Udara pagi ini begitu sejuk hingga membuatku betah berlama-lama berjalan dengan langkah kecil di seputaran halaman rumah yang lumayan luas. Dengan senyum ceria kedua putriku ikut mengiringi langkah Mamanya. Pun aku ikut terbawa dalam gelak tawa mereka beberapa saat, memainkan beberapa helai rambutnya yang terurai panjang hingga ke punggung mungilnya.
Ternyata sebagai seorang Ibu yang mengurus anak kembar tidak terlalu buruk juga.Bahkan, aku sangat menikmatinya terlebih kala dua senyum yang begitu manis mengembang dengan kelembutan antara keduanya.
Aku masih ingat bagaimana manjanya Andin memintaku untuk setiap hari merapikan rambutnya dan memakaikan bando berpita untuknya. Pun tingkahnya andita yang selalu ingin terlihat cuek tanpa harus memakai bando yang menempel terus di kepalanya seperti kakaknya. Rasa syukur terus terucap kala menatap dua pasang bola mata yang indah dan bening terpaku ikut menatapku dengan ribuan rasa cinta yang mereka punyai.
Baru bebera jam yang lalu, aku memutuskan atau lebih tepatnya menyetujui keputusan Beni untuk pindah ke rumah yang baru saja ia beli. Aku lega, akhirnya si kembar bisa terus dekat dekat Beni—Papanya. Atinya jika mereka merindukan Beni akan lebih mudah karena Andin dan Andita bisa langsung memeluknya dengan hangat tanpa harus menunggu kepulangannya kembali.
“Andin, Andita … Sini! Aku berseru memanggil si kembar karena ingin memberi tahu pada mereka bahwa besok kita akan pindah ke rumah baru di luar kota.
“Iya, Mama,” jawab mereka serempak.
“Sayang … kalian mau, kan, tinggal bareng Papa?” tanyaku seraya merangkul kedua putri kembar ku.“Mau … Mau, Ma. Berarti Andin bisa main bareng Papa terus, dong, asik ….” lanjut gadis kecil yang hobinya memakai bando terus di rambutnya.
“Kalo Andita biasa aja, sih, Ma. Paling nanti Papa marah lagi kayak kemarin malam,” balas gadis kecilku yang super cuek dengan segala tingkahnya.
“Kalian lupa kalo masih ada Mama yang selalu menyayangi kalian dan nggak ikut marah-marahin kalian kayak Papa,” ucapku sembari mengecup hangat pipi lembut mereka secara bergantian.
“Hore … Andita juga mau, Mama.” Gadis kecilku mendongak dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya yang sedikit tampak hitam karena makanan manis yang tidak pernah lepas mulutnya.
“Jadi, sambil nunggu Papa jemput, yuk kita beresin barang-barang dulu, Sayang.” Aku menarik kedua tangan mereka melangkah masuk dan mereka sangat antusias menanggapinya.
Selesai sarapan, aku memulainya dengan mengeluarkan isi lemari lalu memilahnya dengan rapi sebelumnya memenuhi koper-koper yang masih terletak di sudut ruang kamar. Saat membereskan berapa helai pakaian yang tergantung, tanganku berhenti pada sebuah gaun yang masih terlihat sangat indah dan menawan. Iya itu adalah hadiah ulang tahunku yang diberikan Beni dengan sepenuh cinta yang ia miliki. Ingatan ini masih membekas kala malam itu ia mengajakku berdansa di sebuah kafe dengan kejutan manis yang sudah ia persiapkan beberapa menit sebelum mengajakku ke sana, begitu katanya. Malam itu merupakan titik romantis kami selama menikah dengan lelaki yang membuatku terpesona oleh rambut belah sampingnya. Kadang cinta itu memang terlihat konyol kehadirannya akan tetapi aku sungguh menyukainya sepenuh jiwa.
Beberapa saat kemudian, aku melanjutkan untuk memindahkan barang-barang kecil seperti perlengkapan makeup aku yang lumayan banyak jumlahnya dan beragam bentuknya, lebih baik tidak kusebutkan karena itu akan menambah kesibukanku saja. Selesai semua pakaian masuk dalam dua koper yang berukuran besar kemudian aku melangkah ke kamar si kembar.
“Sayang, kok, ini pada berantakan semua?” Aku kaget ketika melirik ke seluruh kamar kedua putriku yang di penuhi dengan banyak baju berserakan.
“Maaf, Ma. Andin tadi mau masukin baju-baju ke dalam kopernya tapi waktu Andin ngambil dari lemari terus jatuh semuanya,” ucap gadis kecilku dengan tatapan polosnya.
“Andita juga gitu, Ma,” timpal adiknya dengan mulut sedikit dimonyongkan ke depan hingga membuatku tersenyum kecil padanya.
“Ya, udah. Nggak apa-apa kok, Sayang. Yang penting Mama tahu kalo kalian mau bantuin beresin barang-barang kita.” Aku kembali memeluk keduanya dengan hangat.
Saking sibuknya, aku tidak menghiraukan lagi arah jarum jam yang tersemat di dinding. Penting bagiku untuk mengepak semua barang-barang yang dibutuhkan karena nantinya isinya yang lain di sini akan ikut dijual kembali jika ada orang yang bersedia membelinya.
BeBerapa foto yang kujadikan pajangan di dinding ruang tamu sudah kumasukkan ke sejumlah kardus berukuran besar yang tersedia di gudang. Bahkan seluruh alat-alat perlengkapan dapur telah kubereskan. Tidak lupa juga dengan mesin cuci, kulkas, sofa dan lainnya yang tersusun siap diangkut bila acara pindah rumah tiba.
Sembari menunggu suamiku pulang, mungkin sebaiknya siang ini aku berpikir memesan makanan cepat saji saja melalui delivery. Aku melangkah menuju ruang TV karena di sana tempat ponsel berada agar terjaga aman dari barang-barang yang semula kubereskan.
Aku menyalakan benda pipih yang kupegang erat di tangan, mencari menu yang kuinginkan dan juga kesukaan putriku tentunya. Akhirnya pilihanku jatuh pada menu paket ayam goreng sambal pedas dan untuk putriku ayam crispy sambal tomat karena mereka tidak menyukai pedas-pedas.
Masih dalam masa menunggu, aku ikut menemani kedua putriku dengan bermain boneka beruang dan singa yang membuatku tidak berhenti tertawa mendengar celoteh dua gadis kecil itu. Kadang dengan tingkah mereka yang lucu membuatku melupakan berbagai kegelisahan termasuk soal penglihatanku yang selalu membuat hidup ini tidak tenang.
Rasa bosan dengan kehadiran-kehadiran makhluk tak kasat mata itu lama-lama membuatku tidak ingin memedulikan lagi. Bahkan hampir setiap malam mereka memenuhi kamarku dengan suara-suara aneh dan bau anyir yang menyeruak hingga ke seluruh ruangan rumah ini. Oleh karena itu, aku sudah sangat terbiasa dengan mereka yang tak terlihat oleh pandangan mata normal.
Tak berapa lama aku mendengar deru mesin dari luar, lantas aku langsung kurir antar makanan yang baru saja kupesan. Setelah mengambilnya lalu aku masuk dan menyiapkan piring dan lainnya. Aku menaiki anak tangga mengajak kedua putriku makan siang sementara Papanya belum juga datang menjemput.
Kulihat Andin dan Andita begitu lahap memakan ayam crispy itu hingga yang menyisakan tulang saja. Aku bahagia melihat dua putriku itu, mereka sangat rukun dan kompak dalam segala hal kecuali penampilannya saja dan itu tidak menjadi masalah untukku.
Saat kami sedang makan, tiba-tiba ponsel di sebelah sana berbunyi menandakan ada notifikasi yang masuk. Tanpa kuselesaikan makan yang tinggal sedikit lagi, aku langsung melangkah dan menyalakannya. Ternyata itu pesan dari Beni yang katanya belum bisa menjemput hari ini karena mendadak ia ada rapat property penting yang harus dirundingkan. Akhirnya aku mencoba member pengertian pada ke dua putriku dan mengatakan besok Papanya pasti menjemput mereka.
Malam ini kami tidur di kamar tamu karena hanya kamar itu yang masih tersisa hanya sja aku perlu memasangkan sprainya saja. Entah, di saat seluruh isi rumah di packing tiba-tiba aku merasakan kehampaan yang kosong dalam rumah dan juga kamar yang saat ini kutempati. Mungkin karena kamar kosong sejak Nadia pindah, pikirku ini wajar sampai aku merasakan kehadiran sosok bayangan hitam yang menjulang tinggi mencapai plafon kamar.
Segera kutarik selimut dan berusaha keras mengabaikannya dan ingin membuka dan mendongak ke arah matanya yang begitu menyala menyilaukan mata.
Esok pagi, usai membantu Andin dan Andita berpakaian rapi tak lupa aku menyisir rambut mereka dan meraih bando kesukaannya. Kasih sayang yang kuberikan pada mereka selalu berujung pada dua pelukan yang begitu hangat. Saking lamanya aku menikmati pelukan dua putriku, mata ini dikejutkan oleh sosok lelaki dengan rambut belah sampingnya yang menatap sedikit aneh pada kedua pasang tangan dua gadis kecil yang semakin mengeratkan pelukannya hingga rasanya sulit untuk bernapas.
Lagi-lagi itu tatapan Beni yang mendadak membuatku gelisah tak keruan.
“Sayang, kok, berdiri aja? Sini peluk anak-anak kita!” Aku mencoba menepis pikiran buruk ini dengan mengajak suamiku ikut memeluk Andin dan Andita—putri kembar kami tersayang.“Udah nggak ada waktu lagi berpelukan sekarang, Dinda. Kita harus segera pindah dari rumah ini,” ujar suamiku yang terlihat kelelahan abis dalam perjalanan ke sini.“Papa … Andin senang banget bisa tinggal bareng sama Papa sekarang, Yeiii!” teriak gadis kecilku dengan penuh senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mungilnya.“Iya, iya tapi jangan nakal, ya, kalian?” lanjut Beni membulatkan matanya pada kedua putri kecil di depannya.“Iya, Pa,” jawab mereka serempak.Aku membantu Beni mengangkat semua koper kami dari kamar dan disusul ke kamar putri kami hingga berpindah turun ke bawah. Sebelumnya Beni telah memesan mobil angkutan untuk membawa semua bara-barangnya, lantas ti
Sepersekian detik aku masih mematung di tempat itu sampai kumpulkan seluruh keberanian untuk menoleh.“Dinda! Kamu ngapain di sini mendingan cek dulu barang-barang kita, sini!” Belum sempat aku melirik ke belakang tiba-tiba terdengar suara Beni memanggil. Aku lega karena tangan yang menyentuh tadi adalah milik suamiku.Aku dan Beni berjalan menuju halaman depan. Di sana terlihat Andin dan Andita sedang duduk di teras dengan raut wajah yang kelelahan. Kemudian aku mencoba untuk mengecek semua barang yang kami bawa sejak sore tadi ke rumah baru sekarang yang akan kami tempati. Sebagian sudah dimasukkan ke dalam sana hanya tersisa koper pakaian saja yang masih di luar.Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya semua barang telah tertata seadanya untuk sementara. Mungkin nanti kami akan mengaturnya kembali secara bertahap karena waktu dipastikan selalu ada untuk berbenah.Usai membayar semua biaya pada dua orang pria yan
"Sayang, bangun!" Aku mendengar suara suamiku dari dekat, ternyata sudah balik ke rumah."Iya, Sayang," jawabku dengan malas membuka mata karena masih terasa sangat berat."Yuk, makan dulu! Kamu belum makan, kan? Panggil Andin dan Andita juga, mereka harus ikut makan takutnya masuk angin pula." Beni mengajak kami semua makan malam padahal juga sudah sangat larut.Dengan tubuh yang masih terasa lemah aku melangkah ke kamar putri kembar ku. Perlahan membuka pintu dan berjalan ke arah dua gadis mungil yang masih pulas di alam mimpinya."Sayang, bangun! Kita makan malam dulu, Yuk!" ajakku dengan mengguncang ke dua bahu mungil mereka."Ma, tapi Andin masih ngantuk banget. Andita masih tidur tu, dia, Ma." Andin menoleh pada adiknya kemudian bangun menatap aku yang tersenyum kecil."Andita ... Andita ... Bangun, Sayang!" Adinda membangunkan putrinya untuk kedua kalinya."Ya udah, Sayang. Kamu duluan aja ada Papa nunggu di sana." Aku me
"JANGAN!"Aku berteriak sekeras mungkin agar suamiku segera bangun dari tidurnya.Sumpah!Aku takut setengah mati kali ini. Tapi, bagaimana caranya hantu itu tidak menggubris sama sekali teriakanku melainkan kukunya yang tajam itu telah mencengkram kuat leher Beni. Aku menatap wajah suamiku yang sudah tidak berdaya dengan matanya yang melotot menahan cekik sosok yang mengambang itu hingga darah mengucur begitu deras saking tajam kukinya mencengkram.Setelah Beni tak bernyawa lagi, kini kedua tangan perem puan itu menjulur ke arah batang leherku. Dengan sekuat tenaga aku meronta-ronta berusaha keras melepaskan tangan yang mengerikan itu dari leherku.Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupalingkan wajahku ke samping dan ternyata Beni masih tertidur di sebelahku.Astaga! Ternyata ini semua cuma mimpi? Aku mengucap syukur tanpa henti lantas kuedarkan pandangan ke seluruh sisi kamar, lega karena
Mata ini seperti memaksa untuk tidak berkedip dan menahan untuk tidak melihatnya. Semakin lama semakin jelas tampak bayangan hitam meliuk-liuk di sekitar pohon besar itu. Kali ini aku seperti terkuras energi yang begitu besar sehingga gumpalan seperti asap hitam itu seperti menarik aku ke sana. Sungguh, energiku sudah habis semua dan tubuhku juga ikut melemah hingga semuanya menjadi gelap. "Sayang, kamu udah bangun?" "Ma, Mama buka matanya, Ma!" "Ma, kenapa tiba-tiba pingsan, Pa?" "Kok, Mama nggak jawab, Pa?" Aku ternyata pindang dan tidak sadarkan diri beberapa menit. Terdengar olehku di serentetan pertanyaan dari Beni, Andin, dan Andita. "Aku, nggak apa-apa, kok, Sayang." Aku menatap wajah Beni dan kembali tersenyum padanya. "Andin, Andita. Makasih karena kalian udah menunggu Mama dari tadi di sini. Mama nggak kenapa-kenapa
“Sayang, Mama peringatin ya?! Jangan keluar rumah tanpa izin dulu karena nggak aman, Sayang,” kataku dengan nada rendah tapi agak tegas.“Iya, Ma. Tapi Andin masih boleh main sama Tante Maya kan, Ma?” tanya Andin serius menatap padaku dengan tatapannya yang begitu polos.“Mama tadi nggak liat siapa-siapa, Sayang.” Aku mencoba bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa di hadapan mereka.“Ada, Ma! Andita juga liat, ya, kan?” Andita melirik ke arah adiknya.“Iya, Mama. Tadi Andita yang nanyain nama Tante Maya,” jawab Andita tersenyum kecil menatap tepat padaku.“Ya, udah. Yuk masuk ke dalam, Sayang!” Akhirnya aku meraih ke dua tangan mereka dan mengajaknya melangkah menuju ruang makan.Saat aku menutup pintu belakang, hawa aneh mulai kembali menyergap jiwa ini. Lagi, untuk kesekian kalinya aku mencium arom
Waktu berjalan dengan cepat, aku dan keluarga kecil ku sudah menempati rumah ini seminggu. Rasanya, baru kemarin aku menghirup udara segar dan juga merasakan mencekam di waktu malam menjelang yang begitu kental di tempat ini. Berjalan bersama dua putri kembar ku di awal pagi sungguh menyenangkan apa lagi bisa bercengkerama dengan mereka berdua semua ini luar biasa bagiku. Tiba-tiba gerak langkah ini seolah menarikku kembali ke halaman belakang. Entah kenapa ketika pandangan lurusku menatap tajam ke arah dahan pohon di sana, seketika pikiranku melayang pada tulisan nama sosok perempuan cantik bermata sendu itu. Aku sempat berpikir mungkin dengan menuliskan namanya aku bisa berbagi cerita dengannya. Atau mungkin aku saja yang tidak bisa memahami maksud hantu itu apa. Aku maju tiga langkah, memastikah apa yang tertangkap oleh pandanganku tadi pada dahan pohon angker itu. Ternyata sosok mata sendu--Maya muncul juga pada pagi hari. Masi
Gerimis yang datang tiba-tiba terkadang memberi pertanda tidak biasa. Tetesan kristal bening itu mengalir dari atap hingga menyentuh kaca jendela kamarku. Hawa dingin tanpa permisi menyelinap mengisi ruangan hingga efeknya bagai menusuk ke dalam tulang. Biasanya ini waktu aku dan suami menghabiskan malam berdua, iya, hanya aku dan Beni.Magrib tadi, kalau boleh jujur, aku masih sedikit merasakan ketakutan. Perempuan itu hampir setiap waktu mencoba mengganggu ketenangan di rumah ini. Aku tahu, penglihatan ini bukan penglihatan normal tapi dengan aku memilikinya, membuat hati dan jiwa seperti melanglang buana ke alam yang mungkin berbeda dengan dunia ini.Oke! Mungkin aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini tapi bukan berarti aku bisa mengatasi semua hal yang terjadi. Terlebih saat sosok dari mereka hadir tanpa diundang masuk d
Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhe
Adengan demi adegan kelam masa lalu Beni terpampang begitu nyata dalam penglihatan batin ku. Yang palin mengejutkan ketika kebejatannya terungkap olehku ketika adegan pemerkosaan terhadap gadis cantik yang tidak lain adalah Maya. Iya, gadis yang selama ini gentayangan di rumahku dan selama ini terus menggangguku. Ternyata kata Nenek Idah benar adanya, bahwa kehadiran mereka bukan untuk mengusik kehidupanku akan tetapi ada urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan mungkin ada hubungannya denganku. Kebenaran yang dulu tersembunyi kini telah muncul ke permukaan. Bahkan kelakuan menjijikan Beni terhadap gadis mata sendu yang bernasib malang."Dinda, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nenek mohon jangan sampai membuatmu menyesal nanti. Tolong kamu pikirkan baik-baik, Nak." Nenek Idah mencoba memperingatkanku akan konsekuensi yang akan terjadi pada kehidupanku."Tapi, Nek, Dinda sama sekali nggak pernah menyangka kalau Beni tega berbuat kejam pada
“Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?” Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping. Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti. Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku. Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah. “Bunuh!” Entah apa maksudnya kata-kata itu. Ak
"Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai."Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang. Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, a
“Adinda, Sayang!” Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat. “Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius. “Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu. “Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya. “Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begin
Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit
Beberapa hari ini selama kondisi fisikku kurang stabil suamiku selalu menjaga kami dengan baik. Hampir setiap waktu makan Beni yang memasaknya. Dengan sepenuh hati ia melakukannya dan itu terkadang membuatku merasa bersalah biarpun Beni harus bertanggung jawab menghidupi keluarga ini.Bahkan seperti hari ini ia menjelma menjadi seorang suami idaman setiap istri. Bagaimana tidak, baru tadi sebelum ia berangkat ke kantor, Beni memberitahu bahwa ia akan berbelanja keperluan bulanan kita di pasar.Benar saja, saat ia pulang sumpah aku di kagetkan barang-barang dibelanjakannya. Lemari es penuh dan beberapa bahan mentah yang lain ia simpan di lemari gantung dan juga di atas meja.Selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua, Beni akhirya berangkat ke kantor dengan senyum bahagia dan semangat. Aku melihatnya ketika ia memapahku sampai ke depan pintu dan mengecup kedua putri kembar kami.Beni ke kantor, rumah pun menjadi senyap seketika. Sedangkan
Hati kecilku masih tak percaya menyaksikan dua gadis manis sedang terlelap dalam pelukan sang Papa. Sungguh anugerah terindah yang pernah ada. Sesaat aku maju di langkah dan duduk di sisi ranjang khusus menikmati pemandangan membahagiakan yang mungkin telah langka sejak mereka beranjak tumbuh dewasa.“Sayang? Udah pulang?” Tiba-tiba Beni menyadari kehadiran aku yang tanpa mengetuk pintu dulu hingga langsung memasukinya.“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu udah jagain putri kita sampai mereka tertidur begitu. Liat! Matanya mirip banget sama kamu, kan, Sayang?” Aku tersenyum kecil pada Beni sembari mengusap rambut si kembar.“Sama-sama, Sayang. Oh, iya, gimana tadi dapat mobil angkutannya?” tanya Beni serius kelihatannya.“Iya, tadi kebetulan waktu kami sampai di sana, langsung ada bis dan Nadia nggak perlu nunggu lama.“Sayang, yuk kita angkat si kembar ke kamarnya!&rdq
“Mbak, Mbak Adinda! Tadi mau nanya apa? Kok, bengong gitu?”“I- Iya, Nad. Mbak, nggak apa-apa, kok.” Aku menjawab pertanyaan Nadia sepertinya karena aku barusan gagal fokus. Aku malah memikirkan sosok di belakang sepupuku tadi.“Syukurlah, kalo mbak, gak, apa-apa. Soalnya lama lho tadi mbak duduk kayak matanya melihat sesuatu di belakang aku.” Nadia melanjutkan tanyanya karena masih terlalu penasaran dengan apa yang kualami barusan.“Oh, iya, NAD. Sepertinya itu suara mobil Mas Beni pulang. Kamu masuk saja ke kamar tamu di sebelah ruangan ini, ya, soalnya Mbak mau liat suami Mbak dulu.” Aku beranjak sembari menatap Nadia dan menunjukkan kamar untuknya menaruh barang-barangnya.Terlihat Beni sangat kelelahan dengan jas yang ditaruh di sikunya dan ia memegang erat sebuah dokumen sepertinya. Beni tersenyum kecil melihat aku yang berdiri di depan pintu untuk menyambut dirinya.