Layaknya seperti putri dalam dongeng, warna putih selalu menjadi warna kesukaan Gerta. Menurutnya, dia terlihat cantik jika memakai gaun putih. Seperti yang sedang dia lakukan saat ini di depan cermin. Rambut panjang terurai dengan gaun putih panjang selutut membuatnya begitu cantik dipandang.
“Sudah siap buat pergi?” tanya Opung menghampiri Gerta yang masih mematung di depan cermin.
“Sudah siap,” jawab Gerta tampak senang.
“Biar tambah cantik, Opung tambahi dengan topi cantik ini. Karena matahari di luar lagi terik, kamu harus memakai ini biar nggak kepanasan.” Opung memakaikan topi fedora rajut di kepala Gerta
Gerta kembali melihat sosoknya di hadapan cermin. Tampak sosoknya semakin anggun dengan tambahan
Alunan musik Become A Song milik Sung Si Kyung menghidupkan ruangan berdinding putih yang dipenuhi aroma obat-obatan khas rumah sakit. Terlihat laki-laki berjubah putih berkacamata tengah sibuk memeriksa seekor anjing di sebuah brankar. Dengan teleskop yang mengantung di lehernya, penampilannya tampak gagah sebagai seorang dokter. Dia juga sengaja mengalunkan musik di ruangannya sebagai upaya menghidupkan suasana yang nyaman. Terlebih lagu milik Sung Si Kyung—salah satu penyanyi favoritnya.“Wah, pagi-pagi udah kedatangan pasien. Apa kamu udah sempat sarapan? Dokter juga perlu menjaga kesehatannya.” Seseorang melempar sapaan.“Hehehe. Dan apa kamu datang pagi-pagi ke sini sebagai pasien?” tanya dokter laki-laki bernama
Kehidupan berbeda yang lain juga sedang berjalan di belakang Gerta. Dia adalah Rumi. Laki-laki berkaus putih berpadu black jacket, short cargo pants dan sneakers itu tengah mengayunkan bikisan hitam yang berisi barang belanjaan di tangan kanannya. Dia tampak berjalan santai dengan tangan kiri di masukkan di dalam saku celana. Sementara matanya tengah menikmati pemandangan orang-orang yang tengah berjualan—suara orang-orang tawar menawar barang saling bersautan dan pedagang yang saling lempar sorakan untuk menarik perhatian pembeli.Iya, pasar pinggiran memang selalu begitu. Rumi yang sudah terbiasa di sana terlihat s
Kaleng bir berserakan di mana-mana. Sudah menjadi hal biasa jika keseharian Rumi dan Dego penuh dengan hal-hal yang berantakkan di ruangan kerja. Tampak juga sisa-sisa ayam goreng dan pizza di atas meja sebagai teman bergadang mereka jika sudah berkutat dengan urusan pekerjaan.Dego berkali-kali megembuskan napas berat dan mondar-mandir menatap Rumi yang tengah kacau isi kepalanya. Sampai kemudian dia melipat tangan dan bersandar pada pintu, menunggu teman karibnya itu bersuara mengambil keputusan.Ya, sejak Subuh Rumi enggan beranjak dari meja kerja. Padahal yang dilakukan hanyalah berdiam diri dengan tatapan kosong. Ditambah sepanjang malam dia paling banyak menghabiskan kaleng bir, tidak seperti biasanya.
Dego seketika merenung, mengingat nasibnya yang tidak jauh berbeda dengan Rumi—sengaja dibuang oleh orang tua dan berakhir di panti asuhan.“Nasib kita kurang lebih sama, Go. Dan tujuan kita membangun situs MG ini adalah agar kita nggak menjadi orang terbuang untuk yang kedua kalinya.” Rumi menatap Dego.Dego mengangguk-angguk. “Lo benar. Takdir juga pernah mempermainkan gue dulu. Jadi pasti ada kemungkinan takdir berikutnya akan mempermainkan gue lagi.”“Jadi gimana?” Rumi mengangkat tangan ke arah Dego.Dego tertawa. “Meskipun mabuk, ternyata otak lo emang masih waras buat mikir rencana,” sanjungnya melangkah mendekat menyepakati keputusan Rumi dan melakukan
Sesaat mengamati, Frans dibuat sangat familiar dengan paras dalam gambar tersebut. Ingatannya langsung tertuju pada pemuda yang kerap langganan datang ke kliniknya.“Gerta, biasakah kamu membuatkan camilan buat Dokter Frans?” suruh Opung lembut.Gerta mengangguk menurut. “Iya, Opung.”“Ah, nggak perlu repot-repot, Wan. Aku ini bukan tamu spesial.” Frans menolak.“Dokter Frans, aku punya cookies cokelat panggang yang aku buat tadi pagi. Mau mencicipi?” tawar Gerta.Frans tersenyum dan akhirnya mengangguk, tak tega menolak tawaran lembut itu. “Boleh. Dengan sena
“Pak Frans,” panggil Rumi.“Eh, Rumi. Masuk aja. Tunggu sebentar, aku lagi menyuntik kucing,” ucap Frans di balik ruangan bergorden putih.Laki-laki yang sudah berkepala enam itu masih terlihat kokoh tulang punggungnya, sepertinya menyimpan banyak semangat hidup. Tak heran, jika dokter hewan yang juga mengobati manusia itu masih terlihat bugar di usia tuanya.Rumi memasukkan kedua tangan ke dalam dua saku celannya dan berjalan masuk ruangan yang selalu dipenuhi alunan musik Sung Si Kyung yang menenangkan. Lagu yang mengalun kali ini berjudul First. Dia kemudian melihat-lihat sekeliling ruangan yang dipenuhi dengan botol regan berisi obat-obatan dan tumpukkan buku di meja kerja. L
Sosok Gerta juga tak jauh berbeda dengan Rumi. Dia juga salah satu anak yang memperoleh nasib buruk itu, meski beruntung bertemu dengan Hernawan Sinto. Tuhan menempatkannya di takdir yang berbeda ketika dia terbuang di masa kecilnya. Hanya saja, dia tidak bisa tumbuh seperti anak lain pada umumnya sejak kecil, karena mengalami kesulitan bersosialisasi akibat trauma yang sampai saat ini masih menghuni.Ya, Gerta mengunci dirinya dalam waktu yang sangat lama. Baru saat ini, di usianya yang menginjak dua puluh dua tahun, dia sedikit demi sedikit mencoba untuk membuka diri. Layaknya ulat dalam kepompong yang harus melewati proses sampai bisa mengepakkan sayapnya.Denting hujan kemudian mengundang Gerta. Sebuah jendela berkayu terdorong oleh tangannya di lantai tiga dan terbuka. Lalu tangannya menengadah di bawah rintik hujan. Membuat waj
Sedan hitam Rolls-Royce Phantom melaju di sepanjang jembatan Szechenyi. Sebuah patung singa yang merupakan lambang penjaga jembatan rantai Szechenyi menjadi pemandangan Rumi di dalam mobil.Sejarahnya, sebelum jembatan Szechenyi di bangun, dulunya hampir tidak ada kontak antara wilayah Buda dan Pest. Karena wilayah Buda dulunya dihuni oleh kebanyakan kaum dari kalangan atas dan wilayah Pest terdiri dari kaum buruh. Lalu jembatan Szechenyi yang akhirnya menghubungkan kedua wilayah tersebut dan menjadi Budapest saat ini.Di balik kaca mobil, Rumi menyandarkan kepalanya dengan malas di kabin belakang seraya pemandangan sepanjang perjalanan.Jika kalian bertanya, tentang kenapa hidupku seperti ini, kehidupanlah yang telah menciptakanku menjadi orang yang seperti ini. Tidak ada penjahat ji
Sesampainya di rumah, Rumi langsung disambut ceria Gerta dan Ira yang sudah menantikan makanan yang dibawanya.“Akhirnya datang juga.” Ira langsung mengambil bingkisan itu di tangan Rumi. “Mis udah buatkan kamu kopi. Masuk, masuk,” ucapnya hangat menyambut kepulangan Rumi.Gerta langsung memeluk Rumi. “Lama banget sih kamu pulangnya?”Rumi tersenyum. “Antri beli waffle pesanan kamu.”“Makasih ya.” Gerta tersenyum manja.“Sama-sama.”“Yok, kita makan bareng-bareng sambil nonton TV. Ada acara bagus banget.” Gerta langsung merangkul lengan Rumi dan menggiringnya ke sofa.
Rumi tampak gelisah di sepanjang jalan pulang usai membeli dua wadah gelato pesanan Gerta dan Ira. Dia masih tak berhenti memikirkan, siapa dari orang-orang ibu kota yang berani mengusiknya lagi. Terlebih sampai memasang wajahnya ke khalayak umum dengan embel-embel seorang buronan.Berkali-kali Rumi mengembuskan napas sesal memandangi portal berita di ponselnya yang memang terang-terangan menampilkan wajah aslinya. Jika dulu dia bisa bersembunyi di balik sosok Mas Ganteng, kini sudah tidak bisa lagi.Jika benar orang-orang berengsek di ibu kota itu masih tersisa, bearti kejahatan itu juga masih belum selesai. Mau tidak mau pasti akan menyerat Rumi dan rekan-rekannya pada masalah baru.Sebuah panggilan dari Gerta masuk ke layar ponsel, membuat Rumi langsung mengangkatnya. “Iya,&rdquo
Setelah dipastikan Gerta hamil, dengan senang hati Rumi menawarkan diri mengurus urusan dapur dengan dibantu Ira. Menyiapkan makanan untuk istri yang sedang hamil memberikan rasa senang dan kepuasan dalam diri Rumi. Terlebih dia bisa memastikan makanan-makanan yang dikonsumsi istri dan anaknya adalah makanan yang sehat.“Itu tumis dulu bawang putihnya. Jangan dimasukkan dulu potongan sayurnya.” Ira hanya bersedekap di sebelah Rumi, tampak seperti seorang pemandu.Rumi mengikuti arahan Ira dengan gerakan pelan menumis bawang putih. “Udah belum ini?”“Belum. Belum juga semenit numisnya. Tunggu sampai bawang putihnya layu kecoklatan.”Gerta yang turun tangga dengan langkah pelan agar tak menimbulkan suara kemud
Sepekan menikmati musim dingin di Kanada, kini Gerta telah kembali ke Wina yang masih berlangsung musim panas. Perempuan yang sejak pagi sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan itu tampak pucat, tak seperti biasanya. Sejak bangun tadi dia merasakan pening dan sempat muntah.“Gerta, kamu kenapa?” Ira datang menatap wajah pucat Gerta.Gerta menggeleng. “Nggak papa, Mis. Mungkin kecapekan aja setalah dari Kanada. Karena di sana lagi musim dingin.”“Rumi! Rumi!” panggil Ira.“Mis, aku nggak papa. Jangan bangunin dia, dia juga pasti kecapekan,” larang Gerta memelas.Ira mengembuskan napas berat. “Ya udah, kalau begitu biarkan Mis yang masak. Ka
Sebuah kedai kopi tampak indah oleh bunga-bunga rustic di sepanjang pintu masuk yang membantang karpet merah. Di dalam ruangan dipenuhi orang-orang berpakaian formal yang sudah siap menyambut acara. Tampak beberapa barista di balik meja panjang menunjukkan kemampuannya berseni di dalam cangkir kopi. Membuat banyak pasang mata menatap penuh kagum.Ya, pembukaan kedai kopi milik Dego digelar bersamaan dengan pesta pernikahannya. Beberapa rekan seprofesi yang datang ada yang sekalian menjaring kerja sama. Tidak ketinggalan juga Boni dan Kris yang lagi-lagi tampak gagah dengan setelan jas mahal.“Ini adalah kali kedua gue bisa memakai jas mahal ini di acara pernikahan.” Kris membenarkan letak dasinya.
Satu bulan kemudian Rumi menepati janjinya untuk berkunjung ke Kanada mengunjungi keponakannya. Kedatangannya bersama Gerta disambut begitu hangat oleh Vania, terlebih Kian yang sudah lama menantikan kedatangan omnya.“Om Rumi!” seru Kian yang langsung berlari memeluk Rumi.“Halo, Kian. Apa kabar kamu?” Rumi balas memeluk keponakannya itu.“Baik, dong. Om Rumi janji akan nginap di sini ‘kan?” tanya Kian yang langsung menagih lagi janjinya.Rumi mengangguk. “Iya.”“Berapa lama?” Kedua mata Kian berbinar senang.Rumi tampak berpikir. “Mmm … seminggu?”
Semburat cahaya orange yang menyeruak masuk di balik gorden putih yang tersibak separuh membuat Rumi membuka mata. Kedua tangannya masih merengkuh tubuh polos di balik selimut putih yang masih terjaga begitu nyaman. Wangi rambut panjang tergerai dan tubuh polos beraroma mawar itu begitu memabukkannya. Membuatnya tak pernah berhenti mencumbu.Rumi bergerak mengecupi pundak polos itu seraya menyibak rambut panjang tergerai itu. Setelahnya mengecupi sepanjang leher dan daun telinga mungil itu hingga membuat pemilik tubuh polos itu menggeliat.Gerta membalikkan tubuh dan mendapati Rumi mengecupi wajahnya menggoda. “Kamu udah bangun?”“Udah dari tadi. Mangkannya aku bangunin kamu.” Rumi menenggelamkan kepalanya di ceruk leher untuk mencumbu.
Esok paginya kegiatan-kegiatan romantis menjadi pemanis kegiatan pengantin baru mereka. Gerta tampak manis mengenakan mini dress putih berpadu slippers. Sementara Rumi tampak kece dengan kaus hitam berpadu cargo pants cokelat dan sneakers. Mereka tampak satu meja menikmati hidangan Viennese breakfast yang berisi roti gulung, croissant, mentega, selai homemade
Gerta mengangguk pelan.“Aku akan melakukannya pelan-palan, karena aku tahu ini adalah pertama kalinya buat kita berdua,” lirih Rumi.Gerta kembali mengangguk.“Kalau sakit, kamu bilang.”Gerta menelan ludah. “Kamu bisa lakukan semau kamu.”Rumi tersenyum. “I love you.”“I love you too.”Rumi kemudian memosisikan kepemilikannya pada lembah kenikmatan itu. Kedua tangannya memenjara kedua tangan Gerta di atas kepala. Setelahnya bergerak pelan menerobos masuk.“Ehm.” Gerta mengerang terpejam.