Setelah kelas selesai, Rani buru-buru kabur dari ruangan, berharap bisa menyelamatkan diri dari tatapan dan bisik-bisik teman-temannya. Tapi langkahnya terhenti saat Dika dan Cinta mengejar dari belakang."Ran, tunggu! Kita mau nemenin lo!" seru Cinta sambil menarik tas Rani."Nemenin apaan?! Gue cuma mau ke perpustakaan, ngumpet dari dunia ini!" Rani menjawab frustrasi."Perpustakaan? Cocok! Di sana gue bisa ngerumpi tanpa takut ketahuan dosen," ujar Dika sambil nyengir."Lo tuh nggak ngerti konsep perpustakaan, ya? Itu tempat baca buku, bukan ngerumpi!" balas Rani.Akhirnya, mereka bertiga sampai di perpustakaan. Suasananya tenang, seperti biasa, tapi bagi Rani, tempat itu terasa seperti surga. Dia segera mencari meja paling pojok untuk duduk dan membuka laptop.Namun, seperti biasa, ketenangan Rani nggak bertahan lama. Cinta, yang duduk di depannya, mulai berbisik, "Ran, lo sadar nggak sih? Kalau gosip lo sama Pak Ardi makin lama makin seru? Gue denger tadi di kantin ada yang bilan
Keesokan harinya, gosip di kampus belum mereda. Bahkan, ada tambahan bumbu baru: “Pak Ardi dan Rani terlihat mesra di perpustakaan.” Itu semua berkat ulah Rina, yang entah bagaimana selalu tahu segala kejadian di kampus dan menyebarkannya lebih cepat dari media sosial.Di kelas pagi itu, Rani datang dengan wajah kusut. Dia langsung duduk di pojokan, mencoba nggak menarik perhatian. Tapi tentu aja, keberadaan Cinta dan Dika bikin rencana itu gagal total.“Ran, gue nggak ngerti kenapa lo nggak sekalian aja bikin vlog hubungan lo sama Pak Ardi. Pasti views-nya tembus satu juta!” celetuk Dika sambil nyengir lebar.Rani menatapnya tajam. “Dik, kalau lo ngomong kayak gitu lagi, gue sumpahin lo nggak lulus semester ini!”Cinta, yang duduk di sebelahnya, ikut nimbrung. “Tapi serius, Ran. Gue kemarin denger dari anak jurusan lain, mereka bener-bener percaya kalau lo dan Pak Ardi punya hubungan spesial. Gue sih nggak nyalahin mereka. Chemistry kalian tuh—”“CI!” potong Rani dengan suara setenga
Setelah kejadian di ruangan Pak Ardi, Rani merasa dia harus melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya. Dia nggak mau terlihat seperti mahasiswi ceroboh yang cuma bisa bikin masalah. Maka, dia memutuskan untuk mengambil langkah besar: bantuin Pak Ardi mengurus dokumen-dokumen di ruangannya.Rani sengaja datang lebih awal ke kampus keesokan harinya. Dia membawa sekantong kecil kue yang dia beli di perjalanan—niatnya buat mencairkan suasana. Saat sampai di ruangan Pak Ardi, dia mengetuk pintu dengan hati-hati.“Masuk,” terdengar suara tegas dari dalam.Rani membuka pintu pelan. Pak Ardi tampak sibuk dengan tumpukan berkas di meja. Saat melihat Rani, dia sedikit mengangkat alis. “Ada apa, Rani?”“E-eh, ini, Pak. Saya cuma mau bantu beresin dokumen. Dan ini, saya bawa kue buat Bapak…” Rani meletakkan kantong kue di meja dengan sedikit gugup.Pak Ardi menatap kantong itu sebentar sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih, Rani. Tapi kamu nggak perlu repot-repot.”“Nggak apa-apa
Hari itu, suasana kampus terasa lebih ramai dari biasanya. Tapi buat Rani, dunia sedang terasa seperti film slow-motion. Ada rasa campur aduk yang sulit dijelaskan. Bukan karena skripsinya, tapi karena dia baru saja mendapat pesan dari Pak Ardi:> "Rani, hari ini kita lanjutkan bimbingan di rumah saya. Anak saya sedang kurang enak badan, jadi saya nggak bisa tinggal lama di kampus."Mata Rani langsung membelalak saat membaca pesan itu. Bimbingan… di rumah Pak Ardi?! Ini pertama kalinya dia diminta datang ke rumah dosennya. Meskipun konteksnya profesional, tapi tetap saja, rasanya bikin deg-degan.Cinta, yang duduk di sebelahnya, langsung heboh saat Rani menceritakan rencana itu.“Lo serius? Bimbingan di rumah Pak Ardi? Ran, ini kesempatan emas buat lo. Jangan lupa observasi detail rumahnya. Gue pengen tahu semuanya. Warna sofa, jenis lampu, bahkan koleksi majalahnya!”“Cii, gue bimbingan, bukan jadi agen rahasia!” balas Rani sambil mengusap wa
Keesokan harinya, Rani kembali ke kampus dengan perasaan campur aduk. Pengalaman bimbingan di rumah Pak Ardi kemarin masih membekas di pikirannya. Tapi dia berusaha keras untuk fokus. Skripsinya masih jauh dari selesai, dan dia nggak mau bikin masalah lagi dengan dosen pembimbingnya itu.Saat jam makan siang, dia berjalan menuju ruang dosen dengan naskah revisi di tangannya. Namun, begitu tiba di depan pintu, dia malah berhenti dan menarik napas panjang.“Udah sampai sini, masa balik lagi? Jangan bego, Ran,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah mengetuk pintu, suara tegas Pak Ardi terdengar. “Masuk.”Rani membuka pintu dengan hati-hati. Pak Ardi sedang duduk di meja kerjanya, mengenakan kemeja biru muda yang digulung sampai siku. Matanya langsung tertuju ke arah Rani.“Rani, duduk. Ada yang mau didiskusikan?” tanyanya dengan nada santai.Rani mengangguk pelan dan menyerahkan dokumen revisinya. “Ini, Pak, revisi yang Bapak minta ke
Seminggu berlalu sejak bimbingan terakhir di rumah Pak Ardi. Hidup Rani terasa jauh lebih teratur dari biasanya. Revisi skripsinya berjalan lancar, tugas-tugas kuliah lain sudah selesai, dan dia bahkan berhasil tidur cukup tanpa begadang nonton drama Korea. Untuk pertama kalinya, Rani merasa seperti mahasiswi ideal yang punya hidup terencana.Setiap pagi, dia bangun tepat waktu, berangkat ke kampus tanpa terlambat, dan menyempatkan sarapan di kantin bersama Cinta dan Dika.“Hidup lo kenapa rapi banget belakangan ini? Lagi ikut retret, nih?” goda Cinta sambil menyuap nasi goreng.“Lagi tenang aja, Cin,” jawab Rani sambil tersenyum santai. “Nggak ada tugas numpuk, nggak ada drama… rasanya kayak hidup baru.”“Tumben nggak ada yang ngeluh soal skripsi,” komentar Dika sambil memutar gelas tehnya.Rani mengangguk mantap. “Soalnya progress-nya lancar, Di. Pak Ardi bantu banget, ternyata dia nggak se-ngeselin yang gue pikir sebelumnya.”
Malam itu, Rani duduk di meja belajarnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Pak Ardi. Tapi dia tidak merasa ingin membalasnya. Rasanya, hati Rani sedang dipenuhi kebingungan dan kecemasan yang begitu besar, hingga membuatnya tak mampu mengumpulkan kekuatan untuk sekadar mengetik beberapa kata.Di layar ponselnya, pesan Pak Ardi itu tersisa tidak terbaca:"Rani, gimana skripsinya? Kalau ada yang mau dibahas, langsung hubungi saya aja, ya. Jangan sungkan."Tapi Rani tidak membalas. Tidak ada energi untuk itu. Sebab, ada satu masalah besar yang membuat semua perhatiannya teralihkan dari skripsi ke kosan.Pagi tadi, dia baru saja menerima pesan dari pemilik kosan yang memberi tahu kalau dia belum melunasi pembayaran sewa bulan ini. Uang yang harus dia bayar untuk bulan ini lebih dari yang dia perkirakan. Kosan kecilnya di pinggir kota itu memang murah, tapi sekarang setelah beberapa bulan ini uang yang dia punya benar-benar menipis.
Kelas dimulai. Pak Ardi masuk dengan gaya khasnya, pakai kemeja rapi dan celana jins yang stylish. Langsung aja, seluruh kelas jadi berisik, berusaha nyari perhatian. Tapi ada satu orang yang cuma duduk sambil megangin pena dan fokus ke papan tulis: Rani. Ya, meskipun di luar dia kelihatan santai, dalam hati dia udah kayak rollercoaster. Tapi, dia berusaha nggak keliatan kayak orang yang kelihatan deg-degan.Pak Ardi mulai ngejelasin materi dengan cara yang nggak bikin ngantuk. “Oke, teman-teman. Hari ini kita bahas tentang puisi modern…”Tiba-tiba, Pak Ardi berhenti dan matanya nyadar ke arah Rani. "Rani, lo pernah baca puisi modern gak?" katanya, nyebut nama Rani di depan kelas.Rani yang langsung tegang kayak dipanggil di depan umum cuma bisa jawab, “A-Ada, Pak…”Pak Ardi nyengir. “Coba lo ceritain sedikit, dong. Apa yang lo suka dari puisi itu?”Rani yang udah kaya ikan lele kegigit umpan cuma bisa geleng-geleng dan ngomong dengan suara pelan, “I-It's hard to explain, Pak.”Bebera
Malam itu, Rani duduk di meja belajarnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Pak Ardi. Tapi dia tidak merasa ingin membalasnya. Rasanya, hati Rani sedang dipenuhi kebingungan dan kecemasan yang begitu besar, hingga membuatnya tak mampu mengumpulkan kekuatan untuk sekadar mengetik beberapa kata.Di layar ponselnya, pesan Pak Ardi itu tersisa tidak terbaca:"Rani, gimana skripsinya? Kalau ada yang mau dibahas, langsung hubungi saya aja, ya. Jangan sungkan."Tapi Rani tidak membalas. Tidak ada energi untuk itu. Sebab, ada satu masalah besar yang membuat semua perhatiannya teralihkan dari skripsi ke kosan.Pagi tadi, dia baru saja menerima pesan dari pemilik kosan yang memberi tahu kalau dia belum melunasi pembayaran sewa bulan ini. Uang yang harus dia bayar untuk bulan ini lebih dari yang dia perkirakan. Kosan kecilnya di pinggir kota itu memang murah, tapi sekarang setelah beberapa bulan ini uang yang dia punya benar-benar menipis.
Seminggu berlalu sejak bimbingan terakhir di rumah Pak Ardi. Hidup Rani terasa jauh lebih teratur dari biasanya. Revisi skripsinya berjalan lancar, tugas-tugas kuliah lain sudah selesai, dan dia bahkan berhasil tidur cukup tanpa begadang nonton drama Korea. Untuk pertama kalinya, Rani merasa seperti mahasiswi ideal yang punya hidup terencana.Setiap pagi, dia bangun tepat waktu, berangkat ke kampus tanpa terlambat, dan menyempatkan sarapan di kantin bersama Cinta dan Dika.“Hidup lo kenapa rapi banget belakangan ini? Lagi ikut retret, nih?” goda Cinta sambil menyuap nasi goreng.“Lagi tenang aja, Cin,” jawab Rani sambil tersenyum santai. “Nggak ada tugas numpuk, nggak ada drama… rasanya kayak hidup baru.”“Tumben nggak ada yang ngeluh soal skripsi,” komentar Dika sambil memutar gelas tehnya.Rani mengangguk mantap. “Soalnya progress-nya lancar, Di. Pak Ardi bantu banget, ternyata dia nggak se-ngeselin yang gue pikir sebelumnya.”
Keesokan harinya, Rani kembali ke kampus dengan perasaan campur aduk. Pengalaman bimbingan di rumah Pak Ardi kemarin masih membekas di pikirannya. Tapi dia berusaha keras untuk fokus. Skripsinya masih jauh dari selesai, dan dia nggak mau bikin masalah lagi dengan dosen pembimbingnya itu.Saat jam makan siang, dia berjalan menuju ruang dosen dengan naskah revisi di tangannya. Namun, begitu tiba di depan pintu, dia malah berhenti dan menarik napas panjang.“Udah sampai sini, masa balik lagi? Jangan bego, Ran,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah mengetuk pintu, suara tegas Pak Ardi terdengar. “Masuk.”Rani membuka pintu dengan hati-hati. Pak Ardi sedang duduk di meja kerjanya, mengenakan kemeja biru muda yang digulung sampai siku. Matanya langsung tertuju ke arah Rani.“Rani, duduk. Ada yang mau didiskusikan?” tanyanya dengan nada santai.Rani mengangguk pelan dan menyerahkan dokumen revisinya. “Ini, Pak, revisi yang Bapak minta ke
Hari itu, suasana kampus terasa lebih ramai dari biasanya. Tapi buat Rani, dunia sedang terasa seperti film slow-motion. Ada rasa campur aduk yang sulit dijelaskan. Bukan karena skripsinya, tapi karena dia baru saja mendapat pesan dari Pak Ardi:> "Rani, hari ini kita lanjutkan bimbingan di rumah saya. Anak saya sedang kurang enak badan, jadi saya nggak bisa tinggal lama di kampus."Mata Rani langsung membelalak saat membaca pesan itu. Bimbingan… di rumah Pak Ardi?! Ini pertama kalinya dia diminta datang ke rumah dosennya. Meskipun konteksnya profesional, tapi tetap saja, rasanya bikin deg-degan.Cinta, yang duduk di sebelahnya, langsung heboh saat Rani menceritakan rencana itu.“Lo serius? Bimbingan di rumah Pak Ardi? Ran, ini kesempatan emas buat lo. Jangan lupa observasi detail rumahnya. Gue pengen tahu semuanya. Warna sofa, jenis lampu, bahkan koleksi majalahnya!”“Cii, gue bimbingan, bukan jadi agen rahasia!” balas Rani sambil mengusap wa
Setelah kejadian di ruangan Pak Ardi, Rani merasa dia harus melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya. Dia nggak mau terlihat seperti mahasiswi ceroboh yang cuma bisa bikin masalah. Maka, dia memutuskan untuk mengambil langkah besar: bantuin Pak Ardi mengurus dokumen-dokumen di ruangannya.Rani sengaja datang lebih awal ke kampus keesokan harinya. Dia membawa sekantong kecil kue yang dia beli di perjalanan—niatnya buat mencairkan suasana. Saat sampai di ruangan Pak Ardi, dia mengetuk pintu dengan hati-hati.“Masuk,” terdengar suara tegas dari dalam.Rani membuka pintu pelan. Pak Ardi tampak sibuk dengan tumpukan berkas di meja. Saat melihat Rani, dia sedikit mengangkat alis. “Ada apa, Rani?”“E-eh, ini, Pak. Saya cuma mau bantu beresin dokumen. Dan ini, saya bawa kue buat Bapak…” Rani meletakkan kantong kue di meja dengan sedikit gugup.Pak Ardi menatap kantong itu sebentar sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih, Rani. Tapi kamu nggak perlu repot-repot.”“Nggak apa-apa
Keesokan harinya, gosip di kampus belum mereda. Bahkan, ada tambahan bumbu baru: “Pak Ardi dan Rani terlihat mesra di perpustakaan.” Itu semua berkat ulah Rina, yang entah bagaimana selalu tahu segala kejadian di kampus dan menyebarkannya lebih cepat dari media sosial.Di kelas pagi itu, Rani datang dengan wajah kusut. Dia langsung duduk di pojokan, mencoba nggak menarik perhatian. Tapi tentu aja, keberadaan Cinta dan Dika bikin rencana itu gagal total.“Ran, gue nggak ngerti kenapa lo nggak sekalian aja bikin vlog hubungan lo sama Pak Ardi. Pasti views-nya tembus satu juta!” celetuk Dika sambil nyengir lebar.Rani menatapnya tajam. “Dik, kalau lo ngomong kayak gitu lagi, gue sumpahin lo nggak lulus semester ini!”Cinta, yang duduk di sebelahnya, ikut nimbrung. “Tapi serius, Ran. Gue kemarin denger dari anak jurusan lain, mereka bener-bener percaya kalau lo dan Pak Ardi punya hubungan spesial. Gue sih nggak nyalahin mereka. Chemistry kalian tuh—”“CI!” potong Rani dengan suara setenga
Setelah kelas selesai, Rani buru-buru kabur dari ruangan, berharap bisa menyelamatkan diri dari tatapan dan bisik-bisik teman-temannya. Tapi langkahnya terhenti saat Dika dan Cinta mengejar dari belakang."Ran, tunggu! Kita mau nemenin lo!" seru Cinta sambil menarik tas Rani."Nemenin apaan?! Gue cuma mau ke perpustakaan, ngumpet dari dunia ini!" Rani menjawab frustrasi."Perpustakaan? Cocok! Di sana gue bisa ngerumpi tanpa takut ketahuan dosen," ujar Dika sambil nyengir."Lo tuh nggak ngerti konsep perpustakaan, ya? Itu tempat baca buku, bukan ngerumpi!" balas Rani.Akhirnya, mereka bertiga sampai di perpustakaan. Suasananya tenang, seperti biasa, tapi bagi Rani, tempat itu terasa seperti surga. Dia segera mencari meja paling pojok untuk duduk dan membuka laptop.Namun, seperti biasa, ketenangan Rani nggak bertahan lama. Cinta, yang duduk di depannya, mulai berbisik, "Ran, lo sadar nggak sih? Kalau gosip lo sama Pak Ardi makin lama makin seru? Gue denger tadi di kantin ada yang bilan
Keesokan harinya, situasi kampus benar-benar kacau buat Rani. Gosip soal dia dan Pak Ardi seperti hujan deras yang nggak ada habisnya. Setiap sudut kampus yang dia lewati, selalu ada bisik-bisik nggak jelas."Eh, itu Rani, kan? Yang kemarin digosipin sama Pak Ardi?""Iya, iya. Katanya, Pak Ardi perhatian banget sama dia!""Beruntung banget, ya? Kapan lagi dosen keren kayak gitu perhatian ke mahasiswi biasa?"Rani cuma bisa nunduk sepanjang jalan, berusaha nggak mendengar apa pun. Tapi tentu aja, ada orang yang nggak bisa ditahan untuk bikin suasana makin heboh.“Raniii!” suara Rina dari belakang bikin Rani langsung deg-degan. Rina menghampiri dengan senyum khasnya yang penuh rasa ingin tahu. “Eh, lo nggak apa-apa? Gue liat grup rame banget semalam.”“Nggak apa-apa,” jawab Rani dingin, mencoba memotong pembicaraan.“Tapi gue salut lho. Pak Ardi itu nggak pernah kayak gitu sama mahasiswa lain. Lo pasti spesial banget buat dia.” Rina tersenyum lebar, tapi mata Rani udah mulai berkilat pe
Sore itu, grup kampus yang biasanya cuma rame sama pengumuman tugas mendadak meledak.Rina: "Wih, pasangan dosen-mahasiswa baru nih di kampus kita! Dosen super perhatian sama mahasiswi spesialnya. Liat aja tadi di kantin, full perhatian banget deh! 🥰"Rani langsung ngelihat notifikasi itu di HP-nya. Seakan belum cukup malu dari pagi sampai siang tadi, kini seluruh mahasiswa tahu soal insiden kantin itu.Cinta: "Ran, bentar lagi lo viral nih. Gue udah siap pasang spanduk ‘Team Rani’."Dika: "Tolong, kasih gue waktu buat bikin meme. Ini peluang langka!"Rani cuma bisa balas dengan emoji pukul di grup teman-temannya.Tapi di luar itu, komentar di grup kampus mulai muncul satu per satu.Mahasiswa 1: "Halah, paling dosennya cuma baik biasa aja. Kalian suka bikin drama."Mahasiswa 2: "Tapi iya sih, Pak Ardi kan terkenal ramah sama semua mahasiswa. Atau jangan-jangan, ada beneran sesuatu nih?"Mahasiswa 3: "Kok bisa perhatian banget sama Rani? Gue aja ketinggalan catatan, dicuekin."Rani bu