Rani, yang masih terjebak dalam kepanikan akibat gosip, akhirnya memutuskan untuk menghindar dari perhatian orang. Ia memilih tempat paling sepi di kampus yaitu perpustakaan yang berada di lantai tiga. Biasanya, nggak ada orang di sana kecuali Pak Budi, penjaga perpustakaan yang sering ketiduran di mejanya.“Ini tempat yang aman,” gumam Rani sambil duduk di sudut ruangan dengan buku tebal yang dia pakai cuma buat pura-pura belajar.Tapi belum juga lima menit, suara langkah kaki terdengar. Rani langsung ngintip dari balik rak buku, dan siapa yang muncul? Pak Ardi, sambil bawa laptop dan setumpuk kertas.“SERIOUSLY?!” Rani hampir teriak, tapi buru-buru nutup mulut. Dia langsung meringkuk di balik rak, berharap Pak Ardi nggak ngeliat dia.Tapi nasib berkata lain. “Rani?” Suara Pak Ardi terdengar pelan tapi jelas.Rani ngangkat kepala pelan-pelan. “Iya, Pak?”“Ngapain lo di sini? Kabur dari gosip?” tanyanya sambil senyum santai.Rani nggak tau harus jawab apa. “Eh, nggak, Pak. Lagi... bel
Gosip soal Bu Endah dan Pak Ardi menyebar lebih cepat daripada koneksi Wi-Fi kampus. Grup-grup WhatsApp dosen mulai ribut. Grup mahasiswa makin heboh. Bahkan satpam kampus, Pak Untung, ikut nimbrung nanya ke anak-anak yang lagi nongkrong di parkiran.Di ruang dosen, suasana juga nggak kalah awkward. Pak Ardi yang lagi serius ngetik langsung disamperin Bu Endah dengan senyuman lebar.“Ardi, tenang aja. Aku nggak marah kok,” katanya sambil duduk di sebelah Pak Ardi.Pak Ardi melongo. “Lho, Bu, maksudnya apa ya?”Bu Endah cuma ngakak. “Ya gosip itu, lah! Santai aja. Aku sih nggak keberatan kalau kita jadi bahan cerita.”Pak Ardi langsung pusing sambil megang kepala. “Aduh, Bu. Itu pasti ulah mahasiswa yang iseng. Saya sampe nggak tau harus ngomong apa lagi.”“Kalau gitu, cuekin aja. Toh gosip cuma bertahan beberapa hari,” ujar Bu Endah sambil menyambar bolpen dari meja Pak Ardi.“Tapi, Bu, mereka bilang kita pacaran!”Bu Endah nyengir. “Kenapa? Kamu malu pacaran sama aku?”Pak Ardi langs
Kampus lagi heboh nyiapin acara besar tahunan yaitu Festival Seni dan Budaya. Semua jurusan wajib ikut, termasuk Sastra. Biasanya, acara ini jadi ajang mahasiswa buat nunjukin bakat seni, mulai dari drama, tari, sampai nyanyi. Tapi di jurusan Sastra, perdebatan soal konsep drama selalu jadi perang dingin antara dua kubu: kubu "Nyeni Abis" dan kubu "Santai Tapi Menarik."Cinta langsung ngusulin ide absurd, “Gimana kalau kita bikin drama tentang alien jatuh cinta sama manusia? Nggak mainstream, kan?”Dika ngakak sambil ngunyah roti. “Cin, itu bukannya kayak film kartun pagi-pagi di TV?”Cinta nyengir. “Nah, justru itu! Lucu kan? Penonton pasti ngakak.”Tapi Rani, yang duduk sambil malas-malasan, langsung protes. “Cin, lo sadar ini Festival Seni dan Budaya, bukan lomba stand-up comedy?”Rina, yang biasanya penuh ide dramatis, langsung masuk diskusi dengan gaya sok serius. “Gue sih setuju kalau kita bikin drama tragis. Kayak kisah cinta beda kasta, tapi akhirnya mati bareng. Penonton past
Latihan drama resmi dimulai, dan sejak itu hidup Rani berubah jadi penuh kekacauan. Di hari pertama aja, Dika udah bikin masalah. Pas latihan dialog, dia malah tiba-tiba nangis lebay.“OH, TIDAAAAAK! KENAPA CINTA KITA HARUS TERPISAH?!” teriak Dika sambil jatuh dramatis di lantai.Rina, yang jadi lawan main Dika, langsung ngelempar skrip ke muka dia. “Dik, ini kan drama komedi! Lo kira ini sinetron Azab?!”Cinta ngakak di pojokan sambil manggil Dika, “Gue nggak nyangka lo bakat jadi aktor FTV, bro.”Rani yang lagi ngamatin dari belakang kepala mulai berdenyut. “Dik, tolong serius sedikit. Kita tuh lagi kejar waktu.”Dika nyengir sambil duduk di lantai. “Santai, Ran. Justru ini cara gue masukin humor ke karakter gue.”“Tapi ini nggak lucu, Dik. Ini konyol,” jawab Rani sambil ngelirik Pak Ardi, yang berdiri di belakang mereka sambil melipat tangan.Pak Ardi angkat alis. “Dika, lo mau jadi bintang atau bahan lelucon? Kalau nggak bisa serius, gue gantiin lo sama orang lain.”Dika langsung
Latihan drama makin kacau, dan untuk menyelamatkan semuanya, Cinta tiba-tiba muncul dengan ide out-of-the-box.“Gue dapet tempat latihan baru!” serunya dengan penuh semangat sambil narik semua orang ke ruang tengah.Rani melotot curiga. “Jangan bilang tempat lo itu aneh-aneh lagi, Cin.”Cinta nyengir. “Enggak, kali ini beneran. Tempatnya luas, murah, dan... agak sedikit antik.”Dika langsung angkat tangan. “Antik tuh maksud lo tempat yang biasanya nongol di video eksplorasi malam?”Cinta pura-pura nggak denger dan malah nyodorin alamat. “Pokoknya besok kita pindah latihan ke sana. Trust me!”Fauzi, yang selalu cuek, akhirnya buka suara. “Gue cuma mau nanya satu hal, tempat itu ada Wi-Fi-nya nggak?”Cinta cuma senyum misterius.---Keesokan harinya, semua anggota tim drama—termasuk Pak Ardi—dateng ke lokasi yang dijanjikan Cinta. Dan bener aja, tempat itu adalah gedung tua kosong yang keliatan kayak udah ratusan tahun nggak disentuh manusia.Rina langsung ngerangkul lengan Rani. “RAN!
Hari-hari menjelang pentas drama makin mendekat, dan seperti yang sudah diduga, kekacauan masih terus terjadi. Di pagi terakhir sebelum gladi resik, semua anggota tim sibuk ngecek properti, kostum, dan skrip.Rani yang bertugas jadi koordinator udah kayak ibu-ibu di pasar pagi, lari ke sana-sini sambil teriak.“Dika! Mana mikrofon cadangan? Gue nggak lihat ada di tas properti!”Dika, yang lagi nyari di gudang, cuma teriak balik. “Tenang, Ran! Masih gue cari! Tapi kalo nggak nemu, pake kaleng aja!”“DIKA!” Rani hampir melempar clipboard ke arahnya.Cinta muncul dari belakang sambil nyengir lebar. “Santai, Ran. Lo tuh kayak mau perang. Ini cuma drama, bukan misi penyelamatan dunia.”Rani ngelirik tajam. “Cin, kalau gue denger kata ‘santai’ dari mulut lo sekali lagi, gue sumpahin lo lupa dialog di panggung nanti!”Fauzi, yang lagi asyik makan roti di pojok, cuma menambahkan, “Udah, Ran. Jangan terlalu tegang. Nanti lo malah pingsan di panggung duluan.”Rani udah mau marah, tapi ditahan.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Gedung aula kampus penuh sesak oleh mahasiswa, dosen, bahkan beberapa warga sekitar yang penasaran. Panggung udah dihias maksimal, meskipun kalau dilihat lebih dekat, ada beberapa properti yang kayaknya cuma ditempel pakai selotip.Di belakang panggung, tim drama lagi sibuk dengan persiapan terakhir. Rani mondar-mandir sambil ngecek semua hal satu per satu.“Cinta, lo udah inget semua dialog lo?” tanya Rani tegas.Cinta malah sibuk ngaca sambil dandan. “Inget, Ran. Santai. Lo liat aja nanti gue bakal jadi bintang utama.”“Bintang apaan, Cin? Gue yakin lo lebih mirip pengisi acara iklan sabun,” sindir Dika yang lagi pasang topeng gorila untuk adegan komedi.“DIKA! Jangan mulai lagi!” bentak Rani.Pak Ardi masuk dengan ekspresi tenang sambil bawa termos kopinya seperti biasa. “Semua udah siap?” tanyanya.Semua mengangguk kecuali Rani, yang langsung menghambur ke arahnya. “Pak, gue stress. Gue takut properti roboh. Gue takut Dika lupa dialog lagi.
Setelah sesi foto selesai, mereka semua memutuskan buat makan bareng di kantin kampus sebagai perayaan kecil-kecilan. Tapi tentu aja, momen santai itu nggak luput dari drama kecil khas geng absurd mereka.“Gue pesan nasi goreng, bukan mi goreng! Mbak, apa ini bentuk sabotase?” teriak Dika yang langsung bikin mbak kantin kebingungan.Cinta yang duduk di sebelahnya langsung nyelutuk, “Dik, nggak usah lebay. Toh rasanya sama aja, bumbu-bumbunya kan itu-itu juga.”“Cin, lo tuh nggak ngerti seni kuliner,” jawab Dika sambil pura-pura dramatis.“Yang lo sebut seni itu cuma beda bentuk doang!”Sementara itu, Rina sibuk update Instagram dengan caption bombastis: “Best drama crew ever! Chaos but iconic. #DramaSquad #KampusKocak”. Fauzi, yang duduk di seberang, cuma ngelirik santai.“Rin, lo yakin mau pake hashtag itu? Ntar malah jadi bahan gibah anak-anak kampus.”Rina ngibasin rambutnya. “Biarin aja, Zik. Mereka ngomongin kita berarti kita keren.”Di sisi lain meja, Rani lagi ngobrol serius sa
Malam itu, Rani duduk di meja belajarnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Pak Ardi. Tapi dia tidak merasa ingin membalasnya. Rasanya, hati Rani sedang dipenuhi kebingungan dan kecemasan yang begitu besar, hingga membuatnya tak mampu mengumpulkan kekuatan untuk sekadar mengetik beberapa kata.Di layar ponselnya, pesan Pak Ardi itu tersisa tidak terbaca:"Rani, gimana skripsinya? Kalau ada yang mau dibahas, langsung hubungi saya aja, ya. Jangan sungkan."Tapi Rani tidak membalas. Tidak ada energi untuk itu. Sebab, ada satu masalah besar yang membuat semua perhatiannya teralihkan dari skripsi ke kosan.Pagi tadi, dia baru saja menerima pesan dari pemilik kosan yang memberi tahu kalau dia belum melunasi pembayaran sewa bulan ini. Uang yang harus dia bayar untuk bulan ini lebih dari yang dia perkirakan. Kosan kecilnya di pinggir kota itu memang murah, tapi sekarang setelah beberapa bulan ini uang yang dia punya benar-benar menipis.
Seminggu berlalu sejak bimbingan terakhir di rumah Pak Ardi. Hidup Rani terasa jauh lebih teratur dari biasanya. Revisi skripsinya berjalan lancar, tugas-tugas kuliah lain sudah selesai, dan dia bahkan berhasil tidur cukup tanpa begadang nonton drama Korea. Untuk pertama kalinya, Rani merasa seperti mahasiswi ideal yang punya hidup terencana.Setiap pagi, dia bangun tepat waktu, berangkat ke kampus tanpa terlambat, dan menyempatkan sarapan di kantin bersama Cinta dan Dika.“Hidup lo kenapa rapi banget belakangan ini? Lagi ikut retret, nih?” goda Cinta sambil menyuap nasi goreng.“Lagi tenang aja, Cin,” jawab Rani sambil tersenyum santai. “Nggak ada tugas numpuk, nggak ada drama… rasanya kayak hidup baru.”“Tumben nggak ada yang ngeluh soal skripsi,” komentar Dika sambil memutar gelas tehnya.Rani mengangguk mantap. “Soalnya progress-nya lancar, Di. Pak Ardi bantu banget, ternyata dia nggak se-ngeselin yang gue pikir sebelumnya.”
Keesokan harinya, Rani kembali ke kampus dengan perasaan campur aduk. Pengalaman bimbingan di rumah Pak Ardi kemarin masih membekas di pikirannya. Tapi dia berusaha keras untuk fokus. Skripsinya masih jauh dari selesai, dan dia nggak mau bikin masalah lagi dengan dosen pembimbingnya itu.Saat jam makan siang, dia berjalan menuju ruang dosen dengan naskah revisi di tangannya. Namun, begitu tiba di depan pintu, dia malah berhenti dan menarik napas panjang.“Udah sampai sini, masa balik lagi? Jangan bego, Ran,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah mengetuk pintu, suara tegas Pak Ardi terdengar. “Masuk.”Rani membuka pintu dengan hati-hati. Pak Ardi sedang duduk di meja kerjanya, mengenakan kemeja biru muda yang digulung sampai siku. Matanya langsung tertuju ke arah Rani.“Rani, duduk. Ada yang mau didiskusikan?” tanyanya dengan nada santai.Rani mengangguk pelan dan menyerahkan dokumen revisinya. “Ini, Pak, revisi yang Bapak minta ke
Hari itu, suasana kampus terasa lebih ramai dari biasanya. Tapi buat Rani, dunia sedang terasa seperti film slow-motion. Ada rasa campur aduk yang sulit dijelaskan. Bukan karena skripsinya, tapi karena dia baru saja mendapat pesan dari Pak Ardi:> "Rani, hari ini kita lanjutkan bimbingan di rumah saya. Anak saya sedang kurang enak badan, jadi saya nggak bisa tinggal lama di kampus."Mata Rani langsung membelalak saat membaca pesan itu. Bimbingan… di rumah Pak Ardi?! Ini pertama kalinya dia diminta datang ke rumah dosennya. Meskipun konteksnya profesional, tapi tetap saja, rasanya bikin deg-degan.Cinta, yang duduk di sebelahnya, langsung heboh saat Rani menceritakan rencana itu.“Lo serius? Bimbingan di rumah Pak Ardi? Ran, ini kesempatan emas buat lo. Jangan lupa observasi detail rumahnya. Gue pengen tahu semuanya. Warna sofa, jenis lampu, bahkan koleksi majalahnya!”“Cii, gue bimbingan, bukan jadi agen rahasia!” balas Rani sambil mengusap wa
Setelah kejadian di ruangan Pak Ardi, Rani merasa dia harus melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya. Dia nggak mau terlihat seperti mahasiswi ceroboh yang cuma bisa bikin masalah. Maka, dia memutuskan untuk mengambil langkah besar: bantuin Pak Ardi mengurus dokumen-dokumen di ruangannya.Rani sengaja datang lebih awal ke kampus keesokan harinya. Dia membawa sekantong kecil kue yang dia beli di perjalanan—niatnya buat mencairkan suasana. Saat sampai di ruangan Pak Ardi, dia mengetuk pintu dengan hati-hati.“Masuk,” terdengar suara tegas dari dalam.Rani membuka pintu pelan. Pak Ardi tampak sibuk dengan tumpukan berkas di meja. Saat melihat Rani, dia sedikit mengangkat alis. “Ada apa, Rani?”“E-eh, ini, Pak. Saya cuma mau bantu beresin dokumen. Dan ini, saya bawa kue buat Bapak…” Rani meletakkan kantong kue di meja dengan sedikit gugup.Pak Ardi menatap kantong itu sebentar sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih, Rani. Tapi kamu nggak perlu repot-repot.”“Nggak apa-apa
Keesokan harinya, gosip di kampus belum mereda. Bahkan, ada tambahan bumbu baru: “Pak Ardi dan Rani terlihat mesra di perpustakaan.” Itu semua berkat ulah Rina, yang entah bagaimana selalu tahu segala kejadian di kampus dan menyebarkannya lebih cepat dari media sosial.Di kelas pagi itu, Rani datang dengan wajah kusut. Dia langsung duduk di pojokan, mencoba nggak menarik perhatian. Tapi tentu aja, keberadaan Cinta dan Dika bikin rencana itu gagal total.“Ran, gue nggak ngerti kenapa lo nggak sekalian aja bikin vlog hubungan lo sama Pak Ardi. Pasti views-nya tembus satu juta!” celetuk Dika sambil nyengir lebar.Rani menatapnya tajam. “Dik, kalau lo ngomong kayak gitu lagi, gue sumpahin lo nggak lulus semester ini!”Cinta, yang duduk di sebelahnya, ikut nimbrung. “Tapi serius, Ran. Gue kemarin denger dari anak jurusan lain, mereka bener-bener percaya kalau lo dan Pak Ardi punya hubungan spesial. Gue sih nggak nyalahin mereka. Chemistry kalian tuh—”“CI!” potong Rani dengan suara setenga
Setelah kelas selesai, Rani buru-buru kabur dari ruangan, berharap bisa menyelamatkan diri dari tatapan dan bisik-bisik teman-temannya. Tapi langkahnya terhenti saat Dika dan Cinta mengejar dari belakang."Ran, tunggu! Kita mau nemenin lo!" seru Cinta sambil menarik tas Rani."Nemenin apaan?! Gue cuma mau ke perpustakaan, ngumpet dari dunia ini!" Rani menjawab frustrasi."Perpustakaan? Cocok! Di sana gue bisa ngerumpi tanpa takut ketahuan dosen," ujar Dika sambil nyengir."Lo tuh nggak ngerti konsep perpustakaan, ya? Itu tempat baca buku, bukan ngerumpi!" balas Rani.Akhirnya, mereka bertiga sampai di perpustakaan. Suasananya tenang, seperti biasa, tapi bagi Rani, tempat itu terasa seperti surga. Dia segera mencari meja paling pojok untuk duduk dan membuka laptop.Namun, seperti biasa, ketenangan Rani nggak bertahan lama. Cinta, yang duduk di depannya, mulai berbisik, "Ran, lo sadar nggak sih? Kalau gosip lo sama Pak Ardi makin lama makin seru? Gue denger tadi di kantin ada yang bilan
Keesokan harinya, situasi kampus benar-benar kacau buat Rani. Gosip soal dia dan Pak Ardi seperti hujan deras yang nggak ada habisnya. Setiap sudut kampus yang dia lewati, selalu ada bisik-bisik nggak jelas."Eh, itu Rani, kan? Yang kemarin digosipin sama Pak Ardi?""Iya, iya. Katanya, Pak Ardi perhatian banget sama dia!""Beruntung banget, ya? Kapan lagi dosen keren kayak gitu perhatian ke mahasiswi biasa?"Rani cuma bisa nunduk sepanjang jalan, berusaha nggak mendengar apa pun. Tapi tentu aja, ada orang yang nggak bisa ditahan untuk bikin suasana makin heboh.“Raniii!” suara Rina dari belakang bikin Rani langsung deg-degan. Rina menghampiri dengan senyum khasnya yang penuh rasa ingin tahu. “Eh, lo nggak apa-apa? Gue liat grup rame banget semalam.”“Nggak apa-apa,” jawab Rani dingin, mencoba memotong pembicaraan.“Tapi gue salut lho. Pak Ardi itu nggak pernah kayak gitu sama mahasiswa lain. Lo pasti spesial banget buat dia.” Rina tersenyum lebar, tapi mata Rani udah mulai berkilat pe
Sore itu, grup kampus yang biasanya cuma rame sama pengumuman tugas mendadak meledak.Rina: "Wih, pasangan dosen-mahasiswa baru nih di kampus kita! Dosen super perhatian sama mahasiswi spesialnya. Liat aja tadi di kantin, full perhatian banget deh! 🥰"Rani langsung ngelihat notifikasi itu di HP-nya. Seakan belum cukup malu dari pagi sampai siang tadi, kini seluruh mahasiswa tahu soal insiden kantin itu.Cinta: "Ran, bentar lagi lo viral nih. Gue udah siap pasang spanduk ‘Team Rani’."Dika: "Tolong, kasih gue waktu buat bikin meme. Ini peluang langka!"Rani cuma bisa balas dengan emoji pukul di grup teman-temannya.Tapi di luar itu, komentar di grup kampus mulai muncul satu per satu.Mahasiswa 1: "Halah, paling dosennya cuma baik biasa aja. Kalian suka bikin drama."Mahasiswa 2: "Tapi iya sih, Pak Ardi kan terkenal ramah sama semua mahasiswa. Atau jangan-jangan, ada beneran sesuatu nih?"Mahasiswa 3: "Kok bisa perhatian banget sama Rani? Gue aja ketinggalan catatan, dicuekin."Rani bu