereka beberapa saat, memainkan beberapa helai rambutnya yang terurai panjang hingga ke punggung mungilnya.Ternyata sebagai seorang Ibu yang mengurus anak kembar tidak terlalu buruk juga.Bahkan, aku sangat menikmatinya terlebih kala dua senyum yang begitu manis mengembang dengan kelembutan antara keduanya.Aku masih ingat bagaimana manjanya Andin memintaku untuk setiap hari merapikan rambutnya dan memakaikan bando berpita untuknya. Pun tingkahnya andita yang selalu ingin terlihat cuek tanpa harus memakai bando yang menempel terus di kepalanya seperti kakaknya. Rasa syukur terus terucap kala menatap dua pasang bola mata yang indah dan bening terpaku ikut menatapku dengan ribuan rasa cinta yang mereka punyai.B

  • Mati Kembar   7. Penunggu Baru

    “Sayang, kok, berdiri aja? Sini peluk anak-anak kita!” Aku mencoba menepis pikiran buruk ini dengan mengajak suamiku ikut memeluk Andin dan Andita—putri kembar kami tersayang.“Udah nggak ada waktu lagi berpelukan sekarang, Dinda. Kita harus segera pindah dari rumah ini,” ujar suamiku yang terlihat kelelahan abis dalam perjalanan ke sini.“Papa … Andin senang banget bisa tinggal bareng sama Papa sekarang, Yeiii!” teriak gadis kecilku dengan penuh senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mungilnya.“Iya, iya tapi jangan nakal, ya, kalian?” lanjut Beni membulatkan matanya pada kedua putri kecil di depannya.“Iya, Pa,” jawab mereka serempak.Aku membantu Beni mengangkat semua koper kami dari kamar dan disusul ke kamar putri kami hingga berpindah turun ke bawah. Sebelumnya Beni telah memesan mobil angkutan untuk membawa semua bara-barangnya, lantas ti

  • Mati Kembar   8. Rasa Penasaran

    Sepersekian detik aku masih mematung di tempat itu sampai kumpulkan seluruh keberanian untuk menoleh.“Dinda! Kamu ngapain di sini mendingan cek dulu barang-barang kita, sini!” Belum sempat aku melirik ke belakang tiba-tiba terdengar suara Beni memanggil. Aku lega karena tangan yang menyentuh tadi adalah milik suamiku.Aku dan Beni berjalan menuju halaman depan. Di sana terlihat Andin dan Andita sedang duduk di teras dengan raut wajah yang kelelahan. Kemudian aku mencoba untuk mengecek semua barang yang kami bawa sejak sore tadi ke rumah baru sekarang yang akan kami tempati. Sebagian sudah dimasukkan ke dalam sana hanya tersisa koper pakaian saja yang masih di luar.Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya semua barang telah tertata seadanya untuk sementara. Mungkin nanti kami akan mengaturnya kembali secara bertahap karena waktu dipastikan selalu ada untuk berbenah.Usai membayar semua biaya pada dua orang pria yan

  • Mati Kembar   9. Hantu Bermata Sendu

    "Sayang, bangun!" Aku mendengar suara suamiku dari dekat, ternyata sudah balik ke rumah."Iya, Sayang," jawabku dengan malas membuka mata karena masih terasa sangat berat."Yuk, makan dulu! Kamu belum makan, kan? Panggil Andin dan Andita juga, mereka harus ikut makan takutnya masuk angin pula." Beni mengajak kami semua makan malam padahal juga sudah sangat larut.Dengan tubuh yang masih terasa lemah aku melangkah ke kamar putri kembar ku. Perlahan membuka pintu dan berjalan ke arah dua gadis mungil yang masih pulas di alam mimpinya."Sayang, bangun! Kita makan malam dulu, Yuk!" ajakku dengan mengguncang ke dua bahu mungil mereka."Ma, tapi Andin masih ngantuk banget. Andita masih tidur tu, dia, Ma." Andin menoleh pada adiknya kemudian bangun menatap aku yang tersenyum kecil."Andita ... Andita ... Bangun, Sayang!" Adinda membangunkan putrinya untuk kedua kalinya."Ya udah, Sayang. Kamu duluan aja ada Papa nunggu di sana." Aku me

  • Mati Kembar   10. Kejutan Mengerikan

    "JANGAN!"Aku berteriak sekeras mungkin agar suamiku segera bangun dari tidurnya.Sumpah!Aku takut setengah mati kali ini. Tapi, bagaimana caranya hantu itu tidak menggubris sama sekali teriakanku melainkan kukunya yang tajam itu telah mencengkram kuat leher Beni. Aku menatap wajah suamiku yang sudah tidak berdaya dengan matanya yang melotot menahan cekik sosok yang mengambang itu hingga darah mengucur begitu deras saking tajam kukinya mencengkram.Setelah Beni tak bernyawa lagi, kini kedua tangan perem puan itu menjulur ke arah batang leherku. Dengan sekuat tenaga aku meronta-ronta berusaha keras melepaskan tangan yang mengerikan itu dari leherku.Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupalingkan wajahku ke samping dan ternyata Beni masih tertidur di sebelahku.Astaga! Ternyata ini semua cuma mimpi? Aku mengucap syukur tanpa henti lantas kuedarkan pandangan ke seluruh sisi kamar, lega karena

Latest chapter

  • Mati Kembar   Penebusan

    Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhe

  • Mati Kembar   Pembalasan Dendam

    Adengan demi adegan kelam masa lalu Beni terpampang begitu nyata dalam penglihatan batin ku. Yang palin mengejutkan ketika kebejatannya terungkap olehku ketika adegan pemerkosaan terhadap gadis cantik yang tidak lain adalah Maya. Iya, gadis yang selama ini gentayangan di rumahku dan selama ini terus menggangguku. Ternyata kata Nenek Idah benar adanya, bahwa kehadiran mereka bukan untuk mengusik kehidupanku akan tetapi ada urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan mungkin ada hubungannya denganku. Kebenaran yang dulu tersembunyi kini telah muncul ke permukaan. Bahkan kelakuan menjijikan Beni terhadap gadis mata sendu yang bernasib malang."Dinda, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nenek mohon jangan sampai membuatmu menyesal nanti. Tolong kamu pikirkan baik-baik, Nak." Nenek Idah mencoba memperingatkanku akan konsekuensi yang akan terjadi pada kehidupanku."Tapi, Nek, Dinda sama sekali nggak pernah menyangka kalau Beni tega berbuat kejam pada

  • Mati Kembar   Menembus Masa Kelam

    “Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?” Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping. Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti. Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku. Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah. “Bunuh!” Entah apa maksudnya kata-kata itu. Ak

  • Mati Kembar   27. Pemeriksaan Pencarian Pelaku

    "Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai."Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang. Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, a

  • Mati Kembar   26. Pemakaman Memilukan

    “Adinda, Sayang!” Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat. “Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius. “Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu. “Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya. “Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begin

  • Mati Kembar   25. Nasib Malang Putri Kembar Ku

    Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit

  • Mati Kembar   24. Darah Siapa Ini?

    Beberapa hari ini selama kondisi fisikku kurang stabil suamiku selalu menjaga kami dengan baik. Hampir setiap waktu makan Beni yang memasaknya. Dengan sepenuh hati ia melakukannya dan itu terkadang membuatku merasa bersalah biarpun Beni harus bertanggung jawab menghidupi keluarga ini.Bahkan seperti hari ini ia menjelma menjadi seorang suami idaman setiap istri. Bagaimana tidak, baru tadi sebelum ia berangkat ke kantor, Beni memberitahu bahwa ia akan berbelanja keperluan bulanan kita di pasar.Benar saja, saat ia pulang sumpah aku di kagetkan barang-barang dibelanjakannya. Lemari es penuh dan beberapa bahan mentah yang lain ia simpan di lemari gantung dan juga di atas meja.Selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua, Beni akhirya berangkat ke kantor dengan senyum bahagia dan semangat. Aku melihatnya ketika ia memapahku sampai ke depan pintu dan mengecup kedua putri kembar kami.Beni ke kantor, rumah pun menjadi senyap seketika. Sedangkan

  • Mati Kembar   23. Bahaya

    Hati kecilku masih tak percaya menyaksikan dua gadis manis sedang terlelap dalam pelukan sang Papa. Sungguh anugerah terindah yang pernah ada. Sesaat aku maju di langkah dan duduk di sisi ranjang khusus menikmati pemandangan membahagiakan yang mungkin telah langka sejak mereka beranjak tumbuh dewasa.“Sayang? Udah pulang?” Tiba-tiba Beni menyadari kehadiran aku yang tanpa mengetuk pintu dulu hingga langsung memasukinya.“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu udah jagain putri kita sampai mereka tertidur begitu. Liat! Matanya mirip banget sama kamu, kan, Sayang?” Aku tersenyum kecil pada Beni sembari mengusap rambut si kembar.“Sama-sama, Sayang. Oh, iya, gimana tadi dapat mobil angkutannya?” tanya Beni serius kelihatannya.“Iya, tadi kebetulan waktu kami sampai di sana, langsung ada bis dan Nadia nggak perlu nunggu lama.“Sayang, yuk kita angkat si kembar ke kamarnya!&rdq

  • Mati Kembar   22. Kegelisahan Adinda

    “Mbak, Mbak Adinda! Tadi mau nanya apa? Kok, bengong gitu?”“I- Iya, Nad. Mbak, nggak apa-apa, kok.” Aku menjawab pertanyaan Nadia sepertinya karena aku barusan gagal fokus. Aku malah memikirkan sosok di belakang sepupuku tadi.“Syukurlah, kalo mbak, gak, apa-apa. Soalnya lama lho tadi mbak duduk kayak matanya melihat sesuatu di belakang aku.” Nadia melanjutkan tanyanya karena masih terlalu penasaran dengan apa yang kualami barusan.“Oh, iya, NAD. Sepertinya itu suara mobil Mas Beni pulang. Kamu masuk saja ke kamar tamu di sebelah ruangan ini, ya, soalnya Mbak mau liat suami Mbak dulu.” Aku beranjak sembari menatap Nadia dan menunjukkan kamar untuknya menaruh barang-barangnya.Terlihat Beni sangat kelelahan dengan jas yang ditaruh di sikunya dan ia memegang erat sebuah dokumen sepertinya. Beni tersenyum kecil melihat aku yang berdiri di depan pintu untuk menyambut dirinya.

DMCA.com Protection Status