"Hari ini pasien sudah bisa dibawa pulang. Ini beberapa obat yang nanti bisa Anda tebus di apotik beserta peluasan biaya ketika administrasi selesai dilakukan," ujar Dokter Ana.
"Syukurlah, terimakasih banyak, Dok!" jawab Ameli dengan perasaan bahagia dan juga harap-harap cemas.
Ameli berharap biaya rumah sakit tidak memakan jumlah banyak agar sisa tabungannya bisa dia pakai untuk membeli rumah baru yang lebih kecil.
Dan saat yang ditunggu tiba. Ameli dipanggil ke kasir untuk melakukan pembayaran.
"Total semuanya lima ratus empat puluh juta rumah," ucap petugas kasir sambil menunjukkan beberapa berkas.
Ameli terkejut. Tentang saja, jumlah tersebut sangatlah besar untuk kondisi Ameli saat ini. Kini sisa tabungan yang dia miliki tinggal sepuluh juta, yang artinya dengan uang sepuluh juta tersebut dia harus bisa memutarnya untuk hidup ke depan dan juga biaya kontrol mamanya.
Setelah melunasi biaya rumah sakit, Ameli bersama Bu Mila keluar sambil membawa beberapa pakaian yang dia masukkan ke dalam satu koper dan satu tas ransel. Mereka keluar rumah sakit kemudian pulang dengan menaiki taksi. Namun, kali ini Ameli bingung akan pulang kemana. Ditambah, dia juga harus menjaga nutrisi untuk dirinya sendiri karena ada calon bayi yang kini sedang dikandungnya.
"Dengan uang segini sangat tidak mungkin untuk membeli rumah, meski rumah yang sangat kecil. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Ameli di dalam hati.
Bu Mila berusaha menggerakkan tangannya dan berusaha ingin bertanya sesuatu kepada Ameli. Meski dengan suara yang terbatas, lagi-lagi Ameli bisa memahami mamanya.
"Tenang, Ma! Ameli cari kontrakan yang tak jauh dari sini dan dengan biaya yang murah," ucap Ameli sambil memegang tangan Bu Mila.
"Sedang cari kontrakan, Kak?" tanya Pak Eko, nama sopir taksi yang tanpa sengaja mendengar apa yang dikatakan Ameli kepada mamanya.
"Ah, iya, Pak! Benar. Apa Bapak tahu kontrakan yang murah daerah sini sebelah mana?" respon Ameli dengan cepat.
"Ada, Kak. Di daerah Kanyar. Kalau Kakak mau bisa saya antarkan ke sana," jawab Pak Eko.
"Mau banget, Pak! Terimakasih banyak!"
Bantuan dari Pak Eko seperti angin segar bagi Ameli. Dan benar saja, sesampainya di lokasi, Ameli mendapati banyak kontrakan dengan biaya yang terbilang cukup murah, yaitu sekitar 1,5 juta hingga 2 juta per bulan.
Namun, Ameli tidak langsung mengambil kontrakan tersebut.
"Jika aku mengambil kontrakan dengan harga segini, itu artinya aku harus cepat dapat kerjaan untuk menutupi biaya kontrol mama dan biaya check up kehamilanku ke dokter," gumamnya dalam hati.
Akhirnya, Ameli terus berjalan. Kontrakan demi kontrakan dia datangi hingga akhirnya dia mendapat kontrakan dengan biaya sangat murah.
"Kebetulan yang harga tujuh ratus ribu ini tinggal sisa satu kamar, Kak. Kalau Kakak mau, saya bisa siapkan untuk Kakak," ucap pemilik kontrakan.
Tanpa berpikir panjang, seketika itu juga Ameli mengambilnya. Kini, Ameli bisa sedikit bernafas lega.
"Mama, untuk sementara kita tinggal di kontrakan yang kecil ini dulu, ya! Sambil menunggu Ameli dapat kerja untuk biaya hidup kita kedepannya. Maafin Ameli, ya, Ma!" ucap Ameli sambil memegang tangan Bu Mila.
Bu Mila menangis sambil memeluk Ameli. Dia tahu bahwa perjuangan puteri semata wayangnya itu sungguh luar biasa.
Hari itu, hidup baru Ameli dimulai. Besoknya Ameli bersiap pergi untuk mencari kerja. Dengan ijasah S1 jurusan ekonomi yang dia punya, Ameli masuk ke pintu demi pintu perusahaan. Namun, belum juga melalui tahap seleksi berkas, Ameli sudah mendapat penolakan. Dan hal itu Ameli dapatkan di hampir semua perusahaan yang dia lamar. Setelah Ameli melakukan penelusuran, penolakan tanpa alasan yang dilakukan oleh hampir semua perusahaan yang dia lamar karena status Ameli yang merupakan Puteri dari Pak Danang Pamungkas.
Berita tentang penangkapan Pak Danang atas tuduhan penggelapan uang kerjasama dengan perusahaan lain telah tersebar kemana-mana sehingga hal itu membuat Ameli kesulitan melamar kerja di perusahaan. Padahal, Ameli yakin dan tahu sendiri bahwa papanya tidak melakukan itu.
Setiap hari Ameli pulang ke kontrakan dengan membawa kabar kekecewaan kepada Bu Mila dan itu berlangsung beberapa bulan hingga tidak terasa perut Ameli mulai membesar.
"Uangnya tinggal segini dan aku belum juga mendapatkan kerja, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya dalam hati sambil memainkan bolpoin di jarinya.
Ameli tidak putus asa. Besoknya dia kembali mencoba melamar kerja di sebuah toko dan juga di sebuah cafe untuk menghindari rasa sakit atas tuduhan yang dilakukan kepada papanya.
"Apa tidak sayang? Jurusan S1 ekonomi hanya melamar di sebuah cafe seperti ini? Apalagi, Anda sedang hamil besar. Apa Anda tidak kecapekan nantinya jika menjadi pelayan di sini?" tanya pemilik cafe.
"Tidak," jawab Ameli singkat dengan senyum manis di wajahnya.
Meski sedikit ragu dengan kondisi Ameli yang sedang berbadan dua, akhirnya pemilik toko bernama Bu Yeni, menerima Ameli untuk bekerja di cafe miliknya.
"Silahkan isi biodata dan surat pernyataan di sini! Anda sudah bisa mulai bekerja besok. Karena cafe ini cukup ramai jadi usahakan untuk datang lebih awal!" perintah Bu Yeni sambil menyodorkan beberapa lembar kertas.
Setelah mengisi dan menandatangani beberapa surat termasuk surat perjanjian kontrak kerja, Ameli akhirnya memutuskan untuk pulang ke kontrakan dengan perasaan senang. Meski pekerjaan yang dia dapatkan saat ini bukanlah pekerjaan yang dia inginkan, tapi setidaknya bisa sedikit menyambung hidupnya untuk beberapa bulan ke depan.
***
Hidup Ameli kembali terasa baru ketika dia harus merubah jadwal antara merawat mamanya, memperhatikan kehamilan serta waktu kerjanya. Hari pertama Ameli bekerja berjalan dengan lancar. Meski dirinya terlahir ketika kedua orangtuanya masih dengan ekonomi baik, namun Ameli sangat cekatan melayani pelanggan. Tak jarang dari mereka memberikan tip kepada Ameli karena merasa iba sekaligus kagum atas kecekatannya mengantarkan makanan ataupun minuman.
"Pyaar...!"
Terdengar bunyi pecahan gelas dari arah pengambilan makanan dan minuman.
"Maaf, saya tidak sengaja! Saya akan segera membersihkan!" Ucap Ameli yang bergegas mengambil alat pembersih lantai dan kemudian membersihkannya.
Dengan perut yang semakin membesar, Ameli sudah merasa kesulitan bergerak dan mudah merasa lelah sehingga tanpa sengaja dia menjatuhkan sebuah gelas yang hendak diantarkan kepada pelanggan.
"Kak, Kamu dipanggil Bu Yeni," ucap salah satu temannya.
Ameli segera menemui Bu Yeni setelah selesai membersihkan tumpahkan minuman tersebut.
"Ibu panggil saya?" tanya Ameli begitu masuk ke dalam ruangan Bu Yeni.
"Iya, silahkan duduk!" jawab Bu Yeni.
"Ameli, saya lihat selama ini kerja kamu bagus. Untuk seorang ibu hamil seperti mu, tenaga dan kecekatanmu aku akui. Tapi, kondisi seperti jika diteruskan tetap tidak baik terutama untuk kesehatan dan keselamatan bayi yang ada di dalam perutmu," ujar Bu Yeni.
"Hari ini saya perhatikan, kamu terlihat sangat kelelahan," imbuhnya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam laci meja dan memberikan kepada Ameli.
"Apa ini, Bu?" tanya Ameli yang terkejut melihat sebuah amplop berwarna putih berada di depan matanya.
"Ini sebagai tanda terimakasih saya karena kamu sudah bekerja dengan baik selama di sini," jawab Bu Yeni.
"Tapi, Bu! Ini masih tanggal dua puluh, bukannya gajian tanggal tiga puluh?" bantah Ameli dengan perasaan bingung.
"Ya, benar! Karena ini gaji terakhir kamu bekerja di sini," jawab Bu Yeni dengan suara tegas.
Seperti tersambar petir di siang hari. Begitu kalimat yang tepat untuk mendiskripsikan apa yang Ameli rasakan saat ini. "Tapi, Bu? Saya masih ingat tetap kerja di sini!" ucap Ameli dengan menahan air mata."Maaf, seperti saya sudah tidak bisa memperkerjakan Anda lagi karena kami tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu hal yang buruk terjadi dengan kehamilan Anda," jawab Bu Yeni sambil kembali menyodorkan amplop berisi uang agar Ameli segera menerimanya.Dengan berat hati, Ameli menerima amplop tersebut dan kemudian beranjak keluar dari ruangan. Ketika Ameli berjalan melewati beberapa pelanggan, tanpa sengaja mata Ameli tertuju pada sosok pria memakai jas berwarna hitam. Ameli melihat pria itu dari belakang sedang bersama seorang wanita."Aku seperti tidak asing dengan pria itu," gerutunya.Ameli menghentikan langkah kaki dan mencoba memperhatikannya. Dan benar saja, ketika pria itu hendak menoleh untuk memanggil pelayan, Ameli sangat terkejut ketika akhirnya mengetahui siapa sebena
"Baru pulang, Mas?" tanya Frieda yang duduk di sofa sambil bermain dengan handphonenya."Iya. Tadi ada meeting dadakan bersama klien. Jadi, jam segini baru pulang." Jawab Amar sambil mengendorkan dasi dan menaruh tas di sofa dekat Frieda."Meeting bersama klien atau makan malam bersama sekretaris baru?" tanya Frieda sambil terus bermain dengan handphone dan tidak melihat ke arah Amar."Apa maksudmu?" respon Amar sambil menatap Frieda dengan tatapan tajam."Iya. Aku dengar di perusahaan sedang ada sekretaris baru. Orangnya cantik dan juga masih muda. Dan aku dengar juga, akhir-akhir ini sekertaris itu sedang banyak dibicarakan dengan beberapa pria di perusahaan. Apakah jangan-jangan kamu juga menyukainya?" tanya Frieda dengan wajah kesal.Amar menghela nafas dan menggelengkan kepala."Ternyata kamu masih belum berubah juga! Frieda, aku ini suamimu! Aku bekerja pagi, siang, dan malam untuk mu! Tapi, kenapa setiap aku pulang kerja selalu kamu sambut dengan pertanyaan-pertanyaan konyol ya
"Jika kamu tidak ingin kembali bersama Amar, paling tidak kamu cari pria baru yang pantas menjadi sosok ayah untuk Jendra!" perintah Pak Danang yang sejak tadi mengetahui keributan antara Ameli dan Jendra.Ameli terdiam. Bertahun-tahun memperjuangkan hidupnya sendiri seakan menjadikan dirinya wanita tidak sudah tidak membutuhkan sosok laki-laki. "Buat apa aku mendatangkan sosok laki-laki di hidupku jika nantinya hanya menjadi beban dan menyusahkan diriku sendiri?" gumamnya dalam hati."Tapi, semua terserah kamu, Ameli! Sebagai kakek, papa hanya kasihan melihat Jendra yang setiap hari selalu menanyakan sosok ayah, dan juga menyembunyikan sesuatu terlalu lama itu tidak baik. Cepat atau lambat, Jendra tetap harus tahu siapa ayahnya dan juga bagaimana kehidupan yang sekarang ini bisa terjadi," imbuh Pak Danang dengan tatapan iba.Ameli terus terdiam dengan pikiran masa lalu. Hatinya masih keras. "Ameli belum siap menerima siapapun di hidup Ameli, Pa!" Ucap Ameli yang kemudian beranjak d
"Apa yang kamu lakukan kepadaku?" tanya Ameli sambil meletakkan kedua tangan di depan dada."Lakukan kepadamu? kenapa kamu bisa mempunyai pikiran seperti itu? apa aku terlihat seperti pria cabul?" tanya David sambil tersenyum dengan mata menggoda."Jangan halangi! aku ingin pergi dari sini! Ah, mana tasku?" Ameli melihat ke semua sudut kamar.Begitu dia melihat tas selempangnya yang terletak di sofa, bergegas Ameli berlari dan mengambilnya. Ketika mengambil tas, Ameli dikejutkan dengan suara notifikasi pesan. Seketika Ameli membuka isi pesan itu dengan jari bergetar."Ah, astaga! aku sudah membuat mama dan papa khawatir. Jendra pasti tadi malam juga mencari keberadaanku. Ibu macam apa aku ini!" gerutu Ameli yang kemudian bergegas mengembalikan handphonenya kembali ke dalam tas."Jadi siapa kamu sebenarnya?" tanya David dengan tatapan tidak berkedip."Apa? kenapa kamu bertanya seperti itu kepadaku? harusnya aku yang bertanya seperti itu. Siapa kamu dan kenapa kamu membawaku ke sini?" t
Sesampainya di rumah, Ameli tidak langsung turun dari mobil. Dia melamun menatap pintu rumah dengan bayangan berbagai pertanyaan yang akan muncul dari kedua orangtuanya."Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada mama dan papa jika aku pulang tanpa Jendra?" gumamnya dalam hati.Dengan langkah kaki yang berat, Ameli akhirnya membuka pintu mobil dan menurunkan kakinya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam rumah."Kenapa kamu lama sekali? kemana saja kamu? Jendra saja hingga sudah selesai makan dan beres-beres?" tanya ibunya Ameli begitu melihat Ameli datang dari balik pintu."Apa? Jendra sudah ada di rumah?" tanya Ameli terkejut."Bagaimana kamu ini? kenapa anaknya pulang bersama orang lain, kok, kamu tidak tahu?" balas ibunya Ameli.Tanpa menjawab ucapan mamanya lagi, Ameli bergegas berlari menuju kamar Jendra. Begitu berhasil masuk ke dalam kamar Jendra, dia melihat Jendra sedang tertidur pulas dengan wajah polosnya. Ameli berjalan perlahan mendekati Jendra dan m
Sesampainya di rumah sakit, Ameli membawa wanita tersebut langsung ke dalam ruang UGD. "Permisi, Bu, apakah Ibu saudara dari pasien?" tanya salah satu perawat yang ada di dalam ruang UGD."Eee, sa-saya...,""Tolong melakukan pendaftaran dulu, Bu," sahut perawat tersebut yang kemudian bergegas berlari masuk mengikuti pasien tanpa memberi kesempatan Ameli untuk melanjutkan ucapannya."Apa? aku bahkan tidak tahu siapa dia. Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan?" ucap Ameli di dalam hati.Ameli kemudian teringat dengan tas selempang yang melekat di tubuh wanita tersebut ketika dia berusaha membawanya masuk ke dalam mobil. Ibu satu anak tersebut kembali berjalan menuju mobil."Setidaknya aku bisa menemukan handphone dan KTP wanita itu agar aku bisa menghubungi keluarganya," ucap Ameli sambil membuka resleting tas berwarna hitam dengan ukuran sedang tersebut."Ah, dapat!" imbuhnya yang kemudian membuka dompet dan melihat KTP milik wanita yang tanpa sengaja
Amar terdiam beberapa detik hingga pada akhirnya dia mengatakan hal yang sangat tidak terduga."Karena ada sebagian hidup Amar yang Amar titipkan kepada Ameli, Bu, dan itu tidak bisa dinilai dengan materi," ucap Amar."Apa maksudmu?" tanya Bu Deni sambil menggenggam jari-jari tangan.Ameli terkejut dan menatap wajah Amar dengan mata melotot. Tidak seketika tersentuh hatinya, Ameli justru semakin teringat akan semua janji palsu yang telah Amar berikan kepadanya dan pada akhirnya meninggalkannya begitu saja.Amar menatap wajah Ameli yang juga sedang menatapnya. Pria yang berstatus sebagai CEO itu tahu jika Ameli masih menaruh rasa dendam kepadanya."Karena...,""Permisi, pasien sudah siuman dan sudah bisa ditemui namun untuk saat ini maksimal jumlah anggota keluarga yang diperbolehkan masuk hanya dua orang," ucap salah satu perawat yang tiba-tiba keluar dari ruangan."Ibu tidak akan memaafkan kalian berdua jika sesuatu terjadi kepada Frieda." Ucap Bu Deni d
"Amar? kenapa kamu memukulnya?" Ameli mendorong tubuh Amar."Apa yang baru saja dia lakukan kepadamu, Ameli? beraninya dia menciummu.""Memang kenapa kalau dia menciumku?""Apa?" "Amar, sudah cukup semua perlakukanmu kepadaku dulu dan aku minta mulai sekarang, jangan pernah muncul di hadapanku lagi! Kehadiranmu selalu membuat hidupku kembali dirudung banyak masalah," ujar Ameli.David terdiam melihat apa yang dikatakan oleh Ameli. Rasa penasaran David sedikit terkuak dengan pernyataan yang baru saja Ameli lontarkan."Aku tahu jika aku salah, Ameli, tapi aku memperbaiki semuanya. Aku menyesal dan aku ingin kembali menjalani hidupku bersamamu," bantah Amar yang masih berusaha membujuk Ameli agar mau menerimanya."Apa? kembali hidup bersama kamu bilang? kapan kita hidup bersama? jangan berucap seakan kita pernah menjalani kehidupan di dalam sebuah ikatan karena itu tidak pernah terjadi," jawab Ameli.Ameli membalikkan badan dan hendak kembali masuk ke d
"Aku sudah berniat jika kehadiranku tidak akan membuat beban di hidupmu jadi jika kamu tidak suka, maka kamu boleh meninggalkanku sekarang juga," ucap David dengan tegas.Ameli terdiam memandangi wajah David. Melihat wajah David, Ameli tiba-tiba merasa tidak tega jika harus meninggalkannya sendirian di tepi jalan yang sepi ini. Terlebih, Ameli merasa jika dia memang membutuhkan sosok laki-laki yang bisa membuatnya tenang untuk saat ini."Masuklah!" perintah Ameli sambil menyalakan mesin mobil."Apa?" respon David terkejut."Masuk dan ayo, kita pergi ke rumahmu!"David terdiam dengan perasaan tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Ameli."Kenapa kamu masih berdiri di situ? Jangan sampai aku berubah pikiran dan meninggalkanmu sendirian di tepi jalan yang banyak binatang buasnya ini," imbuh Ameli."Kamu jangan menakut-nakutiku!" Jawab David yang kemudian kembali masuk ke dalam mobil Ameli dengan cepat."Aku tidak menyangka, mempunyai tubuh gagah
"Amar? kenapa kamu memukulnya?" Ameli mendorong tubuh Amar."Apa yang baru saja dia lakukan kepadamu, Ameli? beraninya dia menciummu.""Memang kenapa kalau dia menciumku?""Apa?" "Amar, sudah cukup semua perlakukanmu kepadaku dulu dan aku minta mulai sekarang, jangan pernah muncul di hadapanku lagi! Kehadiranmu selalu membuat hidupku kembali dirudung banyak masalah," ujar Ameli.David terdiam melihat apa yang dikatakan oleh Ameli. Rasa penasaran David sedikit terkuak dengan pernyataan yang baru saja Ameli lontarkan."Aku tahu jika aku salah, Ameli, tapi aku memperbaiki semuanya. Aku menyesal dan aku ingin kembali menjalani hidupku bersamamu," bantah Amar yang masih berusaha membujuk Ameli agar mau menerimanya."Apa? kembali hidup bersama kamu bilang? kapan kita hidup bersama? jangan berucap seakan kita pernah menjalani kehidupan di dalam sebuah ikatan karena itu tidak pernah terjadi," jawab Ameli.Ameli membalikkan badan dan hendak kembali masuk ke d
Amar terdiam beberapa detik hingga pada akhirnya dia mengatakan hal yang sangat tidak terduga."Karena ada sebagian hidup Amar yang Amar titipkan kepada Ameli, Bu, dan itu tidak bisa dinilai dengan materi," ucap Amar."Apa maksudmu?" tanya Bu Deni sambil menggenggam jari-jari tangan.Ameli terkejut dan menatap wajah Amar dengan mata melotot. Tidak seketika tersentuh hatinya, Ameli justru semakin teringat akan semua janji palsu yang telah Amar berikan kepadanya dan pada akhirnya meninggalkannya begitu saja.Amar menatap wajah Ameli yang juga sedang menatapnya. Pria yang berstatus sebagai CEO itu tahu jika Ameli masih menaruh rasa dendam kepadanya."Karena...,""Permisi, pasien sudah siuman dan sudah bisa ditemui namun untuk saat ini maksimal jumlah anggota keluarga yang diperbolehkan masuk hanya dua orang," ucap salah satu perawat yang tiba-tiba keluar dari ruangan."Ibu tidak akan memaafkan kalian berdua jika sesuatu terjadi kepada Frieda." Ucap Bu Deni d
Sesampainya di rumah sakit, Ameli membawa wanita tersebut langsung ke dalam ruang UGD. "Permisi, Bu, apakah Ibu saudara dari pasien?" tanya salah satu perawat yang ada di dalam ruang UGD."Eee, sa-saya...,""Tolong melakukan pendaftaran dulu, Bu," sahut perawat tersebut yang kemudian bergegas berlari masuk mengikuti pasien tanpa memberi kesempatan Ameli untuk melanjutkan ucapannya."Apa? aku bahkan tidak tahu siapa dia. Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan?" ucap Ameli di dalam hati.Ameli kemudian teringat dengan tas selempang yang melekat di tubuh wanita tersebut ketika dia berusaha membawanya masuk ke dalam mobil. Ibu satu anak tersebut kembali berjalan menuju mobil."Setidaknya aku bisa menemukan handphone dan KTP wanita itu agar aku bisa menghubungi keluarganya," ucap Ameli sambil membuka resleting tas berwarna hitam dengan ukuran sedang tersebut."Ah, dapat!" imbuhnya yang kemudian membuka dompet dan melihat KTP milik wanita yang tanpa sengaja
Sesampainya di rumah, Ameli tidak langsung turun dari mobil. Dia melamun menatap pintu rumah dengan bayangan berbagai pertanyaan yang akan muncul dari kedua orangtuanya."Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada mama dan papa jika aku pulang tanpa Jendra?" gumamnya dalam hati.Dengan langkah kaki yang berat, Ameli akhirnya membuka pintu mobil dan menurunkan kakinya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam rumah."Kenapa kamu lama sekali? kemana saja kamu? Jendra saja hingga sudah selesai makan dan beres-beres?" tanya ibunya Ameli begitu melihat Ameli datang dari balik pintu."Apa? Jendra sudah ada di rumah?" tanya Ameli terkejut."Bagaimana kamu ini? kenapa anaknya pulang bersama orang lain, kok, kamu tidak tahu?" balas ibunya Ameli.Tanpa menjawab ucapan mamanya lagi, Ameli bergegas berlari menuju kamar Jendra. Begitu berhasil masuk ke dalam kamar Jendra, dia melihat Jendra sedang tertidur pulas dengan wajah polosnya. Ameli berjalan perlahan mendekati Jendra dan m
"Apa yang kamu lakukan kepadaku?" tanya Ameli sambil meletakkan kedua tangan di depan dada."Lakukan kepadamu? kenapa kamu bisa mempunyai pikiran seperti itu? apa aku terlihat seperti pria cabul?" tanya David sambil tersenyum dengan mata menggoda."Jangan halangi! aku ingin pergi dari sini! Ah, mana tasku?" Ameli melihat ke semua sudut kamar.Begitu dia melihat tas selempangnya yang terletak di sofa, bergegas Ameli berlari dan mengambilnya. Ketika mengambil tas, Ameli dikejutkan dengan suara notifikasi pesan. Seketika Ameli membuka isi pesan itu dengan jari bergetar."Ah, astaga! aku sudah membuat mama dan papa khawatir. Jendra pasti tadi malam juga mencari keberadaanku. Ibu macam apa aku ini!" gerutu Ameli yang kemudian bergegas mengembalikan handphonenya kembali ke dalam tas."Jadi siapa kamu sebenarnya?" tanya David dengan tatapan tidak berkedip."Apa? kenapa kamu bertanya seperti itu kepadaku? harusnya aku yang bertanya seperti itu. Siapa kamu dan kenapa kamu membawaku ke sini?" t
"Jika kamu tidak ingin kembali bersama Amar, paling tidak kamu cari pria baru yang pantas menjadi sosok ayah untuk Jendra!" perintah Pak Danang yang sejak tadi mengetahui keributan antara Ameli dan Jendra.Ameli terdiam. Bertahun-tahun memperjuangkan hidupnya sendiri seakan menjadikan dirinya wanita tidak sudah tidak membutuhkan sosok laki-laki. "Buat apa aku mendatangkan sosok laki-laki di hidupku jika nantinya hanya menjadi beban dan menyusahkan diriku sendiri?" gumamnya dalam hati."Tapi, semua terserah kamu, Ameli! Sebagai kakek, papa hanya kasihan melihat Jendra yang setiap hari selalu menanyakan sosok ayah, dan juga menyembunyikan sesuatu terlalu lama itu tidak baik. Cepat atau lambat, Jendra tetap harus tahu siapa ayahnya dan juga bagaimana kehidupan yang sekarang ini bisa terjadi," imbuh Pak Danang dengan tatapan iba.Ameli terus terdiam dengan pikiran masa lalu. Hatinya masih keras. "Ameli belum siap menerima siapapun di hidup Ameli, Pa!" Ucap Ameli yang kemudian beranjak d
"Baru pulang, Mas?" tanya Frieda yang duduk di sofa sambil bermain dengan handphonenya."Iya. Tadi ada meeting dadakan bersama klien. Jadi, jam segini baru pulang." Jawab Amar sambil mengendorkan dasi dan menaruh tas di sofa dekat Frieda."Meeting bersama klien atau makan malam bersama sekretaris baru?" tanya Frieda sambil terus bermain dengan handphone dan tidak melihat ke arah Amar."Apa maksudmu?" respon Amar sambil menatap Frieda dengan tatapan tajam."Iya. Aku dengar di perusahaan sedang ada sekretaris baru. Orangnya cantik dan juga masih muda. Dan aku dengar juga, akhir-akhir ini sekertaris itu sedang banyak dibicarakan dengan beberapa pria di perusahaan. Apakah jangan-jangan kamu juga menyukainya?" tanya Frieda dengan wajah kesal.Amar menghela nafas dan menggelengkan kepala."Ternyata kamu masih belum berubah juga! Frieda, aku ini suamimu! Aku bekerja pagi, siang, dan malam untuk mu! Tapi, kenapa setiap aku pulang kerja selalu kamu sambut dengan pertanyaan-pertanyaan konyol ya
Seperti tersambar petir di siang hari. Begitu kalimat yang tepat untuk mendiskripsikan apa yang Ameli rasakan saat ini. "Tapi, Bu? Saya masih ingat tetap kerja di sini!" ucap Ameli dengan menahan air mata."Maaf, seperti saya sudah tidak bisa memperkerjakan Anda lagi karena kami tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu hal yang buruk terjadi dengan kehamilan Anda," jawab Bu Yeni sambil kembali menyodorkan amplop berisi uang agar Ameli segera menerimanya.Dengan berat hati, Ameli menerima amplop tersebut dan kemudian beranjak keluar dari ruangan. Ketika Ameli berjalan melewati beberapa pelanggan, tanpa sengaja mata Ameli tertuju pada sosok pria memakai jas berwarna hitam. Ameli melihat pria itu dari belakang sedang bersama seorang wanita."Aku seperti tidak asing dengan pria itu," gerutunya.Ameli menghentikan langkah kaki dan mencoba memperhatikannya. Dan benar saja, ketika pria itu hendak menoleh untuk memanggil pelayan, Ameli sangat terkejut ketika akhirnya mengetahui siapa sebena