"Keenan, Wake up!"
Sean menyibak selimut Keenan secara kasar, membuat Keenan yang terlelap kini menggeliat, matanya yang baru saja ia buka langsung menyipit kembali saat silau sinar matahari menembus kaca jendela kamarnya.
"Cepat cuci muka, gosok gigi lalu pakai sepatumu, Ayah tunggu di luar." perintah Sean yang sudah rapih dengan setelan olah raganya. Seperti biasa, setiap hari libur ia selalu mengajak Keenan untuk ikut olah raga bersamanya.
"5 menit lagi, Yah..." rengek Keenan kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"5 menit lagi atau ayah akan membuang Wish-mu." ancam Sean sembari terus berjalan keluar dari kamar Keenan, tangan kanannya terangkat menunjukan boneka kucing milik Keenan yang menjadi tawanannya.
Keenan berdecak kesal, ia menegakan tubuhnya kemudian menggaruk kepalanya jengkel. Keenan masih sangat menyayangi Wish-nya, maka dari itu ia segera bangun dan beranjak ke kamar mandi. Sean pasti akan sungguhan membuang Wish-nya jika ia tidak segera bergegas.
"Cepat, Ken! Kenapa kamu lama sekali?!" tegur Sean saat melihat Keenan yang menuruni anak tangga, hampir sepuluh menit Sean menunggu di ruang tamu. Padahal ia hanya menyuruh Keenan untuk cuci muka, gosok gigi dan memakai sepatu, tapi Keenan lelet sekali.
"Tadi aku pup dulu. Perutku sakit, Yah." lapor Keenan sambil mengusap perutnya dramatis.
"Apa yang kamu makan kemarin malam?" tanya Sean cemas.
Keenan tampak berpikir, "Aku makan sate yang Ayah belikan." jawab Keenan membuat Sean mengernyit.
"Hanya itu? Ayah juga memakannya tapi Ayah baik-baik saja." tanya Sean penuh selidik, ia cuirga Keenan memakan makanan lain yang tidak ia ketahui, karena pencernaan Keenan memang sangat sensitif.
Keenan mengangkat pundaknya, memilihi untuk tidak menjawab pertanyaan Ayahnya sebab sebenarnya semalam ia memakan kripik pedas yang neneknya berikan tanpa sepengetahuan Sean. Dengan cepat Keenan berjalan keluar rumah mendahului Sean.
"Tante Heera!"
Mendengar Keenan yang memanggil nama Heera, praktis Sean menoleh dan berlari menghampiri Keenan. Tangan Sean dengan sigap menahan Keenan yang ingin berlari kearah Heera.
"Kenapa Ayah menarikku? Aku ingin bersama tante Heera." protes Keenan karena pasalnya saat ini Heera memakai celana training, kaus serta sepatu, sudah pasti dia ingin pergi olah raga juga. Tapi masalahnya, kedua telinga Heera di sumpal earphone, itu yang membuat Heera tidak berhenti dan menoleh saat Keenan memanggilnya.
"Apa kamu tidak lihat earphone di telinganya?" tanya Sean.
"Aku melihatnya."
"Itu tandanya tante Heera tidak ingin di ganggu. Biarkan saja dia olah raga sendiri, kita ikuti dia dari belakang." jawab Sean dengan langkah yang terus mengekori Heera, mata sipit Sean bahkan tidak berkedip melihat pemandangan tubuh Heera dari belakang, rambut terikat satu yang menjuntai dan tengkuk mulus Heera yang membuat Sean menelan ludah.
"Apa aku juga tidak boleh berlari di samping tante Heera, Yah?" tanya Keenan masih berusaha ingin berdekatan dengan Heera.
Dengan tegas Sean menggeleng.
"Aku hanya berlari di sampingnya, tidak mengganggunya."
Mata Sean menatap Keenan tajam, lalu menggeleng. Keenan berdecak, kepalanya menunduk dalam dengan langkah yang terseret malas. Keenan bahkan masih berjalan santai saat Sean sudah berlari, mengejar Heera yang juga mulai menambah kecepatan langkahnya di depan sana.
"Run, Ken!" perintah Sean saat menyadari kalau Keenan tertinggal di belakangnya.
Keenan mendengus, dengan wajah tertekuknya ia berlari menghampiri Sean. Sean tersenyum tipis seraya mengusap kepala Keenan, keduanya kemudian berlari di belakang Heera.
"Ayah kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Keenan menatap heran Sean yang sedari tadi menerbitkan senyum tipisnya, kedua matanya pun tak lepas memandang insan yang sedang berlari di depannya.
Sean tertegun, dengan cepat ia mengubah raut wajahnya menjadi datar, "Siapa yang tersenyum." jawab Sean ketus, ia sendiri bahkan tidak sadar kalau sedari tadi tersenyum.
"Oh, tante Heera!" Keenan berlari menghampiri Heera yang sedang beristirahat di tepi lapangan, gadis itu tengah meneguk air.
Mata Sean spontan melebar, tubuhnya langsung membatu melihat pemandangan indah di depan sana, Heera yang sedang meneguk air membuat Sean menyadari kalau wajah Heera semakin mempesona jika di lihat dari samping, hidung yang mancung, dagu yang lancip dan kulit wajah yang mulus meski keringat membanjiri dahinya. Sepertinya Sean harus menarik kembali kata-katanya saat mengatakan bahwa Heera cewek yang biasa-biasa saja. Karena faktanya, pagi ini Heera terlihat sangat cantik dan seksi.
"Ekhem!" Sean berdehem dan tersadar saat Heera tersenyum menyapanya, tampaknya Keenan yang memberitahu Heera tentang keberadaannya sebab anaknya itu sudah nempel saja di sebelah Heera. Sean tidak tahu sejak kapan Keenan dan Heera sedekat itu. Baguslah, berarti ia tidak salah sudah merekrut Heera sebagai baby sitter Keenan.
"Ayah, sini!" ujar Keenan meminta Sean untuk menghampirinya, namun Sean menggeleng dan melanjutkan larinya yang tertunda.
* * *
"Sarapan, Ra." tawar Jessi saat melihat Heera yang datang. Seperti biasanya, temannya itu baru selesai lari pagi.
"Thanks, tapi aku sudah sarapan." jawab Heera seraya mendudukan tubuhnya di atas sofa ruang tengah, tepat di samping Jessi yang sedang memakan sarapannya.
"Tumben. Habis gajian lo?" tanya Jessi, karena Heera ini manusianya irit banget, dia lebih milih makan di kosan dari pada beli makanan di luar. Sebab kalau pagi, ibu kost selalu memasak sarapan untuk penghuni kost, gratis.
Heera mengeluarkan cengirannya, "Hehe, di bayarin sama Ayahnya Keenan." jawab Heera malu-malu. Omong-omong, Heera belum memberitahu Jessi kalau dirinya akan menjadi baby sitternya Keenan.
Mata Jessi spontan membulat, "Whattt?!" Jessi terkejut, raut wajahnya tak terkontrol. Sementara Heera tersenyum bangga. Merasa hebat karena habis breakfast bareng duda tampan yang tinggal di sebrang kosannya.
Sebenarnya, tadi Heera sempat menolak saat di ajak sarapan bareng sama Sean, ia masih merasa canggung dan malu karena insiden di mobil kemarin dimana Sean menawarkan diri untuk menafkahinya. Tapi Heera mencoba biasa saja dan pada akhirnya menerima ajakan Sean karena Keenan terus memaksanya, kalau Keenan yang meminta, jelas sangat sulit untuk Heera menolak. Lagi pula, ia juga harus mendekatkan diri kepada Ayah dan anak itu agar terbiasa.
"Ra, kayaknya lo harus hati-hati deh sama Ayahnya Keenan." ujar Jessi mendadak serius.
"Kenapa?" tanya Heera kebingungan melihat wajah khawatir Jessi.
Jessi mendekatkan bibirnya ke daun telinga Heera, "Ayahnya Keenan sudah 2 kali gagal menikah"
"Wow." refleks bibir Heera membulat. Tapi, Heera tidak heran, Sean tampan dan sepertinya pandai merayu wanita. Buktinya kemarin bibir Sean sangat enteng saat menawarkan diri untuk menafkahinya. Secara halus, Sean mengajaknya menikah, bukan?
"Dan lo tahu siapa mamahnya Keenan?" Jessi kembali bertanya, lagi-lagi Heera menggeleng.
"Yuna Ashily. Lo tau kan kasusnya Yuna yang di sebut pelakor dan hamil di luar nikah?"
Heera mengangguk, meskipun ia jarang menonton acara gosip entertainment di televisi, tapi Heera suka membaca artikel gosip yang lewat di time line sosmednya. Dari yang Heera ketahui, Yuna Ashily adalah selebriti papan atas yang karirnya hancur karena merebut suami perempuan lain dan hamil di luar nikah. Pujian yang sering Yuna dapatkan berubah jadi cacian karena prilaku Yuna sendiri. Bahkan hingga saat ini image Yuna masih buruk di mata netizen, meski Yuna sudah menghilang dan tidak ada lagi berita tentangnya.
"Berarti Keenan..."
"That's it! Tapi Keenan gak tahu apa-apa." Jessi menyela.
"Berarti Keenan anaknya Yuna? Pantes saja dia tampan sekali!" ujar Heera tampak tak percaya. Jessi kira Heera berpikir kalau Keenan adalah anak hasil...
Jessi mendesah, menggeleng tak percaya. "Berarti mereka sudah pisah ya? Terus Yuna kemana? Padahal mami gue dulu ngefans banget sama dia." gumam Jessi bertanya-tanya. "Gila sih, gue gak percaya kalau kita tetanggaan sama mantan suami dan anaknya Yuna." Jessi masih tidak percaya.
"Apa lagi aku yang tadi sarapan bareng mantan suami dan anaknya Yuna." sahut Heera tersirat nada sombong. 'Aku juga akan menjadi baby sitter anaknya Yuna.' lanjut Heera dalam hati.
Jessi berdecih, "Cih, sombong! Awas lo ra, hati-hati sama Ayahnya Keenan."
Heera mendengus, pundaknya langsung melemas, "Padahal aku mau daftar jadi sugar babynya." guyon Heera. Tangan Jessi spontan langsung memukul pundaknya.
"Sugar baby matamu!" Jessi langsung murka, tidak akan ia biarkan Heera terjerumus tipu muslihat Sean.
"Heera, kamu mau kemana?"Heera yang sedang berjalan spontan menghentikan langkahnya saat pertanyaan Sean seakan tertuju padanya. Heera menoleh, menatap Sean yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya."Mau kerja, pak." jawab Heera. Hari biasa Heera memang pergi ke kelab jam 9 malam, tapi kalau hari sabtu dan minggu bosnya meminta Heera untuk datang pada sore hari. Kelab akan sangat ramai jika di hari libur, maka dari itu Heera datang lebih awal dari biasanya."Kamu kerja dimana? Ayo saya antar." ajak Sean tanpa basa-basi. Lihatlah, siapa yang berbicara dengan nada semanis itu. Heera hampir tidak percaya kalau Sean yang kelihatan dingin bisa mencair dengan secepet ini.Heera menaikkan kedua alisnya, merasa bingung dengan sikap Sean yang tiba-tiba berubah jadi sok akrab. Benar kata Jessi, Sean ini pasti buaya kelas kakap. Heera harus berhati-hati padanya. Heera menggelengkan kepalanya, ia tersadar dari p
PLAK!Heera berdecih, menatap jijik laki-laki yang baru saja ia tampar pipinya. Bukan tanpa alasan Heera murka hingga menampar laki-laki itu, harga diri Heera baru saja di lukai. Heera menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya bahwa ia menjadi korban pelecehan dari laki-laki sialan yang sedang mabuk.Padahal Heera sudah cukup sabar dan diam saja sedari tadi, tapi laki-laki tersebut malah menarik dan mendudukan Heera secara paksa di atas pangkuannya. Bukan cuma itu saja, tangan kurang ajar laki-laki itu juga menggerayangi tubuh Heera, bagaimana bisa Heera diam saja kalau begini?!"Wanita murahan! Beraninya kamu menampar saya?!" laki-laki tersebut marah, menatap Heera murka. Tapi Heera tidak takut, justru Heera bertambah marah karena laki-laki itu tidak merasa bersalah dan malah memarahinya.Cih, dasar lelaki tua bangka kurang belaian! umpat Heera dalam hati."Beraninya tangan kotor
"Tumben kamu masih di sini, Ra? tidak berangkat kuliah?"Heera menoleh, menatap Ibu kost yang baru keluar dari kamarnya dan bertanya.Heera yang menaikan kedua kakinya keatas sofa spontan menurunkannya lalu tersenyum menyapa, "Libur bu, sekarangkan hari minggu." jawab Heera."Tidak kerja?" Ibu kost bertanya lagi, karena melihat Heera santai-santai seperti ini adalah pemandangan yang tidak biasa, gadis itu paling tidak bisa diam di kosan, kalau ada waktu luang sedikit pasti langsung pergi kerja."Lagi nganggur, bu." jawab Heera sambil pasang wajah seolah biasa saja. Padahal pikirannya lagi rumet parah."Inget Ra, lo miskin, cepet pergi cari kerja!" Anin tiba-tiba datang dan langsung menarik Heera untuk segera berdiri. Anin ini hampir mirip Heera, pemburu cuan.
"Maksud bapak, saya gak jadi kerja disini?"Anggukan di kepala Sean cukup membuat Heera tercengang dan tidak percaya. Ia memajukan bibir bawahnya lalu menatap Sean memelas. Apa-apaan ini? Sean baru saja mempermainkan nya atau bagaimana?"Tapi kenapa, pak?" Heera masih tidak terima."Saya kurang percaya sama kamu, lagi pula saya sudah dapat babysitter baru untuk Keenan." jawab Sean dengan raut wajah angkuhnya, ia tampak sama sekali tidak merasa bersalah sudah membuat Heera kecewa.Mendengar jawaban Sean, Heera mendengus. Jika dari awal tidak mempercayainya lalu untuk apa Sean menawarkan ia pekerjaan? Seketika Heera berubah raut wajahnya menjadi dongkol."Ya sudah pak, saya pulang saja kalau gitu. Semoga babysitter Keenan lebih baik dari saya." ketus Heera, masa bodo dengan sopan santunnya, ia sudah kepalang jengkel dengan duda anak satu itu.Kedua mata elang Sean menatapi k
Bagi Heera larangan adalah perintah, maka dari itu sepulangnya dari kuliah, kakinya langsung meleset cepat ke depan pintu gerbang rumah Sean untuk menemui Keenan.Meski semalam Sean mengancam dan melarangnya untuk menemui Keenan, tapi Heera tidak menghiraukan nya. Apa lagi saat tidak melihat mobil Sean yang terparkir di perkarangan, semangat Heera untuk menemui Keenan semakin menggebu."Keenan, main yuk!!!" panggil Heera layaknya anak kecil yang mengajak temannya bermain."Kennn!" Heera masih terus bersuara meski tak ada tanda-tanda Keenan akan keluar dari rumahnya.Mata Heera melirik ke jam tangan di tangannya, sudah jam 4 sore, seharusnya Keenan sudah pulang dari sekolahnya."Keenan!" Kali ini suara Heera berteriak lebih keras, siapa tahu Keenan mendengarnya kali ini.Mata Heera spontan melebar melihat pintu utama rumah Sean yang berdecit terbuka, sosok Mbak Indri keluar dari sana dengan wajah cemas.He
Akhir-akhir ini Heera banyak menangis. Ia stress dan putus asa. Kata orang-orang, uang bukan segalanya, tapi setidaknya memiliki banyak uang dapat meringankan beban pikiran, karena nyatanya segalanya butuh uang. Hampir satu bulan menjadi pengangguran, beruntungnya Heera masih hidup meski beberapa kali ia merasakan kelaparan karena tidak memiliki uang untuk makan. Hidup merantau dan membiayai hidup sendiri itu sulit, apa lagi jika sedang tidak memiliki pemasukan seperti yang Heera alami sekarang. Arta: Ra, belum makan 'kan?Arta: keluar yuk, cari makan Untung Heera memiliki banyak teman yang baik hati, yang setiap hari secara sukarela berdonasi untuk mengisi perutnya. Mereka memang teman yang paling pengertian. Heera melirik jam yang menempel di dinding kamarnya, masih jam 8 malam, kebetulan ia belum makan dan sumpek di kamar. Jadi tidak ada alasan untuknya menolak rejeki yang Arta tawarkan. Heera: yuk! Arta: otw yaa Heera ya
"Heera!"Mendengar namanya di panggil, Heera praktis berhenti melangkah, kepalanya menoleh spontan ke sumber suara. Raut wajah Heera seketika berubah saat melihat Sean yang berjalan menghampirinya.Heera memutar bola matanya malas ketika pria berwajah tegas itu berdiri dihadapannya, "Ada apa ya pak?" tanya Heera sedikit ketus. Jika Sean bisa bersikap kasar padanya, kenapa ia tidak bisa? Masa bodoh di bilang kurang ajar. Untuk apa bersikap santun kepada Sean yang memperlakukannya dengan buruk?"Kamu ada waktu sebentar? Saya mau bicara." ujar Sean, Heera melirik kearah jam di tangannya, sebenarnya ia sudah tidak ada acara lagi setelah ini, paling juga hanya menonton drama Korea di layar laptopnya sambil rebahan dan bermalas-malasan. Sejak menjadi pengangguran, tubuh Heera semakin lengket dengan kasur dikamarnya."Saya sibuk, pak, ada apa memangnya?" Padahal Heera cuma mau sok sibuk saja.Sea
Rahel: Kak, Ibu sakit Tubuh Heera langsung lemas setelah membaca pesan yang Rahel kirimkan, padahal beberapa menit lalu ia baru saja memakan sarapan yang ibu kost sediakan. Heera mengigit jempolnya, tungkainya berjalan mondar-mandir di balkon kamar. Mencari jalan keluar dari apa yang sedang ia hadapi. Mendapatkan kabar ibunya yang sedang sakit di kampung, namun Heera tidak bisa melakukan apapun. Heera sudah menelpon Rahel, menanyakan apakah sakit ibunya parah, Rahel bilang tidak bisa dibilang parah, tapi bukankah ada baiknya di bawa kedokter? Ya, sakit parah atau tidak memang harus dibawa ke dokter, tapi kalau ada uang. Boro-boro mau transfer uang ke Ibunya, Heera sendiri hanya memiliki lima ribu di saku. Haruskah Heera meminjam uang kepada Jessi? Heera menggeleng, ia tidak bisa, bukan karena gengsi, tapi karena Heera tidak tau kapan ia bisa menggantikan uang temannya itu. Padahal sudah pasti Jessi dengan senang
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M