Rumi memandangi layar komputer dengan menggut-manggut.
“Udah saatnya juga kita menunjukkan senjata kita pada mereka. Emang cuma kita doang yang bisa jadi incaran? Kalau kita ketangkap, maka mereka semua juga harus ketangkap.” Dego menyeringai penuh kelicikan.
“Ide bagus. Setidaknya ini bisa membantu kita untuk saat ini,” ucap Rumi setuju.
Meski begitu, kemurungan masih terlihat di wajah Rumi.
“Kenapa wajah lo?” tanya Dego yang menangkap kemurungan teman karibnya itu.
Rumi mengembuskan napas berat. “Gue tahu banget siapa Zuldan Bahir, Go. Dia akan bertarung sampai ke akar-akarnya kalau sudah menyangkut kejahatan. Kalau dia udah mulai bertarung, musuh yang di
Layaknya seperti putri dalam dongeng, warna putih selalu menjadi warna kesukaan Gerta. Menurutnya, dia terlihat cantik jika memakai gaun putih. Seperti yang sedang dia lakukan saat ini di depan cermin. Rambut panjang terurai dengan gaun putih panjang selutut membuatnya begitu cantik dipandang.“Sudah siap buat pergi?” tanya Opung menghampiri Gerta yang masih mematung di depan cermin.“Sudah siap,” jawab Gerta tampak senang.“Biar tambah cantik, Opung tambahi dengan topi cantik ini. Karena matahari di luar lagi terik, kamu harus memakai ini biar nggak kepanasan.” Opung memakaikan topi fedora rajut di kepala GertaGerta kembali melihat sosoknya di hadapan cermin. Tampak sosoknya semakin anggun dengan tambahan
Alunan musik Become A Song milik Sung Si Kyung menghidupkan ruangan berdinding putih yang dipenuhi aroma obat-obatan khas rumah sakit. Terlihat laki-laki berjubah putih berkacamata tengah sibuk memeriksa seekor anjing di sebuah brankar. Dengan teleskop yang mengantung di lehernya, penampilannya tampak gagah sebagai seorang dokter. Dia juga sengaja mengalunkan musik di ruangannya sebagai upaya menghidupkan suasana yang nyaman. Terlebih lagu milik Sung Si Kyung—salah satu penyanyi favoritnya.“Wah, pagi-pagi udah kedatangan pasien. Apa kamu udah sempat sarapan? Dokter juga perlu menjaga kesehatannya.” Seseorang melempar sapaan.“Hehehe. Dan apa kamu datang pagi-pagi ke sini sebagai pasien?” tanya dokter laki-laki bernama
Kehidupan berbeda yang lain juga sedang berjalan di belakang Gerta. Dia adalah Rumi. Laki-laki berkaus putih berpadu black jacket, short cargo pants dan sneakers itu tengah mengayunkan bikisan hitam yang berisi barang belanjaan di tangan kanannya. Dia tampak berjalan santai dengan tangan kiri di masukkan di dalam saku celana. Sementara matanya tengah menikmati pemandangan orang-orang yang tengah berjualan—suara orang-orang tawar menawar barang saling bersautan dan pedagang yang saling lempar sorakan untuk menarik perhatian pembeli.Iya, pasar pinggiran memang selalu begitu. Rumi yang sudah terbiasa di sana terlihat s
Kaleng bir berserakan di mana-mana. Sudah menjadi hal biasa jika keseharian Rumi dan Dego penuh dengan hal-hal yang berantakkan di ruangan kerja. Tampak juga sisa-sisa ayam goreng dan pizza di atas meja sebagai teman bergadang mereka jika sudah berkutat dengan urusan pekerjaan.Dego berkali-kali megembuskan napas berat dan mondar-mandir menatap Rumi yang tengah kacau isi kepalanya. Sampai kemudian dia melipat tangan dan bersandar pada pintu, menunggu teman karibnya itu bersuara mengambil keputusan.Ya, sejak Subuh Rumi enggan beranjak dari meja kerja. Padahal yang dilakukan hanyalah berdiam diri dengan tatapan kosong. Ditambah sepanjang malam dia paling banyak menghabiskan kaleng bir, tidak seperti biasanya.
Dego seketika merenung, mengingat nasibnya yang tidak jauh berbeda dengan Rumi—sengaja dibuang oleh orang tua dan berakhir di panti asuhan.“Nasib kita kurang lebih sama, Go. Dan tujuan kita membangun situs MG ini adalah agar kita nggak menjadi orang terbuang untuk yang kedua kalinya.” Rumi menatap Dego.Dego mengangguk-angguk. “Lo benar. Takdir juga pernah mempermainkan gue dulu. Jadi pasti ada kemungkinan takdir berikutnya akan mempermainkan gue lagi.”“Jadi gimana?” Rumi mengangkat tangan ke arah Dego.Dego tertawa. “Meskipun mabuk, ternyata otak lo emang masih waras buat mikir rencana,” sanjungnya melangkah mendekat menyepakati keputusan Rumi dan melakukan
Sesaat mengamati, Frans dibuat sangat familiar dengan paras dalam gambar tersebut. Ingatannya langsung tertuju pada pemuda yang kerap langganan datang ke kliniknya.“Gerta, biasakah kamu membuatkan camilan buat Dokter Frans?” suruh Opung lembut.Gerta mengangguk menurut. “Iya, Opung.”“Ah, nggak perlu repot-repot, Wan. Aku ini bukan tamu spesial.” Frans menolak.“Dokter Frans, aku punya cookies cokelat panggang yang aku buat tadi pagi. Mau mencicipi?” tawar Gerta.Frans tersenyum dan akhirnya mengangguk, tak tega menolak tawaran lembut itu. “Boleh. Dengan sena
“Pak Frans,” panggil Rumi.“Eh, Rumi. Masuk aja. Tunggu sebentar, aku lagi menyuntik kucing,” ucap Frans di balik ruangan bergorden putih.Laki-laki yang sudah berkepala enam itu masih terlihat kokoh tulang punggungnya, sepertinya menyimpan banyak semangat hidup. Tak heran, jika dokter hewan yang juga mengobati manusia itu masih terlihat bugar di usia tuanya.Rumi memasukkan kedua tangan ke dalam dua saku celannya dan berjalan masuk ruangan yang selalu dipenuhi alunan musik Sung Si Kyung yang menenangkan. Lagu yang mengalun kali ini berjudul First. Dia kemudian melihat-lihat sekeliling ruangan yang dipenuhi dengan botol regan berisi obat-obatan dan tumpukkan buku di meja kerja. L
Sosok Gerta juga tak jauh berbeda dengan Rumi. Dia juga salah satu anak yang memperoleh nasib buruk itu, meski beruntung bertemu dengan Hernawan Sinto. Tuhan menempatkannya di takdir yang berbeda ketika dia terbuang di masa kecilnya. Hanya saja, dia tidak bisa tumbuh seperti anak lain pada umumnya sejak kecil, karena mengalami kesulitan bersosialisasi akibat trauma yang sampai saat ini masih menghuni.Ya, Gerta mengunci dirinya dalam waktu yang sangat lama. Baru saat ini, di usianya yang menginjak dua puluh dua tahun, dia sedikit demi sedikit mencoba untuk membuka diri. Layaknya ulat dalam kepompong yang harus melewati proses sampai bisa mengepakkan sayapnya.Denting hujan kemudian mengundang Gerta. Sebuah jendela berkayu terdorong oleh tangannya di lantai tiga dan terbuka. Lalu tangannya menengadah di bawah rintik hujan. Membuat waj