Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya.
"Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya.
"Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara.
Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dari bibir mungil Kiyara, membuat Ardi tersentak kaget.
"Apa maksud kamu?" Ardi tidak terima diberi pertanyaan seperti itu oleh adik kesayangannya. Pria itu lantas menghujamkan tatapan tajam kepada Bian.
"Apa maksud kakak menyuruh Kiya mengajukan gugatan cerai pada Mas Bian? Mengapa Kakak begitu bernafsu memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ada dendam apa Kakak dengan Mas Bian? Apa salah Mas Bian sampai-sampai kakak-kakak semua begitu menginginkan kami bercerai?" Kiya sudah tidak bisa mengkondisikan dirinya lagi. Ia lupa jika malam telah larut. Suaranya nyaring memecah malam yang kian sunyi.
"Ssst, Kiya. Sudah malam. Nggak enak didengar sama tetangga." Bian menghampiri Kiya dan memegang tangan kanan istrinya itu dengan lembut.
"Biar, Mas. Biar saja semua tetangga tahu. Sekalian saja." Kiya sudah tidak bisa berpikir normal lagi. Amarah sudah menguasai dirinya. Selama ini, ia yang tidak pernah berkata dengan nada keras dan nyaring, namun malam itu benar-benar berubah. Ia seperti bukan Kiyara yang biasanya. Kiyara sudah menjadi wanita lain, yang begitu emosi, kecewa dan berusaha meluapkan semua rasa yang selama ini hanya bisa ia pendam dalam hati.
"Kamu itu ngomong apa?! Kakak di sini mewakili kakak-kakakmu yang lain. Kami mencoba menyelamatkan kamu dan anak-anakmu. Apa kamu tidak kasihan melihat anak-anakmu kelaparan?"
Kiyara menatap tajam Ardi. "Dari mana Kakak bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"
Ardi memandang Kiyara dengan pandangan hina. "Tsk. Kakak bukanlah orang bodoh, Kiyara! Kalau bukan kelaparan karena kehabisan uang, lalu untuk apa meminjam uang pada kami? Bukankah memang uang itu untuk membeli beras, gas, listrik untuk sehari-hari? Atau untuk beli kosmetik kamu?" Nada bicara Ardi semakin menusuk kalbu Kiyara dan Bian.
"Kakak lebih baik ke luar dari rumah Kiyara sekarang," ucap Kiyara sambil menatap pintu rumahnya yang sekarang sudah terbuka lebar.
"Berani kamu mengusir kakakmu ini? Mengapa kamu sekarang berubah Kiyara? Mengapa kamu justru membela pria yang sama sekali tidak bisa membahagiakanmu? Pria yang justru menghabiskan hartamu? Pria yang justru tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai suami, menafkahi istri dan anak-anaknya?" Suara Ardi mulai meninggi.
Bian merasa iparnya ini sudah keterlaluan. "Kak, mohon maaf. Hari sudah malam. Sebaiknya Kak Ardi pulang. Masalah ini tidak usah diperpanjang lagi. Bian pikir Kakak bisa menarik kesimpulan dari perkataan Kiyara tadi. Mati hidup istri dan anak-anak adalah tanggung jawab saya, bukan Kak Ardi atau kakak-kakak yang lain."
"Kau!!!!" Jari telunjuk Ardi terangkat mengarah tepat ke wajah Bian. Amarahnya memuncak. "Kau tahu hukum menelantarkan istri dan anak-anakmu kan? Berat!"
"Saya tahu. Tapi, ini adalah salah satu cobaan yang harus kami lalui. Mengapa kakak semua tidak mendoakan kami saja, daripada mengusulkan perceraian pada kami? Mengapa kakak tidak mendukung Kiya yang masih bersedia setia pada saya, bukan justru menyuruhnya untuk mengajukan gugatan cerai terhadap saya?"
Ardi diam mematung.
"Kak Ardi sudah menikahkan? Punya anak istri juga kan? Apa Kakak ingin istri kakak mengajukan cerai ketika usaha Kakak sedang dilanda kebangkrutan? Kakak ikhlas istri kakak mengajukan gugatan cerai karena disuruh oleh ipar-ipar kakak?" Bian berusaha membuka mata hati iparnya itu.
"Kasusnya lain. Aku punya usaha yang setiap hari aku kerjakan, sedangkan kau? Usaha apa yang kau punya? Kau hanya mencoba-mencoba tapi tidak kunjung ada hasilnya?"
Bian menarik nafas panjang. Ia masih berusaha menjaga kewarasannya. Jangan sampai ia terpancing emosi. Ia masih merendahkan suara dan dirinya. Benar-benar berusaha sesabar mungkin. Dirinya sendiri sebenarnya tidak yakin akan sampai kapan dirinya mampu menghadapi ipar keras kepalanya itu.
"Kakak siapa? Tuhankah?" Pertanyaan pendek Bian membuat Ardi mematung dengan tangan mengepal keras.
"Apa maksudmu? Jangan membawa-bawa Tuhan di sini!" Ardi tersinggung dengan pertanyaan pendek Bian.
"Saya tidak membawa-bawa Tuhan, tapi kakak sendiri yang sudah membawa-bawa Tuhan di sini sejak beberapa hari yang lalu, oh bukan, tapi sejak dulu." Bian diam sejenak.
"Siapa kakak yang sudah berani mendahului Tuhan? Siapa kakak yang sudah memvonis saya tidak akan bisa membahagiakan istri dan anak-anak saya? Siapa kakak, yang sudah berani mengetok palu, usaha yang sedang saya rintis ini suatu saat tidak akan bisa berkembang dan menjadi maju dan besar? Siapa kakak berani bersikap layak Tuhan dalam rumah tangga saya?"
Bian sudah tidak lagi menyebutkan namanya dalam ucapannya. Ia sudah mengganti namanya dengan saya, tanda jika ia sudah benar-benar berada di ambang batas kesabarannya. Ia sudah menganggap iparnya itu sebagai orang lain yang sudah mengganggu keluarganya dan harus segera didepak ke luar dari hadapannya.
Ardi berdiri kaku. Ia tidak bisa membalas perkataan adik iparnya itu. Kedua matanya masih memancarkan kilat amarah. Ia tidak terima disindir sedemikian rupa oleh iparnya.
"Sudah malam, Kak. Lebih baik kakak pulang sekarang. Tolong lupakan permintaan kami yang meminjam uang kemarin. Mulai hari ini kami tidak akan lagi merepotkan kakak-kakak semua. Semua uang yang pernah masuk ke dalam rekening kami, akan kami catat sebagai hutang dan akan kami bayar. Tapi, saya tidak bisa menjanjikan langsung lunas. Akan saya usahakan mencicil setiap bulan," ujar Bian. Ia berharap kata-kata pamungkasnya ini akan bisa mengusir ipar keras kepalanya itu.
Ardi masih menyimpan amarahnya. Ia masih tidak rela meninggalkan rumah adiknya. Pria itu masih ingin melampiaskan amarahnya. "Benar kalian ingin mengusirku sekarang?"
Kiyara dan Bian bergeming. Tidak merespon pertanyaan Ardi.
"Jika kakiku sudah berada di luar pintu rumah kalian, maka kalian tidak akan bisa menghubungi kami lagi, dan kalian tidak akan bisa meminta bantuan lagi pada kami," ancam pria itu. Ia masih berusaha mengancam untuk melemahkan pendirian adik dan iparnya saat ini.
"Apakah kalian sanggup?"
Kiyara menatap Ardi dengan tatapan tidak percaya. "Kakak mengancam Kiya? Kakak ingin memutus hubungan saudara kita?" Suara Kiyara bergetar. Batinnya semakin remuk redam mendengar ancaman yang diucapkan Ardi barusan.
"Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in
Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida
Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga
Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah
Kiyara meringis kesakitan dalam diam. Sialan! Mengapa pasangan suami istri menyebalkan ini bertamu saat suaminya tidak di rumah, umpat Kiyara dalam hati. "Maksud kakak apa? Saya tidak punya uang sebanyak itu." Ini orang kenapa sih, datang-datang minta uang? Kiyara memandang kesal Murni, istri Henri, kakak iparnya. Mengapa mereka datang saat Mas Bian tidak di rumah? Selalu saja mencari gara-gara di saat suaminya tidak sedang ada di rumah."Tsk. Jangan bohong kamu! Kalau kamu tidak punya uang, mengapa bisa membangun rumah sebagus ini?" Murni menatap kesal Kiyara. "Bisa membangun rumah sebagus ini, masa iya tidak punya uang?" cibir Murni. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dan ia hanya menemukan satu buah televisi lcd ukuran empat puluh dua inci, yang tergantung di tengah ruang dan sebuah laptop.Iisshhhh! Sumpah demi apa pun, saat ini Kiyara sangat ingin menarik wanita berhati iblis di depannya itu, ke dalam bak mandi dan menenggelamkan kepalanya hingga ke dasar bak. Sudah
Bian membuka pintu rumahnya dan berjalan masuk ke dalam. Tumben kok tidak ada suara anak-anak. Apa mereka semua sedang pergi? Bian meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, selanjutnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan kedua matanya. Hari ini begitu panas, membuat tenggorokannya terasa begitu kering. Bian mengeluarkan botol minum dari tas kerjanya dan meneguk air yang tersisa. Ia melirik jam dinding, yang terpasang tepat di atas pintu masuk rumahnya. Jam dua siang. Mengapa rumah begitu sepi? Kemana istri dan anak-anaknya? Bian berdiri dari duduknya, melangkah masuk ke ruang tengah lalu masuk ke kamarnya. Ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kamar, samar telinganya menangkap suara Kiyara yang sedang mengomeli seseorang atau tentang seseorang? Bian mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk. Sengaja ia mengetuk pintu itu dengan ketukan lemah, agar supaya Kiyara hanya mendengarnya samar. Bian melihat sang istri tengah melipat pakaian sambil mengomel. Mengom
Kiyara duduk mematung di samping Bian. Berulang kali mengigiti bibirnya, merasa gundah. Berita bahagia yang baru saja ia terima, harus secepat itu sirna karena kenyataan yang ada di depan mereka. Mereka tidak punya modal untuk menerima order itu. Helaan nafas panjang terdengar silih berganti antara Kiyara dan Bian.Lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Kiyara menjentikkan jarinya ke udara. Wanita itu melirik ke arah suaminya yang masih saja menatap kosong langit-langit ruangan itu."Mas, mengapa tidak meminjam pada papa dan saudaranya mas?" Kiyara mencoba memberi solusi. Ia pikir ini adalah jalan terbaik daripada meminjam uang ke bank, meski dalam hatinya ada keraguan yang sangat besar. Tidak ada salahnya mencoba, meski mungkin jawaban yang sama akan kembali mereka terima.Bian langsung bangun dari tidur rebahannya. Wajahnya sedikit mengendur, tidak lagi tegang seperti sebelumnya. Ada senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. "Ide bagus. Aku akan datang
Atmaja tidak berani mengucap sepatah kata pun. Pria berusia lebih dari enam puluh tahun itu,, diam membisu di tempat duduknya. Di dalam hati kecilnya sendiri, terjadi perang batin sejak menantunya itu melahirkan bayi cantik yang kemudian diberi nama Ayu. Hati kecilnya sangat ingin menimang bayi kecil itu, namun entah karena telah termakan hasutan kiri dan kanannya, maka hingga Bian memiliki satu lagi bocah kecil, yang berparas tampan bernama Bagas, Atmaja lebih memilih untuk membangun tembok tinggi dengan kedua cucunya itu. Cucu yang tidak bersalah dan tidak ingin mencari tahu, mengapa sikap sang kakek begitu berbeda terhadap mereka berdua. "Ayo, Mas. Kita pulang. Malam sudah semakin larut. Kasihan Ayu sama Bagas. Nanti mereka kedinginan terkena angin malam." Kiyara mulai membawa Bagas yang sudah jatuh tertidur di sofa, ke dalam pelukannya. Tidak ada lagi hal yang ditunggu oleh Bian. Permintaannya juga sudah ditolak mentah-mentah di awal pembicaraan mereka. Ajakan Kiyara adalah yang
"Cepat! Aku tidak mau masalah ini berlarut-larut. Jangan sampai Bian melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku tidak mau nama baikku dan keluargaku tercoret karena ulahmu!"Murni tergagap. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus merelakan mobil yang baru ia beli satu bulan lalu. Dengan langkah gontai, Murni mengambil kunci mobil dari dalam tasnya, dan menyerahkannya kepada Henri."Yang lain?"Hah?! Murni menatap Henri dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu yang lain?""Kunci mobil yang lain. Kau tidak hanya punya satu mobil, bukan? Jika hanya ini yang kau serahkan untuk melunasi hutangmu pada Bian, maka tidak cukup. Ingat, hutangmu lebih dari setengah milyar. Aku hanya akan membantu sebesari yang aku tahu saja. Dua puluh juta. Tidak lebih."Murni menggigit bibir bagian bawahnya. Habislah dia. Ia tidak punya lagi mobil yang bisa ia banggakan di depan teman sosialitanya. Murni mengeluarkan dua kunci mobil dari laci meja riasnya. Ia tidak rela, akan tetapi tangan Henri dengan cepat mengambil
Hujan turun begitu deras, membuat suasana hati Bian semakin sendu. Ia merasa sangat kesepian. Suara canda dan tawa Bagas beserta Ayu, membuat Bian berpikir untuk menjemput Kiyara. Tapi- Tunggu dulu... Dimana ia dapat menemukan Kiyara? Kemana perginya Kiyara saja, ia tidak tahu.Bian mengusap kasar wajahnya. Andai dirinya mendengar semua nasihat dan peringatan dari Kiyara, pasti ia tidak akan mengalami semua ini. Hidupnya berantakan. Tidak ada istri yang biasanya melayani semua kebutuhannya, tidak juga anak yang menghibur dirinya dengan rengekan dan teriakan mengganggu mereka.Bian menatap sisi kasurnya yang kini kosong. Ia menyentuh sisi yang kini terasa sangat dingin. Lagi, Bian hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia menatap bantal dan guling yang tertata rapi di sebelahnya.Ia merindukan sosok yang biasa menemani istirahat malamnya. Sosok yang selalu panik jika ia pulang kehujanan, yang selalu mengomel jika ia melewatkan jam makan siang."Aah, Kiyara! Kamu ada dimana, Sayang?" Bia
Kiyara sedang mengangkat jemuran ketika ponselnya berdering. Dengan sigap, Kiyara mengambil benda pipih itu di atas nakas.K: "Halo?"M: "Selamat Sore, Bu. Ini saya, Maryono, Bu."Wajah Kiyara seketika cerah.K: "Bagaimana kabarnya, Mar?"M: "Baik, Bu. Bapak sekarang sudah kembali bekerja di pabrik, Bu. Sejak tiga hari yang lalu. Pulang dari rumah sakit langsung ke pabrik, tapi hanya sebentar. Saya mengingat pesan Ibu untuk menjaga bapak."Kiyara mengangguk puas. Ia harus memberi sesuatu kepada pemuda itu karena sudah bersedia menjaga suaminya dengan begitu tulus.K: "Terima kasih, ya? Saya tidak tahu harus bagaimana untuk berterima kasih sama kamu?"M: "Oh-Tentu tidak , Bu. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan bapak. Bapak sudah sangat baik kepada kami, sudah seyogyanya kami membalas kebaikan bapak."K: "Sampaikan ucapan terima kasih saya kepada teman-teman kamu di sana."M: "Baik, Bu. Eng-..."Kiyara menangkap sesuatu yang ingin diutarakan Maryono, tapi pemuda itu tampaknya rag
Kiyara menatap Bian yang masih terlelap. Ada rasa bersalah yang dirasakan Kiyara melihat suaminya yang terbaring lemah di hadapannya. Namun, sebuah kilatan amarah melintas di kedua netranya."Lihat, Mas! Saat kau sakit seperti ini, dimana mereka yang kamu beri bantuan kemarin? Dimana mereka saat kamu menderita seperti sekarang? Datang melihat pun tidak. Mereka sama sekali tidak peduli denganmu, Mas. Mereka hanya peduli dengan perut mereka sendiri. Mereka mendekatimu hanya saat kamu punya uang."Kiyara menghembuskan napasnya. "Tapi mengapa ... Mengapa kau justru lebih mendengarkan mereka yang memanfaatkanmu? Kau justru lebih memilih mereka daripada keluargamu sendiri? Aku dan anak-anak justru kau abaikan. Kau lebih mementingkan mereka daripada kami?"Terdengar sedikit isakan tapi itu hanya sebentar. Kiyara menyeka air mata yang sempat memenuhi sudut matanya. "Semoga Mas bisa segera sembuh. Ada banyak kebenaran yang harus Mas ketahui. Jadi, jangan menyerah."Selama tiga hari, Kiyara menj
"Lagipula Kiyara, apakah kamu rela ada perempuan lain yang menggantikan posisimu di sisinya? Bian itu ganteng loh. Tante berani taruhan, pasti dulu banyak yang ngantri untuk jadi istrinya." Melina terus berusaha meyakinkan Kiyara.Kiyara hanya menyimak penuturan wanita paruh baya itu. Ia tidak lagi berani membantah. Tidak mudah bagi Kiyara untuk melupakan semua kejadian masa lalunya bersama Bian. Sikap Bian yang membuat dirinya mengajukan cerai, sungguh meninggalkan luka mendalam di hatinya."Udah, Ma. Setidaknya, biarkan Kiyara berpikir dan menenangkan dirinya dulu. Bian juga sekali-kali harus dipaksa mikir. Dia juga keterlaluan. Mama bayangkan sendiri, jika Papa seperti Bian, apakah Mama bisa bertahan sampai sejauh ini seperti Kiyara?"Melina setuju. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Bian dan Kiyara. Perpisahan sementara ini bisa jadi salah satu cara untuk keduanya saling memahami satu sama lain. Utamanya untuk Bian. Pria itu tampaknya harus merasakan kehilangan dulu baru bisa
Bian masih duduk terpengkur di kursi makan. Pandangannya keosong. . Hingga pagi ini, Kiyara belum juga kembalil. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa.Di saat pikirannya melayang entah kemana, mencari sosok Kiyara di sela ingatannya beberapa hari yang lalu, sebuah pesan masuk membuat Bian terlonjak dari duduknya."Pak Bian. Saya mau order mukena sebanyak 50 puluh kodi. Motif yang saya pillih akan saya kirim segera. Saya juga akan mengirim tanda jadi sebesar tiga puluh persen di awal, tiga puluh persen saat barang akan dikirim, dan sisanya akan saya bayar setelah barang dalam perjalanan."Bian hanya membaca pesan itu dengan ekspresi datar. Tidak seperti biasanya. Ia akan melonjak kegirangan lalu lari mencari Kiyara,dan langsung menghambur memeluk istri tercintanya itu.Jumlah order yang tertera di layar ponselnya tidak dapat mengusir kesedihannya. Apalah arti pesanan besar tetapi ia tidak memiliki seorang pun untuk berbagi kebahagiaan.Ponsel Bian berdering. Bian hanya mengabaikannya
Kiyara melipat kertas itu menjadi empat lalu memasukkannya ke dalam sebuah amplop berwarna coklat. Ia letakkan di dalam laci. Ia tidak memberikan tulisan di amplop. Sengaja hal itu dilakukannnya agar Bian menemukan surat itu setelah beberapa hari kepergiannya.Ini bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan Kiyara. Namun, ia sudah tidak menemukan cara lain. Bila ia memberitahu Bian jika ia akan pergi ke luar kota, maka pria itu pasti akan melarangnya. Padahal, Kiyara sangat butuh waktu untuk menyendiri. Kiyara sudah tidak ingin lagi berdebat dan ribut dengan Bian. Tenaganya seperti terkuras habis setiap beradu kata dengan pria itu. Percuma dan percuma. Tidak ada gunanya. Mobil taksi yang dipesannya tadi pagi sudah mulai berjalan meninggalkan rumahnya. Mereka bergerak menuju sekolah Ayu dan Bagas. Kiyara turun dari mobil, kemudian berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke ruangan kepala sekolah. Ia setidaknya harus mengucapkan salam perpisahan kepada pihak sekolah.Tiga puluh m
Kiyara dibuat terpaku mendengar pertanyaan Ayu. Bagaimana ia menjelaskan semua pada bocah kecil di depannya?Ayu masih sabar menanti jawaban Kiyara. Ia merasa sangat perlu untuk mendengar jawaban ibunya. Akan tetapi. Wajah Kiyara yang berkerut memupuskan keinginannya. Ayu berdiri dari duduknya. Ia melangkah pelan meninggalkan Kiyara yang masih bingung memulai penjelasannya. Wanita itu takut, Ayu justru menjadi semakin bingung menghadapi situasi ini.Sudut mata Kiyara menangkap sosok Ayu yang mulai menjauh darinya. "Mama masih sayang sama Papa."Ayu menghentikan langkahnya. Bocah itu meragukan pendengarannya. Benarkah ibunya mengatakan itu?"Mama masih sayang sama papa. Tapi, Mama perlu waktu untuk menenangkan diri, begitu juga dengan papa. Semua itu demi kebaikan kita semua. Oleh karena itu, Mama memberikan pilihan seperti kemarin, dan apapun pilihan Ayu dan Bagas, Mama tidak akan marah atau pun menyesal. Jika kalian memilih untuk ikut Mama, maka kalian masih bisa menelpon papa. Beg
Kiyara menata koper-koper sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan kecurigaan Bian. Ia pun melakukan tugasnya seperti biasa. Uang tabungannya pribadi cukup untuknya bertahan selama enam bulan, termasuk semua kebutuhan untuk Bagas dan Ayu. Ia memang menyimpan hasil usaha sampingannya.Kiyara membuat berbagai aksesoris perhiasan dari manik-manik dan kawat, untuk menyalurkan hobinya membuat kerajinan tangan, dan mewujudkan cita-citanya sebagai jewelery desainer. Dari pelanggan yang sedikit, kini ia sudah memiliki banyak pelanggan.Kiyara menyapu semua ruangan rumah yang telah ia tempati selama hampir delapan tahun, dengan netranya yang kini berwarna kemerahan. Niatnya sedikit goyah mana kala kenangan demi kenangan hadir di pelupuk matanya. Canda tawa serta tangisan Ayu dan Bagas terngiang di telinganya, membawa dirinya kembali ke beberapa waktu silam.Kiyara menarik napas panjang. Berat memang tapi setidaknya ia perlu waktu untuk menyendiri, memikirkan semua dengan hati dan pikiran yan