"Maaf, Heera."
Heera menundukan pandangannya, ia baru saja di pecat dari pekerjaannya sebagai pelayan resto, karena alasan sang pemilik resto tidak mampu lagi memberi gaji kepada Heera.
Heera mendesah berat, sia-sia saja ia tadi berlari kencang supaya datang ke resto lebih cepat kalau kabar yang ia dapatkan di tempat kerjanya malah seperti ini.
Usai mengganti seragam pelayannya, Heera beranjak pergi dari resto tersebut, tak lupa berpamitan dan mengucapkan terimakasih kepada pemilik resto, karena tanpa di duga atasan Heera mengirimkan uang pesangon ke rekeningnya. Meski jumlahnya hanya setengah dari gajinya, tapi uang pesangon itu cukup untuk membayar SPP adiknya.
Heera melangkah keluar dari resto dengan senyum sumringah, padahal beberapa menit lalu wajah cewek itu muram, merasa sedih kehilangan satu pekerjaannya. Heera merogoh saku hoodienya, mengambil ponsel lalu mengirim uang kepada sang adik melalui m-banking. Kemudian Heera screenshot bukti transaksi lalu mengirimnya kepada Rahel.
Heera: kaka udah kirim uang buat bayar SPP kamu dan uang untuk ibu
Rahel: Makasih kakkkHeera tersenyum lebar lalu memasukan kembali ponselnya kedalam saku. Heera menarik nafas dalam, saatnya berangkat ke kampus, siang ini Heera ada kelas sampai jam 2 siang
* * *
"Ayah, aku pergi main sepeda ya!"
Ayah satu anak itu mendesah berat melihat Keenan yang melempar tas sekolahnya dengan asal keatas sofa lalu berlari keluar dari rumah. "Ganti seragammu dulu, Ken!" perintah Sean yang Keenan tidak hiraukan. Sean berdecak, mengambil tas Keenan lalu beranjak menuju lantai dua rumahnya. Sean masuk kedalam kamar Keenan lebih dulu guna menaruh tas sekolah anaknya.
Usai menaruh tas sekolah Keenan, Sean masuk kedalam kamarnya, membuka jas, ikat pinggang dan jam tangannya secara bergantiannya lalu meletakkannya pada tempatnya. Hidup jadi duda 7 tahun lamanya membuat Sean terbiasa mengatur hidupnya sendiri, tidak ada yang melayanin namun gaya hidupnya seperti pria beristri, rapih dan tertata. Hanya saja hidup Sean tidak selurus itu, ia pernah pernah tenggelam di lubang hitam. Masa-masa dimana ia terpuruk setelah di tinggal nikah oleh mantan istri pertamanya.
Sean berjalan memasuki kamar mandi, melepaskan seluruh pakaiannya lalu berdiri di bawah shower yang mulai menjatuhkan airnya. Sean menghembuskan napas panjang saat guyuran air shower itu membasahi tubuhnya yang lengket karena keringat. Mata Sean memejam menikmati rasa sejuk yang melandanya, kini ia sedikit lebih rileks setelah 7 jam dirinya berkutik dengan berkas-berkas yang membuatnya penat.
Sean menggaruk rambutnya yang basah kemudian melilit handuk di pinggangnya, membiarkan dada bidangnya terekspos. Dengan wajah yang jauh lebih segar dari sebelumnya, Sean beranjak keluar dari kamar mandi dan berjalan keluar dari dalam kamar menuju dapur. Mengambil minuman kaleng bersoda dari dalam kulkas lalu kembali berjalan menuju kamar.
Dengan satu tangannya Sean membuka tutup kaleng soda itu lalu meneguknya seraya memandang kearah luar jendela kamarnya, menatap Keenan yang sedang bermain sepeda di depan rumahnya. Pupil mata Sean perlahan melebar dan menajam saat gadis dengan penampilan kucel dan tampak lelah berlari kearah Keenan sambil tersenyum lebar, gadis itu tampak begitu bahagia bertemu dengan Keenan.
"Heera," gumam Sean menyebutkan nama gadis yang sedang mengusap kepala Keenan disana. Mata Sean terpaku pada gadis yang memiliki tatapan hangat itu. Tak ada yang menarik darinya, entah tubuh atau wajahnya, gadis itu biasa saja, tapi anehnya Sean terpanah, seolah ada magnet yang membuat matanya enggan berpaling.
Sean melompat kaget dan langsung menunduk saat menyadari Keenan menunjuk kearahnya, untung saja gadis kucel itu belum melihat, tapi hampir melihatnya jika Sean tidak cepat-cepat menunduk.
Srettt
Sean menarik tirai gorden kamarnya lalu merebahkan diri diatas ranjang. Mata Sean menatap lurus ke langit-langit kamar. Ada satu nama yang berputar di kepalanya saat ini, Heera. Sean penasaran dengan gadis itu.
* * *
"Keenan!" Heera berteriak saat matanya melihat Keenan yang sedang menaiki sepeda di sekitar depan rumahnya, namun saat mendengar ada suara yang memanggilnya, Keenan langsung berhenti mengayuh sepedanya. Tungkai Heera berjalan semakin cepat saat Keenan melihat dan tersenyum kearahnya, membuat Heera tidak sabar untuk mengusap kepala anak manis itu.
"Tante Heera!" Keenan excited, ia tersenyum manis menyabut kedatangan Heera.
"Hai, Ken!" sapa Heera sambil menjulurkan telapak tangannya kedepan wajah Keenan, mengajak high five. Keenan yang peka langsung menepuk tangan Heera, lalu mereka berdua tersenyum lebar.
"Keenan baru pulang sekolah?" tanya Heera, Keenan mengangguk.
"Kenapa belum ganti seragamnya? Nanti kotor lho."
Keenan menggeleng sambil menahan senyum malu-malunya, membuat Heera tak bisa menahan tangannya untuk tidak mengusap kepala Keenan. Keenan memiliki rambut yang halus dan lebat, wangi shampoo Keenan juga segar, kadang sehabis mengusap rambut Keenan telapak tangan Heera menjadi wangi juga.
"Ih, Ayah tidak pakai baju!" teriak Keenan sambil menunjuk kearah jendela kamar yang terletak di lantai dua rumahnya. Menyadari apa yang Keenan katakan barusan, mata Heera melotot dan langsung menoleh dengan cepat kearah yang Keenan tunjuk, namun sayangnya Heera tidak menemukan apapun disana. Napas kecewa Heera hembuskan karena tidak melihat Sean tidak memakai baju seperti yang Keenan katakan.
"Keenan bohongi tante ya?" tanya Heera menatap Keenan penuh selidik. Ia merasa malu kepada bocah itu karena berhasil mengelabuinya.
Keenan menggeleng, tak terima dengan tuduhan Heera, "Aku tidak bohong, tadi Ayah memang sedang melihat kearah kita melalui jendela, dadanya terlihat, sepertinya Ayah habis mandi." jelas Keenan.
Melihat manik polos Keenan, sepertinya anak itu berkata jujur. Ah, Heera sungguhan kecewa kalau begitu!
"Tante dari mana?" tanya Keenan mengubah topik pembicaraan mereka.
Heera mengelap keringat yang melapisi pelipisnya, "Habis cari kerja," jawab Heera memasang wajah lelahnya.
"Kasihan tante kecapean." ujar Keenan seraya mengelap keringat di pelipis Heera dengan tangannya. Heera yang merasakan kehangatan tangan Keenan tertegun, tak menyangka anak kecil itu memiliki rasa peduli yang besar.
Heera memajukan bibir bawahnya, memasang wajah cemberut. "Capek banget nyari kerja, pengan cepet-cepet di nafkahi saja." Heera mengeluh, membuat kening Keenan mengerut tak mengerti.
"Apa itu di nafkahi, tante?" tanya Keenan penasaran.
Heera meringis, menggaruk kepalanya kebingungan, kalau pun ia menjelaskan secara rinci maksud dari di nafkahi, Keenan tidak akan mengerti. "Eum...Di nafkahi itu tante di berikan segala keperluan tante, jadi tante gak perlu kerja lagi." jelas Heera singkat.
Keenan mengangguk seolah paham, "Kalau gitu tante di nafkahi sama Ayah aku saja, Ayah aku pasti kasih apapun keperluan tante." ujar Keenan dengan polosnya.
Heera mengeluarkan cengiran tak berdosanya, sepertinya Keenan salah mengerti.
"Ya, tante sih mau nya begitu. Masalahnya Ayah kamu mau gak nafkahi tante?" jawab Heera sambil tersenyum malu, menurutnya itu hanya guyon, tapi Keenan mengira ucapan Heera barusan bukan guyonan.
Keenan tersenyum tipis, tak merespon pertanyaan Heera yang menurutnya membingungkan. Ia kemudian mengayuh pedal sepedanya, menunjukan keahliannya bersepada. Heera tersenyum lebar sembari bertepuk tangan.
BRUK !
Heera menjerit, kakinya langsung berlari menghampiri Keenan yang baru saja terjatuh.
"Keenan gakpapa?" tanya Heera membantu Keenan berdiri lalu memeriksa keadaan anak itu.
Wajah Keenan yang semula ceria kini berubah sendu, "Aku gakpapa, tapi lututku berdarah." cicit Keenan memegangi lututnya yang terluka.
"Astaga," Heera meringis melihat lutut Keenan yang terluka dan mengeluarkan darah, "Ayo tante obati." ujar Heera menuntun Keenan menuju rumahnya.
"Hati-hati, Ken." Heera mendudukan Keenan di atas sofa empuk dan kelihatannya berharga fantastis. Pandangan Heera mengedar sejenak, menatapi kagum interior dan sudut-sudut rumah Sean, sangat rapih dan bersih.
"Kotak obatnya dimana, Ken?" tanya Heera sambil celingak-celinguk.
"Ayah!" bukannya menjawab pertanyaan Heera, Keenan malah berteriak saat melihat Sean yang turun dari anak tangga.
Mata Heera langsung melebar saat menatap kearah yang sama dengan Keenan, pipinya bersemu memandang Sean yang setengah telanjang. Heera meneguk ludah, membayangkan betapa nyamannya dada telanjang milik Sean jika di gunakan untuk bersandar. Setelah tersadar dari lamunan liarnya, Heera langsung menunduk menatap lantai.
"Lututmu kenapa?" Sean bersimpuh di depan Keenan, memegang kaki Keenan yang terluka.
"Keenan jatuh dari sepeda, pak."
Sean menatap Heera, datar dan dingin, membuat Heera yang ingin menjelaskan jadi menutup kembali mulutnya rapat-rapat.
Hembusan napas Sean keluarkan, lalu ia beranjak pergi untuk mengambil kotak obat.
"Biar aku saja pak yang obati." ujar Heera berbaik hati menawarkan diri, ia menengadahkan tangannya meminta Sean untuk memberikan kotak P3K yang berada di tangannya.
"Serahkan saja pada tante Heera, lebih baik Ayah kembali ke kamar dan pakai baju. Di sini ada perempuan, memangnya ayah tidak malu bertelanjang dada seperti itu?"
Heera menahan senyumnya saat mendengar omelan Keenan. Sementara Sean hanya mendengus tak peduli, dengan ragu ia memberikan kotak P3K kepada Heera. Heera mengucapkan terimakasih sebelum bersimpuh dan mengobati luka Keenan.
Sean masih setia berdiri di belakang Heera, mengamati gadis itu dengan tenang.
"Tahan sebentar ya, akan terasa perih sedikit." ujar Heera lembut sebelum membersihkan luka Keenan lebih dulu menggunakan alkohol kemudian membalurinya dengan betadine lalu membalut lukanya dengan plester.
Tanpa sadar Sean tersenyum tipis, entah kenapa hatinya merasa hangat melihat bagaimana Heera memperlakukan Keenandengan penuh ketulusan dan kasih sayang. Mata Sean beralih kearah Keenan yang sedang menatap Heera dengan senyum manis yang terpatri di bibirnya, Sean dapat merasakan apa yang sedang anaknya itu rasakan. Sebuah kehangatan dari tangan seorang perempuan yang jarang anak itu rasakan.
Di saat terlukaseperti ini, seharusnya sosok Ibu yang mengobati. Dan Sean tak menyangka kalau Heera datang mewakili.
"Heera," panggil Sean, Heera praktis menoleh.
"Ya, pak?"
"Apa kamu mau jadi baby sitternya Keenan?"
Heera melirik jam mungil yang melingkar di pergelangan tangannya, ia tersenyum saat menyadari beberapa menit lagi jam kerjanya selesai. Senyum Heera bertambah lebar saat membayangkan kasur di kamarnya, ia sudah sangat mengantuk dan ingin cepat-cepat menyatu dengan kasur kesayangan.Heera bekerja paruh waktu sebagai pelayan di sebuah kelab malam, ia bekerja dari jam 9 malam sampai jam 4 subuh. Ini penyebab mengapa wajahnya selalu terlihat kelelahan dan tak bergairah, karena ia selalu mengorbankan waktu tidurnya untuk bekerja. Ia akan tidur setelah pulang ke kosan, tapi jika ia ada kelas pagi, terpaksa Heera tidak tidur dan menahan kantuk yang luar biasa selama kelas berlangsung."Senyum-senyum sendiri, udah tidak sabar ya mau pulang?" Adelio bertanya, pria dengan warna kulit eksotis itu adalah seorang bartender.Heera mengangguk sambil tersenyum malu yang tidak bisa ia tahan, "Gue ada kelas pagi nanti." jawab Heera.Adelio melempar senyum manis, tanpa perm
Heera meremas jari-jarinya, entah kenapa saat ini ia bisa berada didalam satu mobil yang sama dengan Sean dan Keenan. Beberapa menit lalu saat Heera sedang memakai sepatunya bersiap untuk berangkat kuliah, Keenan mendatanginya dan menyeret Heera untuk masuk kedalam mobilnya. Heera menolak karena Sean sudah duduk dikursi kemudi dengan wajah datarnya, tapi setelah Sean berkata dan memerintahkan Heera untuk ikut bersamanya, Heera pasrah, sementara Keenan bersorak ria.Sedari tadi Sean tidak membuka suaranya, lelaki dengan wangi aroma maskulin yang menyeruak di hidung Heera itu hanya diam dan fokus menyetir. Tak ada suara radio, hanya ada suara Keenan dan Heera yang saling melempar pertanyaan dan jawaban. Sesekali mata tajam Sean melirik ke kursi belakang melalui kaca, tapi Heera dan Keenan tidak menyadarinya saking asiknya mengobrol."Tante tidak memakai make-up?" tanya Keenan sembari mengamati wajah polos Heera.Heera tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuknya, ga
"Keenan, Wake up!"Sean menyibak selimut Keenan secara kasar, membuat Keenan yang terlelap kini menggeliat, matanya yang baru saja ia buka langsung menyipit kembali saat silau sinar matahari menembus kaca jendela kamarnya."Cepat cuci muka, gosok gigi lalu pakai sepatumu, Ayah tunggu di luar." perintah Sean yang sudah rapih dengan setelan olah raganya. Seperti biasa, setiap hari libur ia selalu mengajak Keenan untuk ikut olah raga bersamanya."5 menit lagi, Yah..." rengek Keenan kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur."5 menit lagi atau ayah akan membuang Wish-mu." ancam Sean sembari terus berjalan keluar dari kamar Keenan, tangan kanannya terangkat menunjukan boneka kucing milik Keenan yang menjadi tawanannya.
"Heera, kamu mau kemana?"Heera yang sedang berjalan spontan menghentikan langkahnya saat pertanyaan Sean seakan tertuju padanya. Heera menoleh, menatap Sean yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya."Mau kerja, pak." jawab Heera. Hari biasa Heera memang pergi ke kelab jam 9 malam, tapi kalau hari sabtu dan minggu bosnya meminta Heera untuk datang pada sore hari. Kelab akan sangat ramai jika di hari libur, maka dari itu Heera datang lebih awal dari biasanya."Kamu kerja dimana? Ayo saya antar." ajak Sean tanpa basa-basi. Lihatlah, siapa yang berbicara dengan nada semanis itu. Heera hampir tidak percaya kalau Sean yang kelihatan dingin bisa mencair dengan secepet ini.Heera menaikkan kedua alisnya, merasa bingung dengan sikap Sean yang tiba-tiba berubah jadi sok akrab. Benar kata Jessi, Sean ini pasti buaya kelas kakap. Heera harus berhati-hati padanya. Heera menggelengkan kepalanya, ia tersadar dari p
PLAK!Heera berdecih, menatap jijik laki-laki yang baru saja ia tampar pipinya. Bukan tanpa alasan Heera murka hingga menampar laki-laki itu, harga diri Heera baru saja di lukai. Heera menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya bahwa ia menjadi korban pelecehan dari laki-laki sialan yang sedang mabuk.Padahal Heera sudah cukup sabar dan diam saja sedari tadi, tapi laki-laki tersebut malah menarik dan mendudukan Heera secara paksa di atas pangkuannya. Bukan cuma itu saja, tangan kurang ajar laki-laki itu juga menggerayangi tubuh Heera, bagaimana bisa Heera diam saja kalau begini?!"Wanita murahan! Beraninya kamu menampar saya?!" laki-laki tersebut marah, menatap Heera murka. Tapi Heera tidak takut, justru Heera bertambah marah karena laki-laki itu tidak merasa bersalah dan malah memarahinya.Cih, dasar lelaki tua bangka kurang belaian! umpat Heera dalam hati."Beraninya tangan kotor
"Tumben kamu masih di sini, Ra? tidak berangkat kuliah?"Heera menoleh, menatap Ibu kost yang baru keluar dari kamarnya dan bertanya.Heera yang menaikan kedua kakinya keatas sofa spontan menurunkannya lalu tersenyum menyapa, "Libur bu, sekarangkan hari minggu." jawab Heera."Tidak kerja?" Ibu kost bertanya lagi, karena melihat Heera santai-santai seperti ini adalah pemandangan yang tidak biasa, gadis itu paling tidak bisa diam di kosan, kalau ada waktu luang sedikit pasti langsung pergi kerja."Lagi nganggur, bu." jawab Heera sambil pasang wajah seolah biasa saja. Padahal pikirannya lagi rumet parah."Inget Ra, lo miskin, cepet pergi cari kerja!" Anin tiba-tiba datang dan langsung menarik Heera untuk segera berdiri. Anin ini hampir mirip Heera, pemburu cuan.
"Maksud bapak, saya gak jadi kerja disini?"Anggukan di kepala Sean cukup membuat Heera tercengang dan tidak percaya. Ia memajukan bibir bawahnya lalu menatap Sean memelas. Apa-apaan ini? Sean baru saja mempermainkan nya atau bagaimana?"Tapi kenapa, pak?" Heera masih tidak terima."Saya kurang percaya sama kamu, lagi pula saya sudah dapat babysitter baru untuk Keenan." jawab Sean dengan raut wajah angkuhnya, ia tampak sama sekali tidak merasa bersalah sudah membuat Heera kecewa.Mendengar jawaban Sean, Heera mendengus. Jika dari awal tidak mempercayainya lalu untuk apa Sean menawarkan ia pekerjaan? Seketika Heera berubah raut wajahnya menjadi dongkol."Ya sudah pak, saya pulang saja kalau gitu. Semoga babysitter Keenan lebih baik dari saya." ketus Heera, masa bodo dengan sopan santunnya, ia sudah kepalang jengkel dengan duda anak satu itu.Kedua mata elang Sean menatapi k
Bagi Heera larangan adalah perintah, maka dari itu sepulangnya dari kuliah, kakinya langsung meleset cepat ke depan pintu gerbang rumah Sean untuk menemui Keenan.Meski semalam Sean mengancam dan melarangnya untuk menemui Keenan, tapi Heera tidak menghiraukan nya. Apa lagi saat tidak melihat mobil Sean yang terparkir di perkarangan, semangat Heera untuk menemui Keenan semakin menggebu."Keenan, main yuk!!!" panggil Heera layaknya anak kecil yang mengajak temannya bermain."Kennn!" Heera masih terus bersuara meski tak ada tanda-tanda Keenan akan keluar dari rumahnya.Mata Heera melirik ke jam tangan di tangannya, sudah jam 4 sore, seharusnya Keenan sudah pulang dari sekolahnya."Keenan!" Kali ini suara Heera berteriak lebih keras, siapa tahu Keenan mendengarnya kali ini.Mata Heera spontan melebar melihat pintu utama rumah Sean yang berdecit terbuka, sosok Mbak Indri keluar dari sana dengan wajah cemas.He
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M