Setelah hari-hari itu, aku menjalani rutinitas ku seperti biasa. Ada jadwal tersendiri ketika aku ingin menemui Aksa. Kabar bahagia ku dapatkan setelah masa Iddah Adiba selesai. Ya, mantan istriku itu akhirnya dipinang oleh seorang lelaki yang bergelar seorang dokter juga , ia bernama Shaki Ramdhani. Aku turut bahagia mendengarnya, karena ia tak larut dalam luka yang ku ciptakan. Mungkin karena satu profesi dan satu tempat, jadi Adiba mudah akrab dengannya. Apapun itu aku ikut bahagia mendengarnya.Satu bulan kemudian aku datang ke acara pernikahan Adiba dan Shaki. Di tengah kerumunan orang-orang aku sesekali menatap ke arah kedua pengantin baru yang berdiri di atas panggung. Mereka tampak serasi bahagia. Baik mempelai wanita maupun laki-laki. Senyumnya benar-benar tulus, tiada kepura-puraan seperti yang saat itu aku lakukan saat menikahi Adiba. “Papa...” Tiba-tiba Aksa menghampiriku. Entah sejak kapan anak itu turun dari panggung. Mungkin karena aku terlalu larut dalam pemikiranku.
Pov ThalitaAku menghela napas kasar, berkali-kali membuang pandangan ke arah lain, demi menghindari tatapan Mas Ravi. Inilah yang aku takutkan jika makan di restoran di mall di mana tempat Mas Ravi bekerja. Jika saja bukan karena paksaan Pak Yusuf selaku atasanku. Aku tentu akan menolak makan di sini. Karena dia akhirnya kami berada di sini. Restoran yang menyajikan makanan khas Jepang menjadi pilihan kami. Katanya mumpung baru gajian. Semua teman-temanku asyik menikmati makanan. Sementara aku merasa canggung, karena sejujurnya sedikit terpaksa. Tak jauh dari meja kami, ada Mas Ravi dan teman-temannya yang juga tengah makan bersama. Padahal selama ini aku berusaha untuk menghindari dirinya, sekalipun ia kerap mengirim pesan terus saja ku abaikan. Meski begitu tak jarang Mas Ravi kerap mengirimkan makan siang ke tempat kerjaku. Hal yang tentu mengundang perhatian teman-temanku. “Ta.. Ta....”Aku berjingkrak kaget saat Mela memanggil namaku.“Hey iya apa?” jawabku secara spontan bahk
Pada pukul lima sore aku baru keluar dari kantor. Dengan membawa tentengan ku letakkan di gantungan motor depan. Karena bujukan Mela akhirnya aku pun belanja di supermarket. Memang kebetulan persediaan bulanan di rumah sudah habis, aku pun ikutan kalap. “Duluan, Ta.” Teman-temanku berteriak sambil melambaikan tangannya, ada berkendara sendiri, ada yang dijemput kekasihnya, ada juga suaminya. Lalu aku? Apakah jika aku menikah dengan Mas Ravi. Aku akan diantar jemput olehnya, mengingat tempat kerja kami sangat dekat. “Astaghfirullah....” Spontan aku menyebut seraya mengusap dadaku, berusaha untuk sadar diri, jika apa yang aku pikirkan itu sama sekali tidak pantas. “Ada apa, Ta?” Pak Yusuf yang baru keluar dari kantor tampak terkejut melihatku. “Enggak apa-apa, Pak.”“Kirain ada apa? Kamu tampak terkejut gitu.”Aku terkekeh memasang helm kemudian naik ke motor. “Saya duluan ya, Pak." Pamitku sebelum menghidupkan motor.“Hati-hati, Ta."Aku mengangguk seraya berlalu meninggalkan area
“Beri aku kesempatan sekali lagi, Dek.”Dia menatapku penuh harap.Namun, aku tak mengindahkannya. Aku justru berdiri menghampiri tukang bengkel menanyakan motorku, karena aku merasa sudah menggigil kedinginan. Dan ternyata motorku lagi-lagi harus menginap. Ya memang motorku itu sudah lama, sudah seharusnya ganti. Aku berniat memesan ojek online. Namun, tiba-tiba Mas Ravi mencekal tanganku, lalu menariknya keluar dari dalam bengkel membawanya ke mobil miliknya. Aku sempat meronta, namun ia tetap memaksa membuat aku akhirnya masuk. “Aku tidak akan memaksamu untuk kembali menerima perasaanku dalam waktu dekat ini, Dek. Tetapi, aku mohon beri aku waktu untuk lebih dekat. Tolong biarkan tetap seperti ini. Jangan menghindar. Aku rasa sudah cukup bukan? waktu delapan tahun untuk kamu menyiksaku. Aku benar-benar tidak bisa mengabaikannya lagi.”“Tapi, Mas. Itu tidak mungkin bisa ku lakukan.”“Kenapa tidak bisa?”“Kita ini kan....”“Jangan bawa-bawa ikatan saudara dalam hubungan kita, Dek. S
Aku tertegun duduk di kursi kerjaku, mengingat kembali ucapan yang ku lontarkan pada Mas Ravi. Apakah aku sangat keterlaluan? Aku masih ingat bagaimana raut wajahnya yang penuh kecemasan usai menolongku dari maut tadi. Kekhawatiran nampak jelas di wajahnya. Tapi, yang ku berikan justru ucapan pedas darinya. Bagaimana kalau setelah ini dia menyerah? Bagaimana jika ia merasa tersinggung? Menggelengkan kepalanya aku mengenyahkan kemungkinan hal itu. Memangnya kenapa? Bukankah jika ia menjauh itu lebih baik. Bukankah memang itu yang aku inginkan. “Pagi-pagi udah ngelamun aja, Ta."“Enggak kok, Mel.” Aku berkilah pada Mela. “Udah mau buka tuh. Komputer udah siap belum?”“Udah dong.”Ketika bank sudah mulai beroperasi aku melayani nasabah seperti biasanya. Meski beberapa kali wajah Mas Ravi berkelabat dalam otak meninggalkan rasa bersalah padaku. Aku tetap berusaha untuk profesional. Hingga pada pukul setengah sembilan aku mendengar ponsel yang tengah ku charger bergetar. Satu kali dua ka
POV Aravi‘Sudah tahu kekanak-kanakan ngapain kamu ngejar-ngejar aku. Sudah saja cari yang lebih dewasa. Berhentilah mengejar ku seperti orang yang konyol.’Aku terkekeh mengingat ucapan Lita tadi pagi. Konyol? Katanya aku terlihat konyol mengejarnya. Apakah memang seperti itu di matanya. Ku usap wajahku dengan gerakan kasar. Ku tarik napasnya dengan pelan berulang kali. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku bersikap demikian. Apakah terlalu berlebihan sikapku? Aku hanya tidak ingin kembali kehilangannya. Kenapa dia masih meragukan perasaanku. Kenapa segala perlakuan lembutku tak ada yang bisa menyentuh hatinya? Apakah benar hatinya sudah mati? Aku berusaha konsentrasi mengerjakan pekerjaanku secepat mungkin. “Rav, makan yuk.” Redi tiba-tiba masuk ke ruangan ku lalu duduk di depan kursiku.“Duluan. Aku belum lapar.”“Ayolah, semalam bilang pengen makan soto depan bank itu loh.”Aku menghela napas lemah mendengar tempat kerja Lita disebut. “Malas.”“Loh biasanya semangat, kan ada p
POV ThalitaSiang hari ketika jam makan siang aku menyempatkan diri untuk pergi ke supermarket. Hira meminta dibelikan coklat sebagai syarat agar mau masuk sekolah. Bersama dengan Mela aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam Mall. Ketika baru membuka pintu lobi, aku tertegun melihat keberadaan Mas Ravi yang tengah berada di salah satu brand roti terkenal. Entah kenapa kali ini aku berharap ia akan menyapa. Namun, lagi-lagi aku harus menelan rasa kecewa saat ia mengabaikan kehadiranku. Bahkan ketika berpapasan denganku ia memiringkan tubuhnya tak ingin bersentuhan denganku. Ada apa? Kenapa aku merasa sakit hati dengan sifatnya tersebut. Tak sadar aku menunduk menahan rasa pedih yang aku rasa. Bahkan ketika Mela melemparkan pertanyaan aku hanya diam saja. Aku menyeret Mela turun ke supermarket, meski begitu pikiranku terus saja tertuju pada perubahan Mas Ravi, belum lagi rengekan Hira yang meminta untuk bertemu.“Kau ada masalah apa sih sama Pak Ravi, Ta?” tanya Mela.“Gak ada apa-apa.”
“Kata siapa?” Aku mendorong mangkuk sop milikku ke tengah meja lalu menarik teh hangat mendekat. Ku sesap pelan minumanku itu.“Kata Redy.”“Oh iya.” Aku tersenyum tipis mengambil jas yang sejak kemarin aku bawa yang aku letakkan di totebag. “Aku mau mengembalikan jas ini. Makasih ya, Mas.”Dia menerimanya, namun matanya tak lepas memandang ke arahku. “Oh cuma mau mengembalikan jas saja. Aku pikir ada apa,” sahutnya lirih. Nadanya terdengar jika ia merasa kecewa. Aku menoleh ke arahnya, terlihat ia mulai menikmati semangkok sop miliknya. “Aku mau minta maaf soal ucapanku yang waktu itu.”“Yang mana?” tanyanya balik. Aku menggigit bibir bawahku. “Yang itu loh...”“Yang mana? Ucapanmu itu kan banyak.”“Mungkin yang udah buat Mas sakit hati atau tersinggung.”Dia mengangguk pelan tersenyum tipis. “Lupakan saja. Aku mengerti. Jadi, nyari aku cuma buat ngomong ini doang.”“Ya emang mau ngomong apalagi?”Dia menghela napas kesal. “Aku pikir kamu mau bicara tentang kelanjutan hubungan kit
Jakarta, lima tahun kemudian.“Saya pikir yang seperti ini lebih baik, Pak.”“Coba ku lihat.” Mas Ravi mengambil dokumen dari rekannya, menelitinya. “Oh oke, aku setuju."“Baiklah kalau Pak Ravi setuju.” Laki-laki itu mengambil kembali dokumennya. “Saya permisi ya, Pak.”“Lho kok buru-buru? Istri saya sedang masak.”Laki-laki itu tertawa kecil. “Haduh sebelumnya terima kasih banyak, Pak. Tadi saya sudah janji mau makan bareng sama istri di rumah. Nanti kalau saya sudah kenyang kasihan dia menunggu.”“Aku mengerti.”Sepeninggal lelaki itu, aku melanjutkan langkahku mengantarkan minuman jahe pada suamiku. “Ini, Pa. Segera diminum ya. Nanti keburu dingin gak enak.”Dia mengambil alih gelas dari tanganku, lalu menyesapnya pelan. “Gak ada yang gak enak kalau disentuh kamu. Karena sudah ditambah bubuk cinta.”“Gombal!” selorohku mencubit perutnya, membuat ia meringis pelan. “Sudah tua masih suka gombal.”“Lho lho... Usia itu hanyalah angka. Soal stamina masih okelah. Kamu gak boleh meraguk
“Sudah dari tadi, Diba?” tanya mertuaku begitu tiba rumah. “Oh belum, Bu. Kamu baru tiba.” Perempuan berparas cantik itu berdiri menghampiri ibu, menyalaminya dengan takjim. “Ibu apa kabar?” lanjutnya bertanya.“Allhamdulilah baik nak.” Ibu mengusap pundak mantan menantunya itu. “Udah ayo duduk. Dinikmatin ya kue-kuenya.”Adiba mengangguk. “Aku senang mendengar Ibu sekarang jauh lebih sehat.”“Iya, karena sekarang ibu jadi rutin kontrol. Apalagi menantu ibu juga seorang dokter, jadi seperti terpantau sekali, nak Diba.” Ibu melirik ke arah Pandu — suaminya Ria.“Oh iya aku lupa.” Adiba beralih menatap Khanza yang tampak. “Apa sayang?” tawarnya ketika putrinya itu menunjuk ke arah makanan. “Mamamam...”“Oh maem. Bunda ambillah ya.” Dia mengambil satu kue kering diberikannya pada Khanza.“Sudah besar ya Khanza. Sama nenek mau tidak.” Ibu mengulurkan tangannya menggendong Khanza. Tampak wajahnya berbinar terang, ia terlihat begitu bahagia. Ada rasa haru yang ku lihat. Berkali-kali ku l
Yogyakarta, 3 tahun kemudian.Gema takbir berkumandang memenuhi langit malam. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri menyambut hari lebaran yang telah tiba. Begitupula dengan keluarga besar Mas Ravi, saat ini kami semua telah selesai berbuka puasa bersama. Usai melangsungkan sholat Maghrib berjamaah kamu berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Beberapa kue juga sudah tersaji di atas meja. “Mba, jadi gak ke rumah Mbah Sukro.” Budhe Darti — Kakak kandung ibu mertuaku tiba-tiba menyongsong masuk.“Jadi, sebentar.” Ibu berlalu masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku masih duduk santai di sisi Mas Ravi. Sementara sebelahnya lagi ada Rahman dan Yeni istrinya, sedangkan Ria tengah menyuapi putrinya yang baru berusia setahun, sementara suaminya ada piket malam karena agar besok bisa mengambil libur. Anak-anak bermain-main di ruang keluarga. Aksa belum tiba masih di rumah Adiba. Ku lihat ekor mata Budhe Darti menyusuri ruangan dan terhenti padaku. “Kamu lagi hamil y
POV THALITASelama masa pemulihan aku benar-benar diminta bed rest total oleh Mas Ravi. Padahal di rumah ada ibu mertua dan anak sambungku. Jadinya, makanan yang selalu tersaji itu ibu yang masak terkadang Mas Ravi memilih membeli dari luar. Untuk beres-beres dan mencuci pakaian semua Mas Ravi yang kerjakan. Kadang ia kerjakan setelah pulang kerja, atau kadang sebelum berangkat. Aku kasihan sekali melihatnya. Beberapa hari lalu aku mendengar Mas Ravi menerima telpon. Ia menolak untuk diminta tugas kunjungan ke Bandung lagi, karena kondisiku. Hal itu membuat aku merasa bersalah, padahal aku merasa sudah baik-baik saja. Mas Ravi yang terlalu cemas. Fisikku baik-baik saja, hanya terkadang aku merasa masih berduka karena harus kehilangan calon buah hati kamu yang belum sempat lahir ke dunia ini. Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan. “Lho Ibu sedang apa?” suara Aksa membuatku menoleh. Tampak anak itu mengerutkan keningnya bingung, melihat aku pagi-pagi sudah di d
POV ThalitaKarena Mas Ravi masih ada di Bandung, dan kebetulan hari ini ada pengambilan raport Hira. Aku memutuskan untuk mengambilnya sendiri, mungkin aku akan ijin beberapa jam sebelum masuk kantor. Tidak masalah nanti di jam istirahat aku akan bekerja. Sejujurnya aku bisa saja meminta tolong tetangga yang aku percaya menjemput Hira. Tapi, aku tidak mau Hira berkecil hati. Teman-temannya datang dengan Ayah atau ibunya, dan dia masa haru sama orang lain. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengantongi ijin Mas Ravi. Meski Hira itu darah dagingku sendiri, tapi Mas Ravi itu suamiku, yang sudah sepatutnya harus ku hormati. Kumpulan wali murid terlaksana lancar, dan lagi aku merasa lega karena SPP Hira memang sudah aku lunasi berikut dengan biaya raportnya. Keluar dari gedung sekolah, aku melirik arloji di tanganku, masih ada waktu lumayan. “Bu, aku pengen ice cream di taman.” Hira menggoyangkan lenganku membuat aku menoleh ke arahnya. “Iya.”“Ayo, Bu. Makan ice cream di sana.” Hira menu
POV Thalita'Mau ke surga bareng aku gak?'Aku menatap penampilanku di cermin sambil tersenyum mengingat pertanyaan Mas Ravi, yang pada akhirnya kini ia berhasil membuat aku berubah. Ya aku memutuskan untuk berhijab saat keluar apalagi saat bekerja. Tentu saja keputusan itu di dukung penuh oleh suamiku. “Mas aku mau ayam yang ada di piring kamu itu loh,” pintaku tiba-tiba. Saat ini kami tengah sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Beberapa hari ini merasa sangat aneh dengan diriku, selalu ingin dekat dengan suamiku. Bahkan aku selalu merasakan rindu yang menggebu-gebu. Lebih anehnya lagi aku selalu menyukai makanan apapun yang telah dimakan suamiku. “Ini ada loh, sayang. Masih banyak.” Mas Ravi menunjuk ke arah piring di mana di sana masih ada ayam goreng yang tadi aku masak. Aku mengerti maksud Mas Ravi, ia hanya menunjukkan makanan yang jelas masih utuh. Tapi, aku merasa enggan menyentuhnya.“Aku gak mau itu, Mas.”Kening Mas Ravi mengerut bingu
POV Thalita“Sudah siap sayang?” tanya Mas Ravi membuka pintu kamarku. Hari ini kamu berencana menghadiri pernikahan Mela dan Pak Redi. “Sudah, Mas.” Aku tersenyum ke arahnya. Tampak ia menatapku tanpa berkedip, entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, ia tak henti tersenyum ke arahku. “Mas... Ngelamun sih,” kataku menepuk bahunya membuat ia tersentak.“Aku terpukau sayang. Kamu cantik banget, jadi sayang mau dibawa keluar.”Aku melongo ke arahnya. “Terus?”“Kurung aja di kamar ya,” selorohnya membuat aku tergelak.“Ngaco. Ayo berangkat.” Aku langsung menggandeng tangannya keluar. Jika dibiarkan bisa-bisa beneran ia mengurung diriku di kamar seharian. Apalagi sekarang Hira sudah memiliki teman di kompleks perumahan ini. Ya, aku sudah menemukan pengganti Budhe dalam mengasuh dan menjemur Hira saat pulang sekolah. Tetanggaku yang jarak rumahnya hanya dua rumah dari rumah kami. Jadi, sekarang aku lebih tenang meninggalkan Hira saat bekerja. “Hira beneran gak mau ikut ini sayang?” ta
POV ThalitaWaktu bergulir begitu cepat tak terasa masa cuti kamu sudah habis. Aku merasa senang karena akhirnya Hira tak lagi memusuhi Mas Ravi. Ya selama di Yogyakarta suamiku kerap membawa Hira jalan-jalan, memang pandai sekali ia mencuri hatinya. Bahkan Hira tak segan memanggilnya Papa. Aku tersenyum ketika mengingat cerita Mas Ravi tentang panggilan Hira padanya.‘Kemarin saat aku mengajak Hira ke Taman Pintar, aku bertanya padanya Hira kenapa memilih memanggil Papa kenapa tidak Ayah?’‘Karena Ayahku adalah Ayah Dani. Dan Papaku adalah Papa Ravi. Meski aku tak pernah berjumpa tapi ia selalu di sini,’ Dia menunjuk ke arah dadanya.Aku tersentuh tak mengira jika putriku bisa berpikir sejauh itu. Sampainya di Jakarta tak ada lagi waktu kami untuk bersantai. Kami langsung menempati rumah baru yang Mas Ravi beli. Sebelumnya kami juga mengajak Aksa. Namun, anak itu menolak dan mengatakan nanti saat liburan akan berkunjung. Ketika kembali menginjakkan kaki di rumah. Aku kembali terke
POV Thalita“Mas?” Aku tak pernah menyangka jika Mas Ravi akan mengajakku memasuki pintu yang dinding depannya bertuliskan Presidensial Suite. Tentunya membuatku tercengang saat ia membimbing bahuku berjalan melewati lantai marmer yang terasa licin saat diinjak.Mas Ravi tersenyum ke arahku. “Gimana? Suka gak?”Aku terdiam, tubuhku terasa lemas. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobi hotel ini aku sudah dibuat terkagum-kagum dengan kemewahan dan suasananya. Dan sekarang ia justru membawaku ke presidential suite? Ya Allah berapa banyak lagi uang yang telah ia keluarkan untuk diriku. Aku memang belum pernah menginap di sebuah hotel seperti ini. Tetapi, bukan aku tak tahu apa-apa. Aku jelas tahu seberapa mahalnya jenis kamar ini. Bahkan aku merasa lidahku terasa kaku untuk menjawab. “I—ini terlalu mewah, Mas.” Aku menjawab dengan rasa gugup yang tak terkira. Sebelumnya ia memang mengajakku menginap di sebuah hotel, mengingat saat di rumah Hira terus saja menempel padaku. Bukan M