Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati.
"Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya.
"Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.
Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-anaknya, masih terasa sampai sekarang," ucap Kiyara sambil berusaha menahan isakan tangisnya.
"Mengapa mereka tega, mengatakan semua itu padahal mereka tidak tahu alasannya? Mengapa mereka tega mengatakan jika anak-anak adalah anak-anak kebanyakan yang sangat susah diatur? Mengapa mereka menuntut sesuatu yang tidak mungkin sama untuk masing-masing anak?"
Bian kali ini diam. Ia tahu itu. Ia juga sempat mendengar itu, namun akal sehatnya masih bisa ia gunakan. Ia hanya menganggap ucapan mereka sebagai angin yang berhembus dan akan menghilang dengan sendirinya. Ia lupa jika Kiyara adalah seorang wanita, seorang ibu, yang jelas akan merasa sakit ketika anak-anaknya dibanding-bandingkan dengan yang lain.
"Kiya..." Bian memanggil lembut istrinya yang kini malah menangis sesenggukan, karena kembali teringat kata-kata dari kakaknya.
"Kiya nggak bisa, Mas. Belum bisa seperti, Mas." Kiyara menghapus airmatanya dengan ujung lengan bajunya.
Hidup itu tidak semudah yang dibayangkan, tidak selalu berjalan seseuai yang direncanakan. Ada hal lain yang berlaku diluar nalar kita sebagai manusia, dan Tuhan-lah yang berada dibalik itu semua. Jika menyalahkan suatu peristiwa, mengapa bisa terjadi? Mengapa tidak begini, mengapa tidak begitu? Apakah mereka sudah lupa, jika ada Zat Yang Maha Mengatur segalanya? Yang bisa membolak-balikkan hati dan rencana dalam sekejap?
Kiyara menghembuskan nafas panjangnya. Ingin rasanya meneriaki kakak-kakaknya itu, meluapkan semua kekesalannya di hadapan mereka. Namun, itu semua tidaklah mungkin. Percuma. Niat hati ingin mengklarifikasi tapi justru akan menjadi bumerang-bumerang lain untuk dirinya dan suami.
"Mas. Apa mas tahu jika mas sudah dianggap ..." Kiyara tidak meneruskan kata-katanya. Dirinya tidak sampai hati menyampaikan penilaian saudaranya terhadap suaminya itu.
Bian mengangguk. Tanpa mendengar kelanjutan kalimat Kiyara yang kembali terputus, Bian mengangguk, membuat Kiyara kembali mendesah sedih.
"Sudahlah. Tidak usah dipikirin. Mending kita mikir gimana caranya dagangannya Mas ini laku, bukan cuma untuk sekarang tapi untuk seterusnya," ajak Bian. Ia tidak ingin menghabiskan seluruh energinya untuk memikirkan penilaian orang lain terhadap dirinya. Cukup baginya Tuhan sebagai saksi apa yang sudah dilakukannya untuk anak istrinya, meski mungkin masih sangat jauh dari apa yang seharusnya ia berikan untuk mereka.
Tiba-tiba dering ponsel Kiyara kembali terdengar. Dengan cepat Bian meraih ponsel istrinya sebelum Kiyara menyadari gerakannya. Bian berdiri dari duduknya. Ia melangkah ke luar rumah, menjauhkan diri agar istrinya tidak bisa menguping pembicaraan mereka. Ia ingin istrinya tidak terlibat perseteruan dengan iparnya, meski sebenarnya mereka masihlah saudara kandung yang saling mengkhawatirkan satu sama lain, meski cara yang mereka lakukan salah. Terlalu ikut campur kehidupan rumah tangga sang adik.
"Kiyara?" Suara Ardi terdengar tidak sabar.
Bian diam, tidak berniat menjawab. Ia ingin mendengar sendiri apa yang akan dikatakan kakak Kiyara itu tentang dirinya.
"Belum pulang suami malasmu itu?" hardik Ardi, membuat Bian mengerutkan kedua alisnya.
"Apa kau tidak mengatakan pada suamimu tentang pesan Kakak tadi?" tanya Ardi begitu ketus. Bian sampai mengurut dadanya. Sebegitu bencinya kah ipar-iparnya terhadapnya?
"Kiya. Apa yang sebenarnya ada dalam benak kamu? Mengapa kamu begitu membelanya? Coba kamu pikirkan? Sudah berapa banyak yang ia berikan padamu? Kosmetik? Apa ia membelikan kebutuhan kosmetikmu? Pakaian kamu? Jangan coba mengelak. Kakak tahu, kamu membeli dengan uangmu sendiri. Hasil jualan online kamu, kamu sisihkan untuk membeli beberapa potong pakaian untuk kamu dan dia kan? " Ardi terus saja nyerocos. Ia begitu semangat menjelekkan Bian, suami adik bungsunya.
"Pernah dia membelikan ponsel untukmu? Sejauh ini, kamulah yang selalu membelikan ponsel untuknya kan?"
Sudut hati Bian membenarkan ucapan iparnya itu, dan ini membuatnya tersentak. Semua ucapan Ardi seakan menyingkap tabir yang selama ini tidak pernah ia bahas dengan Kiyara. Selama ini, ia menganggap istrinya itu membeli semua kosmetik, dengan uang hasil menabung dari sisa-sisa uang belanja.
Ingatan Bian jatuh pada merk kosmetik yang saat ini dipakai Kiya dan sekali lagi ia harus rela untuk mengakui jika pernyataan iparnya itu memang benar adanya. Kiyara sampai harus mengganti semua merk kosmetiknya ke merk yang tidak pernah ia gunakan, hingga akhirnya berhenti menggunakan kosmetik karena kulitnya justru rusak karena tidak ada yang cocok.
Ardi berhenti sejenak, memikirkan poin apa lagi yang ingin ia sampaikan pada adik bungsunya itu.
"Kiya, jika memang Bian sudah tidak lagi sanggup menafkahimu, kamu bisa mengajukan cerai ke pengadilan agama. Untuk apa terus bertahan dengan pria yang sama sekali tidak bisa menafkahi mu?" Selama itu bertahan mendengarkan berbagai cacian dan hinaan iparnya, Bian akhirnya tidak lagi bisa menahan emosinya.
"Apa maksud Kak Ardi?" tanya Bian tajam.
Ardi terkejut. Ia tidak mengira jika sejak tadi yang ia ajak bicara bukanlah adiknya melainkan orang yang ia jelek-jelekkan sendiri, iparnya sendiri. Pria itu segera memposisikan dirinya seolah ia tidak melakukan kesalahan, bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
"Mana Kiyara? Mengapa justru kau yang mengangkat telponku?"
Bian mengabaikan pertanyaan Ardi, dan mengulangi pertanyaannya."Apa maksud perkataan Kak Ardi tadi?"
Hening sejenak. Ardi tidak segera menjawab pertanyaan iparnya itu. Entah mengapa dirinya sangat membenci adik iparnya itu, padahal jika ditelisik, Bian tidak pernah menyakiti atau menyinggungnya.
"Tidak ada maksud apa-apa," jawabnya singkat.
"Lalu kata cerai itu, tidak ada artinya juga?" sindir Bian. Kali ini, ucapan iparnya itu sudah keterlaluan. Menyarankan adiknya untuk bercerai dengannya? Kakak macam apa itu?! Tangan kanannya mengepal, mencoba membendung gelombang amarah yang mulai menguasai dirinya.
"Kau ini memang benar-benar bebal. Dari kemarin bukankah aku sudah mengatakan pada adikku yang bodoh itu, untuk meninggalkanmu. Apakah kau tidak juga paham maksud dibaliknya?" Ardi berdecak kesal.
Kedua mata Bian melotot. Ia tidak percaya jika kakak Kiyara mengusulkan ide gila itu. Mengapa tidak mendukung mereka untuk saling menguatkan,mendukung agar adiknya tidak patah semangat? Tapi justru memberi masukan yang menyesatkan seperti ini? Wajah Bian mulai kusut. Benar- benar tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar dari kakak iparnya itu.
"Ceraikan Kiyara! Kembalikan adikku kepada kami! Kami masih bisa mengurusnya bersama kedua anakmu itu."
Brug! Ponsel Kiyara terlepas dari tangan Bian.
Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak, tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak."Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri."Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera
Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar
"Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in
Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida
Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga
Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah
Kiyara meringis kesakitan dalam diam. Sialan! Mengapa pasangan suami istri menyebalkan ini bertamu saat suaminya tidak di rumah, umpat Kiyara dalam hati. "Maksud kakak apa? Saya tidak punya uang sebanyak itu." Ini orang kenapa sih, datang-datang minta uang? Kiyara memandang kesal Murni, istri Henri, kakak iparnya. Mengapa mereka datang saat Mas Bian tidak di rumah? Selalu saja mencari gara-gara di saat suaminya tidak sedang ada di rumah. "Tsk. Jangan bohong kamu! Kalau kamu tidak punya uang, mengapa bisa membangun rumah sebagus ini?" Murni menatap kesal Kiyara. "Bisa membangun rumah sebagus ini, masa iya tidak punya uang?" cibir Murni. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dan ia hanya menemukan satu buah televisi lcd ukuran empat puluh dua inci, yang tergantung di tengah ruang dan sebuah laptop. Iisshhhh! Sumpah demi apa pun, saat ini Kiyara sangat ingin menarik wanita berhati iblis di depannya itu, ke dalam bak mandi dan menenggelamkan kepalanya hingga ke dasar bak. Su
Bian membuka pintu rumahnya dan berjalan masuk ke dalam. Tumben kok tidak ada suara anak-anak. Apa mereka semua sedang pergi? Bian meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, selanjutnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan kedua matanya. Hari ini begitu panas, membuat tenggorokannya terasa begitu kering. Bian mengeluarkan botol minum dari tas kerjanya dan meneguk air yang tersisa. Ia melirik jam dinding, yang terpasang tepat di atas pintu masuk rumahnya. Jam dua siang. Mengapa rumah begitu sepi? Kemana istri dan anak-anaknya? Bian berdiri dari duduknya, melangkah masuk ke ruang tengah lalu masuk ke kamarnya. Ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kamar, samar telinganya menangkap suara Kiyara yang sedang mengomeli seseorang atau tentang seseorang? Bian mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk. Sengaja ia mengetuk pintu itu dengan ketukan lemah, agar supaya Kiyara hanya mendengarnya samar. Bian melihat sang istri tengah melipat pakaian sambil mengomel. Mengom
Murni membolak-balikkan amplop putih yang disodorkan Bian. Alisnya berkerut dan nyaris saling bertautan satu dengan yang lain."Apa ini?" Ia menatap Bian, mencoba mengabaikan Kiyara yang menyeruput jus alpukat yang baru saja dihidangkan pelayan. Sayangnya, ia tidak berhasil. Sudut matanya justru terus mencuri-curi pandang ke arah Kiyara. Iparnya yang imut dan cantik."Maaf. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu." Kata-kata Bian menusuk hati Murni, membuat wanita itu panik. "Bagaimana bisa? Kamu sudah berjanji padaku akan mengabulkan permintaanku hari itu. Dan itu-itu tidak bisa dibatalkan begitu saja. " Murni ngotot. Ia sudah kepalang basah mengharapkan pinjaman Bian."Aku salah. Seharusnya aku tidak menyetujui permintaanmu begitu saja.""Tidak bisa! Kamu harus tetap melakukannya," seru Murni dengan nada tinggi dan memaksa.Kiyara masih diam di tempatnya. Isi gelasnya tinggal separuh. Ia memutar sedotannya searah jarum jam sesuka hatinya. Belum ada niatnya untuk bergabung dalam pembi
Kiyara menggeliatkan tubuhnya. Matanya terasa sangat berat dan lengket. Ia membuka kedua matanya dengan susah payah. Diambilnya cermin kecil yang kebetulan tergeletak di meja di sampingnya. Ia menemukan keduanya bengkak. Kiyara bergegas pergi ke dapur, mengambil semangkuk air hangat untuk mengompres matanya. Suara gemericik air dari kamar mandi membuat Kiyara mempercepat langkahnya, kembali ke kamarnya. Ia melirik jam dinding yang ada di dapur. Jarum jam berhenti di angka 2, dan itu membuat Kiyara semakin mempercepat langkahnya. Ia langsung bersembunyi di balik selimut, dan berusaha memejamkan kembali kedua matanya. Pintu kamarnya dibuka dari luar. Aroma segar menguar menembus penciuman Kiyara. Kiyara berusaha tenang. Ia diam tak bergerak, dan berusaha mempertajam pendengarannya. Bagian kanan kasur yang ia tiduri, melesak ke dalam, dan itu membuat tubuh Kiyara mengirim peringatan ke seluruh tubuhnya. Ia ingin istirahat, dan tidak mau diganggu siapa pun. Hati dan perasaannya yang l
"Mau kemana?" Bian menghadang Kiyara yang sudah menyeret koper dan mengenakan tas ranselnya. "Pergi." Kiyara tidak ingin berpanjang-panjang menjawab pertanyaan Bian. "Pergi kemana? Rumah kamu di sini, bukan di tempat lain." "Ini bukan rumah Kiya lagi." "Maksud kamu apa, Kiya?" Bian sudah mulai terpancing. "Tidak ada apa-apa. Tolong biarkan Kiya pergi. Kiya sudah tidak ada tempat lagi di sini." "Jangan bicara yang tidak-tidak. Kamu tetap di sini dan tidak boleh keluar sejengkal pun!" Kiyara tertawa sumbang. Wanita itu menatap Bian dengan tatapan nanar. Bian merasa sangat asing dengan istrinya saat ini. Tanpa disadari Kiyara, bulir air mata sudah terbentuk di kedua sudut matanya. "Kiya...." Bian melunak. Ia tersadar ketika buliran itu mulai jatuh membasahi pipi istrinya. Pria tampan itu berjalan mendekat. Tangan kanannya terulur ke depan berusaha menyentuh bahu Kiyara, tapi Kiyara dengan cepat menepisnya. "Kiya..." Bian terkejut dengan sikap dingin Kiyara. "Ada apa? Apakah aku
Murni menatap Bian. Ia sudah tidak sabar lagi, menanti uang yang dijanjikan Bian beberapa waktu yang lalu, berada di tangannya sore ini. "Aku ... batalkan perjanjian itu." Jawaban Bian sontak membuat Murni berteriak tidak terima. "Apa!!! Tidak! Kau tidak boleh membatalkan janjimu! Kau sudah berjanji padaku untuk memberikan uang itu, hari ini. Kau tidak bisa membatalkannya!" Murni berteriak-teriak tidak terima. "Kakak ipar!" bentak Bian mengingatkan. Reaksi Murni sungguh diluar sangkaan Bian. "Mengapa kakak jadi kesetanan seperti itu? Aku berhak membatalkannya, karena hal itu bisa merusak hubunganku dengan Kiya." "Tetap tidak bisa! Kau seharusnya sudah tahu resiko itu sejak awal. Seharusnya kau sudah tahu akan seperti apa Kiyara, tapi nyatanya kau tetap saja memberikan uang itu kepada kami! 'Memberikan?' Bian menatap Murni. "Aku tidak pernah berniat untuk memberikan uang-uang itu kepada kalian. Akadnya sudah kuperjelas dari awal, bahwa itu berupa pinjaman atau hutang, bukan pembe
Kiyara menatap tajam Murni. Ia tergelitik dengan pernyataan wanita itu barusan. "Apa maksudmu?" Murni tergelak. Ia merasa di atas angin. "Mengapa kau tidak sadar juga? Bian lebih memilih saudaranya ketimbang kau, wanita udik murahan!" Hardikan Murni berhasil memancing percikan emosi dalam diri Kiyara. Wajahnya memerah. Kepalanya berputar mencari alasan nenek sihir di depannya mengucapkan kalimat hinaan itu. Wanita cantik itu maju selangkah demi selangkah. Gerakan Kiyara tertangkap oleh sudut mata Murni. Wanita itu tersenyum mengejek. Rencananya berhasil. Dengan demikian, Kiyara akan membukakan pintu gerbang itu untuknya. Ia tidak berpikir jika setelah ini akan ada kejadian mengerikan yang menantinya. "Katakan sekali lagi!" Suara Kiyara terdengar sedikit bergetar. Jangan ditanya berapa besar usaha Kiyara menahan amarahnya. Buku-buku jarinya memutih akibat kepalan tangannya yang mengeras. Ia perlahan melangkahkan kakinya, semakin mendekati Murni. "Kau ingin aku mengulang yang m
Teriakan Bian membuat Kiyara terkejut setengah mati. Ia lantas lari menuju kamar mereka, melihat sang suami tengah terbelalak memandangi layar ponsel di tangannya. "Ada apa, Mas? Kenapa pakai teriak seheboh itu?" tanya Kiyara setengah bersungut mendekati Bian. "Lihat! Coba kamu lihat ini! Apa ada masalah dengan mata Mas?" Bian memberikan ponselnya kepada Kiyara yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, lalu mengucek kedua matanya berulang. Dengan wajah yang masih kesal, Kiyara menerima ponsel Bian. Tak sampai satu menit, kini giliran Kiyara yan berteriak heboh. "Maaas!" "Iya. Mas masih di sini. Benarkah itu atau apa?" Bian menatap layar ponsel yang sama dengan yang ditatap Kiyara. Kiyara menatap Bian. "Tidak tahu. Kalau mau tahu bener atau nggaknya ya harus cek saldo, Mas." Lalu, wanita itu diam sejenak. "M-Banking!" seru Kiyara begitu tiba-tiba, membuat Bian membesarkan kedua bola matanya. "Ah iya-iya. M-Banking. M-Banking. Sini ponselnya." Jemari Bian dengan lincah membuk
Atmaja tidak berani mengucap sepatah kata pun. Pria berusia lebih dari enam puluh tahun itu,, diam membisu di tempat duduknya. Di dalam hati kecilnya sendiri, terjadi perang batin sejak menantunya itu melahirkan bayi cantik yang kemudian diberi nama Ayu. Hati kecilnya sangat ingin menimang bayi kecil itu, namun entah karena telah termakan hasutan kiri dan kanannya, maka hingga Bian memiliki satu lagi bocah kecil, yang berparas tampan bernama Bagas, Atmaja lebih memilih untuk membangun tembok tinggi dengan kedua cucunya itu. Cucu yang tidak bersalah dan tidak ingin mencari tahu, mengapa sikap sang kakek begitu berbeda terhadap mereka berdua. "Ayo, Mas. Kita pulang. Malam sudah semakin larut. Kasihan Ayu sama Bagas. Nanti mereka kedinginan terkena angin malam." Kiyara mulai membawa Bagas yang sudah jatuh tertidur di sofa, ke dalam pelukannya. Tidak ada lagi hal yang ditunggu oleh Bian. Permintaannya juga sudah ditolak mentah-mentah di awal pembicaraan mereka. Ajakan Kiyara adalah yang
Kiyara duduk mematung di samping Bian. Berulang kali mengigiti bibirnya, merasa gundah. Berita bahagia yang baru saja ia terima, harus secepat itu sirna karena kenyataan yang ada di depan mereka. Mereka tidak punya modal untuk menerima order itu. Helaan nafas panjang terdengar silih berganti antara Kiyara dan Bian. Lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Kiyara menjentikkan jarinya ke udara. Wanita itu melirik ke arah suaminya yang masih saja menatap kosong langit-langit ruangan itu. "Mas, mengapa tidak meminjam pada papa dan saudaranya mas?" Kiyara mencoba memberi solusi. Ia pikir ini adalah jalan terbaik daripada meminjam uang ke bank, meski dalam hatinya ada keraguan yang sangat besar. Tidak ada salahnya mencoba, meski mungkin jawaban yang sama akan kembali mereka terima. Bian langsung bangun dari tidur rebahannya. Wajahnya sedikit mengendur, tidak lagi tegang seperti sebelumnya. Ada senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. "Ide bagus. Aku akan da
Bian membuka pintu rumahnya dan berjalan masuk ke dalam. Tumben kok tidak ada suara anak-anak. Apa mereka semua sedang pergi? Bian meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, selanjutnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan kedua matanya. Hari ini begitu panas, membuat tenggorokannya terasa begitu kering. Bian mengeluarkan botol minum dari tas kerjanya dan meneguk air yang tersisa. Ia melirik jam dinding, yang terpasang tepat di atas pintu masuk rumahnya. Jam dua siang. Mengapa rumah begitu sepi? Kemana istri dan anak-anaknya? Bian berdiri dari duduknya, melangkah masuk ke ruang tengah lalu masuk ke kamarnya. Ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kamar, samar telinganya menangkap suara Kiyara yang sedang mengomeli seseorang atau tentang seseorang? Bian mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk. Sengaja ia mengetuk pintu itu dengan ketukan lemah, agar supaya Kiyara hanya mendengarnya samar. Bian melihat sang istri tengah melipat pakaian sambil mengomel. Mengom