Sesuai dengan permintaan Lucia, sore ini setelah menjemput Keenan dari sekolah Heera dan Sean langsung menuju ke salah satu Mall terbesar di ibu Kota, tempat janjian mereka dengan Lucia dan Adi. Walaupun yang di ajak jalan ke Mall cuma Heera dan Keenan saja, tapi Sean memaksa untuk ikut, pria itu bahkan langsung menyudahi pekerjaannya di kantor demi mengantar Heera dan Keenan ke tempat janjian. Itu Sean lakukan karena ia tidak ingin ketinggalan moment kebersamaan dengan Heera.
Meski lalu lintas Jakarta lumayan padat merayap, tapi Sean berhasil sampai di basement Mall dengan selamat.
"Jangan keluar dulu, Ra." perintah Sean saat Heera sudah bersiap ingin keluar dari mobil usai melepas seatbelt nya.
"Kenapa, pak?" tanya Heera bingung, namun ia tetap diam, patuh dengan perintah sang majikan.
Sean hanya mengulas senyum tipis saja tanpa menjawabnya, ia turun dari mobil lalu melangkah ke pintu penumpang, membukakan pintu untuk Heera turun.
"Astaga, pak Se
Arta: lo dimana, ra?Pesan masuk dari Arta membuat Heera menunda makannya untuk membalas pesan dari pemuda favoritnya itu.Heera: lagi makanBalas Heera tak ingin membalas pesan dari Arta terlalu detail, dan membuat jawabannya tidak nyambung dengan apa yang Arta tanyakan. Heera tidak ingin membuat Arta kesal jika pemuda itu tahu bahwa ia sedang makan sama Sean dan keluarganya.Arta: berarti itu benar lo yaArta: coba nengok ke sebelah kananPraktis Heera menolehkan kepalanya ke arah yang Arta perintahkan. Kedua mata bening gadis itu melebar, tatapannya langsung bertemu dengan kilat mata Arta yang menajam tepat tertuju kepadanya. Ternyata pemuda itu sedang makan di restaurant yang sama dengannya dan hanya berjarak dua meja saja. Heera menatapi kursi-kursi di sekitar meja Arta yang diduduki oleh sepertinya keluarga dari cowok itu. Usai mengulas senyum tipis ke Arta, Heera ke
Sejak bertemu Sean, Heera merasa tidak pernah ada ketenangan dalam dirinya. Memang, mengenal Sean juga membawa banyak ke bahagian untuknya, terlebih Keenan. Pria itu juga banyak membantu dan bahkan sampai menjatuhkan hati padanya. Dan menurut Heera, hal itu yang membuat semuanya berubah. Karena mereka sudah melibatkan perasaan. Ini lah kenapa Heera tidak pernah suka dengan yang namanya jatuh cinta, merepotkan! Belum selesai urusan dengan Sean, datang masalah baru, Arta. Semuanya pun menjadi lebih rumit setelah pemuda itu menyatakan perasaan kepadanya. Tentu saja, masalah utama juga sama, perasaan. Mimpi apa Heera sampai berhasil mendapatkan dua hati pria dengan visual dan latar belakang hidup yang sempurna? Tentu sangat bertolak belakang dengan hidupnya. Kedua pria itu sama-sama kaya, berbeda dengannya yang hanya gadis desa. Ah, memikirkan hal itu hanya membuatnya merasa tertampar. Sepantas apa dirinya sampai bisa menda
Heera tutup mulut, memilih untuk tidak mengubar masalahnya dengan Arta, meski pertemanannya dengan ketiga bujang di hadapannya itu sudah seperti permen karet ketemu rambut, sudah di pisahin."Biar gue yang selesaiin masalah ini sama Arta." kekeh Heera sudah bersiap akan beranjak dari kursinya."Seengaknya bilang ke kita apa masalahnya?" desak Adelio sudah tak tahan. Ia sudah memaksa Heera, tapi tidak juga mempan.Heera bangkit dari duduknya, sebelum beranjak pergi Heera menyempatkan diri untuk membalas ucapan Adelio."Gue ceritain kalau masalahnya udah selesai. Percaya ya sama gue? Gue bisa kok selesaiin masalah ini berdua tanpa ngerepotin kalian." Dan setelah mengatakan itu, Heera langsung berlari kecil menuju pintu keluar. Ketiga temannya hanya bisa menghembuskan napas pasrah melihat akan hal itu."Kayaknya Tuhan ciptain mulut Heera dengan bahan yang beda sama cewek lain." celetuk Adelio yang sedang menahan rasa dong
Ponsel Heera tidak henti-hentinya berbunyi, namun Heera memilih mengabaikannya karena itu notifikasi dari grup yang sedang ramai saat ini. Heera malas untuk membacanya, dia juga malas untuk membalas, palingan para bujang itu hanya penasaran dengan kelanjutan masalahnya dengan Heera. Runyam, masalahnya bertambah runyam. Niat Heera datang untuk menjenguk Arta dan memaafkan perkataan cowok itu yang kemarin tidak sengaja menyakitinya, tapi hasilnya kembali sakit hati yang ia dapatkan, kali ini lebih dalam dan secara sengaja. Baru kali ini Heera bertemu dengan manusia seperti mamanya Arta, sangat dingin dan tidak memikirkan perasaan orang ketika berbicara. Tapi mau bagaimana, mau melawan pun Heera sudah pasti tidak apa-apanya, lagi pula, Heera di ajarkan sopan santun oleh ibunya untuk tidak membantah ucapan orang tua. DRTTTTT Heera yang melamun seketika tersadar saat ponsel di genggamannya bergetar. Arta is calling... Hembusan napas p
Adakalanya Heera benar-benar merasa lelah dan ingin angkat tangan dari semua masalah yang menyerangnya dalam satu waktu. Masalah yang tidak pernah berhenti datang meski masalah yang kemarin belum usai, Tuhan tidak pernah memberinya ruang untuk Heera bebas mengambil napas dalam, membuat semua terasa menyesakan untuk Heera.Rahel: Ibu sakit, kakSang Ibu yang sedang sakit bukan masalah untuknya, yang jadi masalah ada rasa cemas dan khawatirnya yang tidak bisa ia minimalisirkan. Masalah terus menyerangnya dengan bertubi-tubi, sementara pertahanan Heera hanya bersabar saja."Aku gakpapa mau masalah datang sebanyak apa, tapi tolong kuatkan aku, Tuhan." lirih Heera, ia memejamkan mata seraya memijat keningnya yang mencekam."Kamu kenapa, ra?"Heera langsung terlonjak saat suara Sean tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Dengan cepat Heera kembali mencuci piring kotor di hadapannya dan hanya merespon Sean dengan gelengan di kepala.Sean beranjak ke
"Oalah, istrinya pak Jinanta!" Sean mengangguk cepat saat sang Mama tampak mengenal istri dari Jinanta Yasa Witama, CEO dari PT. Asiratama. Kalau kalian lupa, PT tersebut dibawah kendali ayahnya Arta. "Mamah kenal sama istrinya, selalu ketemu kalau sedang rapat umum pemegang saham." lanjut Lucia. "Istri pak Jinanta yang mamah maksud itu namanya Bianca Chalinda?" tanya Sean lagi. Kali ini Lucia menggeleng. "Of course no, mana mungkin wanita simpanan hadir di rapat umum pemegang saham. Asal kamu tahu ya, Bianca itu seperti aib keluarganya pak Jinanta." jawab Lucia yang semakin berbisik nadanya. "Erika Asira, dia istri sah pak Jinanta. Tapi Bu Erika dan Bianca tinggal di satu rumah yang sama dengan pak Jinanta. Itu hebatnya bu Erika, sudah di khianati tapi masih bisa berbaik hati sama wanita simpanan suaminya." imbuh Lucia, tanpa sadar Sean menganggukan kepalanya, terlena dengan gosip yang mamahnya suguhkan.
Wajah pias Bianca menjadi pandangan paling menyenangkan hari ini. Belum juga Lucia bertindak, tapi wajah wanita itu sudah terlukis raut ketakutan setengah mati. Kemana perginya sih wanita angkuh yang tempo hari berkata dengan sombongnya seolah ia memiliki kasta tertinggi di depan Heera? "Bisa tinggalkan kami? aku ingin bicara empat mata dengan Bianca." tersirat nada sedikit tegas dari Lucia, Erika yang mendengar itu tersenyum tipis lalu mengangguk. Sebelum beranjak pergi, Erika menyempatkan diri untuk melempar pandangan mengancam kepada Bianca. "Duduklah," titah Lucia. Bianca yang tidak berani mengangkat pandangannya itu memanggut lalu mendaratkan bokongnya di sofa sebrang. Mata tajam Lucia memandangi Bianca dengan seksama, jadi seperti ini wujud aib keluarga Jinanta yang tidak tahu diri. "Saya tidak ingin basa-basi dan menghabiskan banyak waktu untuk mu. Masih ingat dengan Heera?" Seperti Sean, Lucia
Heera melempar tubuhnya ke atas ranjang lalu menarik selimut, menutupi semua tubuhnya. Gadis itu terisak, menenggelamkan kepala guna meredam suara tangisannya. Heera bahkan sudah bosan mengatakan hal ini, ia sakit hati... bukan, bukan sakit hati lagi, kali ini bahkan perkataan Arta mengacaukan mentalnya yang tidak seberapa kuatnya. "Arta bajingan!!!!" maki Heera melampiaskan rasa sesalnya. Kali ini ia tidak segan-segan untuk menjerit dan memukul-mukul gulingnya dengan kencang. Heera duduk di atas kasur, memegang kepalanya yang berdenyut, lalu menangis lagi. Perasaannya membeludak, segala rasa yang tertahan keluar lewat tangisan air mata. Ternyata ia memang tidak sekuat yang dirinya kira. DRT! Ponselnya bergetar sesaat, satu pesan masuk membuat Heera menghentikan tangisnya. Tangannya bergerak meraih ponsel yang berada di atas nakas, melihat pesan masuk dari Sean, dengan cepat Heera mem
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M