"Maksud bapak, saya gak jadi kerja disini?"
Anggukan di kepala Sean cukup membuat Heera tercengang dan tidak percaya. Ia memajukan bibir bawahnya lalu menatap Sean memelas. Apa-apaan ini? Sean baru saja mempermainkan nya atau bagaimana?
"Tapi kenapa, pak?" Heera masih tidak terima.
"Saya kurang percaya sama kamu, lagi pula saya sudah dapat babysitter baru untuk Keenan." jawab Sean dengan raut wajah angkuhnya, ia tampak sama sekali tidak merasa bersalah sudah membuat Heera kecewa.
Mendengar jawaban Sean, Heera mendengus. Jika dari awal tidak mempercayainya lalu untuk apa Sean menawarkan ia pekerjaan? Seketika Heera berubah raut wajahnya menjadi dongkol.
"Ya sudah pak, saya pulang saja kalau gitu. Semoga babysitter Keenan lebih baik dari saya." ketus Heera, masa bodo dengan sopan santunnya, ia sudah kepalang jengkel dengan duda anak satu itu.
Kedua mata elang Sean menatapi k
Bagi Heera larangan adalah perintah, maka dari itu sepulangnya dari kuliah, kakinya langsung meleset cepat ke depan pintu gerbang rumah Sean untuk menemui Keenan.Meski semalam Sean mengancam dan melarangnya untuk menemui Keenan, tapi Heera tidak menghiraukan nya. Apa lagi saat tidak melihat mobil Sean yang terparkir di perkarangan, semangat Heera untuk menemui Keenan semakin menggebu."Keenan, main yuk!!!" panggil Heera layaknya anak kecil yang mengajak temannya bermain."Kennn!" Heera masih terus bersuara meski tak ada tanda-tanda Keenan akan keluar dari rumahnya.Mata Heera melirik ke jam tangan di tangannya, sudah jam 4 sore, seharusnya Keenan sudah pulang dari sekolahnya."Keenan!" Kali ini suara Heera berteriak lebih keras, siapa tahu Keenan mendengarnya kali ini.Mata Heera spontan melebar melihat pintu utama rumah Sean yang berdecit terbuka, sosok Mbak Indri keluar dari sana dengan wajah cemas.He
Akhir-akhir ini Heera banyak menangis. Ia stress dan putus asa. Kata orang-orang, uang bukan segalanya, tapi setidaknya memiliki banyak uang dapat meringankan beban pikiran, karena nyatanya segalanya butuh uang. Hampir satu bulan menjadi pengangguran, beruntungnya Heera masih hidup meski beberapa kali ia merasakan kelaparan karena tidak memiliki uang untuk makan. Hidup merantau dan membiayai hidup sendiri itu sulit, apa lagi jika sedang tidak memiliki pemasukan seperti yang Heera alami sekarang. Arta: Ra, belum makan 'kan?Arta: keluar yuk, cari makan Untung Heera memiliki banyak teman yang baik hati, yang setiap hari secara sukarela berdonasi untuk mengisi perutnya. Mereka memang teman yang paling pengertian. Heera melirik jam yang menempel di dinding kamarnya, masih jam 8 malam, kebetulan ia belum makan dan sumpek di kamar. Jadi tidak ada alasan untuknya menolak rejeki yang Arta tawarkan. Heera: yuk! Arta: otw yaa Heera ya
"Heera!"Mendengar namanya di panggil, Heera praktis berhenti melangkah, kepalanya menoleh spontan ke sumber suara. Raut wajah Heera seketika berubah saat melihat Sean yang berjalan menghampirinya.Heera memutar bola matanya malas ketika pria berwajah tegas itu berdiri dihadapannya, "Ada apa ya pak?" tanya Heera sedikit ketus. Jika Sean bisa bersikap kasar padanya, kenapa ia tidak bisa? Masa bodoh di bilang kurang ajar. Untuk apa bersikap santun kepada Sean yang memperlakukannya dengan buruk?"Kamu ada waktu sebentar? Saya mau bicara." ujar Sean, Heera melirik kearah jam di tangannya, sebenarnya ia sudah tidak ada acara lagi setelah ini, paling juga hanya menonton drama Korea di layar laptopnya sambil rebahan dan bermalas-malasan. Sejak menjadi pengangguran, tubuh Heera semakin lengket dengan kasur dikamarnya."Saya sibuk, pak, ada apa memangnya?" Padahal Heera cuma mau sok sibuk saja.Sea
Rahel: Kak, Ibu sakit Tubuh Heera langsung lemas setelah membaca pesan yang Rahel kirimkan, padahal beberapa menit lalu ia baru saja memakan sarapan yang ibu kost sediakan. Heera mengigit jempolnya, tungkainya berjalan mondar-mandir di balkon kamar. Mencari jalan keluar dari apa yang sedang ia hadapi. Mendapatkan kabar ibunya yang sedang sakit di kampung, namun Heera tidak bisa melakukan apapun. Heera sudah menelpon Rahel, menanyakan apakah sakit ibunya parah, Rahel bilang tidak bisa dibilang parah, tapi bukankah ada baiknya di bawa kedokter? Ya, sakit parah atau tidak memang harus dibawa ke dokter, tapi kalau ada uang. Boro-boro mau transfer uang ke Ibunya, Heera sendiri hanya memiliki lima ribu di saku. Haruskah Heera meminjam uang kepada Jessi? Heera menggeleng, ia tidak bisa, bukan karena gengsi, tapi karena Heera tidak tau kapan ia bisa menggantikan uang temannya itu. Padahal sudah pasti Jessi dengan senang
"Kamu masak, Ra?" Heera menoleh dan mendapati Sean yang datang dengan setelan formalnya, lengkap dengan sepatu mengkilat yang sudah membalut kedua kakinya. Sembari menunggu Keenan yang sedang mandi, Heera berinisiatif memasak sarapan untuk Sean dan Keenan, ya meskipun dia juga belum sarapan. "Iya, pak." jawab Heera, "Kata Keenan bapak gak ngopi ya kalau pagi?" Heera bertanya, pasalnya tadi dia ingin membuatkan Sean kopi, tapi Keenan bilang Ayahnya itu tidak terbiasa minum kopi di pagi hari. Sean yang habis meneguk air putih pun mengangguk, matanya tak lepas memandang Heera yang membelakanginya, "Ya, saya kalau pagi minumnya susu." jawab Sean membuat Heera terdiam di depan sana. Sean berkedip beberapa saat, apa ia salah bicara? Kenapa kegiatan tangan Heera yang sedang mengaduk masakannya langsung berhenti setelah mendengar jawaban darinya? "Maksud saya susu coklat, bisa kamu buat
Heera menghela napas lega seraya merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Hari pertama menjadi babysitter Keenan telah selesai, berjalan dengan baik dan lancar. Ternyata tidak seberat yang Heera kira, malah menurutnya menjadi babysitter pekerjaan yang paling menyenangkan. Lebih mirip bermain sebenarnya karena Heera sendiri menyukai anak kecil.Keenan anak yang manis, penurut dan lucu, menjaga Keenan tidak bikin Heera sakit kepala. Untungnya Keenan bukan tipe anak kecil yang nakal dan suka membangkang, Heera jadi terkesan dengan Sean karena bisa mendidik Keenan menjadi anak yang pintar dan tidak neko-neko.Ting!Heera tertegun kecil saat mendengar dentingan ponselnya, dengan gerakan yang santai Heera mengambil ponsel yang berada di dalam saku celana.Sean: saya lupa bilang, terimakasih sudah menjaga Keenan hari ini. Saya harap kamu tidak kapok. Selamat malam, Heera.Praktis bibir Heera tersenyum
Heera menggigit jempolnya cemas, hampir satu jam ia terjebak di dalam kamar Keenan, bukan karena tidak bisa keluar, tapi Heera malu. Ia sadar kalau tindakan yang ia lakukan kepada Sean tadi tidak sopan, berbicara dengan nada tinggi dan sedikit emosi. Heera seakan lupa kalau dia hanya babysitter, tidak pantas menentang Sean, sekalipun untuk membela Keenan. "Tante?" Spontan Heera menolah saat mendengar suara Keenan yang memanggilnya. Kedua alis Heera terangkat melihat Keenan yang tengah menatapnya, padahal setengah jam lalu anak manis itu sudah terlelap setelah di bacakan dongeng sih kancil. "Sayang, kok kamu bangun?" tanya Heera seraya menghampiri Keenan "Tante kenapa berdiri di depan pintu terus? Tante tidak pulang?" Keenan malah balik bertanya, ia mengucek matanya guna memperjelas pandangannya yang sedikit mememburam. Heera mendaratkan bokongnya di sisi ranjang Keenan lalu mengusap k
Sean tak dapat menahan senyumnya saat melihat punggung mungil Heera di depan matanya, cewek itu tengah sibuk memasak sarapan. Sean berdehem pelan, ia mengontrol raut wajahnya sebelum melangkah mendekat pada Heera."Pagi, Heera!" sapa Sean sambil meraih segelas susu coklat yang sudah Heera siapkan seperti biasa.Mendengar suara Sean yang menyapanya, spontan Heera menolah, "Pagi, pak!" balas Heera sambil tersenyum ramah. Kini interaksi mereka tidak secanggung sebelumnya.Sean yang sedang meneguk susu hampir saja tersedak mendengar balasan Heera. Lantas pria itu menyudahi tegukan nya, dengan wajah yang tak se-sumringah tadi,Sean bertanya."Bukannya semalam kamu sudah setuju buat panggil saya mas?"Heera menoleh lagi, ia meringis lalu menepuk keningnya. "Ya ampun, lupa, pak! Maksudnya, mas!" Heera mengutuki dirinya dalam hati. Kenapa bibirnya sekaku itu untuk memanggil Sean dengan sebutan mas?"Tidak apa-apa," jawab Sean dengan wajah betenya. Ia
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M