Beranda / Romansa / Marrying You (Again) / 1. Terserah Padamu

Share

Marrying You (Again)
Marrying You (Again)
Penulis: Lavender My Name

1. Terserah Padamu

last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-29 12:55:31

"Apa yang bisa kamu berikan untuk Kiyara dan anakmu, hah? Membiayai hidupmu sendiri saja kamu tidak mampu, malah sok-sokan menolak bantuan kami." Suara Ardi menggelegar, memecah kesunyian malam.

Bian hanya duduk diam. Tidak ada sedikit pun niatannya untuk menjawab sekian banyak cercaan dan makian, yang keluar dari bibir tebal iparnya itu. Sedangkan Kiyara, wanita yang telah menemaninya berjuang selama 10 tahun terakhir, diam membisu, sambil sesekali mengusap airmatanya yang mulai mengalir turun dari sudut matanya.

"Mana usahamu yang berhasil? Dari sekian banyak rencana dan ceritamu yang setinggi awan, tidak ada satu pun yang berhasil. Tidak ada harta benda yang bertambah, tapi malah berkurang untuk menutupi semua hutang-hutangmu."

Ardi lalu diam sejenak, mencari asupan oksigen dan tenaga setelah dirinya meluapkan semua amarah dan kekesalan pada adik iparnya itu. Ia kemudian melanjutkan perkataannya. "Ini adalah tawaran terakhir dari kakak-kakak Kiyara. Daripada anak dan istrimu mati kelaparan di sini, antarkan saja mereka ke Jakarta. Biarlah mereka dirawat oleh tante-tantenya di sana, dan kau, kau cari saja pekerjaan yang bisa menghidupi dirimu sendiri."

Bian, mengepalkan kedua tangannya. Emosi? Jelas. Marah? Sangat. Ia menahan amarah yang kali ini sangat susah untuk dikendalikan olehnya. Ia memberanikan diri untuk menatap Ardi, yang duduk dengan gaya sombong, tepat di depan kursinya.

"Apa maksud Kakak?" Bian menatap lurus manik mata Ardi. Orang gila, umpatnya kasar, namun hanya berani ia lontarkan dalam hati.

"Kau tidak paham dengan maksud perkataanku?"

"Kiya! Di mana kau menemukan laki-laki bodoh seperti dirinya? Mengapa kau bisa memilih dia untuk jadi suamimu?" Ardi menatap sinis Kiyara, lalu kembali memperhatikan mimik wajah Bian yang sudah merah padam, menahan amarah.

"Kau marah? Hah! Lucu. Untuk apa kau marah jika semua yang aku katakan benar adanya. Jika kau tidak sanggup membiayai Kiya, harusnya jangan berani kau mengajukan diri untuk menikahinya. Lihatlah! Adikku sekarang sungguh mengenaskan penampilannya, dan itu semua gara-gara kau yang tidak becus mencari uang!" Bentakan Ardi membuat Kiyara kali ini menatap nyalang sang kakak.

"Kak! Berhentilah menghina Mas Bian! Bagaimana pun Mas Bian adalah suami Kiyara. Kiyara yang memilihnya sendiri. Jangan merendahkan orang seperti itu." Kiyara berusaha menahan tangisnya. Suaranya bergetar ketika kata-kata pembelaan mengalir tersendat dari bibirnya yang sudah tebal, akibat ia gigit sejak tadi.

Hari ini adalah hari terburuk dalam hidup mereka, yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak pasangan suami istri itu. Niatnya untuk meminjam uang kepada sang kakak ipar, untuk sekadar membeli beras, gas dan listrik untuk kebutuhan selama tiga hari, justru membuat Bian menjadi seorang pesakitan di mata kakak-kakak iparnya.

Sejak tujuh tahun yang lalu, usahanya mengalami kemunduran. Meminjam sekian puluh juta kepada kakak ipar untuk memulai bisnis sendiri, namun tidak juga menunjukkan perkembangan. Bahkan, harta warisan sang istri terpakai untuk memperbaiki rumah mereka, yang dulu baru mencapai tiga puluh persen pembangunannya. Terlebih lagi, ia terlilit hutang akibat invetasi yang ia ikuti ternyata berujung pada investasi bodong. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Pada saat seperti ini, yang bisa ia mintai bantuan hanyalah kakak iparnya. Akan tetapi, keputusan yang diambilnya kali ini tidak sesuai dengan perkiraannya. Mereka tidak akan memberi bantuan lagi kepadanya. Sebagai gantinya, ia harus rela berpisah dengan anak istrinya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Bian benar-benar tidak habis pikir, mengapa syarat yang diberikan kali ini begitu berat.

"Kalian pikirkan dulu syarat dari kami. Jika kalian setuju, akan aku transfer uang untuk berangkat ke Jakarta." Ardi meninggalkan rumah sang adik tanpa mengucap salam perpisahan, meninggalkan perih tersendiri di sudut hati Kiyara.

Kiyara diam membisu. Ia masih tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Ardi, sejak kedatangan laki-laki paruh baya itu hingga beranjak pergi meninggalkan mereka. Bian menatap istrinya dengan sendu.

"Kiya..." panggilnya lembut, membuat wajah ayu di depannya langsung menoleh ke arahnya.

"Iya, mas?" Kiya mendekat ke arah Bian yang masih menatap dirinya sendu.

"Apa pendapatmu setelah mendengar semuanya?" Bian tidak sanggup merinci setiap ucapan Ardi.

"Mas, maafkan kakak ya... Aku tidak tahu, ah, sama sekali tidak mengira mereka akan mengambil keputusan seperti itu," ucapnya. Suaranya terdengar seperti cicitan tikus yang ketakutan karena bertemu dengan lawan yang lebih besar.

"Mungkin mereka sudah muak denganku, sudah tidak lagi percaya dengan semua perkataanku, hingga akhirnya jadi seperti ini." Bian menghela nafasnya, kembali menatap wajah Kiyara.

Kiyara masih memilih untuk diam. Ia sendiri enggan memperpanjang percakapan itu. Ia tahu ini semua tidak mudah, terlebih lagi mendengar perkataan kakaknya. Ia mendengar semua yang dikatakan Ardi, memperhatikan, betapa kakaknya itu sudah sangat berbeda dari yang dulu.

Bian meneguk habis sisa kopi lalu menatap wajah Kiyara. "Sekarang, setelah mendengar semua yang disampaikan Kak Ardi, apa yang akan kamu lakukan? Jika kau ingin mengikuti syaratnya, maka lusa aku akan mengantarkanmu dan anak-anak."

Kiyara mengangkat wajahnya dan menatap lekat suaminya. "Apakah mas menginginkan itu?" Wajah Kiyara mendadak berubah sendu. "Aku menikah denganmu bukan hanya untuk bersenang-senang. Ada masa-masa sulit yang harus dihadapi bersama..."

"Tapi, semua yang diucapkan Kak Ardi tadi tidak salah, justru nyaris mendekati kebenaran, dan aku tidak akan menyalahkanmu," ujarnya risau. Ia menyerahkan semua keputusannya pada Kiyara. "Hanya saja, aku lebih memilihmu untuk tetap di sisiku."

Kiyara menilisik wajah tampan Bian, yang mulai ditumbuhi jambang halus. "Aku akan tetap di sini bersama Mas. Akan lebih baik jika semua masalah dihadapi bersama, bukan justru meninggalkan pasangannya sendiri menghadapi ujian hidup."

Bian menggenggam erat tangan istrinya, lalu menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. " Maaf... Maafkan aku yang masih belum mampu membahagiakan kalian. Maafkan aku yang masih saja merepotkanmu, menghabiskan uang milikmu." Bian sekali lagi menghela nafasnya dengan berat.

Ia sendiri tidak tahu mengapa jalan di depannya begitu sulit. Segala cara sudah ia lakukan, tapi hingga saat ini, tidak juga menunjukkan hasilnya. Tidak bertambah hartanya tapi justru berkurang. Beberapa kalimat yang diucapkan Ardi, tertinggal dan melekat erat di otaknya.

Pikirannya melayang. Tiba-tiba terdengar suara perut yang bernyanyi, membuatnya menjauhkan tubuhnya dari Kiyara. "Kamu belum makan?" Diangkatnya dagu wanita itu. Manik mata Bian menembus ke dalam manik mata Kiyara, yang berwarna coklat cerah, meminta jawaban yang sebenarnya.

"Aku sudah makan, Mas. Kan tadi kita makan bareng dengan anak-anak. Bubur beras dengan sedikit bumbu rempah. Tidak terlalu buruk kan? Sisa beras yang tinggal setengah kilo, aku buatkan bubur rempah seperti tadi saja, untuk sarapan sekaligus makan siang pribadi. Cukuplah untuk makan sehari besok."

Kembali Bian harus tersenyum dalam duka, mendengar laporan dari Kiyara. Harus kemana ia mencari pinjaman uang?

Bab terkait

  • Marrying You (Again)   2. Jawaban

    Kiyara mulai mencuci beras yang hendak ia olah menjadi bubur. Sesaat sebelum menyalakan kompor gas, ia memperhatikan indikator gas yang nyaris menyentuh garis merah. Badannya langsung merasa lemas. Jangan dulu, Tuhan. Jangan habis dulu. Ijinkan aku memasak bubur ini untuk makan malam suami dan anakku, bisik Kiyara sambil sedikit terisak.Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop kompor gas. Matanya terpejam sebelum akhirnya bunyi klik terdengar. Ia membuka kedua matanya dengan perlahan. Api biru menyala, menjilat-jilat pantat panci yang berisi air dan beras yang sudah ia beri bumbu sebelumnya. Diaduknya perlahan sambil bibirnya tak henti-hentinya merapal doa, berharap bubur itu matang sebelum akhirnya kompor itu mati.Suara ketukan mengejutkannya. Ia buru-buru membukakan pintu, karena ia tahu jam-jam ini adalah waktu Bian pulang dari berkeliling menjual produknya. Wajahnya langsung ia tata sedemiki

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-24
  • Marrying You (Again)   3. Lupakan

    Bian menanti jawaban Kiyara. Ia merasa seperti sedang mendapat ancaman, merasa jika hidupnya sedang diawasi dan dinilai oleh para saudara iparnya. "Nggak. Nggak datang kemari, tapi, lewat pesan singkat." Kiyara akhirnya membuka mulutnya. Wanita itu kembali menundukkan wajahnya. Jujur, setelah membaca pesan yang dikirim oleh kakaknya, hati Kiyara justru tidak tenang dan emosinya malah terpancing. 'Aku tersinggung dengan perkataan mereka, tapi ketika aku berteriak mengatakan jika mereka telah menyinggungku, mereka tidak terima. Mereka justru mengatakan jika aku sudah terlebih dulu menyinggung mereka dan begitu tak tahu malu. Aku jadi bingung sendiri. Bagian mana yang sudah menyinggung mereka. Jika kami, aku dan suamiku memiliki pendapat berbeda dengan mereka, mereka lantas mengatakan kami sok, sok bisa mengatasi semuanya. Lantas, kami disuruh apa? Apakah kami tidak boleh mengatakan apa pun dan merasakan apa-apa begitu? Apakah mereka menganggap aku dan suamiku sebuah boneka? Apaka

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-01
  • Marrying You (Again)   4. Ceraikan Dia!

    Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati."Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya."Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-03
  • Marrying You (Again)   5. Sepakat Untuk Bercerai

    Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak, tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak."Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri."Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-12
  • Marrying You (Again)   6. Apakah Kalian Sanggup?

    Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-08
  • Marrying You (Again)   7. Tidak Perlu

    "Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-17
  • Marrying You (Again)   8. Pesanan Dadakan

    Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-23
  • Marrying You (Again)   9. Telpon Yang Tak Diharapkan

    Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-09

Bab terbaru

  • Marrying You (Again)   20. Bercerai

    Murni membolak-balikkan amplop putih yang disodorkan Bian. Alisnya berkerut dan nyaris saling bertautan satu dengan yang lain."Apa ini?" Ia menatap Bian, mencoba mengabaikan Kiyara yang menyeruput jus alpukat yang baru saja dihidangkan pelayan. Sayangnya, ia tidak berhasil. Sudut matanya justru terus mencuri-curi pandang ke arah Kiyara. Iparnya yang imut dan cantik."Maaf. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu." Kata-kata Bian menusuk hati Murni, membuat wanita itu panik. "Bagaimana bisa? Kamu sudah berjanji padaku akan mengabulkan permintaanku hari itu. Dan itu-itu tidak bisa dibatalkan begitu saja. " Murni ngotot. Ia sudah kepalang basah mengharapkan pinjaman Bian."Aku salah. Seharusnya aku tidak menyetujui permintaanmu begitu saja.""Tidak bisa! Kamu harus tetap melakukannya," seru Murni dengan nada tinggi dan memaksa.Kiyara masih diam di tempatnya. Isi gelasnya tinggal separuh. Ia memutar sedotannya searah jarum jam sesuka hatinya. Belum ada niatnya untuk bergabung dalam pembi

  • Marrying You (Again)   19. Morning Kiss

    Kiyara menggeliatkan tubuhnya. Matanya terasa sangat berat dan lengket. Ia membuka kedua matanya dengan susah payah. Diambilnya cermin kecil yang kebetulan tergeletak di meja di sampingnya. Ia menemukan keduanya bengkak. Kiyara bergegas pergi ke dapur, mengambil semangkuk air hangat untuk mengompres matanya. Suara gemericik air dari kamar mandi membuat Kiyara mempercepat langkahnya, kembali ke kamarnya. Ia melirik jam dinding yang ada di dapur. Jarum jam berhenti di angka 2, dan itu membuat Kiyara semakin mempercepat langkahnya. Ia langsung bersembunyi di balik selimut, dan berusaha memejamkan kembali kedua matanya. Pintu kamarnya dibuka dari luar. Aroma segar menguar menembus penciuman Kiyara. Kiyara berusaha tenang. Ia diam tak bergerak, dan berusaha mempertajam pendengarannya. Bagian kanan kasur yang ia tiduri, melesak ke dalam, dan itu membuat tubuh Kiyara mengirim peringatan ke seluruh tubuhnya. Ia ingin istirahat, dan tidak mau diganggu siapa pun. Hati dan perasaannya yang l

  • Marrying You (Again)   18. Biarkan Aku Pergi

    "Mau kemana?" Bian menghadang Kiyara yang sudah menyeret koper dan mengenakan tas ranselnya. "Pergi." Kiyara tidak ingin berpanjang-panjang menjawab pertanyaan Bian. "Pergi kemana? Rumah kamu di sini, bukan di tempat lain." "Ini bukan rumah Kiya lagi." "Maksud kamu apa, Kiya?" Bian sudah mulai terpancing. "Tidak ada apa-apa. Tolong biarkan Kiya pergi. Kiya sudah tidak ada tempat lagi di sini." "Jangan bicara yang tidak-tidak. Kamu tetap di sini dan tidak boleh keluar sejengkal pun!" Kiyara tertawa sumbang. Wanita itu menatap Bian dengan tatapan nanar. Bian merasa sangat asing dengan istrinya saat ini. Tanpa disadari Kiyara, bulir air mata sudah terbentuk di kedua sudut matanya. "Kiya...." Bian melunak. Ia tersadar ketika buliran itu mulai jatuh membasahi pipi istrinya. Pria tampan itu berjalan mendekat. Tangan kanannya terulur ke depan berusaha menyentuh bahu Kiyara, tapi Kiyara dengan cepat menepisnya. "Kiya..." Bian terkejut dengan sikap dingin Kiyara. "Ada apa? Apakah aku

  • Marrying You (Again)   17. Lelah Kiyara

    Murni menatap Bian. Ia sudah tidak sabar lagi, menanti uang yang dijanjikan Bian beberapa waktu yang lalu, berada di tangannya sore ini. "Aku ... batalkan perjanjian itu." Jawaban Bian sontak membuat Murni berteriak tidak terima. "Apa!!! Tidak! Kau tidak boleh membatalkan janjimu! Kau sudah berjanji padaku untuk memberikan uang itu, hari ini. Kau tidak bisa membatalkannya!" Murni berteriak-teriak tidak terima. "Kakak ipar!" bentak Bian mengingatkan. Reaksi Murni sungguh diluar sangkaan Bian. "Mengapa kakak jadi kesetanan seperti itu? Aku berhak membatalkannya, karena hal itu bisa merusak hubunganku dengan Kiya." "Tetap tidak bisa! Kau seharusnya sudah tahu resiko itu sejak awal. Seharusnya kau sudah tahu akan seperti apa Kiyara, tapi nyatanya kau tetap saja memberikan uang itu kepada kami! 'Memberikan?' Bian menatap Murni. "Aku tidak pernah berniat untuk memberikan uang-uang itu kepada kalian. Akadnya sudah kuperjelas dari awal, bahwa itu berupa pinjaman atau hutang, bukan pembe

  • Marrying You (Again)   16. Ipar Tidak Tahu Diri

    Kiyara menatap tajam Murni. Ia tergelitik dengan pernyataan wanita itu barusan. "Apa maksudmu?" Murni tergelak. Ia merasa di atas angin. "Mengapa kau tidak sadar juga? Bian lebih memilih saudaranya ketimbang kau, wanita udik murahan!" Hardikan Murni berhasil memancing percikan emosi dalam diri Kiyara. Wajahnya memerah. Kepalanya berputar mencari alasan nenek sihir di depannya mengucapkan kalimat hinaan itu. Wanita cantik itu maju selangkah demi selangkah. Gerakan Kiyara tertangkap oleh sudut mata Murni. Wanita itu tersenyum mengejek. Rencananya berhasil. Dengan demikian, Kiyara akan membukakan pintu gerbang itu untuknya. Ia tidak berpikir jika setelah ini akan ada kejadian mengerikan yang menantinya. "Katakan sekali lagi!" Suara Kiyara terdengar sedikit bergetar. Jangan ditanya berapa besar usaha Kiyara menahan amarahnya. Buku-buku jarinya memutih akibat kepalan tangannya yang mengeras. Ia perlahan melangkahkan kakinya, semakin mendekati Murni. "Kau ingin aku mengulang yang m

  • Marrying You (Again)   15. Pria Berhati Emas

    Teriakan Bian membuat Kiyara terkejut setengah mati. Ia lantas lari menuju kamar mereka, melihat sang suami tengah terbelalak memandangi layar ponsel di tangannya. "Ada apa, Mas? Kenapa pakai teriak seheboh itu?" tanya Kiyara setengah bersungut mendekati Bian. "Lihat! Coba kamu lihat ini! Apa ada masalah dengan mata Mas?" Bian memberikan ponselnya kepada Kiyara yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, lalu mengucek kedua matanya berulang. Dengan wajah yang masih kesal, Kiyara menerima ponsel Bian. Tak sampai satu menit, kini giliran Kiyara yan berteriak heboh. "Maaas!" "Iya. Mas masih di sini. Benarkah itu atau apa?" Bian menatap layar ponsel yang sama dengan yang ditatap Kiyara. Kiyara menatap Bian. "Tidak tahu. Kalau mau tahu bener atau nggaknya ya harus cek saldo, Mas." Lalu, wanita itu diam sejenak. "M-Banking!" seru Kiyara begitu tiba-tiba, membuat Bian membesarkan kedua bola matanya. "Ah iya-iya. M-Banking. M-Banking. Sini ponselnya." Jemari Bian dengan lincah membuk

  • Marrying You (Again)   14. Menolak Pesanan

    Atmaja tidak berani mengucap sepatah kata pun. Pria berusia lebih dari enam puluh tahun itu,, diam membisu di tempat duduknya. Di dalam hati kecilnya sendiri, terjadi perang batin sejak menantunya itu melahirkan bayi cantik yang kemudian diberi nama Ayu. Hati kecilnya sangat ingin menimang bayi kecil itu, namun entah karena telah termakan hasutan kiri dan kanannya, maka hingga Bian memiliki satu lagi bocah kecil, yang berparas tampan bernama Bagas, Atmaja lebih memilih untuk membangun tembok tinggi dengan kedua cucunya itu. Cucu yang tidak bersalah dan tidak ingin mencari tahu, mengapa sikap sang kakek begitu berbeda terhadap mereka berdua. "Ayo, Mas. Kita pulang. Malam sudah semakin larut. Kasihan Ayu sama Bagas. Nanti mereka kedinginan terkena angin malam." Kiyara mulai membawa Bagas yang sudah jatuh tertidur di sofa, ke dalam pelukannya. Tidak ada lagi hal yang ditunggu oleh Bian. Permintaannya juga sudah ditolak mentah-mentah di awal pembicaraan mereka. Ajakan Kiyara adalah yang

  • Marrying You (Again)   13. Kebenaran Yang Terungkap

    Kiyara duduk mematung di samping Bian. Berulang kali mengigiti bibirnya, merasa gundah. Berita bahagia yang baru saja ia terima, harus secepat itu sirna karena kenyataan yang ada di depan mereka. Mereka tidak punya modal untuk menerima order itu. Helaan nafas panjang terdengar silih berganti antara Kiyara dan Bian. Lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Kiyara menjentikkan jarinya ke udara. Wanita itu melirik ke arah suaminya yang masih saja menatap kosong langit-langit ruangan itu. "Mas, mengapa tidak meminjam pada papa dan saudaranya mas?" Kiyara mencoba memberi solusi. Ia pikir ini adalah jalan terbaik daripada meminjam uang ke bank, meski dalam hatinya ada keraguan yang sangat besar. Tidak ada salahnya mencoba, meski mungkin jawaban yang sama akan kembali mereka terima. Bian langsung bangun dari tidur rebahannya. Wajahnya sedikit mengendur, tidak lagi tegang seperti sebelumnya. Ada senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. "Ide bagus. Aku akan da

  • Marrying You (Again)   12. Order Besar

    Bian membuka pintu rumahnya dan berjalan masuk ke dalam. Tumben kok tidak ada suara anak-anak. Apa mereka semua sedang pergi? Bian meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, selanjutnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan kedua matanya. Hari ini begitu panas, membuat tenggorokannya terasa begitu kering. Bian mengeluarkan botol minum dari tas kerjanya dan meneguk air yang tersisa. Ia melirik jam dinding, yang terpasang tepat di atas pintu masuk rumahnya. Jam dua siang. Mengapa rumah begitu sepi? Kemana istri dan anak-anaknya? Bian berdiri dari duduknya, melangkah masuk ke ruang tengah lalu masuk ke kamarnya. Ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kamar, samar telinganya menangkap suara Kiyara yang sedang mengomeli seseorang atau tentang seseorang? Bian mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk. Sengaja ia mengetuk pintu itu dengan ketukan lemah, agar supaya Kiyara hanya mendengarnya samar. Bian melihat sang istri tengah melipat pakaian sambil mengomel. Mengom

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status