"Om, mana bolaku?" tanya Jendra, bocah berusia lima tahun itu menghentikan langkah kakinya di hadapan seorang pria yang memakai kemeja, celana hitam, dan bersepatu.
Dia terkejut ketika melihat sosok anak kecil yang datang menghampiri dan meminta bola yang berada di dekat kakinya."Anak itu? Kenapa wajahnya mirip denganku?" gumam Amar."Kamu mau bola ini?" tanya Amar yang kemudian mengambil bola berwarna merah itu.Jendra mengangukkan kepala dan kemudian berjalan mendekati Amar."Tangkap, ya!" ucap Amar yang kemudian melempar bola itu kepada Jendra."Yes, dapat!" teriak Jendra kegirangan.Melihat Jendra tertawa, mengingatkan Amar kepada seseorang.Tidak berselang lama, ada seorang wanita cantik berkulit putih dan berambut panjang berlarian dengan wajah panik melihat ke berbagai sudut pusat perbelanjaan."Jendra? Kamu di mana?" teriak wanita itu.Jendra melihat ke arah sumber suara tanpa menjawab. Sementara Amar masih memperhatikan wajah bocah itu."Jendra? Akhirnya mama menemukanmu!" ucap Ameli, nama wanita itu.Amar kembali dikejutkan dengan sosok wanita yang tiba-tiba datang dan menyebutkan dirinya mama."Ameli?" panggil Amar dengan suara bergetar.Ameli menaikkan pandangannya. Tidak hanya Amar, mata Ameli juga terbelalak ketika melihat sosok pria yang memanggil dirinya."Amar?" ucap Ameli.Ameli bergegas menarik lengan Jendra dan mengajaknya pergi menjauhi Amar."Ameli? Tunggu!" teriak Amar.Ameli tidak memperdulikan pria itu yang terus menerus memanggilnya. Dia semakin mempercepat larinya. Karena pusat perbelanjaan waktu itu sangat ramai membuat Amar kehilangan jejak."Kemana perginya dia?" gerutu Amar dengan nafas terengah-engah dan menundukkan posisi tubuhnya menjadi empat puluh lima derajat.Sementara Ameli terus berlari dan segera membawa Jendra masuk ke dalam mobil."Kenapa Mama mengajak Jendra berlari? Memang siapa orang itu, Ma?" tanya Jendra dengan wajah polosnya.Ameli masih terdiam dengan nafas terengah-engah. Dia masih tidak percaya dengan keberadaan Amar yang begitu mengejutkannya. Pertemuan singkatnya dengan Amar mengingatkan dirinya pada kejadian enam tahun yang lalu.***Ameli terlahir di dalam keluarga yang sangat berada. Ayahnya bernama Danang Pamungkas yang merupakan pemilik perusahaan besar yang diberi nama Pamungkas grup, sementara ibunya bernama Mila Setyowati yang tidak lain tidak bukan juga pemilik perusahaan yang diberi nama Setyo grup."Ameli, mama membelikan gaun yang sangat cantik untukmu." Ucap Bu Mila, mamanya Ameli sambil membawa sebuah kardus berukuran tidak terlalu besar yang terlihat elegan ditambah pita merah di atasnya membuat tampilan semakin elegan."Gaun? Ameli tidak sedang ulang tahun, Ma." Jawab Ameli sambil melirik barang yang dibawa Bu Mila dan meletakkan ponsel yang sejak tadi menemaninya."Berdandanlah yang cantik! Karena malam ini kita akan bertemu dengan orang yang sangat terpandang di kota ini," ucap Bu Mila."Siapa, Ma?" tanya Ameli sambil mengerutkan dahi."Nanti kamu akan tahu sendiri," jawab Mila.Belum juga sempat Ameli kembali bertanya, ponsel Bu Mila berdering. Bu Mila segera mengambilnya dari dalam saku dan kemudian berjalan meninggalkan Ameli.Ameli hanya bisa menghela nafas mendapati sikap mamanya yang selalu memaksakan sesuatu tanpa berkompromi terlebih dahulu.Meski dengan perasaan kesal, Ameli menuruti keinginan Bu Mila. Wanita cantik itu dengan hati yang berat berjalan menuju kamar mandi.***Makan malam di sebuah restoran mewah pun tiba. Ameli memakai gaun berwarna hitam ditambah rambut panjangnya yang dikeriting bagian bawah membuat dirinya sangat elegan dan berkelas."Apa kabar, Pak Danang? Maaf sudah menunggu lama!" ucap Pak Hadi, seorang pria berusia lima puluh tahunan sambil mengulurkan tangan kepada Pak Danang."Kabar baik, Pak Hadi. Silahkan duduk," jawab Pak Danang.Sambutan kecil itu diikuti oleh Bu Mega dan Bu Mila. Sementara Ameli juga berusaha bersikap ramah kepada orang-orang yang belum dia kenal sebelumnya dan hanya sebatas tahu jika kedua pasangan suami istri dihadapannya saat ini merupakan orang-orang terpandang."Oh, jadi ini anaknya Pak Hadi yang katanya pemilik perusahaan Kusuma grup?" gumam Ameli sambil melihat sosok pria muda yang sejak tadi bersikap dingin dan pelit senyum."Amar, gadis itu bernama Ameli. Dia cantik, bukan?" bisik Bu Mega sambil melirikkan mata dan tersenyum ke arah Ameli.Namun, bisikan Bu Mega tanpa sengaja terdengar di telinga kedua orangtua Ameli dan juga Pak Hadi sehingga secara bersamaan mereka semua melihat ke arah Ameli dan Amar.Ameli tersipu malu. Pipinya mulai merona. Dia tersenyum dihadapan semua dan kemudian menundukkan wajahnya. Rasanya, Ameli mencium bau-bau perjodohan di sini."Ameli, nanti kamu pulang diantar sama Amar, ya!" perintah Bu Mila yang tiba-tiba keluar begitu saja dari mulutnya dan lagi-lagi tanpa berkompromi dengan Ameli terlebih dahulu.Ameli tersedak. Seketika dia segera mengambil minuman dan diteguknya."Apa?" tanya Ameli terkejut."Iya, Ameli. Kebetulan kami semua mau membicarakan bisnis bersama jadi kemungkinan akan berada di sini lebih lama," sahut Bu Mega.Jika Bu Mega sudah berkata, Ameli tidak berani untuk melawan. Amar mengambil kunci mobil dan kemudian berkata, "ayo!"Mata Ameli terbelalak ketika melihat Amar berdiri sambil mengulurkan tangan kepadanya."Apa-apaan dia? Bikin malu saja!" gerutu Ameli kesal.Disaat yang bersamaan, Ameli mendengar kedua orangtuanya dan orangtua Amar sedang berusaha menyembunyikan tawanya.Karena merasa sungkan dengan kedua orangtua Amar, Ameli akhirnya menerima uluran tangan Amar dan berjalan bersama keluar restoran.Amar terus menggandeng Ameli tanpa sepatah katapun. Sikap Amar yang dingin membuat Ameli semakin penasaran."Apa memang anaknya orang kaya selalu mempunyai sikap yang dingin? Kayak dia paling ganteng saja! Tapi, memang dia ganteng, sih!" ucap Ameli dalam hati sambil menyembunyikan tawanya."Tapi, kenapa aku tidak bisa seperti dia? Aku juga terlahir di keluarga kaya tapi tidak mempunyai sikap sombong seperti dia?" imbuhnya."Tidak usah ketawa! Aku tahu apa yang kamu pikirkan!" ucap Amar sambil terus berjalan."Apa? Kenapa dia bisa tahu?" Lagi-lagi Ameli bergumam dalam hati.Perasaan Ameli seketika berubah menjadi kesal. Ketika dia hendak melepaskan tangannya, Amar semakin mempererat genggamannya."Lepaskan! Jadi apa yang kamu inginkan?" tanya Ameli dengan meninggikan suaranya."Kenapa kamu masih bertanya? Bukannya aku ingin mengantar kamu pulang?" ucap Amar yang kembali bertanya."Haaaiizzz! Kenapa dengan ku ini? Kenapa aku bodoh sekali? Bukannya memang dia ingin mengantarku pulang?" Ameli kembali menggerutu di dalam hati.Sesampainya di mobil, Amar membukakan pintu untuk Ameli dan Ameli pun bergegas untuk masuk. Tidak berselang lama, Amar juga ikut masuk ke dalam mobil.Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya ketika Amar mulai menyalakan mesin hingga memberhentikan mobilnya di suatu tempat.Ameli mulai kebingungan ketika Amar melajukan mobil tidak ke arah rumahnya."Kamu mau bawa aku kemana?" tanya Ameli."Rasanya terlalu cepat jika kita harus berpisah denganmu malam ini," jawab Amar."Apa?" respon Ameli dengan mata melotot.Amar memberhentikan mobilnya di suatu tempat seperti bukit dengan pemandangan banyak lampu layaknya sinar bintang. Amar membuka pintu terlebih dahulu dan duduk di atas kap mobil. Pria tampan dan terlihat cool itu menyalakan rokok yang dia ambil dari dalam saku jasnya. "Memangnya apa yang dia inginkan?" Ameli terus menggerutu di dalam hati.Ameli menyusul Amar dan duduk di sampingnya. "Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanya Ameli."Karena ada sesuatu hal yang ingin aku katakan kepadamu," jawab Amar."Apa itu?" Ameli kembali bertanya.Amar seketika memadamkan rokoknya dan menatap wajah Ameli."Besok ada pertandingan basket di perusahaan, tolong temani aku!" ucap Amar."Apa? Menemani bermain basket?" tanya Ameli.***Besoknya, Ameli menemani Amar bertanding basket sebagaimana Amar inginkan. Dari situlah keakraban diantara mereka mulai terbentuk. Amar mulai melibatkan
Ameli sengaja mengatakan kehamilan itu dan kebangkrutan yang dialami oleh keluarganya agar Amar bisa membantunya. Namun, dugaan Ameli salah."Apa yang kamu katakan, Amar! Jelas-jelas kita melakukannya malam itu!" jawab Ameli dengan tegas."Tapi itu bukan anakku! Kamu bisa saja, kan, melakukan itu dengan pria lain dan meminta pertanggungjawaban kepadaku!" jawab Amar sambil membuang wajah ke samping."Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Amar! Jelas-jelas ini anak kamu dan aku melakukan itu hanya denganmu!" ucap Ameli semakin meninggikan nada suaranya."Sudahlah, Ameli! Tidak mungkin itu anak Amar. Apa kamu sengaja meminta pertanggungjawaban kepada kami agar kami mau menutupi kebangkrutan yang keluargamu alami saat ini? Jika iya, apa yang ada didalam pikiranmu salah besar, karena itu tidak mungkin kami lakukan!" sahut Bu Mega."Jadi, kami memutuskan untuk membatalkan pernikahan!" imbuh Pak Hadi.Hati Ameli terasa seperti tercabik-cabik. Rasa ingin menangis bercampur rasa benci menyeli
"Hari ini pasien sudah bisa dibawa pulang. Ini beberapa obat yang nanti bisa Anda tebus di apotik beserta peluasan biaya ketika administrasi selesai dilakukan," ujar Dokter Ana."Syukurlah, terimakasih banyak, Dok!" jawab Ameli dengan perasaan bahagia dan juga harap-harap cemas.Ameli berharap biaya rumah sakit tidak memakan jumlah banyak agar sisa tabungannya bisa dia pakai untuk membeli rumah baru yang lebih kecil. Dan saat yang ditunggu tiba. Ameli dipanggil ke kasir untuk melakukan pembayaran."Total semuanya lima ratus empat puluh juta rumah," ucap petugas kasir sambil menunjukkan beberapa berkas.Ameli terkejut. Tentang saja, jumlah tersebut sangatlah besar untuk kondisi Ameli saat ini. Kini sisa tabungan yang dia miliki tinggal sepuluh juta, yang artinya dengan uang sepuluh juta tersebut dia harus bisa memutarnya untuk hidup ke depan dan juga biaya kontrol mamanya.Setelah melunasi biaya rumah sakit, Ameli bersama Bu Mila keluar sambil membawa beberapa pakaian yang dia masukka
Seperti tersambar petir di siang hari. Begitu kalimat yang tepat untuk mendiskripsikan apa yang Ameli rasakan saat ini. "Tapi, Bu? Saya masih ingat tetap kerja di sini!" ucap Ameli dengan menahan air mata."Maaf, seperti saya sudah tidak bisa memperkerjakan Anda lagi karena kami tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu hal yang buruk terjadi dengan kehamilan Anda," jawab Bu Yeni sambil kembali menyodorkan amplop berisi uang agar Ameli segera menerimanya.Dengan berat hati, Ameli menerima amplop tersebut dan kemudian beranjak keluar dari ruangan. Ketika Ameli berjalan melewati beberapa pelanggan, tanpa sengaja mata Ameli tertuju pada sosok pria memakai jas berwarna hitam. Ameli melihat pria itu dari belakang sedang bersama seorang wanita."Aku seperti tidak asing dengan pria itu," gerutunya.Ameli menghentikan langkah kaki dan mencoba memperhatikannya. Dan benar saja, ketika pria itu hendak menoleh untuk memanggil pelayan, Ameli sangat terkejut ketika akhirnya mengetahui siapa sebena
"Baru pulang, Mas?" tanya Frieda yang duduk di sofa sambil bermain dengan handphonenya."Iya. Tadi ada meeting dadakan bersama klien. Jadi, jam segini baru pulang." Jawab Amar sambil mengendorkan dasi dan menaruh tas di sofa dekat Frieda."Meeting bersama klien atau makan malam bersama sekretaris baru?" tanya Frieda sambil terus bermain dengan handphone dan tidak melihat ke arah Amar."Apa maksudmu?" respon Amar sambil menatap Frieda dengan tatapan tajam."Iya. Aku dengar di perusahaan sedang ada sekretaris baru. Orangnya cantik dan juga masih muda. Dan aku dengar juga, akhir-akhir ini sekertaris itu sedang banyak dibicarakan dengan beberapa pria di perusahaan. Apakah jangan-jangan kamu juga menyukainya?" tanya Frieda dengan wajah kesal.Amar menghela nafas dan menggelengkan kepala."Ternyata kamu masih belum berubah juga! Frieda, aku ini suamimu! Aku bekerja pagi, siang, dan malam untuk mu! Tapi, kenapa setiap aku pulang kerja selalu kamu sambut dengan pertanyaan-pertanyaan konyol ya
"Jika kamu tidak ingin kembali bersama Amar, paling tidak kamu cari pria baru yang pantas menjadi sosok ayah untuk Jendra!" perintah Pak Danang yang sejak tadi mengetahui keributan antara Ameli dan Jendra.Ameli terdiam. Bertahun-tahun memperjuangkan hidupnya sendiri seakan menjadikan dirinya wanita tidak sudah tidak membutuhkan sosok laki-laki. "Buat apa aku mendatangkan sosok laki-laki di hidupku jika nantinya hanya menjadi beban dan menyusahkan diriku sendiri?" gumamnya dalam hati."Tapi, semua terserah kamu, Ameli! Sebagai kakek, papa hanya kasihan melihat Jendra yang setiap hari selalu menanyakan sosok ayah, dan juga menyembunyikan sesuatu terlalu lama itu tidak baik. Cepat atau lambat, Jendra tetap harus tahu siapa ayahnya dan juga bagaimana kehidupan yang sekarang ini bisa terjadi," imbuh Pak Danang dengan tatapan iba.Ameli terus terdiam dengan pikiran masa lalu. Hatinya masih keras. "Ameli belum siap menerima siapapun di hidup Ameli, Pa!" Ucap Ameli yang kemudian beranjak d
"Apa yang kamu lakukan kepadaku?" tanya Ameli sambil meletakkan kedua tangan di depan dada."Lakukan kepadamu? kenapa kamu bisa mempunyai pikiran seperti itu? apa aku terlihat seperti pria cabul?" tanya David sambil tersenyum dengan mata menggoda."Jangan halangi! aku ingin pergi dari sini! Ah, mana tasku?" Ameli melihat ke semua sudut kamar.Begitu dia melihat tas selempangnya yang terletak di sofa, bergegas Ameli berlari dan mengambilnya. Ketika mengambil tas, Ameli dikejutkan dengan suara notifikasi pesan. Seketika Ameli membuka isi pesan itu dengan jari bergetar."Ah, astaga! aku sudah membuat mama dan papa khawatir. Jendra pasti tadi malam juga mencari keberadaanku. Ibu macam apa aku ini!" gerutu Ameli yang kemudian bergegas mengembalikan handphonenya kembali ke dalam tas."Jadi siapa kamu sebenarnya?" tanya David dengan tatapan tidak berkedip."Apa? kenapa kamu bertanya seperti itu kepadaku? harusnya aku yang bertanya seperti itu. Siapa kamu dan kenapa kamu membawaku ke sini?" t
Sesampainya di rumah, Ameli tidak langsung turun dari mobil. Dia melamun menatap pintu rumah dengan bayangan berbagai pertanyaan yang akan muncul dari kedua orangtuanya."Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada mama dan papa jika aku pulang tanpa Jendra?" gumamnya dalam hati.Dengan langkah kaki yang berat, Ameli akhirnya membuka pintu mobil dan menurunkan kakinya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam rumah."Kenapa kamu lama sekali? kemana saja kamu? Jendra saja hingga sudah selesai makan dan beres-beres?" tanya ibunya Ameli begitu melihat Ameli datang dari balik pintu."Apa? Jendra sudah ada di rumah?" tanya Ameli terkejut."Bagaimana kamu ini? kenapa anaknya pulang bersama orang lain, kok, kamu tidak tahu?" balas ibunya Ameli.Tanpa menjawab ucapan mamanya lagi, Ameli bergegas berlari menuju kamar Jendra. Begitu berhasil masuk ke dalam kamar Jendra, dia melihat Jendra sedang tertidur pulas dengan wajah polosnya. Ameli berjalan perlahan mendekati Jendra dan m
"Aku sudah berniat jika kehadiranku tidak akan membuat beban di hidupmu jadi jika kamu tidak suka, maka kamu boleh meninggalkanku sekarang juga," ucap David dengan tegas.Ameli terdiam memandangi wajah David. Melihat wajah David, Ameli tiba-tiba merasa tidak tega jika harus meninggalkannya sendirian di tepi jalan yang sepi ini. Terlebih, Ameli merasa jika dia memang membutuhkan sosok laki-laki yang bisa membuatnya tenang untuk saat ini."Masuklah!" perintah Ameli sambil menyalakan mesin mobil."Apa?" respon David terkejut."Masuk dan ayo, kita pergi ke rumahmu!"David terdiam dengan perasaan tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Ameli."Kenapa kamu masih berdiri di situ? Jangan sampai aku berubah pikiran dan meninggalkanmu sendirian di tepi jalan yang banyak binatang buasnya ini," imbuh Ameli."Kamu jangan menakut-nakutiku!" Jawab David yang kemudian kembali masuk ke dalam mobil Ameli dengan cepat."Aku tidak menyangka, mempunyai tubuh gagah
"Amar? kenapa kamu memukulnya?" Ameli mendorong tubuh Amar."Apa yang baru saja dia lakukan kepadamu, Ameli? beraninya dia menciummu.""Memang kenapa kalau dia menciumku?""Apa?" "Amar, sudah cukup semua perlakukanmu kepadaku dulu dan aku minta mulai sekarang, jangan pernah muncul di hadapanku lagi! Kehadiranmu selalu membuat hidupku kembali dirudung banyak masalah," ujar Ameli.David terdiam melihat apa yang dikatakan oleh Ameli. Rasa penasaran David sedikit terkuak dengan pernyataan yang baru saja Ameli lontarkan."Aku tahu jika aku salah, Ameli, tapi aku memperbaiki semuanya. Aku menyesal dan aku ingin kembali menjalani hidupku bersamamu," bantah Amar yang masih berusaha membujuk Ameli agar mau menerimanya."Apa? kembali hidup bersama kamu bilang? kapan kita hidup bersama? jangan berucap seakan kita pernah menjalani kehidupan di dalam sebuah ikatan karena itu tidak pernah terjadi," jawab Ameli.Ameli membalikkan badan dan hendak kembali masuk ke d
Amar terdiam beberapa detik hingga pada akhirnya dia mengatakan hal yang sangat tidak terduga."Karena ada sebagian hidup Amar yang Amar titipkan kepada Ameli, Bu, dan itu tidak bisa dinilai dengan materi," ucap Amar."Apa maksudmu?" tanya Bu Deni sambil menggenggam jari-jari tangan.Ameli terkejut dan menatap wajah Amar dengan mata melotot. Tidak seketika tersentuh hatinya, Ameli justru semakin teringat akan semua janji palsu yang telah Amar berikan kepadanya dan pada akhirnya meninggalkannya begitu saja.Amar menatap wajah Ameli yang juga sedang menatapnya. Pria yang berstatus sebagai CEO itu tahu jika Ameli masih menaruh rasa dendam kepadanya."Karena...,""Permisi, pasien sudah siuman dan sudah bisa ditemui namun untuk saat ini maksimal jumlah anggota keluarga yang diperbolehkan masuk hanya dua orang," ucap salah satu perawat yang tiba-tiba keluar dari ruangan."Ibu tidak akan memaafkan kalian berdua jika sesuatu terjadi kepada Frieda." Ucap Bu Deni d
Sesampainya di rumah sakit, Ameli membawa wanita tersebut langsung ke dalam ruang UGD. "Permisi, Bu, apakah Ibu saudara dari pasien?" tanya salah satu perawat yang ada di dalam ruang UGD."Eee, sa-saya...,""Tolong melakukan pendaftaran dulu, Bu," sahut perawat tersebut yang kemudian bergegas berlari masuk mengikuti pasien tanpa memberi kesempatan Ameli untuk melanjutkan ucapannya."Apa? aku bahkan tidak tahu siapa dia. Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan?" ucap Ameli di dalam hati.Ameli kemudian teringat dengan tas selempang yang melekat di tubuh wanita tersebut ketika dia berusaha membawanya masuk ke dalam mobil. Ibu satu anak tersebut kembali berjalan menuju mobil."Setidaknya aku bisa menemukan handphone dan KTP wanita itu agar aku bisa menghubungi keluarganya," ucap Ameli sambil membuka resleting tas berwarna hitam dengan ukuran sedang tersebut."Ah, dapat!" imbuhnya yang kemudian membuka dompet dan melihat KTP milik wanita yang tanpa sengaja
Sesampainya di rumah, Ameli tidak langsung turun dari mobil. Dia melamun menatap pintu rumah dengan bayangan berbagai pertanyaan yang akan muncul dari kedua orangtuanya."Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada mama dan papa jika aku pulang tanpa Jendra?" gumamnya dalam hati.Dengan langkah kaki yang berat, Ameli akhirnya membuka pintu mobil dan menurunkan kakinya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam rumah."Kenapa kamu lama sekali? kemana saja kamu? Jendra saja hingga sudah selesai makan dan beres-beres?" tanya ibunya Ameli begitu melihat Ameli datang dari balik pintu."Apa? Jendra sudah ada di rumah?" tanya Ameli terkejut."Bagaimana kamu ini? kenapa anaknya pulang bersama orang lain, kok, kamu tidak tahu?" balas ibunya Ameli.Tanpa menjawab ucapan mamanya lagi, Ameli bergegas berlari menuju kamar Jendra. Begitu berhasil masuk ke dalam kamar Jendra, dia melihat Jendra sedang tertidur pulas dengan wajah polosnya. Ameli berjalan perlahan mendekati Jendra dan m
"Apa yang kamu lakukan kepadaku?" tanya Ameli sambil meletakkan kedua tangan di depan dada."Lakukan kepadamu? kenapa kamu bisa mempunyai pikiran seperti itu? apa aku terlihat seperti pria cabul?" tanya David sambil tersenyum dengan mata menggoda."Jangan halangi! aku ingin pergi dari sini! Ah, mana tasku?" Ameli melihat ke semua sudut kamar.Begitu dia melihat tas selempangnya yang terletak di sofa, bergegas Ameli berlari dan mengambilnya. Ketika mengambil tas, Ameli dikejutkan dengan suara notifikasi pesan. Seketika Ameli membuka isi pesan itu dengan jari bergetar."Ah, astaga! aku sudah membuat mama dan papa khawatir. Jendra pasti tadi malam juga mencari keberadaanku. Ibu macam apa aku ini!" gerutu Ameli yang kemudian bergegas mengembalikan handphonenya kembali ke dalam tas."Jadi siapa kamu sebenarnya?" tanya David dengan tatapan tidak berkedip."Apa? kenapa kamu bertanya seperti itu kepadaku? harusnya aku yang bertanya seperti itu. Siapa kamu dan kenapa kamu membawaku ke sini?" t
"Jika kamu tidak ingin kembali bersama Amar, paling tidak kamu cari pria baru yang pantas menjadi sosok ayah untuk Jendra!" perintah Pak Danang yang sejak tadi mengetahui keributan antara Ameli dan Jendra.Ameli terdiam. Bertahun-tahun memperjuangkan hidupnya sendiri seakan menjadikan dirinya wanita tidak sudah tidak membutuhkan sosok laki-laki. "Buat apa aku mendatangkan sosok laki-laki di hidupku jika nantinya hanya menjadi beban dan menyusahkan diriku sendiri?" gumamnya dalam hati."Tapi, semua terserah kamu, Ameli! Sebagai kakek, papa hanya kasihan melihat Jendra yang setiap hari selalu menanyakan sosok ayah, dan juga menyembunyikan sesuatu terlalu lama itu tidak baik. Cepat atau lambat, Jendra tetap harus tahu siapa ayahnya dan juga bagaimana kehidupan yang sekarang ini bisa terjadi," imbuh Pak Danang dengan tatapan iba.Ameli terus terdiam dengan pikiran masa lalu. Hatinya masih keras. "Ameli belum siap menerima siapapun di hidup Ameli, Pa!" Ucap Ameli yang kemudian beranjak d
"Baru pulang, Mas?" tanya Frieda yang duduk di sofa sambil bermain dengan handphonenya."Iya. Tadi ada meeting dadakan bersama klien. Jadi, jam segini baru pulang." Jawab Amar sambil mengendorkan dasi dan menaruh tas di sofa dekat Frieda."Meeting bersama klien atau makan malam bersama sekretaris baru?" tanya Frieda sambil terus bermain dengan handphone dan tidak melihat ke arah Amar."Apa maksudmu?" respon Amar sambil menatap Frieda dengan tatapan tajam."Iya. Aku dengar di perusahaan sedang ada sekretaris baru. Orangnya cantik dan juga masih muda. Dan aku dengar juga, akhir-akhir ini sekertaris itu sedang banyak dibicarakan dengan beberapa pria di perusahaan. Apakah jangan-jangan kamu juga menyukainya?" tanya Frieda dengan wajah kesal.Amar menghela nafas dan menggelengkan kepala."Ternyata kamu masih belum berubah juga! Frieda, aku ini suamimu! Aku bekerja pagi, siang, dan malam untuk mu! Tapi, kenapa setiap aku pulang kerja selalu kamu sambut dengan pertanyaan-pertanyaan konyol ya
Seperti tersambar petir di siang hari. Begitu kalimat yang tepat untuk mendiskripsikan apa yang Ameli rasakan saat ini. "Tapi, Bu? Saya masih ingat tetap kerja di sini!" ucap Ameli dengan menahan air mata."Maaf, seperti saya sudah tidak bisa memperkerjakan Anda lagi karena kami tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu hal yang buruk terjadi dengan kehamilan Anda," jawab Bu Yeni sambil kembali menyodorkan amplop berisi uang agar Ameli segera menerimanya.Dengan berat hati, Ameli menerima amplop tersebut dan kemudian beranjak keluar dari ruangan. Ketika Ameli berjalan melewati beberapa pelanggan, tanpa sengaja mata Ameli tertuju pada sosok pria memakai jas berwarna hitam. Ameli melihat pria itu dari belakang sedang bersama seorang wanita."Aku seperti tidak asing dengan pria itu," gerutunya.Ameli menghentikan langkah kaki dan mencoba memperhatikannya. Dan benar saja, ketika pria itu hendak menoleh untuk memanggil pelayan, Ameli sangat terkejut ketika akhirnya mengetahui siapa sebena