"Ya begitulah istrimu, Lukas. Boros, sukanya jajan makanan cepat saji," tukas Mbak Rita ketus, padahal sekalipun aku tidak pernah memesan apapun meski semua lauk selalu hilang di siang hari, bahkan ketika Huda merengek.
"Benar begitu, Dek?" tanya Mas Lukas yang terlihat mulai teracuni oleh perkataan Mbak Rita.
"Diana, seharusnya kamu itu jangan boros-boros. Kasihan suamimu. Lagipula Ibu sudah masak banyak, tapi kamu justru pesan makanan dari luar. Mending uangnya di tabung," sahur Ibu terdengar sangat bijaksana.
Padahal ketika Mas Lukas tidak ada, aku dan Huda tak pernah mendapatkan makanan seperti yang beliau katakan pada Mas Lukas. Seolah aku adalah istri yang tidak pandai bersyukur dan selalu melakukan pemborosan dengan membeli makanan dari luar.
"Betul itu, Dek. Seharusnya ...."
"Mas, bahkan setiap hari aku dan Huda tak pernah makanan masaka ...."
"Sudah, jangan ribut di atas meja makan. Pamali. Makan apa yang ada!" potong Ibu seperti mengalihkan pembicaraan.
Huda masih menangis, membuat suasana semakin kacau. Dengan sigap aku lantas menggendong Huda dan membawa piringnya. Aku berharap, pesananku akan segera datang dan Huda bisa makan ayam goreng.
..
Pucuk di cinta ulampun tiba, ketika aku tengah menghibur Huda tiba-tiba pesananku sudah sampai di depan rumah. Dengan gembira aku menyambutnya, lalu menyuruh anak lelakiku itu untuk segera makan. Rasanya senang, melihatnya bisa makan selahap itu.
Huda adalah tipe anak yang jarang sekali rewel, tapi entah kenapa seharian ini dia seperti merasakan apa yang aku rasakan. Jika perasaanku sedikit kacau, maka Huda akan lebih kacau dariku. Namun mau bagaimana lagi, perasaanku tak bisa kuatur begitu saja.
"Dek, kamu marah?"
Suara Mas Lukas mengagetkanku. Aku hanya meliriknya, lalu kembali fokus menyuapi Huda. Anak kecilku itu memegang satu paham ayam di tangan kanannya, sedang aku menyuapi nasi dari piring yang kupegang.
"Kenapa harus marah? Bukankah biasanya memang seperti itu?"
"Em ... Maaf jika situasi tadi membuatmu tidak nyaman. Tapi, Dek. Seharusnya kamu jangan begitu lagi, ya. Aku tidak ingin ibuku tersinggung."
Selalu saja begitu yang ia katakan. Bahkan aku hampir hafal dengan kata-kata yang selalu ia lontarkan.
"Ini ada uang dua ratus ribu, kamu simpan, ya. Jangan boros-boros," ucap suamiku lagi dengan menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.
Mas Lukas bekerja sebagai buruh bangunan, dalam seminggu ia akan digaji sebesar satu juta rupiah oleh bosnya. Dan setiap gajian aku selalu diberi dua ratus ribu, dua ratus ribu dia gunakan untuk biaya transportasi, sedangkan sisanya selalu masuk kepada Ibu.
Terdengar tak adil, tapi begitulah. Katanya uang itu untuk kebutuhan sehari-hari. Aku sama sekali tidak diberi wewenang untuk mengelola keuangan kami. Bahkan tak jarang, uang dua ratus ribuku juga diambil oleh Ibu ketika Mas Lukas bekerja.
Uang yang ia sodorkan hanya kuterima, lalu melanjutkan menyuapi Huda. Besok hari minggu, biasanya Mas Lukas libur dan aku ingin mengajaknya untuk berkunjung ke rumah orangtuaku. Sudah sebulan ini aku tak berkunjung ke sana, rasanya ada rindu yang sangat dalam untuk mereka.
..
"Pulangnya jangan malam-malam. Nanti siang ada arisan teman-temanku di sini," kata Mbak Rita ketika aku hendak naik ke atas motor matic suamiku.
"Memangnya ada apa, Mbak?" tanyaku dengan polosnya.
"Ya bersih-bersih lah. Masa ya harus aku yang bersih-bersih? Ogah banget!" jawabnya ketus, lalu berlalu ke dalam rumah lagi.
Di rumah ini, hanya memasaklah pekerjaan yang tak kukerjakan. Semua pekerjaan hampir seluruhnya kukerjakan. Mulai bersih-bersih rumah, halaman, mengepel lantai, mencuci, menyetrika, bahkan kadang aku juga harus membersihkan rumput liar di kebun belakang. Tak ada yang membantuku, selain Mas Lukas ketika sedang libur kerja. Mertua dan kakak iparku berkata, jika itu memang harus kulakukan sebagai ganti biaya selama tinggal di rumah ini.
"Ayo, Dek. Masalah itu kita pikir nanti. Keburu siang, kasihan Huda," ujar suamiku, membuat lamunanku buyar seketika.
Dengan sigap aku lantas naik ke atas motor dan Mas Lukas pun segera memutar gasnya. Motor matic berwarna biru yang dibeli Mas Lukas menggunakan uang pesangonku ketika keluar kerja itu sudah kami miliki selama hampir lima tahun juga, sama dengan usia pernikahan kami.
Selama lima tahun ini aku merasa jika keluarga suamiku seperti tak menghargaiku. Mereka selalu merendahkanku, dan juga membeda-bedakanku.
Sebenarnya jika hanya aku, aku tak masalah. Namun mereka pun ternyata juga membedakan Huda, padahal dia adalah darah daging mereka sendiri.
Ditengah perjalanan, aku teringat oleh perkataan Ayah ketika kami tersambung di telepon tempo hari. Kata-katanya terdengar sangat serius, bahkan beliau juga menyuruhku untuk pulang secepatnya.
"Diana, Ayah baru saja mendapatkan rejeki yang terbilang tak sedikit. Pulanglah, sepertinya Ayah tidak bisa jika menyimpannya sendiri. Ayah dan ibumu ingin, semua ini kamu yang pegang. Terserah mau kamu apakan. Mau buat modal usaha, atau simpanan. Pulanglah, Ayah tidak tenang memegang uang sebanyak ini."
Sampai telepon tertutup, aku sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Ayah. Uang apa? Dan dari mana? Begitu juga dengan jumlahnya. Ayah tak mau terus terang padaku. Katanya, beliau akan jelaskan ketika aku sampai di rumah.
"Dek, kalau sampai di rumah orangtuamu jangan katakan soal Ibu dan Mbak Rita, ya. Aku tidak ingin mereka jelek dimata kedua orangtuamu," tutur Mas Lukas ketika aku sedang memikirkan soal perkataan Ayah disambungan telepon tempo hari.
"Iya," jawabku singkat.
"Terlebih masalah makanan semalam. Aku tidak enak, nanti dikira ibuku pelit dan tidak mau membagi makanannya denganmu."
Bukankah memang seperti itu? Tapi kamu selalu tak percaya dengan semua cerita yang kukatakan padamu.
"Mas, kalau siang ketika kamu kerja, Ibu itu tidak pernah membagi makanannya denganku. Katanya Ibu tidak masak, ataupun kalau masak pasti cuma sayur sisa. Semua masakan yang beliau buat selalu dihidangkan ketika kamu pulang. Semua cerita yang dikatakan kalau aku sudah makan lauk sejak pagi, itu bohong.""Ah, mana mungkin seperti itu, Dek. Ibu orangnya nggak kaya gitu kok."Bibirku serasa bosan berkata seperti itu pada Mas Lukas. Di dua tahun pernikahan kami, aku sudah sangat sering berkata seperti itu tapi Mas Lukas sama sekali tidak percaya padaku.Kenapa aku bisa bertahan sampai lima tahun? Anakku, Huda, butuh ayahnya. Aku tak mungkin egois dengan meminta cerai atau berpisah dengan Mas Lukas hanya karena masalah ini. Lagipula, aku malu dengan orangtuaku jika sampai bercerai. Ayah dan ibuku sudah sangat percaya padaku jika aku bisa memilih lelaki yang bisa membahagiakanku. Serasa lucu jika tiba-tiba aku pulang dan bercerai.Sebenarnya aku juga sedih dengan perlakuan mertuaku itu. Ter
"Diana, bisakah kita bicara?" ucap Ayah ketika aku tengah duduk di sofa dengan Mas Lukas.Ayah pasti akan membicarakan soal uang yang beliau ceritakan di telepon. Dan oleh sebab itu aku tak ingin Mas Lukas tahu perihal itu. Bukan karena apa, aku hanya tak ingin keluarganya pun tahu soal ini karena biasanya jika Mas Lukas tahu, maka semua keluarganya juga tahu."Em, kita bicara di kamar Diana saja ya, Yah. Mas Lukas, sebentar ya aku mau bicara sebentar sama Ayah."Kugandeng ayahku masuk ke dalam kamar yang dulu kutempati, lalu mengunci pintunya dari dalam. Mas Lukas selalu tak percaya padaku, dan sekarang aku tidak ingin jika dia tahu soal ini. "Kenapa? Kok Lukas nggak di ajak?" tanya Ayah sedikit curiga, karena selama ini aku tak pernah menceritakan apapun padanya.Wajar saja, sebagai anak aku tidak ingin membuat orangtuaku khawatir dan sedih karena kisah hidup anaknya setelah menikah. Bagaimanapun caranya aku selalu ingin kedua orangtuaku tahu jika aku sangat bahagia setelah menikah
Rencananya aku akan membuat usaha makanan. Di rumah Mas Lukas aku selalu dibatasi soal makanan, dan oleh karena itu aku ingin membuat usaha yang berhubungan dengan makanan. Entah karena apa, ibu mertuaku selalu menyembunyikan makanannya dariku. Padahal, hampir semua kebutuhan rumah suamiku lah yang memberikannya.Meskipun hanya bekerja sebagai buruh bangunan, tapi Mas Lukas tak pernah lari dari tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga. Terlebih ibu mertuaku adalah seorang janda. Mas Lukas pernah bicara kepadaku bahwa ia akan membahagiakan ibunya sekuat yang ia mampu.Sebenarnya prinsipnya bagus. Aku sangat mendukungnya. Hanya saja ternyata ibu mertuaku tak bisa sejalan denganku. Beliau justru bersikap tak adil kepadaku.Puncak dari sikapnya yang seperti itu adalah setelah dua tahun pernikahanku dan Mas Lukas berjalan. Awalnya semua masih terlihat wajar, memang tak ada lauk jika siang hari tapi aku tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Namun ketika dua tahun pernikahanku dengan Mas Luk
"Mas, kenapa tidak minta sama Mbak Rita juga? Suaminya kan kerja di luar negeri? Pasti tabungannya banyak, sedangkan aku? Dapat dari mana?""Lha itu dari orangtuamu, Dek.""Ini pinjaman buat modal usaha, bukan buat yang lain. Lagipula ini nanti dikembalikan. Kalau uangnya buat benerin dapur, aku balikinnya gimana?" tuturku sedikit geram dengan Mas Lukas karena ternyata dia menuruti perkataan ibunya untuk meminta uang itu dariku."Tapi Dek ....""Mas udah coba bilang ke Mbak Rita? Kalian sama-sama anak Ibu, kenapa harus kita yang terus-menerus seperti ini? Justru seharusnya Mbak Rita yang lebih dominan di rumah ini. Suaminya kerja di luar negeri, gajinya besar. Sedangkan suamiku? Hanya buruh bangunan," ucapku karena sudah merasa sangat jengkel dengan sikap ibu serta kakak iparku."Dek!""Kenapa? Memang benar, kan? Gajimu cuma berapa? Dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan orang serumah, sedangkan Mbak Rita sama sekali tak pernah gantian memikirkan hal itu. Jujur saja aku sebagai istrimu
"Enak saja! Suamiku kerja keluar negeri itu buat aku sama Bara," tandas Mbak Rita ketika aku menyinggung lagi soal suaminya."Berarti Ibu nggak penting dong buat Mbak Rita? Buktinya perhitungan." Kutatap iparku itu dengan senyum miring.Suasana semakin tak kondusif, tapi aku suka dengan situasi ini karena memang inilah yang kutunggu-tunggu selama ini. Selama lima tahun ini, aku tak pernah berani melawan karena takut dengan sikap dingin suamiku jika aku membangkang, tapi sekarang tidak lagi.Kenapa aku harus takut jika dia saja tak pernah memberiku kesempatan untuk mengutarakan apa yang kurasakan? Bahkan dia juga tak pernah mengindahkan apa yang kuceritakan kepadanya. Baginya, semua sikap Ibu dan Mbak Rita selalu dianggap benar olehnya."Diana!" bisik Mas Lukas membuatku lantas meliriknya singkat."Kita kan sama-sama tinggal di rumah ini, kenapa harus ada perbedaan, Mas? Bukankah kita harus sama rata untuk membahagiakan Ibu?" Kutatap ibu mertuaku itu, tapi ia lantas memalingkan wajah.
"Tidak, Mas. Maaf aku tidak bisa. Aku sudah berjanji pada kedua orangtuaku untuk membuka usaha dengan uang itu. Kalau sampai mereka tahu aku tak jadi membuka usaha, bagaimana perasaan mereka?" terangku dengan wajah sedih.Memang benar, jika aku tak jadi membuka usaha lalu bagaimana dengan mereka? Meskipun aku sudah berbohong pada suamiku perihal uang itu, tapi mengenai membuka usaha aku tidak bohong, kan?"Tapi Ibu bisa sedih, Dek." Wajah Mas Lukas tak kalah sedih denganku, tapi sekali lagi aku tidak akan mengalah untuk kesekian kalinya."Orangtuaku juga tak akan kalah sedih Mas jika aku tak melakukan amanahnya. Lagipula bukankah kita sudah lebih sering membuat Ibu bahagia? Sedangkan orangtuaku? Baru sekali ini mereka ingin melihatku bahagia, itupun mereka mencarikanku pinjaman uang. Mereka sampai mencarikanku pinjaman uang loh, Mas. Masa iya aku ngecewain mereka?""Oh, jadi karena ibuku nggak pernah ngasih? Terus kita terus yang ngasih? Jadi sekarang kamu perhitungan?"Dahiku mengern
Ibu mertuaku itu pergi meninggalkanku ketika sudah selesai memarahiku perihal aku yang membangkang pada suami. Padahal bukan itu yang sedang kulakukan, aku tidak sepenuhnya membangkang, tapi aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu, yaitu sedikit tegas atas semua sifat Mas Lukas dan ibunya."Rasain!" bisik Mbak Rita tepat di telingaku sebelah kanan.Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya, karena sebelum ini pun Mbak Rita tak terlihat tapi tiba-tiba ada di dekatku. Berarti tak hanya Ibu yang menguning pembicaraanku dengan Mas Lukas, melainkan Mbak Rita juga."Kenapa? Justru seharusnya kamu kasih aku selamat Mbak karena sebentar lagi aku akan membuka usaha," jawabku masih santai."Elehh, usaha tanpa restu suami saja buat apa. Harusnya kamu itu nurut sama suamimu, tidak malah membangkang seperti ini!" tandasnya ketus, sama seperti perkataan ibunya.Aku tak gentar dengan kata-katanya, justru aku terkekeh kecil. "Masih mending mau usaha, daripada cuma menyusahkan sua
Taksi online menjadi pilihanku lagi sebagai kendaraan yang mengantarkanku ke rumah. Harapanku tak muluk-muluk, aku hanya berdoa semoga kehidupanku bisa lebih baik setelah ini. Dengan kujalankan usaha ini, semoga saja sikap acuh dan ketus mertua serta iparku bisa berubah. Serta, suamiku juga bisa lebih membuka dirinya mengenai apa yang kukeluhkan padanya.Aku tak langsung pulang kali ini, melainkan dengan sengaja aku membawa Huda ke tempat area bermain anak. Di sana Huda terlihat sangat senang, karena ini pun merupakan kali pertamanya dia merasakan hal itu.Biasanya Mas Lukas akan selalu memberikan seribu alasannya ketika aku menyinggungnya soal sesekali ingin membawa Huda ke tempat ini. Aku yang biasanya selalu mengalah hanya memilih membawa Huda ke pasar malam yang kadang ada di tempat kami.Sebelum berangkat pun tadi aku sudah mengirimkan pesan pada Mas Lukas jika aku hendak pergi keluar bersama Huda. Namun dia sama sekali tidak tahu jika aku sampai pergi ke tempat ini. Biarlah, nan
"Bu, bagaimana keadaanmu? Apa sudah mendingan?" tanya Mas Lukas lagi ketika Ibu belum menjawab perkataan sebelumnya."Aku sudah baik, seperti yang kamu lihat."Terdengar sedikit ketus, tapi bagiku itu bukan hal baru lagi karena Ibu memang selalu seperti itu kepadaku. Namun yang aneh bagiku adalah sikap yang Ibu tunjukkan pada Mbak Rita. Kenapa sekarang jadi begini? Bukankah selama ini Ibu terlihat sangat melindungi anak perempuannya itu."Syukurlah, kemarin Mbak Rita menemuiku kasih kabar kalau Ibu sakit. Memangnya kenapa, Bu? Apa masih ada hubungannya sama renovasi dapur? Bukankah Lukas sudah katakan kalau ....""Sudahlah, jangan sok perduli pada Ibu. Kamu urus saja hidupmu itu."Sejujurnya saja aku sedikit heran dengan sikap Ibu. Tak biasanya beliau seperti ini. Apa mungkin, Ibu bersikap seperti ini karena telah ditinggalkan oleh Mas Lukas?"Bu, bukannya begitu. Lagipula Lukas tak punya uang sebanyak itu, Ibu tahu sendiri kerjaan Lukas itu seperti apa," tandas Mas Lukas merendah, ta
Pada akhirnya aku ikut dengan Mas Lukas ke rumah Ibu, Huda kubawa serta karena memang tidak ada yang menjaga di rumah. Semenjak kepindahanku ke kontrakan pun aku belum sempat mengunjungi orangtuaku karena kesibukan di kedai sangat padat. Lagipula aku juga masih berbenah kontrakan dan aku takut jika kabar yang kubawa akan membuat mereka semakin kepikiran.Sepanjang perjalanan Mas Lukas hanya diam. Dia tak banyak bicara seperti biasanya. Mungkin dia sedang memikirkan ibunya yang kata Mbak Rita mogok makan karena perihal renovasi dapur.Sebelum berangkat, aku sudah sepakat dengan Huda jika dia tidak boleh berbuat macam-macam di rumah neneknya. Aku takut jika nanti Huda akan rewel selama di sana."Em, kita nggak mampir beli oleh-oleh dulu, Mas?" tanyaku basa-basi, tak lain hanya untuk membuka pembicaraan."Nggak usah. Kita langsung kesana aja, aku pengen lihat kondisi Ibu."Kuanggukkan kepalaku, lalu meliriknya lewat pantulan kaca spion. Mas Lukas tampak serius mengendarai motornya, sedan
"Bagaimana keadaannya, Pak? Maaf saya belum bisa berkunjung," ucapku lewat sambungan telepon dengan Pak Nias.Diseberang sana kudengar sangat ramai, entah beliau sedang ada dijalan atau memang usaha kami yang ramai. Harapanku usaha yang tengah kudirikan ini bisa berkembang dengan cepat, mengingat jika makanan adalah kebutuhan pokok bagi semua orang. Dan aku pun yakin jika masakan-masakannya pun juga enak."Wah, saya sampai kewalahan, Mbak. Dulu saat masih menjadi milik saya tidak sampai seperti ini. Nanti saya akan kirimkan hasil laba seminggu ini pada Anda, rasanya seminggu ini saja sudah bisa menutup modal awal yang Mbak keluarkan," tuturnya membuatku tertegun."Apa saya tidak salah dengar?""Tidak. Silahkan kesini jika Mbak Diana tidak percaya. Sepertinya kita juga harus mencari karyawan lagi karena pelanggan begitu banyak.""Alhamdulillah, berarti ini rejeki kita, Pak," ujarku dengan penuh rasa syukur."Ah, tidak. Ini sih karena rejeki Mbak Diana yang bagus, buktinya dulu waktu ma
Tepat dua hari, seperti yang Mas Lukas janjikan, dia benar-benar datang dan menjemputku serta Huda. Raut wajahnya sumeringah, tapi kulihat ada setitik kesedihan di dalamnya."Ibu sudah tahu soal ini?" tanyaku memecah keheningan.Kebetulan siang ini waktu menginapku sudah habis, mau tak mau aku juga harus segera keluar. Huda pun nampaknya juga tidak nyaman berada di tempat ini."Sudah," jawabnya singkat."Lalu?""Sudah, tidak usah bahas itu sekarang. Yang penting kamu ikut denganku dulu."Aku hanya mengangguk, lalu menuntun Huda dan mengikutinya. Entah Mas Lukas akan membawa kami kemana, aku menurut saja dengannya. Semoga kali ini dia tak lagi-lagi mengecewakanku.Mas Lukas menghentikan angkot, lalu membawaku melesat meninggalkan tempat penginapan. "Bu, kenapa tidak naik mobil bagus seperti kemarin lagi?" tutur Huda polos."Em ... Itu ....""Kita naik ini saja dulu, Sayang. Uang Ayah habis untuk membayar kontrakan," jawab Mas Lukas sebelum aku melontarkan kata-kata."Bu, besok kalau a
Pov Lukas"Mana mungkin Lukas kaya gitu, Bu? Dia kan lebih percaya sama omongan Ibu. Udah, Ibu bilang gitu aja nanti dia pasti percaya," tutur Mbak Rita terdengar aneh ketika aku baru selesai mandi.Mungkin mereka tidak tahu jika aku sudah di depan pintu dapur, karena aku memang belum lama masuk ke dalam rumah. Kacamataku tertinggal di kamar mandi, dan hal itulah yang membuatku kembali ke sana.Namun baru sampai di depan pintu dapur aku mendengar pembicaraan aneh antara Mbak Rita dan Ibu. Entah apa yang sedang mereka bicarakan tapi mereka menyebut namaku."Eheemm ...." Aku berdehem lalu masuk ke dapur dan berlalu ke kamar mandi guna mengambil kacamataku.Mata sebelah kananku sedikit bermasalah karena minus, kadang aku memang menggunakan kacamatanya untuk membantuku melihat agar lebih jelas. Namun tak setiap saat kugunakan, rasanya aku kurang begitu percaya diri jika menggunakannya setiap saat. Padahal Diana sudah menyuruhku untuk menggunakannya terus, katanya biar tidak tambah parah.
Tak menunggu waktu lama, pintu penginapanku diketuk oleh seseorang. Terdengar salam dari luar, dan aku yakin itu Mas Lukas. Dengan malas aku membukanya, karena bagaimanapun juga aku harus menghormatinya sebagai suamiku.Huda asik bermain di atas kasur, berbekal mainan yang ia bawa dari rumah neneknya ia terlihat sedang asik sendiri. Memang begitulah anakku, tak perlu barang baru dan mewah, jika dia suka pasti akan asik dengan dunianya sendiri. Semua itu karena sedari kecil aku sudah membiasakannya seperti itu, tak ada kemewahan di hidup kami."Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintunya.Wajah Mas Lukas terlihat frustasi, mungkin dia tak menyangka jika aku akan senekat ini. Biarkan saja, ini sudah menjadi keputusan final bagiku.Kupersilahkan ia masuk, lalu kututup kembali pintunya. Apapun yang akan terjadi nanti aku tidak akan ikut dengannya masuk ke dalam rumahnya lagi. Sesekali aku memang harus bersikap tegas seperti ini.Huda juga terlihat sangat senang ketika melihat ayahnya
Pada akhirnya aku memantabkan hati untuk keluar dari rumah Mas Lukas. Aku rasa lima tahun bukan waktu yang singkat, dan selama itu Mas Lukas tidak pernah mengerti hatiku. Jadi sekarang tidak ada gunanya lagi aku ada disampingnya.Jika dia masih perduli dan ingin bersamaku, seharusnya dia bisa memahamiku dan percaya padaku. Namun jika sudah begini, aku tak akan tahan lagi.Mungkin ibu mertua dan iparku tidak butuh denganku, dan lebih menginginkan Mas Lukas sendirian. Oleh karena itu mereka tak pernah memperlakukanku dengan baik.Tak apa, aku seharusnya sudah pergi dari dulu. Namun karena aku merasa butuh berbakti pada Mas Lukas, maka kutahan seluruh rasa di hatiku dan memilih bertahan. Namun sekarang, sudah tidak ada alasan lagi aku bertahan.Kumasukkan barang-barangku ke dalam taksi online yang sudah kupesan. Huda pun menuruti semua yang kukatakan. Syukurlah dia bukan anak yang susah di atur.Kepergianku kali ini pun sama sekali tak melibatkan Mas Lukas. Aku mematikan ponsel, lalu per
"Baik, baik. Beri aku waktu, dan jangan gegabah seperti ini," terang Mas Lukas seraya menarik tubuhku ke dalam pelukannya.Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Kudengar detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, serta nafasnya yang tak beraturan. Aku yakin saat ini emosi jiwanya sedang membara, sama sepertiku.Lima tahun bukan waktu yang singkat, seharusnya Mas Lukas sudah bisa mengerti sikap dan perangaiku. Namun, aku lihat sampai detik ini dia masih saja berpegang teguh pada kepercayaannya pada ibu dan Mbak Rita.Sebenarnya aku tak menyalahkannya yang selalu memprioritaskan ibunya. Walau bagaimanapun aku tahu jika seorang lelaki sampai kapanpun adalah milik ibunya. Hanya saja, aku rasa sikap Ibu pun tak sepenuhnya benar, terlebih sampai menguasai seluruh keuanganku dan Mas Lukas."Aku tidak gegabah, Mas. Semua sudah kupikirkan baik-baik dan dalam waktu yang tak singkat pula. Perjalanan rumahtangga kita sudah masuk diusia lima tahun, seharusnya kamu bisa sedikit saja paham d
"Apa katamu? Berani sekali mengataiku pelit!" bentak Mbak Rita semakin emosi.Kami saling bertatapan, kini aku sudah tak takut lagi dengannya. Orang seperti Mbak Rita memang sekali-kali harus dilawan. Jika Mas Lukas tidak bisa membelaku, maka aku akan cari pembelaan sendiri."Memang faktanya begitu. Setiap hari pamer gaji suami besar, tapi nyatanya masih merongrong pada adiknya!"Kedua bahunya naik turun, aku yakin jika dia tengah benar-benar marah dengan kata-kataku. Mas Lukas seharusnya lihat, seberapa keras saudara dan ibunya kepadaku. Namun dia seakan selalu tutuo mata mengenai hal itu, dia pikir aku hanya mengada-ada saja."Diam! Ada apa ini berisik sekali!" teriak Ibu dari dapur.Aku tak mengindahkan tatapan bengis Mbak Rita. Gegas aku mundur dan masuk ke dalam kamar. Bukan karena aku mengalah, hanya saja ini sudah hampir Maghrib dan aku sangat menghindari perdebatan disaat Maghrib. Pamali.Kuletakkan tas lusuhku di atas nakas, lalu duduk di tepi ranjang. Aku mengatur nafas dan