Naheera menatapi isi dompetnya yang kosong, tanda bahwa sekarang sudah akhir bulan. Gadis yang biasa di panggil Heera itu mendengus, akhir bulan atau tidak, dompetnya memang selalu kosong. Kalau pun terisi mungkin umurnya tidak akan lebih dari satu minggu mengingat banyak keperluan dan cicilan yang mengharuskan Heera merelakan lembar-lembar berharga itu keluar dari dompet usangnya.Heera kira semakin dewasa dan bertambahnya usia, ia akan lebih leluasa dalam menikmati kehidupan karena bisa mencari uang untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata Heera salah, tentu saja salah, bagaimana bisa Heera berpikir hidup untuk dirinya sendiri sementara di kampung adik dan ibunya butuh makan dan biaya hidup sehari-hari.Heera mahasiswi semester akhir, seharusnya cewek itu hanya fokus pada kuliahnya yang mungkin tinggal beberapa langkah menuju kelulu
"Dia Sean, penghuni baru rumah depan kosan kita." Jessi berbisik kepada Heera seraya mencuri lirikan kearah pria tampan yang sedang mengobrol dengan Ibu kost diruang tengah, sementara Heera dan Jessi duduk berdua di depan televisi.Heera menatap pria bernama Sean, seketika Heera meneguk salivanya, usia Sean memang sepertinya tidak muda lagi, tapi pesonanya membuat siapa pun terkesima. Heera saja sampai menggelengkan kepalanya, manusia di hadapannya itu seperti tidak nyata. Mata Heera masih menikmati pahatan indah itu, lurus, dalam dan enggan berpaling, ia seperti tersihir paras menakjubkan milik Sean. Biasanya, manusia dengan wajah tampan seperti Sean hanya Heera lihat di drama Korea atau series Netflix yang sering ia tonton. Haruskah Heera meminta foto bersamanya? Heera menggelengkan kepalanya, hal itu pasti hanya akan membuat Sean ilfeel. Lagi pula jika benar Sean adalah tetangga barun
"Maaf, Heera."Heera menundukan pandangannya, ia baru saja di pecat dari pekerjaannya sebagai pelayan resto, karena alasan sang pemilik resto tidak mampu lagi memberi gaji kepada Heera.Heera mendesah berat, sia-sia saja ia tadi berlari kencang supaya datang ke resto lebih cepat kalau kabar yang ia dapatkan di tempat kerjanya malah seperti ini.Usai mengganti seragam pelayannya, Heera beranjak pergi dari resto tersebut, tak lupa berpamitan dan mengucapkan terimakasih kepada pemilik resto, karena tanpa di duga atasan Heera mengirimkan uang pesangon ke rekeningnya. Meski jumlahnya hanya setengah dari gajinya, tapi uang pesangon itu cukup untuk membayar SPP adiknya.Heera melangkah keluar dari resto dengan senyum sumringah, padahal beber
Heera melirik jam mungil yang melingkar di pergelangan tangannya, ia tersenyum saat menyadari beberapa menit lagi jam kerjanya selesai. Senyum Heera bertambah lebar saat membayangkan kasur di kamarnya, ia sudah sangat mengantuk dan ingin cepat-cepat menyatu dengan kasur kesayangan.Heera bekerja paruh waktu sebagai pelayan di sebuah kelab malam, ia bekerja dari jam 9 malam sampai jam 4 subuh. Ini penyebab mengapa wajahnya selalu terlihat kelelahan dan tak bergairah, karena ia selalu mengorbankan waktu tidurnya untuk bekerja. Ia akan tidur setelah pulang ke kosan, tapi jika ia ada kelas pagi, terpaksa Heera tidak tidur dan menahan kantuk yang luar biasa selama kelas berlangsung."Senyum-senyum sendiri, udah tidak sabar ya mau pulang?" Adelio bertanya, pria dengan warna kulit eksotis itu adalah seorang bartender.Heera mengangguk sambil tersenyum malu yang tidak bisa ia tahan, "Gue ada kelas pagi nanti." jawab Heera.Adelio melempar senyum manis, tanpa perm
Heera meremas jari-jarinya, entah kenapa saat ini ia bisa berada didalam satu mobil yang sama dengan Sean dan Keenan. Beberapa menit lalu saat Heera sedang memakai sepatunya bersiap untuk berangkat kuliah, Keenan mendatanginya dan menyeret Heera untuk masuk kedalam mobilnya. Heera menolak karena Sean sudah duduk dikursi kemudi dengan wajah datarnya, tapi setelah Sean berkata dan memerintahkan Heera untuk ikut bersamanya, Heera pasrah, sementara Keenan bersorak ria.Sedari tadi Sean tidak membuka suaranya, lelaki dengan wangi aroma maskulin yang menyeruak di hidung Heera itu hanya diam dan fokus menyetir. Tak ada suara radio, hanya ada suara Keenan dan Heera yang saling melempar pertanyaan dan jawaban. Sesekali mata tajam Sean melirik ke kursi belakang melalui kaca, tapi Heera dan Keenan tidak menyadarinya saking asiknya mengobrol."Tante tidak memakai make-up?" tanya Keenan sembari mengamati wajah polos Heera.Heera tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuknya, ga
"Keenan, Wake up!"Sean menyibak selimut Keenan secara kasar, membuat Keenan yang terlelap kini menggeliat, matanya yang baru saja ia buka langsung menyipit kembali saat silau sinar matahari menembus kaca jendela kamarnya."Cepat cuci muka, gosok gigi lalu pakai sepatumu, Ayah tunggu di luar." perintah Sean yang sudah rapih dengan setelan olah raganya. Seperti biasa, setiap hari libur ia selalu mengajak Keenan untuk ikut olah raga bersamanya."5 menit lagi, Yah..." rengek Keenan kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur."5 menit lagi atau ayah akan membuang Wish-mu." ancam Sean sembari terus berjalan keluar dari kamar Keenan, tangan kanannya terangkat menunjukan boneka kucing milik Keenan yang menjadi tawanannya.
"Heera, kamu mau kemana?"Heera yang sedang berjalan spontan menghentikan langkahnya saat pertanyaan Sean seakan tertuju padanya. Heera menoleh, menatap Sean yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya."Mau kerja, pak." jawab Heera. Hari biasa Heera memang pergi ke kelab jam 9 malam, tapi kalau hari sabtu dan minggu bosnya meminta Heera untuk datang pada sore hari. Kelab akan sangat ramai jika di hari libur, maka dari itu Heera datang lebih awal dari biasanya."Kamu kerja dimana? Ayo saya antar." ajak Sean tanpa basa-basi. Lihatlah, siapa yang berbicara dengan nada semanis itu. Heera hampir tidak percaya kalau Sean yang kelihatan dingin bisa mencair dengan secepet ini.Heera menaikkan kedua alisnya, merasa bingung dengan sikap Sean yang tiba-tiba berubah jadi sok akrab. Benar kata Jessi, Sean ini pasti buaya kelas kakap. Heera harus berhati-hati padanya. Heera menggelengkan kepalanya, ia tersadar dari p
PLAK!Heera berdecih, menatap jijik laki-laki yang baru saja ia tampar pipinya. Bukan tanpa alasan Heera murka hingga menampar laki-laki itu, harga diri Heera baru saja di lukai. Heera menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya bahwa ia menjadi korban pelecehan dari laki-laki sialan yang sedang mabuk.Padahal Heera sudah cukup sabar dan diam saja sedari tadi, tapi laki-laki tersebut malah menarik dan mendudukan Heera secara paksa di atas pangkuannya. Bukan cuma itu saja, tangan kurang ajar laki-laki itu juga menggerayangi tubuh Heera, bagaimana bisa Heera diam saja kalau begini?!"Wanita murahan! Beraninya kamu menampar saya?!" laki-laki tersebut marah, menatap Heera murka. Tapi Heera tidak takut, justru Heera bertambah marah karena laki-laki itu tidak merasa bersalah dan malah memarahinya.Cih, dasar lelaki tua bangka kurang belaian! umpat Heera dalam hati."Beraninya tangan kotor
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M