"JANGAN!"
Aku berteriak sekeras mungkin agar suamiku segera bangun dari tidurnya.
Sumpah!
Aku takut setengah mati kali ini. Tapi, bagaimana caranya hantu itu tidak menggubris sama sekali teriakanku melainkan kukunya yang tajam itu telah mencengkram kuat leher Beni. Aku menatap wajah suamiku yang sudah tidak berdaya dengan matanya yang melotot menahan cekik sosok yang mengambang itu hingga darah mengucur begitu deras saking tajam kukinya mencengkram.
Setelah Beni tak bernyawa lagi, kini kedua tangan perem puan itu menjulur ke arah batang leherku. Dengan sekuat tenaga aku meronta-ronta berusaha keras melepaskan tangan yang mengerikan itu dari leherku.
Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupalingkan wajahku ke samping dan ternyata Beni masih tertidur di sebelahku.
Astaga! Ternyata ini semua cuma mimpi? Aku mengucap syukur tanpa henti lantas kuedarkan pandangan ke seluruh sisi kamar, lega karena
Mata ini seperti memaksa untuk tidak berkedip dan menahan untuk tidak melihatnya. Semakin lama semakin jelas tampak bayangan hitam meliuk-liuk di sekitar pohon besar itu. Kali ini aku seperti terkuras energi yang begitu besar sehingga gumpalan seperti asap hitam itu seperti menarik aku ke sana. Sungguh, energiku sudah habis semua dan tubuhku juga ikut melemah hingga semuanya menjadi gelap. "Sayang, kamu udah bangun?" "Ma, Mama buka matanya, Ma!" "Ma, kenapa tiba-tiba pingsan, Pa?" "Kok, Mama nggak jawab, Pa?" Aku ternyata pindang dan tidak sadarkan diri beberapa menit. Terdengar olehku di serentetan pertanyaan dari Beni, Andin, dan Andita. "Aku, nggak apa-apa, kok, Sayang." Aku menatap wajah Beni dan kembali tersenyum padanya. "Andin, Andita. Makasih karena kalian udah menunggu Mama dari tadi di sini. Mama nggak kenapa-kenapa
“Sayang, Mama peringatin ya?! Jangan keluar rumah tanpa izin dulu karena nggak aman, Sayang,” kataku dengan nada rendah tapi agak tegas.“Iya, Ma. Tapi Andin masih boleh main sama Tante Maya kan, Ma?” tanya Andin serius menatap padaku dengan tatapannya yang begitu polos.“Mama tadi nggak liat siapa-siapa, Sayang.” Aku mencoba bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa di hadapan mereka.“Ada, Ma! Andita juga liat, ya, kan?” Andita melirik ke arah adiknya.“Iya, Mama. Tadi Andita yang nanyain nama Tante Maya,” jawab Andita tersenyum kecil menatap tepat padaku.“Ya, udah. Yuk masuk ke dalam, Sayang!” Akhirnya aku meraih ke dua tangan mereka dan mengajaknya melangkah menuju ruang makan.Saat aku menutup pintu belakang, hawa aneh mulai kembali menyergap jiwa ini. Lagi, untuk kesekian kalinya aku mencium arom
Waktu berjalan dengan cepat, aku dan keluarga kecil ku sudah menempati rumah ini seminggu. Rasanya, baru kemarin aku menghirup udara segar dan juga merasakan mencekam di waktu malam menjelang yang begitu kental di tempat ini. Berjalan bersama dua putri kembar ku di awal pagi sungguh menyenangkan apa lagi bisa bercengkerama dengan mereka berdua semua ini luar biasa bagiku. Tiba-tiba gerak langkah ini seolah menarikku kembali ke halaman belakang. Entah kenapa ketika pandangan lurusku menatap tajam ke arah dahan pohon di sana, seketika pikiranku melayang pada tulisan nama sosok perempuan cantik bermata sendu itu. Aku sempat berpikir mungkin dengan menuliskan namanya aku bisa berbagi cerita dengannya. Atau mungkin aku saja yang tidak bisa memahami maksud hantu itu apa. Aku maju tiga langkah, memastikah apa yang tertangkap oleh pandanganku tadi pada dahan pohon angker itu. Ternyata sosok mata sendu--Maya muncul juga pada pagi hari. Masi
Gerimis yang datang tiba-tiba terkadang memberi pertanda tidak biasa. Tetesan kristal bening itu mengalir dari atap hingga menyentuh kaca jendela kamarku. Hawa dingin tanpa permisi menyelinap mengisi ruangan hingga efeknya bagai menusuk ke dalam tulang. Biasanya ini waktu aku dan suami menghabiskan malam berdua, iya, hanya aku dan Beni.Magrib tadi, kalau boleh jujur, aku masih sedikit merasakan ketakutan. Perempuan itu hampir setiap waktu mencoba mengganggu ketenangan di rumah ini. Aku tahu, penglihatan ini bukan penglihatan normal tapi dengan aku memilikinya, membuat hati dan jiwa seperti melanglang buana ke alam yang mungkin berbeda dengan dunia ini.Oke! Mungkin aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini tapi bukan berarti aku bisa mengatasi semua hal yang terjadi. Terlebih saat sosok dari mereka hadir tanpa diundang masuk d
"Andin, Andita, Sayang? Sebagai permintaan maaf, papa mau ajak kalian jalan-jalan ke kebun binatang," ucap Beni lembut pada mereka. Aku lega, karena Beni mau memahami dua putrinya."Beneran, Pa? Asik ...," tanya Andin masih ragu dengan ajakan papanya barusan."Andita nanti mau main kejar-kejaran sama binatang-binatang yang lucu banget di sana. Boleh kan, Pa?" rengek Andita terlihat jelas di mata polosnya.Aku bahagia melihat mereka bisa dekat dengan papanya sekarang. Tangan kokoh Beni perlahan memeluk kedua putri kami dengan hangat. Sedang aku mendekat sesaat setelah momen itu berlangsung."Mama ikut juga kan, Pa?" celetuk Andita berikutnya dengan memperlihatkan sederatan gigi yang berwarna putih sebagian karena sebagian lagi cokelat."Iya, dong, S
"Adinda! aku tunggu di kamar lima menit lagi."Sesampai rumah, aku menuntun Andin dan Andita masuk ke kamar. Heran. Kenapa tiba-tiba Beni menatapku begitu tajam, apa salahku? Iya, aku harus segera menyusulnya dari pada suamiku marah nantinya.Usai menutup pintu kamar si kembar, Lantas aku segera bergegas ke arah kamar kami. Benar saja, terlihat olehku Beni tengah meanarik napas dalam seperti sedang menahan amarahnya yang tak ingin keluar tanpa diinginkan."Sayang, kamu kenapa terlihat gelisah begitu?" tanyaku mencoba mencari tahu mungkin ia akan cerita padaku--istrinya."Apa? kamu masih nanya kenapa aku gelisah? Jelas-jelas kamu penyebabnya, Dinda." Aku kaget ketika mendengar ini dari mulut suamiku sendiri."Emangnya aku buat salah apa sama kamu, Sayang? Tolong kasih tahu, sungguh aku benar-benar nggak mengerti apa maksud kamu," tanyaku sembari maju selangkah me
Setiap kali melihat senyum polos putri-putriku, seketika diri ini hancur bahkan berkeping-keping jadinya. Suara isak tangis mereka masih dapat kurasa, dalam dekapanku mereka menumpahkan air matanya. Oleh karena sikap Papanya terkadang buat mereka tidak mengerti bahkan aku sendiri tidak mampu memahaminya.Baru saja Beni menepis tangan-tangan mungil gadis kecil kami dengan sangat kasar seperti ia memperlakukan orang lain.Aku mencoba mamahami kondisi yang terjadi akan tetapi lagi-lagi aku tidak bisa melihat putriku berdiri dalam keadaan ketakutan seperti ini.Dan aku sangat tahu kalau Beni--suamiku menginginkan aku melayaninya malam ini tanpa gangguan si kembar. Semua ini bukan salah mereka karena wajar untuk usia sekecil mereka ada ketakutan mimpi buruk di waktu malam.Sungguh suara ketakutan sekaligus napas mereka yang terengah-engah berlari ke kamarku."Mama! Ma ...
Kenyamanan dalam balutan selimut membuatku tak ingin beranjak dari dari tidurku. Kedua bola mata terasa berat untuk kubuka tersebab oleh cahaya mentari pagi yang menyilaukan menerobos melalui celah jerjak jendela kamar. Aku nyaris terkejut saat kudapati seorang lelaki yang berdiri di depan ranjang sedang memegang roti panggang di tangan kanannya dan segelas susu hangat di tangan kirinya."Pagi, Sayang. Hmm ... pasti kamu nyenyak banget tidur gara-gara semalam kan? Nih, sarapan dulu," Beni begitu perhatian pagi ini. Ia sampai membawa sarapan ke kamar hanya untukku."Iya, Sayang. Sebentar, ya, aku mau ke kamar mandi dulu," jawabku dengan tersenyum kecil lalu melangkah masuk ke kamar mandi.Beberapa detik kemudian aku keluar dengan tubuh yang segar sehabis mandi tadi. Terlihat Beni masih duduk di sisi ranjang sembari tersenyum padaku."Sayang, kamu hari ini libur ngantor kan?""Iya, Say
Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhe
Adengan demi adegan kelam masa lalu Beni terpampang begitu nyata dalam penglihatan batin ku. Yang palin mengejutkan ketika kebejatannya terungkap olehku ketika adegan pemerkosaan terhadap gadis cantik yang tidak lain adalah Maya. Iya, gadis yang selama ini gentayangan di rumahku dan selama ini terus menggangguku. Ternyata kata Nenek Idah benar adanya, bahwa kehadiran mereka bukan untuk mengusik kehidupanku akan tetapi ada urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan mungkin ada hubungannya denganku. Kebenaran yang dulu tersembunyi kini telah muncul ke permukaan. Bahkan kelakuan menjijikan Beni terhadap gadis mata sendu yang bernasib malang."Dinda, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nenek mohon jangan sampai membuatmu menyesal nanti. Tolong kamu pikirkan baik-baik, Nak." Nenek Idah mencoba memperingatkanku akan konsekuensi yang akan terjadi pada kehidupanku."Tapi, Nek, Dinda sama sekali nggak pernah menyangka kalau Beni tega berbuat kejam pada
“Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?” Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping. Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti. Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku. Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah. “Bunuh!” Entah apa maksudnya kata-kata itu. Ak
"Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai."Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang. Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, a
“Adinda, Sayang!” Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat. “Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius. “Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu. “Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya. “Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begin
Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit
Beberapa hari ini selama kondisi fisikku kurang stabil suamiku selalu menjaga kami dengan baik. Hampir setiap waktu makan Beni yang memasaknya. Dengan sepenuh hati ia melakukannya dan itu terkadang membuatku merasa bersalah biarpun Beni harus bertanggung jawab menghidupi keluarga ini.Bahkan seperti hari ini ia menjelma menjadi seorang suami idaman setiap istri. Bagaimana tidak, baru tadi sebelum ia berangkat ke kantor, Beni memberitahu bahwa ia akan berbelanja keperluan bulanan kita di pasar.Benar saja, saat ia pulang sumpah aku di kagetkan barang-barang dibelanjakannya. Lemari es penuh dan beberapa bahan mentah yang lain ia simpan di lemari gantung dan juga di atas meja.Selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua, Beni akhirya berangkat ke kantor dengan senyum bahagia dan semangat. Aku melihatnya ketika ia memapahku sampai ke depan pintu dan mengecup kedua putri kembar kami.Beni ke kantor, rumah pun menjadi senyap seketika. Sedangkan
Hati kecilku masih tak percaya menyaksikan dua gadis manis sedang terlelap dalam pelukan sang Papa. Sungguh anugerah terindah yang pernah ada. Sesaat aku maju di langkah dan duduk di sisi ranjang khusus menikmati pemandangan membahagiakan yang mungkin telah langka sejak mereka beranjak tumbuh dewasa.“Sayang? Udah pulang?” Tiba-tiba Beni menyadari kehadiran aku yang tanpa mengetuk pintu dulu hingga langsung memasukinya.“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu udah jagain putri kita sampai mereka tertidur begitu. Liat! Matanya mirip banget sama kamu, kan, Sayang?” Aku tersenyum kecil pada Beni sembari mengusap rambut si kembar.“Sama-sama, Sayang. Oh, iya, gimana tadi dapat mobil angkutannya?” tanya Beni serius kelihatannya.“Iya, tadi kebetulan waktu kami sampai di sana, langsung ada bis dan Nadia nggak perlu nunggu lama.“Sayang, yuk kita angkat si kembar ke kamarnya!&rdq
“Mbak, Mbak Adinda! Tadi mau nanya apa? Kok, bengong gitu?”“I- Iya, Nad. Mbak, nggak apa-apa, kok.” Aku menjawab pertanyaan Nadia sepertinya karena aku barusan gagal fokus. Aku malah memikirkan sosok di belakang sepupuku tadi.“Syukurlah, kalo mbak, gak, apa-apa. Soalnya lama lho tadi mbak duduk kayak matanya melihat sesuatu di belakang aku.” Nadia melanjutkan tanyanya karena masih terlalu penasaran dengan apa yang kualami barusan.“Oh, iya, NAD. Sepertinya itu suara mobil Mas Beni pulang. Kamu masuk saja ke kamar tamu di sebelah ruangan ini, ya, soalnya Mbak mau liat suami Mbak dulu.” Aku beranjak sembari menatap Nadia dan menunjukkan kamar untuknya menaruh barang-barangnya.Terlihat Beni sangat kelelahan dengan jas yang ditaruh di sikunya dan ia memegang erat sebuah dokumen sepertinya. Beni tersenyum kecil melihat aku yang berdiri di depan pintu untuk menyambut dirinya.