"Semangat... semangat... semangat!" Semua orang bersorak, menyemangati sepuluh peserta pertama yang sedang berlomba.
Dona tampak bersemangat, dia terus menyuap lebih banyak mie ke dalam mulutnya.
Fairel bahkan speechless melihat hal itu. Dona yang tidak suka kue ketika di ruang panitia, tampak lebih berbeda jika sudah berhadapan dengan mie pedas.
Fairel bahkan dibuat ngiler ketika terus memperhatikan Dona yang sedang makan. Perutnya berbunyi nyaring, membuat Gero tertawa terbahak-bahak. Sialnya, kenapa Gero mendengar suara perutnya? Apakah sekencang itu?
"Ikutan lomba gih Rel. Perlombaannya masih terbuka buat lo seorang." Gero masih tertawa terbahak-bahak. Hidungnya kembang kempis menahan lelucon.
"Gue nggak suka pedes."
Gero menoyor kepala Fairel,
"Gaya lo, Rel. Kalau cowok nggak suka pedes. Nggak jantan.""Emangnya ayam?" ledek Fairel tepat menghunus hari Gero.
"Sialan lo," umpat Gero kesal setengah mati.
G
"Nih, nasi buat kalian berdua. Jangan lupa dimakan." Gero memberikan dua kotak makanan ke Fairel. Masih ada satu dus lagi kotak makanan yang belum empat dibagikan. Gero langsung berpamitan untuk membagikan kotak nasi ini ke karpet sebelah. Fairel menyodorkan satu kotak ke Dona. Ini adalah makanan terakhir untuk kami sebelum memulai acara band. Perlombaan mukbang sudah selesai. Khusus untuk perlombaan tersebut, pemenang akan diumumkan nanti bersamaan dengan acara band. Panitia ingin memberikan kejutan khusus untuk perlombaan mukbang. Fairel membuka kotak makanan milik Dona. Nasi dan ayam bakar menyapa matanya untuk pertama kali. Fairel begitu menyukai ayam bakar, ia tidak tahan untuk segera memakannya. "Makan Na." Dona mengangguk, ia pergi untuk cuci tangan. Berbeda dengan Fairel, tangannya yang sudah bersih itu langsung menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Fairel tidak bisa menunggu lama lagi, karena sudah dua jam pria itu menahan ras
"Banyak yang nanya, kenapa sih sertifikatnya nggak langsung dikasih aja? Kita ikutan lomba karena itu tahu. Oke...." Gero menarik nafas begitu dalam, ia mencoba untuk berpikir jernih agar semua alumni tidak marah-marah lagi soal sertifikat. "Baik, begini anak-anakku tercinta. Sertifikat yang kami maksud adalah e-sertifikat. Lalu, apa bedanya sih Kak Gero? E-sertifikat itu tidak dicetak sayang. Kami hanya memberikan file-nya saja. Silakan, kalian mencetak e-sertifikat itu masing-masing di fotokopian terdekat." Semuanya bersorak kesal, Gero kembali melerai,"Kalau sertifikat cetak kalian kebasahan, jika ada e-sertifikat, kalian tinggal cetak lagi saja. Itulah keunggulan dari e-sertifikat." Apa boleh buat? Semuanya hanya bisa menerima keputusan panitia. Lagian, mereka hanya menyumbang paling banyak sepuluh ribu untuk acara reuni ini. Jadi, setelah mereka paham penjelasan Gero, mereka tidak menuntut banyak lagi. "Oke. Sekarang akhirnya, waktu yang mene
"Kamu mau tidur di sini Mas?"Suara itu mengalun syahdu di kamar Gow yang penuh dengan kilauan harta.Pria itu tertawa terbahak-bahak ketika rencananya ternyata berhasil dengan mulus."Iya. Aku sudah bosan bermalam dengan Aliya."Jackpot sekali. Gow bisa menggunakan rekaman ini sebagai bukti perselingkuhan Dion kepada Aliya.Selain mendapatkan anaknya, Gow bisa menghancurkan keluarga itu. Dari awal, Gow sudah berniat jahat. Ia hanya memanfaatkan Dion dan perselingkuhannya itu.Dion yang buta akan kenyataan, terus terbuai dengan cinta yang palsu.Gow berhasil menyembunyikan penyedap suara itu di seluruh rumah Cesla. Setiap gerak-gerik yang dilakukan dua sejoli itu akan selalu terekam dan terdengar oleh Gow.Kepulan asap itu kian membumbung, tawa menggelegar terus dihiasi dengan bau rokok. Gow baru merasakan kehidupannya yang kelewat sempurna ini."Selangkah lagi, tinggal kita porak-porandakan keluarga itu." Dengan senyum
"BUNDAAA...."Samar-samar, suara yang begitu familiar di telinga Aliya seperti terbawa oleh angin.Berkali-kali, Aliya melihat sekitar ruangan, tetapi tidak ada seseorang yang memiliki suara itu.Apa Aliya halusinasi? Mungkin saja, karena semalaman hati Aliya kacau. Ia perlu menata kembali hatinya yang rapuh, agar bisa kembali bertahan hidup dengan kedamaian."BUNDAAA...." Suara nyaring itu begitu menekankan telinganya, Aliya sampai terperanjat kaget karena sedang melamun tadi.Aliya berdiri, ia kembali melarikan pandangannya ke seluruh penjuru. Hanya saja, kali ini Aliya bisa melihat sosok yang meneriakinya.Senyum cantik terbit dari bibir Aliya. Anak cantiknya itu sudah pulang dari reuni. Berdiri di ambang pintu rumah sembari memegang buket bunga mawar berwarna merah muda.Baru saja Aliya ingin menghampiri Dona, tubuhnya itu sudah terdorong lebih dekat ke arah Aliya, berbeda dengan Wima yang cekikikan.Kakaknya itu selalu pun
"Lo mau ke mana?" teriak Wima dari atas tangga.Baru saja mandi dan ganti pakaian, setelah turun dari kamar, ia menemukan Dona yang tengah berlari kencang menuju pintu rumah dengan pakaian yang tadi.Dona menjawab asal sambil terus berlari, suaranya makin terdengar rendah,"Mau ke sini dulu. Nanti pulang jam enam."Dona tidak menyadari kalau Dion sudah pulang. Ayahnya itu terus menatap punggung anaknya yang menjauh dari atas balkon. Helaan nafas berat keluar dari hidungnya, Dion menyesal kopi hangatnya yang baru saja Aliya sajikan."Dona mau ke mana? Dia pamit sama kamu?"Aliya bengong, ia menelengkan kepalanya ke kiri seraya mengingat-ingat,"Dia nggak ke mana-mana.""Huh." Dion membuang nafas kasar, ia meraup wajahnya yang kusut."Barusan dia pergi. Makin lama, Dona makin nggak bisa diomongin yah. Urus Dona yang bener, dia udah punya tunangan sekarang."Aliya merapatkan kesepuluh jari tangannya,"Mas, kamu juga h
"DONA? Terus gue harus gimana? Gue sembunyi di mana ini Rel?" Meta gelagapan, ia menghentakkan kedua kakinya ke lantai karena kesal tidak bisa menemukan solusinya. Jika Meta ketahuan berada di kamar Fairel, hanya akan memperumit masalah. Bisa saja Dona akan memusuhinya dan Fairel. Seperti ini. "Jadi, kalian diam-diam bermain di belakang gue?" Dona menghela kasar, dipandanginya satu persatu diantara mereka berdua. Ekspresi mereka sangatlah lucu. Walaupun sudah ketahuan selingkuh, mereka seperti tidak merasa bersalah sama sekali. Seolah, dari dulu mereka memang ingin memberitahukan hubungan sialnya itu ke semua orang. Di sini, seolah Dona yang terlalu mengemis. "Bukan kayak gitu. Gue cuman main. Lo harus tahu, kalau kita itu temen dari kecil." Dona tertawa terbahak-bahak, ia terus menghunus bola mata Fairel dan Meta secara bergantian. Sekuat tenaga, Dona harus terlihat kuat. Ia tidak boleh menangis. "Jadi, apakah setelah
Pipi Dona memerah ketika dirinya dibawa masuk ke dalam kamar Fairel. Ini bukan pertama kalinya Dona masuk ke dalam Fairel, hanya saja ia baru menyadari kalau kamar tersebut begitu wangi jeruk. Mungkin karena keadaannya yang berbeda. Waktu itu, Fairel dalam keadaan terluka parah. Jadi, Dona tidak bisa menyadari kamar indah ini, karena pikirannya kalut karena penuh darah. Fairel menggiring Dona ke tepi ranjang, pria itu menyuruh Dona untuk duduk di kasur empuknya. Fairel menghela lega karena setelah pulang dari reuni, pria itu langsung mengganti seprai. Jadi, Dona tidak akan ilfeel hanya karena seprai yang kotor dan penuh bercak air liur. "Gue baru tahu, lo suka wangi jeruk." Dona terus mengendus, menghirup lebih dalam aroma jeruk yang begitu menenangkan hatinya. Wangi jeruk yang selalu Dona idamkan, karena buah favoritnya adalah jeruk. "Iya. Soalnya wanginya segar aja." Dona menjentikkan jarinya heboh, ia terus menggoyan
"Oh iya, kalian udah pada makan belum? Gimana kalau kita makan dulu. Ya enggak Rel?" Setelah berkumpul dan mengobrol bersama-sama. Menceritakan kisah lucu, sedih, dan romantis secara bersamaan, Yuni berpikiran untuk menjamu pacar Fairel. Jari sudah semakin sore, Meta bahkan belum makan dari pagi. Anaknya itu selalu makan camilan setiap harinya. "Yaudah yuk, makan. Gue juga udah laper nih." Meta segera berdiri dan berjalan menuju dapur. Meja makan mereka tempatkan di dapur. Karena menurut Yuni, ini tidak terlalu merepotkan, apalagi ketika semua masakan tersedia di sana. "Udah, jangan malu-malu yuk. Fairel malu-maluin dia mah." Dona terkekeh, ia ikut berdiri dan berjalan beriringan di samping Yuni menuju dapur. Menurut Dona, ibunya Meta begitu baik dan ramah kepadanya. Dona diperlakukan seperti anak atau sanak saudaranya, yang akan dijamu dan mengobrol apapun tanpa kenal lelah atau rasa malu. Setelah duduk melingkar mengi
Saya mau berterimakasih kepada kalian semua, yang dengan setia membaca novel aku sampai selesai. Banyak kekurangan dari matchmaking ini, dan dari itu, saya meminta kritik dan sarannya yang bisa membangun diri saya untuk menjadi penulis yang lebih hebat lagi. Di novel ini, saya menyadari banyak sekali typo. Saya akan memperbaikinya. Apa kabar kalian? Saya @kkiiyys. Bisa kalian panggil kiy, salam kenal untuk kalian semua. Kalian, berasal dari kota mana saja? Saya juga berharap, kalian mau memberikan vote, komentar yang membangun, serta memberi novel saya rating sesuai dengan isi novelnya. Saya ingin tahu, apa kalian menyukai novel saya? Atau kalian tidak menyukainya? Apa komentar terakhir kalian buat pasangan nggak jelas ini, yaitu • Dona sama Fairel? Apa pesan kalian, untuk pasangan • Meta sama Loey? Untuk • Alfina dan Gero? Untuk • Fera dan Bara? Untuk • Seyi dan Wima? Untuk saya, mungkin?
Fairel tidak langsung pulang ke rumah. Setelah pekerjaannya selesai, pria itu bergegas mencari keberadaan Dona. Bahkan, Gero sendiri sampai ia turunkan di jalan. "Jadi, gue turun di sini gitu?" Gero kesal setengah mati ketika mobil Fairel menepi, dan jaraknya menuju rumah masih jauh. "Gue minta maaf. Tapi gue harus nyari Dona." "Gue paham. Gue paham banget masalah lo, gimana kalau gue bantu cari aja. Kita sama-sama cari dari satu komplek ke komplek lain." Itu ide bagus. Hanya saja Fairel ingin sendiri. Gero kembali merayu,"Gue janji deh, gue nggak bakal nyusahin lo. Boleh yah, gue ikut?" Fairel menganggukan kepala dengan terpaksa. Ia kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. "Tunggu, tunggu. Keluarga Dona ada siapa aja sih?" Gero baru mengingat hal itu. Fairel bersikap seolah Dona tinggal seorang diri. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. "Gue udah ngehubungi kakaknya Dona sama bunda, tapi nggak aktif nomornya.
Semuanya sudah jelas dan terungkap. Walau terdengar sedikit mengejutkan, tetapi itulah kenyataannya. Fairel hendak berkunjung ke rumah Dona, akan tetapi ayahnya melarang hal itu. Beliau mengatakan sudah malam, dan lebih baik dibicarakan esok saja. Fairel menurut, karena perkataan ayahnya itu memang benar. Di sinilah mereka berada, Meta, Nea dan dirinya sedang berkumpul di kamar Fairel. "Kok lo bisa muncul tiba-tiba?" tanya Fairel langsung ke intinya. Fairel atau Nea, mereka sama-sama tidak punya janji untuk bertemu dengan Meta. Tetapi, dengan mengejutkannya, gadis itu menghampiri keluarga Fairel dan mengatakan kebenaran yang paling penting. "Soalnya tadi, gue habis teleponan sama Dona. Dia nutup telepon gue sepihak, setelah nanyain hadiah apa yang lo dapetin pas perlombaan waktu itu." Deg! Jantung Fairel seakan ada yang menusuk dan membuatnya berhenti. Ia melupakan satu hal itu, Fairel pikir, ia akan memberitahu Dona tepat dua
"Baru ke sini lagi? Ke mana aja nih?" Kedua sejoli itu saling bertukar pandang. Mereka bersama-sama menanyakan jawaban yang kompak untuk pertanyaan Bi Oni. Senyuman terukir manis di bibir keduanya, mereka kompak menjawab,"Baru balikan, Bi." "Wuah ...." Bi Oni bahkan sampai bertepuk tangan, hingga sarung tangannya yang penuh terigu itu berterbangan mengotori rambut Dona. Dona terkikik geli, dengan sigap Fairel membersihkan rambut Dona dengan tanganya. Penuh ketelatenan. Setelah membayar semua jajanan yang mereka beli, keduanya pamit. Mereka berjalan berdua mencari kenangan romantis yang bisa diukir. Mereka juga memilih membolos pada mata kuliah ketiga. Fairel meninggalkan mobilnya di kampus, mereka berencana akan kembali lagi ke kampus setelah mencari penat. Dona asyik menyuapkan sosis bakar bumbu rujak sebagai menu terbaru di kedai Bi Oni. Berbeda dengan Fairel, tangannya masih sibuk membersihkan rambut Dona dari tepung.
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se