"Rasanya terlalu cepat jika kita harus berpisah denganmu malam ini," jawab Amar.
"Apa?" respon Ameli dengan mata melotot.
Amar memberhentikan mobilnya di suatu tempat seperti bukit dengan pemandangan banyak lampu layaknya sinar bintang. Amar membuka pintu terlebih dahulu dan duduk di atas kap mobil. Pria tampan dan terlihat cool itu menyalakan rokok yang dia ambil dari dalam saku jasnya.
"Memangnya apa yang dia inginkan?" Ameli terus menggerutu di dalam hati.
Ameli menyusul Amar dan duduk di sampingnya.
"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanya Ameli.
"Karena ada sesuatu hal yang ingin aku katakan kepadamu," jawab Amar.
"Apa itu?" Ameli kembali bertanya.
Amar seketika memadamkan rokoknya dan menatap wajah Ameli.
"Besok ada pertandingan basket di perusahaan, tolong temani aku!" ucap Amar.
"Apa? Menemani bermain basket?" tanya Ameli.
***
Besoknya, Ameli menemani Amar bertanding basket sebagaimana Amar inginkan. Dari situlah keakraban diantara mereka mulai terbentuk. Amar mulai melibatkan Ameli hampir di setiap hobi dan aktivitasnya sehingga muncul rasa kecocokan dan kenyamanan satu sama lain.
Pada sebuah kesempatan, Amar mengajak Ameli makan malam di sebuah restoran mewah.
"Kamu sangat cantik sekali malam ini," puji Amar.
"Makasih," jawab Ameli sambil tersenyum malu.
Tidak berselang lama, Amar mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dan diperlihatkan kepada Ameli.
"Ameli, maukah kamu menikah denganku?" ajak Amar sambil membuka kotak itu yang berisi cincin.
Ameli terkejut sekaligus merasa senang. Tidak membutuhkan waktu lama, seketika itu juga Ameli menerimanya lamaran Amar.
Kemudian, Amar mengajak Ameli ke sebuah hotel bintang lima yang berada tak jauh dari restoran.
"Ameli, aku tidak bisa menahan malam ini. Aku ingin melakukannya," ucap Amar yang kemudian mendorong pelan tubuh Ameli ke atas ranjang.
Karena yakin bahwa Amar akan menikahinya, maka Ameli dengan senang hati melakukan apa yang Amar ingin lakukan.
"Lakukan saja, sayang! Dengan senang hati aku akan melayanimu malam ini," jawab Ameli.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Ameli membuat pikiran Amar semakin tidak bisa terkendali. Dia melepas satu per satu baju Ameli dan menggulatnya dengan buas.
Desahan yang keluar dari mulut Ameli membuat Amar semakin tidak bisa mengontrol diri.
***
Kabar jika Amar dan Ameli sudah saling mencintai terdengar di telinga orangtua mereka masing-masing. Hal itu membuat mereka sangat senang karena perjodohan yang dilakukan oleh orangtua Amar dan orangtua Ameli bisa dikatakan berhasil.
Tidak berselang lama, mereka kembali mengadakan pertemuan untuk membahas rencana pernikahan.
Amar menatap wajah Ameli dengan tatapan bahagia, begitu juga Ameli. Dia membayangkan sentuhan Amar yang sangat buas sehingga membuatnya hampir kewalahan.
Setelah diperhitungkan, maka pernikahan akan diadakan dua bulan lagi.
"Apa tidak bisa lebih cepat?" tanya Amar yang secara tiba-tiba menyela perbincangan kedua orangtuanya.
"Sayang? Apa yang kamu katakan? Ini sudah sangat cepat!" jawab Bu Mila.
"Hahaa, sepertinya anak-anak kami sudah tidak sabar untuk..., ehm!" sahut Pak Danang.
Orangtua Amar dan orangtua Ameli tidak bisa menahan tawa mendengar permintaan Amar yang mereka anggap sangat lucu. Padahal, Amar meminta tanggal pernikahan dipercepat bukan tanpa alasan.
***
"Apa? Kenapa bisa terjadi?" teriak Pak Danang di dalam teleponnya.
"Ada apa, Pa?" sahut Bu Mila yang datang menghampiri.
"Ada yang bermain uang di perusahaan papa," jawab Pak Danang.
Permainan uang yang dilakukan oleh bawahannya itu membuat Pak Danang tertuduh melakukan pencucian uang sehingga mengakibat dia terancam dipenjara.
"Apa? Tidak mungkin!" jawab Bu Mila dengan mata berkaca-kaca dan menutup mulutnya.
Tidak berselang lama, ada beberapa orang datang dari kepolisian. Tujuan mereka adalah menjemput paksa Pak Danang untuk dibawa ke kantor polisi dan dipenjarakan.
"Jangan!" Teriak Bu Mila sambil menangis histeris dan menarik lengan suaminya dengan sekuat tenaga.
Mendengar keributan di lantai bawah, Ameli bergegas untuk turun.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Teriak Ameli sambil berlari menghampiri kedua orangtuanya.
"Maaf, Nyonya. Kami dari kepolisian harus menjemput paksa Pak Danang karena telah melakukan pencucian uang yang dia ambil dari investor lain," ucap salah satu polisi tersebut.
"Apa? Tidak mungkin!" jawab Ameli dengan mulut bergetar.
Memang, selain hendak menjalin kerjasama dengan perusahaan Pak Hadi, perusahaan Pak Danang juga telah banyak menjalin kerjasama dengan perusahaan lain. Tapi kali ini, dia kerjasama dengan orang yang salah. Ada orang luar yang ikut campur di dalam perusahaannya sehingga memutarkan uang itu seakan-akan telah dipakai Pak Danang untuk kepentingan pribadi.
"Ini surat perintah penangkapan," ucap salah satu polisi dengan menunjukkan selembar kertas.
Ameli menerima kerja itu dengan cara tidak sopan. Dia membaca dengan cepat dengan tangan bergetar.
"Tidak mungkin Papa melakukan ini! Tidak mungkin!" teriak Ameli.
"Maaf, Nyonya! Kami bertindak berdasarkan surat itu sehingga keputusan ini tidak dapat diganggu gugat," jawab polisi tersebut.
Ameli dan Bu Mila berusaha menarik lengan Pak Danang dan berusaha menyingkirkan tangan beberapa polisi itu namun usahanya mereka sia-sia.
"Papa? Jangan tinggalin Ameli dan Mama!" Lagi-lagi Ameli berteriak sekencang-kencangnya.
"Ameli?" panggil Bu Mila.
Ketika Ameli membalikkan badan, dia melihat Mamanya sedang duduk dengan memegang kepalanya. Tubuh Bu Mila terlihat lemas.
"Mama? Mama kenapa?" panggil Ameli.
Dengan sekuat tenaga, Ameli membawa mamanya ke rumah sakit. Setelah sampai di rumah sakit, mamanya harus mendapatkan perawatan yang intens karena terkena stroke.
Karena penyakit stroke yang diderita oleh Bu Mila membuat perusahaan yang dimilikinya saat itu tidak terkendali sehingga mengalami penurunan pendapatan, bahkan terancam bangkrut.
Di saat yang bersamaan, Ameli merasakan ada yang tidak nyaman di dalam perutnya.
"Hooeekk!" Ameli bergegas pergi ke kamar mandi.
Tubuh Ameli seketika terasa lemas.
"Apa yang terjadi denganku?" tanyanya dalam hati.
Ketika Ameli hendak kembali untuk menemani mamanya, rasa mual kembali terjadi sehingga dirinya muntah beberapa kali.
"Apa jangan-jangan, aku?" imbuhnya.
Dengan sekuat tenaga yang dia miliki, dia berjalan ke apotek untuk membeli testpack. Setelah dia menggunakan testpack tersebut, terlihat dua garis berwarna merah terlihat dengan sangat jelas.
"Aku hamil?" ucapnya terkejut.
Ameli kembali berjalan ke bangsal, namun karena kondisi mamanya yang masih tak sadarkan diri membuat Ameli tidak mungkin untuk mengatakan kehamilannya.
Beberapa hari berada di rumah sakit dan papanya di penjara, membuat kehidupan keluarga Ameli berubah seratus delapan puluh derajat. Kini, keluar Ameli mengalami kebangkrutan hingga rumah mewah yang kini dia tempati bersama kedua orangtuanya harus rela disita dan mengakibatkan Ameli tidak mempunyai tempat tinggal.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Ameli di dalam hati dengan pikiran perang.
"Amar? Aku harus memberi tahu dia!" imbuhnya.
Seketika itu Ameli pergi ke rumah Amar untuk menceritakan apa yang telah dialami oleh dirinya dan juga keluarganya.
Ternyata, kabar kebangkrutan yang dialami oleh kedua orangtuanya Ameli telah terdengar di telinga orangtuanya Amar.
"Itu bukan anakku, Ma!" bantah Amar secara tegas.
Ameli sengaja mengatakan kehamilan itu dan kebangkrutan yang dialami oleh keluarganya agar Amar bisa membantunya. Namun, dugaan Ameli salah."Apa yang kamu katakan, Amar! Jelas-jelas kita melakukannya malam itu!" jawab Ameli dengan tegas."Tapi itu bukan anakku! Kamu bisa saja, kan, melakukan itu dengan pria lain dan meminta pertanggungjawaban kepadaku!" jawab Amar sambil membuang wajah ke samping."Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Amar! Jelas-jelas ini anak kamu dan aku melakukan itu hanya denganmu!" ucap Ameli semakin meninggikan nada suaranya."Sudahlah, Ameli! Tidak mungkin itu anak Amar. Apa kamu sengaja meminta pertanggungjawaban kepada kami agar kami mau menutupi kebangkrutan yang keluargamu alami saat ini? Jika iya, apa yang ada didalam pikiranmu salah besar, karena itu tidak mungkin kami lakukan!" sahut Bu Mega."Jadi, kami memutuskan untuk membatalkan pernikahan!" imbuh Pak Hadi.Hati Ameli terasa seperti tercabik-cabik. Rasa ingin menangis bercampur rasa benci menyeli
"Hari ini pasien sudah bisa dibawa pulang. Ini beberapa obat yang nanti bisa Anda tebus di apotik beserta peluasan biaya ketika administrasi selesai dilakukan," ujar Dokter Ana."Syukurlah, terimakasih banyak, Dok!" jawab Ameli dengan perasaan bahagia dan juga harap-harap cemas.Ameli berharap biaya rumah sakit tidak memakan jumlah banyak agar sisa tabungannya bisa dia pakai untuk membeli rumah baru yang lebih kecil. Dan saat yang ditunggu tiba. Ameli dipanggil ke kasir untuk melakukan pembayaran."Total semuanya lima ratus empat puluh juta rumah," ucap petugas kasir sambil menunjukkan beberapa berkas.Ameli terkejut. Tentang saja, jumlah tersebut sangatlah besar untuk kondisi Ameli saat ini. Kini sisa tabungan yang dia miliki tinggal sepuluh juta, yang artinya dengan uang sepuluh juta tersebut dia harus bisa memutarnya untuk hidup ke depan dan juga biaya kontrol mamanya.Setelah melunasi biaya rumah sakit, Ameli bersama Bu Mila keluar sambil membawa beberapa pakaian yang dia masukka
Seperti tersambar petir di siang hari. Begitu kalimat yang tepat untuk mendiskripsikan apa yang Ameli rasakan saat ini. "Tapi, Bu? Saya masih ingat tetap kerja di sini!" ucap Ameli dengan menahan air mata."Maaf, seperti saya sudah tidak bisa memperkerjakan Anda lagi karena kami tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu hal yang buruk terjadi dengan kehamilan Anda," jawab Bu Yeni sambil kembali menyodorkan amplop berisi uang agar Ameli segera menerimanya.Dengan berat hati, Ameli menerima amplop tersebut dan kemudian beranjak keluar dari ruangan. Ketika Ameli berjalan melewati beberapa pelanggan, tanpa sengaja mata Ameli tertuju pada sosok pria memakai jas berwarna hitam. Ameli melihat pria itu dari belakang sedang bersama seorang wanita."Aku seperti tidak asing dengan pria itu," gerutunya.Ameli menghentikan langkah kaki dan mencoba memperhatikannya. Dan benar saja, ketika pria itu hendak menoleh untuk memanggil pelayan, Ameli sangat terkejut ketika akhirnya mengetahui siapa sebena
"Baru pulang, Mas?" tanya Frieda yang duduk di sofa sambil bermain dengan handphonenya."Iya. Tadi ada meeting dadakan bersama klien. Jadi, jam segini baru pulang." Jawab Amar sambil mengendorkan dasi dan menaruh tas di sofa dekat Frieda."Meeting bersama klien atau makan malam bersama sekretaris baru?" tanya Frieda sambil terus bermain dengan handphone dan tidak melihat ke arah Amar."Apa maksudmu?" respon Amar sambil menatap Frieda dengan tatapan tajam."Iya. Aku dengar di perusahaan sedang ada sekretaris baru. Orangnya cantik dan juga masih muda. Dan aku dengar juga, akhir-akhir ini sekertaris itu sedang banyak dibicarakan dengan beberapa pria di perusahaan. Apakah jangan-jangan kamu juga menyukainya?" tanya Frieda dengan wajah kesal.Amar menghela nafas dan menggelengkan kepala."Ternyata kamu masih belum berubah juga! Frieda, aku ini suamimu! Aku bekerja pagi, siang, dan malam untuk mu! Tapi, kenapa setiap aku pulang kerja selalu kamu sambut dengan pertanyaan-pertanyaan konyol ya
"Jika kamu tidak ingin kembali bersama Amar, paling tidak kamu cari pria baru yang pantas menjadi sosok ayah untuk Jendra!" perintah Pak Danang yang sejak tadi mengetahui keributan antara Ameli dan Jendra.Ameli terdiam. Bertahun-tahun memperjuangkan hidupnya sendiri seakan menjadikan dirinya wanita tidak sudah tidak membutuhkan sosok laki-laki. "Buat apa aku mendatangkan sosok laki-laki di hidupku jika nantinya hanya menjadi beban dan menyusahkan diriku sendiri?" gumamnya dalam hati."Tapi, semua terserah kamu, Ameli! Sebagai kakek, papa hanya kasihan melihat Jendra yang setiap hari selalu menanyakan sosok ayah, dan juga menyembunyikan sesuatu terlalu lama itu tidak baik. Cepat atau lambat, Jendra tetap harus tahu siapa ayahnya dan juga bagaimana kehidupan yang sekarang ini bisa terjadi," imbuh Pak Danang dengan tatapan iba.Ameli terus terdiam dengan pikiran masa lalu. Hatinya masih keras. "Ameli belum siap menerima siapapun di hidup Ameli, Pa!" Ucap Ameli yang kemudian beranjak d
"Apa yang kamu lakukan kepadaku?" tanya Ameli sambil meletakkan kedua tangan di depan dada."Lakukan kepadamu? kenapa kamu bisa mempunyai pikiran seperti itu? apa aku terlihat seperti pria cabul?" tanya David sambil tersenyum dengan mata menggoda."Jangan halangi! aku ingin pergi dari sini! Ah, mana tasku?" Ameli melihat ke semua sudut kamar.Begitu dia melihat tas selempangnya yang terletak di sofa, bergegas Ameli berlari dan mengambilnya. Ketika mengambil tas, Ameli dikejutkan dengan suara notifikasi pesan. Seketika Ameli membuka isi pesan itu dengan jari bergetar."Ah, astaga! aku sudah membuat mama dan papa khawatir. Jendra pasti tadi malam juga mencari keberadaanku. Ibu macam apa aku ini!" gerutu Ameli yang kemudian bergegas mengembalikan handphonenya kembali ke dalam tas."Jadi siapa kamu sebenarnya?" tanya David dengan tatapan tidak berkedip."Apa? kenapa kamu bertanya seperti itu kepadaku? harusnya aku yang bertanya seperti itu. Siapa kamu dan kenapa kamu membawaku ke sini?" t
Sesampainya di rumah, Ameli tidak langsung turun dari mobil. Dia melamun menatap pintu rumah dengan bayangan berbagai pertanyaan yang akan muncul dari kedua orangtuanya."Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada mama dan papa jika aku pulang tanpa Jendra?" gumamnya dalam hati.Dengan langkah kaki yang berat, Ameli akhirnya membuka pintu mobil dan menurunkan kakinya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam rumah."Kenapa kamu lama sekali? kemana saja kamu? Jendra saja hingga sudah selesai makan dan beres-beres?" tanya ibunya Ameli begitu melihat Ameli datang dari balik pintu."Apa? Jendra sudah ada di rumah?" tanya Ameli terkejut."Bagaimana kamu ini? kenapa anaknya pulang bersama orang lain, kok, kamu tidak tahu?" balas ibunya Ameli.Tanpa menjawab ucapan mamanya lagi, Ameli bergegas berlari menuju kamar Jendra. Begitu berhasil masuk ke dalam kamar Jendra, dia melihat Jendra sedang tertidur pulas dengan wajah polosnya. Ameli berjalan perlahan mendekati Jendra dan m
Sesampainya di rumah sakit, Ameli membawa wanita tersebut langsung ke dalam ruang UGD. "Permisi, Bu, apakah Ibu saudara dari pasien?" tanya salah satu perawat yang ada di dalam ruang UGD."Eee, sa-saya...,""Tolong melakukan pendaftaran dulu, Bu," sahut perawat tersebut yang kemudian bergegas berlari masuk mengikuti pasien tanpa memberi kesempatan Ameli untuk melanjutkan ucapannya."Apa? aku bahkan tidak tahu siapa dia. Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan?" ucap Ameli di dalam hati.Ameli kemudian teringat dengan tas selempang yang melekat di tubuh wanita tersebut ketika dia berusaha membawanya masuk ke dalam mobil. Ibu satu anak tersebut kembali berjalan menuju mobil."Setidaknya aku bisa menemukan handphone dan KTP wanita itu agar aku bisa menghubungi keluarganya," ucap Ameli sambil membuka resleting tas berwarna hitam dengan ukuran sedang tersebut."Ah, dapat!" imbuhnya yang kemudian membuka dompet dan melihat KTP milik wanita yang tanpa sengaja
"Aku sudah berniat jika kehadiranku tidak akan membuat beban di hidupmu jadi jika kamu tidak suka, maka kamu boleh meninggalkanku sekarang juga," ucap David dengan tegas.Ameli terdiam memandangi wajah David. Melihat wajah David, Ameli tiba-tiba merasa tidak tega jika harus meninggalkannya sendirian di tepi jalan yang sepi ini. Terlebih, Ameli merasa jika dia memang membutuhkan sosok laki-laki yang bisa membuatnya tenang untuk saat ini."Masuklah!" perintah Ameli sambil menyalakan mesin mobil."Apa?" respon David terkejut."Masuk dan ayo, kita pergi ke rumahmu!"David terdiam dengan perasaan tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Ameli."Kenapa kamu masih berdiri di situ? Jangan sampai aku berubah pikiran dan meninggalkanmu sendirian di tepi jalan yang banyak binatang buasnya ini," imbuh Ameli."Kamu jangan menakut-nakutiku!" Jawab David yang kemudian kembali masuk ke dalam mobil Ameli dengan cepat."Aku tidak menyangka, mempunyai tubuh gagah
"Amar? kenapa kamu memukulnya?" Ameli mendorong tubuh Amar."Apa yang baru saja dia lakukan kepadamu, Ameli? beraninya dia menciummu.""Memang kenapa kalau dia menciumku?""Apa?" "Amar, sudah cukup semua perlakukanmu kepadaku dulu dan aku minta mulai sekarang, jangan pernah muncul di hadapanku lagi! Kehadiranmu selalu membuat hidupku kembali dirudung banyak masalah," ujar Ameli.David terdiam melihat apa yang dikatakan oleh Ameli. Rasa penasaran David sedikit terkuak dengan pernyataan yang baru saja Ameli lontarkan."Aku tahu jika aku salah, Ameli, tapi aku memperbaiki semuanya. Aku menyesal dan aku ingin kembali menjalani hidupku bersamamu," bantah Amar yang masih berusaha membujuk Ameli agar mau menerimanya."Apa? kembali hidup bersama kamu bilang? kapan kita hidup bersama? jangan berucap seakan kita pernah menjalani kehidupan di dalam sebuah ikatan karena itu tidak pernah terjadi," jawab Ameli.Ameli membalikkan badan dan hendak kembali masuk ke d
Amar terdiam beberapa detik hingga pada akhirnya dia mengatakan hal yang sangat tidak terduga."Karena ada sebagian hidup Amar yang Amar titipkan kepada Ameli, Bu, dan itu tidak bisa dinilai dengan materi," ucap Amar."Apa maksudmu?" tanya Bu Deni sambil menggenggam jari-jari tangan.Ameli terkejut dan menatap wajah Amar dengan mata melotot. Tidak seketika tersentuh hatinya, Ameli justru semakin teringat akan semua janji palsu yang telah Amar berikan kepadanya dan pada akhirnya meninggalkannya begitu saja.Amar menatap wajah Ameli yang juga sedang menatapnya. Pria yang berstatus sebagai CEO itu tahu jika Ameli masih menaruh rasa dendam kepadanya."Karena...,""Permisi, pasien sudah siuman dan sudah bisa ditemui namun untuk saat ini maksimal jumlah anggota keluarga yang diperbolehkan masuk hanya dua orang," ucap salah satu perawat yang tiba-tiba keluar dari ruangan."Ibu tidak akan memaafkan kalian berdua jika sesuatu terjadi kepada Frieda." Ucap Bu Deni d
Sesampainya di rumah sakit, Ameli membawa wanita tersebut langsung ke dalam ruang UGD. "Permisi, Bu, apakah Ibu saudara dari pasien?" tanya salah satu perawat yang ada di dalam ruang UGD."Eee, sa-saya...,""Tolong melakukan pendaftaran dulu, Bu," sahut perawat tersebut yang kemudian bergegas berlari masuk mengikuti pasien tanpa memberi kesempatan Ameli untuk melanjutkan ucapannya."Apa? aku bahkan tidak tahu siapa dia. Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan?" ucap Ameli di dalam hati.Ameli kemudian teringat dengan tas selempang yang melekat di tubuh wanita tersebut ketika dia berusaha membawanya masuk ke dalam mobil. Ibu satu anak tersebut kembali berjalan menuju mobil."Setidaknya aku bisa menemukan handphone dan KTP wanita itu agar aku bisa menghubungi keluarganya," ucap Ameli sambil membuka resleting tas berwarna hitam dengan ukuran sedang tersebut."Ah, dapat!" imbuhnya yang kemudian membuka dompet dan melihat KTP milik wanita yang tanpa sengaja
Sesampainya di rumah, Ameli tidak langsung turun dari mobil. Dia melamun menatap pintu rumah dengan bayangan berbagai pertanyaan yang akan muncul dari kedua orangtuanya."Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada mama dan papa jika aku pulang tanpa Jendra?" gumamnya dalam hati.Dengan langkah kaki yang berat, Ameli akhirnya membuka pintu mobil dan menurunkan kakinya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam rumah."Kenapa kamu lama sekali? kemana saja kamu? Jendra saja hingga sudah selesai makan dan beres-beres?" tanya ibunya Ameli begitu melihat Ameli datang dari balik pintu."Apa? Jendra sudah ada di rumah?" tanya Ameli terkejut."Bagaimana kamu ini? kenapa anaknya pulang bersama orang lain, kok, kamu tidak tahu?" balas ibunya Ameli.Tanpa menjawab ucapan mamanya lagi, Ameli bergegas berlari menuju kamar Jendra. Begitu berhasil masuk ke dalam kamar Jendra, dia melihat Jendra sedang tertidur pulas dengan wajah polosnya. Ameli berjalan perlahan mendekati Jendra dan m
"Apa yang kamu lakukan kepadaku?" tanya Ameli sambil meletakkan kedua tangan di depan dada."Lakukan kepadamu? kenapa kamu bisa mempunyai pikiran seperti itu? apa aku terlihat seperti pria cabul?" tanya David sambil tersenyum dengan mata menggoda."Jangan halangi! aku ingin pergi dari sini! Ah, mana tasku?" Ameli melihat ke semua sudut kamar.Begitu dia melihat tas selempangnya yang terletak di sofa, bergegas Ameli berlari dan mengambilnya. Ketika mengambil tas, Ameli dikejutkan dengan suara notifikasi pesan. Seketika Ameli membuka isi pesan itu dengan jari bergetar."Ah, astaga! aku sudah membuat mama dan papa khawatir. Jendra pasti tadi malam juga mencari keberadaanku. Ibu macam apa aku ini!" gerutu Ameli yang kemudian bergegas mengembalikan handphonenya kembali ke dalam tas."Jadi siapa kamu sebenarnya?" tanya David dengan tatapan tidak berkedip."Apa? kenapa kamu bertanya seperti itu kepadaku? harusnya aku yang bertanya seperti itu. Siapa kamu dan kenapa kamu membawaku ke sini?" t
"Jika kamu tidak ingin kembali bersama Amar, paling tidak kamu cari pria baru yang pantas menjadi sosok ayah untuk Jendra!" perintah Pak Danang yang sejak tadi mengetahui keributan antara Ameli dan Jendra.Ameli terdiam. Bertahun-tahun memperjuangkan hidupnya sendiri seakan menjadikan dirinya wanita tidak sudah tidak membutuhkan sosok laki-laki. "Buat apa aku mendatangkan sosok laki-laki di hidupku jika nantinya hanya menjadi beban dan menyusahkan diriku sendiri?" gumamnya dalam hati."Tapi, semua terserah kamu, Ameli! Sebagai kakek, papa hanya kasihan melihat Jendra yang setiap hari selalu menanyakan sosok ayah, dan juga menyembunyikan sesuatu terlalu lama itu tidak baik. Cepat atau lambat, Jendra tetap harus tahu siapa ayahnya dan juga bagaimana kehidupan yang sekarang ini bisa terjadi," imbuh Pak Danang dengan tatapan iba.Ameli terus terdiam dengan pikiran masa lalu. Hatinya masih keras. "Ameli belum siap menerima siapapun di hidup Ameli, Pa!" Ucap Ameli yang kemudian beranjak d
"Baru pulang, Mas?" tanya Frieda yang duduk di sofa sambil bermain dengan handphonenya."Iya. Tadi ada meeting dadakan bersama klien. Jadi, jam segini baru pulang." Jawab Amar sambil mengendorkan dasi dan menaruh tas di sofa dekat Frieda."Meeting bersama klien atau makan malam bersama sekretaris baru?" tanya Frieda sambil terus bermain dengan handphone dan tidak melihat ke arah Amar."Apa maksudmu?" respon Amar sambil menatap Frieda dengan tatapan tajam."Iya. Aku dengar di perusahaan sedang ada sekretaris baru. Orangnya cantik dan juga masih muda. Dan aku dengar juga, akhir-akhir ini sekertaris itu sedang banyak dibicarakan dengan beberapa pria di perusahaan. Apakah jangan-jangan kamu juga menyukainya?" tanya Frieda dengan wajah kesal.Amar menghela nafas dan menggelengkan kepala."Ternyata kamu masih belum berubah juga! Frieda, aku ini suamimu! Aku bekerja pagi, siang, dan malam untuk mu! Tapi, kenapa setiap aku pulang kerja selalu kamu sambut dengan pertanyaan-pertanyaan konyol ya
Seperti tersambar petir di siang hari. Begitu kalimat yang tepat untuk mendiskripsikan apa yang Ameli rasakan saat ini. "Tapi, Bu? Saya masih ingat tetap kerja di sini!" ucap Ameli dengan menahan air mata."Maaf, seperti saya sudah tidak bisa memperkerjakan Anda lagi karena kami tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu hal yang buruk terjadi dengan kehamilan Anda," jawab Bu Yeni sambil kembali menyodorkan amplop berisi uang agar Ameli segera menerimanya.Dengan berat hati, Ameli menerima amplop tersebut dan kemudian beranjak keluar dari ruangan. Ketika Ameli berjalan melewati beberapa pelanggan, tanpa sengaja mata Ameli tertuju pada sosok pria memakai jas berwarna hitam. Ameli melihat pria itu dari belakang sedang bersama seorang wanita."Aku seperti tidak asing dengan pria itu," gerutunya.Ameli menghentikan langkah kaki dan mencoba memperhatikannya. Dan benar saja, ketika pria itu hendak menoleh untuk memanggil pelayan, Ameli sangat terkejut ketika akhirnya mengetahui siapa sebena