Di sebuah jalanan yang menjadi arena balap motor liar, Zuldan menghentikan mobilnya di sana. Ada sekitar 19 pemuda-pemudi yang terlihat sedang beraksi untuk balapan liar di sana. Lalu dia sengaja menyentrongkan lampu depan mobil ke arah mereka.
“Masih belum kapok juga mereka,” geram Zuldan.
Rumi yang duduk di kursi penumpang hanya diam mengamati saja.
Para pembalap liar yang merasa terganggu atas sentrongan lampu dari mobil langsung menghujani hujatan.
“Anjing!”
“Siapa lo?
“Cari mati lo di sini?”
Beberapa yang lain mengacungkan jari tengah lalu berteriak meminta pemi
Mendengar nama Mas Ganteng keluar dari mulut Zuldan, Rumi terkejut untuk yang kedua kalinya. Kakak laki-lakinya itu rupanya sudah mengetahui tentang identitas aslinya. Membuatnya kini mendapati tatapan Zuldan seperti seorang musuh kepadanya.Iya, pada akhirnya Zuldan akan menjadi musuh Rumi jika rahasia itu terungkap.“Bajingan kamu, Rum!” Kedua mata Zuldan melotot dan memerah karena tangis. “Perjudian macam apa yang kamu lakukan hingga membuat orang-orang bungkam, huh?!” teriaknya dengan perasaan porak-poranda. “ALASAN APA HINGGA KAMU MEMBUNUH JENDERAL QOMAR, HUH?” tanyanya lantang dangan wajah berurai air mata.Sudah bisa dibayangkan perasaan Zuldan saat ini. Kematian Jenderal Qomar telah meluapkan ambisinya untuk bisa menangkap pembunuhnya. Perjudian
Saat ini, Rumi sedang beradu pandang dengan matahari yang sedang terik-teriknya di atap bangunan. Dia telah kehilangan rasa kantuknya sepeninggal pertemuan mengejutkannya dengan Zuldan. Isi kepalanya tak menentu arah berpikirnya sekarang. Sudah setengah jam lamanya dia memandang gedung-gedung menjulang tinggi di hadapannya yang tak biasa. Sebab dia lebih menyukai pemandangan gedung tinggi di bawah langit hitam.Gadung-gedung menjulang tinggi itu bagai maskotnya ibu kota. Memberi pemandangan indah sekaligus kehidupan terpandang bagi orang-orang yang menempatinya. Namun, mereka semua adalah budak yang dibodohi oleh kekuasaan. Lalu kekuasaan memberinya keegoisan dan mengalahkan jiwa-jiwa seharusnya dalam diri mereka menjadi jiwa penuh kerakusan.Iya, seperti itulah kenyataan Ibu Kota.Kenyat
Rumi kehilangan sosok Gerta di tengah-tengah gerimis yang mengguyur. Membuatnya celingukan mencari-cari, sebelum kemudian menangkap seorang perempuan berlari di tengah-tengah gerimis. “Jangan bilang dia nerobos gerimis cuma demi nyamperin gue?”Ketika sosok Gerta terlihat jelas, Rumi hanya bisa geleng-geleng dna tersneyum. “Dasar.”“Rumi,” panggil Gerta.“Kamu kenapa keluar? Nanti kalau kamu dicari Opung gimana?” Rumi membuka pintu telepon bilik merah.“Pengen ketemu kamu,” jawab Gerta terang-terangan.“Sini, sini.” Rumi meraih lengan Gerta dan menariknya masuk ke dalam bilik merah dna menutup pintunya. “Kita berteduh di
Hush now my angel I will always be with youIn your pretty smile in a glow of tears out across the frosty nightI’II be there with you“Kamu kedinginan, ya? Bibir kamu biru begitu.” Rumi menyelisik wajah pucat Gerta.Gerta menggeleng. “Nggak, kok. Aku nggak papa.”“Beneran?” Rumi menggenggam jemari Gerta yang terasa dingin.Gerta tersenyum malu-malu. “Cuma … sedikit ngerasa dingin.Rumi tersenyum melihat sikap malu-malu perempuan dalam dekapannya itu.Dalam beberapa detik kemudian t
“Bajingan sialan. Jadi sejak kapan kamu hidup menjadi penjudi rahasia, huh?” Zuldan memulai obrolan serius seraya menyandarkan tubuhnya di body depan berhadapan dengan Rumi“6 tahun,” jawab Rumi singkat.“Kenapa kamu melakukan itu, Rum?”Rumi menyeringai. “Ya … karena penjudi kayak aku memang dibutuhkan di ibu kota ini.”“Apa kamu nggak tahu sama siapa kamu terlibat?” Zuldan mulai menaikkan suara.Ya, masih terselib amarah, mengingat Jenderal Qomar ternyata terlibat perjudian rahasia dengan adik tirinya itu.
“Tapi pastikan satu hal, kalau orang -orang yang terlibat perjudian itu juga tertangkap,” pinta Rumi.Zuldan mengangguk. “Oke. Tapi kamu juga harus ingat satu hal, kalau aku juga nggak akan melupakan kamu sebagai penjahat, Rum.”Ya, sudah bersarang di kepala Zuldan untuk melakukan penangkapan kepada Rumi suatu hari nanti. Bagaimanapun juga adik laki-lakinya itu juga termasuk penjahat.“Tentu saja. Dengan senang hati aku menyerahkan diri,” timpal Rumi tanpa takut.Zuldan melepskan uluran tangan. “Oke. Tapi tunggu … ada satu hal lagi yang harus aku lakukan buat kamu.”“Apa?” Rumi mengernyit.
Kerja sama pun terjadi. Zuldan selalu menyisikan waktunya di sela-sela kesibukannya di kantor BIN untuk melakukan penyelidikan diam-diam bersama Rumi. Karena Rumi memegang peranan penting sebagai informan atas orang-orang yang terlibat perjudian itu.Meski begitu Rumi tetap memilih menutup mulut rapat-rapat tentang Soebahir dan Siswo Barac yang juga ikut terlibat di dalamnya dari Zuldan. Sebab itu bisa menjadi bom waktu bagi Zuldan jika mengetahuinya. Untuk itu Soebahir dan Siswo Barac adalah misi terakhirnya jika sudah berhasil mengungkap penjahat-penjahat lainnya.“Sudah sampai mana penyelidikan tentang laki-laki bertopeng itu?” tanya Rumi memulai pembicaraan di dalam mobil. Mata dan jari-jarinya tengah disibukkan dengan layar laptop.“Masih nihil,” jawab Zuldan
Seorang laki-laki tua yang dipenuhi dengan berewok putih yang merupakan seorang bartender terlihat tengah meracik sebuah minuman alkohol. Berkali-kali tatapannya melirik ke arah tiga laki-laki yang baru saja memasuki ruangan. Dia juga melirik pada satu orang laki-laki berkacamata yang tengah duduk di kursi merah tengah merangkul seorang perempuan dan satunya lagi duduk membelakangi kerumunan orang berjas hitam. Membuat bibirnya menyunggingkan senyum tipis, seolah-olah mengenal orang-orang tersebut.“Duduklah dengan tenang. Jangan merekam pembicaraanku dan jangan melempar pandangan ke arahku saat berbicara. Itu adalah kode etik jika kalian membutuhkan informasi dariku,” ujar laki-laki tua tersebut kepada tiga orang laki-laki yang duduk di hadapannya. Sebab dia sudah mencium aroma uang dalam sebuah tas hitam milik mereka.R