Beranda / Romansa / Marrying You (Again) / 5. Sepakat Untuk Bercerai

Share

5. Sepakat Untuk Bercerai

last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-12 16:15:41

Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak,  tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak.

"Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri.

"Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera memutar badannya. Baru saja ia melangkahkan kaki, terdengar satu kata dari Bian yang membuatnya  tanpa sadar, melepas ponselnya dari genggaman tangannya.  

"Cerai." 

Bug. Pyar.

Kali ini, ponsel milik Kiyara benar-benar tercerai berai. Wanita muda itu langsung kembali memutar tubuhnya menghadap suaminya. Wajahnya langsung pucat pasi. Apa tadi yang baru saja diucapkan suaminya barusan? Cerai? 

"Ap-Apa... Apa ya-yang baru saja Mas u-ucapkan?" Dengan terbata-bata Kiyara meminta Bian untuk mengulangi lagi kata yang sangat menakutkan baginya.

Bian mengalihkan tatapannya yang sejak tadi kosong. Ia menatap Kiyara, wanita yang kini begitu pucat pasi. Ia menghela nafas panjang. "Cerai. Kak Ardi memintamu untuk mengajukan gugatan cerai terhadap Mas."

Kelu lidah Bian saat mengucapkan kalimat itu. Nafasnya terasa begitu berat. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kakak iparnya. Apakah ini ide semua iparnya atau hanya satu orang? Sudah gilakah mereka? Alih-alih mendukung adiknya supaya kuat dan tetap sabar menerima cobaan yang sedang menimpa sang adik, mereka justru dengan entengnya menyuruh sang adik untuk bercerai? Apakah mereka tidak memikirkan efek psikologi perceraian bagi anak-anak mereka? Saudara macam apa mereka, mengusulkan hal yang paling ditakuti orang-orang yang berumah tangga. 

Bian kembali menghela nafas panjang, mencoba memikirkan jalan tengah bagi mereka. 

Cerai? gumam Kiyara dengan menggigit telunjuk kanannya..

"Apa yang barusan Mas katakan?" Netranya mencari penegasan dari pria di depan. Ia sangat terkejut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

"Cerai, Kiyara. Cerai! Saudara-saudaramu tersayang itu meminta kita untuk bercerai. Ber- pis-sah." Bian menekankan suaranya pada kata berpisah. 

Demi Tuhan. Lutut Kiyara terasa lemas. Tubuhnya melorot hingga jatuh terduduk di  lantai. "Apa maksudnya? Mengapa mereka menyarankan hal itu?" Kiyara memandang ke segala arah dengan tatapan bingung. Ia dibuat bingung dan linglung akibat saran gendeng saudaranya. 

"Mengapa? Memangnya mereka siapa? Ibu kah? Bapakkah?" teriak Kiyara histeris. Air mata yang sejak tadi mulai terkumpul di sudut matanya, kini meluncur deras membasahi kedua pipinya.

Bian berjalan mendekati Kiyara yang menangis. Ia tahu dan paham, jika Kiyara tidak pernah memiliki pemikiran ke arah itu. Dirinya sangat tahu seperti apa Kiyara, maka dari itu ia menikahinya. Wanita yang sangat kuat hatinya, berprinsip dan sangat memegang nilai-nilai agama. 

"Kiya..." Bian yang semula murka melihat Kiyara yang seperti ini, menjadi tidak berdaya. Ia memeluk Kiyara, membenamkan wajah wanita cantik itu ke dalam dada bidangnya.

"Ada apa dengan otak mereka? Apakah sebegitu terganggunya mereka denganmu, Mas? Tahu apa mereka tentang kita? Tahu apa mereka, Mas??!!" teriak Kiyara kencang. Ia merasa frustasi.  Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak Kiyara untuk cerai dari Bian, dan ia  yakin Bian juga sama seperti dirinya.

"Sudah, Kiya. Sudah..." Bian memeluk Kiyara dengan erat, berharap pelukan eratnya mampu memberikan wanita itu kekuatan. "Abaikan saja mereka. Abaikan omongan orang yang tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang hidup kita. Diamkan saja."

Kiyara masih saja menangis. Isak tangisnya terdengar hingga kedua anaknya datang menghampiri ibu mereka. "Mama kenapa? Ada apa dengan Mama, Pa?" Ayu duduk tepat di depan Kiyara yang masih menangis dalam pelukan Bian.

"Tidak ada apa- apa. Mama nangis karena hape mama rusak. Itu." Bian menunjuk ke arah ponsel Kiyara yang sudah tidak lagi berbentuk dengan ujung dagunya, sedangkan kedua tangannya masih mendekap erat Kiyara yang mulai mereda tangisannya.

"Mama. Jangan nangis lagi ya? Nanti Ayu belikan hape baru. Lusa kan Ayu ada lomba matematika. Hadiahnya lumayan, Ma." Gadis kecil itu memeluk sang mama sambil memasang wajah penuh semangat. 

Kiyara dan Bian termasuk orang yang beruntung. Kedua anak mereka, meski dengan segala keterbatasan ekonomi yang sedang mereka hadapi, mampu menjadi anak-anak yang berprestasi. Jumlah piala di lemari rumah mereka sudah tidak muat lagi untuk menampung piala kejuaraan yang berhasil  dimenangkan oleh Ayu dan adiknya.

Kiyara segera mengangkat wajahnya, memandang lekat wajah putrinya. Air mata yang sebelumnya sudah tidak lagi menggenangi kedua matanya, kini kembali tumpah ruah. Dipeluknya tubuh kecil Ayu. Ia menangisi sikap saudara-saudaranya yang benar-benar di luar dugaan.

"Kiya. Sudah. Tidak ada gunanya kamu menangisi sikap mereka. Mereka itu orang-orang hebat, yang bisa menyelesaikan semua masalah. Jadi untuk apa kamu sedih? Yang harus kamu pikirkan sekarang adalah apa yang akan kamu katakan pada mereka ketika nanti mereka datang kemari?"

Ucapan Bian seketika membuat Kiyara segera menghentikan sedu-sedannya. "Mas?" Ia mengernyitkan keningnya. Datang kemari? Dari mana suaminya bisa mengetahui jika kakaknya akan datang ke rumah mereka.

"Ya jelaslah, Ki. Apa kamu kira kakak-kakakmu saat ini tidak sedang menunggu  jawaban darimu? Dengan hape kamu yang sudah ambyar itu, apa bisa mereka menelponmu? Paling banter, kalau hujan, ya mereka akan menelpon ke hape Mas," jawab Bian sambil membantu Kiyara berdiri.

"Kiya nggak mau bertemu Kak Ardi, Mas. Kiya mending pergi kemana gitu." Kiyara menghapus sisa air mata yang membasahi kedua pipi dan matanya.

Bian memungut ponsel Kiyara yang sudah tidak lagi utuh. Ia duduk lalu mengamati ponsel itu, mencoba merangkai kembali tetapi karena layarnya sudah retak parah bahkan ada beberapa bagian yang sudah hilang, hape itu benar-benar  sudah tidak bisa digunakan lagi.

"Jangan. Jangan seperti itu, Kiya. Kalau kamu menghindar justru akan membuat mereka semakin menuduh  Mas sebagai suami yang tidak becus membimbing istrinya, yang tidak bisa memberi contoh yang baik pada istrinya. Mas-mu ini sudah tidak dipandang oleh mereka. Orang asing yang tidak ada gunanya, dan hanya mempermalukan mereka."

Kiya menatap  dalam Bian, mencoba memahami kalimat terakhir yang diucapkan Bian. Seketika ia teringat lagi dengan isi pesan panjang yang dikirim  kakaknya beberapa waktu yang lalu. Kata-kata yang seharusnya tidak perlu diucapkan kecuali memang sengaja mereka ucapkan untuk menunjukkan sikap mereka yang sudah tidak lagi ingin bertemu dengan Bian.

"Mas, maaf," ucap Kiyara lirih.

Bian menatap lembut Kiyara. "Untuk apa meminta maaf? Wajar jika mereka kesal. Mereka kesal karena kamu lebih memilih bertahan, berjuang bersama Mas di sini. Kesal karena kamu tidak bisa mereka rayu." Bian mengalihkan pandangannya.

"Tapi Kiyara, untuk yang terakhir ini, Mas sudah tidak lagi bisa bersikap biasa pada mereka. Jika mereka masih bersikeras seperti itu, Mas akan datangi mereka. Mereka sudah kurang ajar, sudah keterlaluan. Menghasut seorang istri untuk berpisah dari suaminya, yang akan membuat anak-anak kehilangan sosok ayah dalam kehidupan mereka." Bian menarik nafas dan menghembuskannya pelan.

Suara ketukan mengagetkan Kiyara dan Bian. Sosok yang tiba-tiba membuka pintu rumah mereka, membuat raut muka Bian langsung berubah. 

"Apakah kalian sudah sepakat untuk bercerai?"

Bab terkait

  • Marrying You (Again)   6. Apakah Kalian Sanggup?

    Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-08
  • Marrying You (Again)   7. Tidak Perlu

    "Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-17
  • Marrying You (Again)   8. Pesanan Dadakan

    Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-23
  • Marrying You (Again)   9. Telpon Yang Tak Diharapkan

    Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-09
  • Marrying You (Again)   10. Ujian Untuk Kiyara

    Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-10
  • Marrying You (Again)   11. Tamu Yang Menyebalkan

    Kiyara meringis kesakitan dalam diam. Sialan! Mengapa pasangan suami istri menyebalkan ini bertamu saat suaminya tidak di rumah, umpat Kiyara dalam hati. "Maksud kakak apa? Saya tidak punya uang sebanyak itu." Ini orang kenapa sih, datang-datang minta uang? Kiyara memandang kesal Murni, istri Henri, kakak iparnya. Mengapa mereka datang saat Mas Bian tidak di rumah? Selalu saja mencari gara-gara di saat suaminya tidak sedang ada di rumah."Tsk. Jangan bohong kamu! Kalau kamu tidak punya uang, mengapa bisa membangun rumah sebagus ini?" Murni menatap kesal Kiyara. "Bisa membangun rumah sebagus ini, masa iya tidak punya uang?" cibir Murni. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dan ia hanya menemukan satu buah televisi lcd ukuran empat puluh dua inci, yang tergantung di tengah ruang dan sebuah laptop.Iisshhhh! Sumpah demi apa pun, saat ini Kiyara sangat ingin menarik wanita berhati iblis di depannya itu, ke dalam bak mandi dan menenggelamkan kepalanya hingga ke dasar bak. Sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Marrying You (Again)   12. Order Besar

    Bian membuka pintu rumahnya dan berjalan masuk ke dalam. Tumben kok tidak ada suara anak-anak. Apa mereka semua sedang pergi? Bian meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, selanjutnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan kedua matanya. Hari ini begitu panas, membuat tenggorokannya terasa begitu kering. Bian mengeluarkan botol minum dari tas kerjanya dan meneguk air yang tersisa. Ia melirik jam dinding, yang terpasang tepat di atas pintu masuk rumahnya. Jam dua siang. Mengapa rumah begitu sepi? Kemana istri dan anak-anaknya? Bian berdiri dari duduknya, melangkah masuk ke ruang tengah lalu masuk ke kamarnya. Ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kamar, samar telinganya menangkap suara Kiyara yang sedang mengomeli seseorang atau tentang seseorang? Bian mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk. Sengaja ia mengetuk pintu itu dengan ketukan lemah, agar supaya Kiyara hanya mendengarnya samar. Bian melihat sang istri tengah melipat pakaian sambil mengomel. Mengom

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-04
  • Marrying You (Again)   13. Kebenaran Yang Terungkap

    Kiyara duduk mematung di samping Bian. Berulang kali mengigiti bibirnya, merasa gundah. Berita bahagia yang baru saja ia terima, harus secepat itu sirna karena kenyataan yang ada di depan mereka. Mereka tidak punya modal untuk menerima order itu. Helaan nafas panjang terdengar silih berganti antara Kiyara dan Bian.Lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Kiyara menjentikkan jarinya ke udara. Wanita itu melirik ke arah suaminya yang masih saja menatap kosong langit-langit ruangan itu."Mas, mengapa tidak meminjam pada papa dan saudaranya mas?" Kiyara mencoba memberi solusi. Ia pikir ini adalah jalan terbaik daripada meminjam uang ke bank, meski dalam hatinya ada keraguan yang sangat besar. Tidak ada salahnya mencoba, meski mungkin jawaban yang sama akan kembali mereka terima.Bian langsung bangun dari tidur rebahannya. Wajahnya sedikit mengendur, tidak lagi tegang seperti sebelumnya. Ada senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. "Ide bagus. Aku akan datang

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-30

Bab terbaru

  • Marrying You (Again)   30. Kembali Bersama

    "Cepat! Aku tidak mau masalah ini berlarut-larut. Jangan sampai Bian melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku tidak mau nama baikku dan keluargaku tercoret karena ulahmu!"Murni tergagap. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus merelakan mobil yang baru ia beli satu bulan lalu. Dengan langkah gontai, Murni mengambil kunci mobil dari dalam tasnya, dan menyerahkannya kepada Henri."Yang lain?"Hah?! Murni menatap Henri dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu yang lain?""Kunci mobil yang lain. Kau tidak hanya punya satu mobil, bukan? Jika hanya ini yang kau serahkan untuk melunasi hutangmu pada Bian, maka tidak cukup. Ingat, hutangmu lebih dari setengah milyar. Aku hanya akan membantu sebesari yang aku tahu saja. Dua puluh juta. Tidak lebih."Murni menggigit bibir bagian bawahnya. Habislah dia. Ia tidak punya lagi mobil yang bisa ia banggakan di depan teman sosialitanya. Murni mengeluarkan dua kunci mobil dari laci meja riasnya. Ia tidak rela, akan tetapi tangan Henri dengan cepat mengambil

  • Marrying You (Again)   29. Kwitansi

    Hujan turun begitu deras, membuat suasana hati Bian semakin sendu. Ia merasa sangat kesepian. Suara canda dan tawa Bagas beserta Ayu, membuat Bian berpikir untuk menjemput Kiyara. Tapi- Tunggu dulu... Dimana ia dapat menemukan Kiyara? Kemana perginya Kiyara saja, ia tidak tahu.Bian mengusap kasar wajahnya. Andai dirinya mendengar semua nasihat dan peringatan dari Kiyara, pasti ia tidak akan mengalami semua ini. Hidupnya berantakan. Tidak ada istri yang biasanya melayani semua kebutuhannya, tidak juga anak yang menghibur dirinya dengan rengekan dan teriakan mengganggu mereka.Bian menatap sisi kasurnya yang kini kosong. Ia menyentuh sisi yang kini terasa sangat dingin. Lagi, Bian hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia menatap bantal dan guling yang tertata rapi di sebelahnya.Ia merindukan sosok yang biasa menemani istirahat malamnya. Sosok yang selalu panik jika ia pulang kehujanan, yang selalu mengomel jika ia melewatkan jam makan siang."Aah, Kiyara! Kamu ada dimana, Sayang?" Bia

  • Marrying You (Again)   28. Bisakah Ibu?

    Kiyara sedang mengangkat jemuran ketika ponselnya berdering. Dengan sigap, Kiyara mengambil benda pipih itu di atas nakas.K: "Halo?"M: "Selamat Sore, Bu. Ini saya, Maryono, Bu."Wajah Kiyara seketika cerah.K: "Bagaimana kabarnya, Mar?"M: "Baik, Bu. Bapak sekarang sudah kembali bekerja di pabrik, Bu. Sejak tiga hari yang lalu. Pulang dari rumah sakit langsung ke pabrik, tapi hanya sebentar. Saya mengingat pesan Ibu untuk menjaga bapak."Kiyara mengangguk puas. Ia harus memberi sesuatu kepada pemuda itu karena sudah bersedia menjaga suaminya dengan begitu tulus.K: "Terima kasih, ya? Saya tidak tahu harus bagaimana untuk berterima kasih sama kamu?"M: "Oh-Tentu tidak , Bu. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan bapak. Bapak sudah sangat baik kepada kami, sudah seyogyanya kami membalas kebaikan bapak."K: "Sampaikan ucapan terima kasih saya kepada teman-teman kamu di sana."M: "Baik, Bu. Eng-..."Kiyara menangkap sesuatu yang ingin diutarakan Maryono, tapi pemuda itu tampaknya rag

  • Marrying You (Again)   27. Kenyataan Untuk Bian

    Kiyara menatap Bian yang masih terlelap. Ada rasa bersalah yang dirasakan Kiyara melihat suaminya yang terbaring lemah di hadapannya. Namun, sebuah kilatan amarah melintas di kedua netranya."Lihat, Mas! Saat kau sakit seperti ini, dimana mereka yang kamu beri bantuan kemarin? Dimana mereka saat kamu menderita seperti sekarang? Datang melihat pun tidak. Mereka sama sekali tidak peduli denganmu, Mas. Mereka hanya peduli dengan perut mereka sendiri. Mereka mendekatimu hanya saat kamu punya uang."Kiyara menghembuskan napasnya. "Tapi mengapa ... Mengapa kau justru lebih mendengarkan mereka yang memanfaatkanmu? Kau justru lebih memilih mereka daripada keluargamu sendiri? Aku dan anak-anak justru kau abaikan. Kau lebih mementingkan mereka daripada kami?"Terdengar sedikit isakan tapi itu hanya sebentar. Kiyara menyeka air mata yang sempat memenuhi sudut matanya. "Semoga Mas bisa segera sembuh. Ada banyak kebenaran yang harus Mas ketahui. Jadi, jangan menyerah."Selama tiga hari, Kiyara menj

  • Marrying You (Again)   26. Jatuh Sakit

    "Lagipula Kiyara, apakah kamu rela ada perempuan lain yang menggantikan posisimu di sisinya? Bian itu ganteng loh. Tante berani taruhan, pasti dulu banyak yang ngantri untuk jadi istrinya." Melina terus berusaha meyakinkan Kiyara.Kiyara hanya menyimak penuturan wanita paruh baya itu. Ia tidak lagi berani membantah. Tidak mudah bagi Kiyara untuk melupakan semua kejadian masa lalunya bersama Bian. Sikap Bian yang membuat dirinya mengajukan cerai, sungguh meninggalkan luka mendalam di hatinya."Udah, Ma. Setidaknya, biarkan Kiyara berpikir dan menenangkan dirinya dulu. Bian juga sekali-kali harus dipaksa mikir. Dia juga keterlaluan. Mama bayangkan sendiri, jika Papa seperti Bian, apakah Mama bisa bertahan sampai sejauh ini seperti Kiyara?"Melina setuju. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Bian dan Kiyara. Perpisahan sementara ini bisa jadi salah satu cara untuk keduanya saling memahami satu sama lain. Utamanya untuk Bian. Pria itu tampaknya harus merasakan kehilangan dulu baru bisa

  • Marrying You (Again)   25. Nasihat Melina

    Bian masih duduk terpengkur di kursi makan. Pandangannya keosong. . Hingga pagi ini, Kiyara belum juga kembalil. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa.Di saat pikirannya melayang entah kemana, mencari sosok Kiyara di sela ingatannya beberapa hari yang lalu, sebuah pesan masuk membuat Bian terlonjak dari duduknya."Pak Bian. Saya mau order mukena sebanyak 50 puluh kodi. Motif yang saya pillih akan saya kirim segera. Saya juga akan mengirim tanda jadi sebesar tiga puluh persen di awal, tiga puluh persen saat barang akan dikirim, dan sisanya akan saya bayar setelah barang dalam perjalanan."Bian hanya membaca pesan itu dengan ekspresi datar. Tidak seperti biasanya. Ia akan melonjak kegirangan lalu lari mencari Kiyara,dan langsung menghambur memeluk istri tercintanya itu.Jumlah order yang tertera di layar ponselnya tidak dapat mengusir kesedihannya. Apalah arti pesanan besar tetapi ia tidak memiliki seorang pun untuk berbagi kebahagiaan.Ponsel Bian berdering. Bian hanya mengabaikannya

  • Marrying You (Again)   24. Kepanikan Bian

    Kiyara melipat kertas itu menjadi empat lalu memasukkannya ke dalam sebuah amplop berwarna coklat. Ia letakkan di dalam laci. Ia tidak memberikan tulisan di amplop. Sengaja hal itu dilakukannnya agar Bian menemukan surat itu setelah beberapa hari kepergiannya.Ini bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan Kiyara. Namun, ia sudah tidak menemukan cara lain. Bila ia memberitahu Bian jika ia akan pergi ke luar kota, maka pria itu pasti akan melarangnya. Padahal, Kiyara sangat butuh waktu untuk menyendiri. Kiyara sudah tidak ingin lagi berdebat dan ribut dengan Bian. Tenaganya seperti terkuras habis setiap beradu kata dengan pria itu. Percuma dan percuma. Tidak ada gunanya. Mobil taksi yang dipesannya tadi pagi sudah mulai berjalan meninggalkan rumahnya. Mereka bergerak menuju sekolah Ayu dan Bagas. Kiyara turun dari mobil, kemudian berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke ruangan kepala sekolah. Ia setidaknya harus mengucapkan salam perpisahan kepada pihak sekolah.Tiga puluh m

  • Marrying You (Again)   23. Pesan Untuk Suamiku

    Kiyara dibuat terpaku mendengar pertanyaan Ayu. Bagaimana ia menjelaskan semua pada bocah kecil di depannya?Ayu masih sabar menanti jawaban Kiyara. Ia merasa sangat perlu untuk mendengar jawaban ibunya. Akan tetapi. Wajah Kiyara yang berkerut memupuskan keinginannya. Ayu berdiri dari duduknya. Ia melangkah pelan meninggalkan Kiyara yang masih bingung memulai penjelasannya. Wanita itu takut, Ayu justru menjadi semakin bingung menghadapi situasi ini.Sudut mata Kiyara menangkap sosok Ayu yang mulai menjauh darinya. "Mama masih sayang sama Papa."Ayu menghentikan langkahnya. Bocah itu meragukan pendengarannya. Benarkah ibunya mengatakan itu?"Mama masih sayang sama papa. Tapi, Mama perlu waktu untuk menenangkan diri, begitu juga dengan papa. Semua itu demi kebaikan kita semua. Oleh karena itu, Mama memberikan pilihan seperti kemarin, dan apapun pilihan Ayu dan Bagas, Mama tidak akan marah atau pun menyesal. Jika kalian memilih untuk ikut Mama, maka kalian masih bisa menelpon papa. Beg

  • Marrying You (Again)   22. Keresahan Ayu

    Kiyara menata koper-koper sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan kecurigaan Bian. Ia pun melakukan tugasnya seperti biasa. Uang tabungannya pribadi cukup untuknya bertahan selama enam bulan, termasuk semua kebutuhan untuk Bagas dan Ayu. Ia memang menyimpan hasil usaha sampingannya.Kiyara membuat berbagai aksesoris perhiasan dari manik-manik dan kawat, untuk menyalurkan hobinya membuat kerajinan tangan, dan mewujudkan cita-citanya sebagai jewelery desainer. Dari pelanggan yang sedikit, kini ia sudah memiliki banyak pelanggan.Kiyara menyapu semua ruangan rumah yang telah ia tempati selama hampir delapan tahun, dengan netranya yang kini berwarna kemerahan. Niatnya sedikit goyah mana kala kenangan demi kenangan hadir di pelupuk matanya. Canda tawa serta tangisan Ayu dan Bagas terngiang di telinganya, membawa dirinya kembali ke beberapa waktu silam.Kiyara menarik napas panjang. Berat memang tapi setidaknya ia perlu waktu untuk menyendiri, memikirkan semua dengan hati dan pikiran yan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status