Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati.
"Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya.
"Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.
Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-anaknya, masih terasa sampai sekarang," ucap Kiyara sambil berusaha menahan isakan tangisnya.
"Mengapa mereka tega, mengatakan semua itu padahal mereka tidak tahu alasannya? Mengapa mereka tega mengatakan jika anak-anak adalah anak-anak kebanyakan yang sangat susah diatur? Mengapa mereka menuntut sesuatu yang tidak mungkin sama untuk masing-masing anak?"
Bian kali ini diam. Ia tahu itu. Ia juga sempat mendengar itu, namun akal sehatnya masih bisa ia gunakan. Ia hanya menganggap ucapan mereka sebagai angin yang berhembus dan akan menghilang dengan sendirinya. Ia lupa jika Kiyara adalah seorang wanita, seorang ibu, yang jelas akan merasa sakit ketika anak-anaknya dibanding-bandingkan dengan yang lain.
"Kiya..." Bian memanggil lembut istrinya yang kini malah menangis sesenggukan, karena kembali teringat kata-kata dari kakaknya.
"Kiya nggak bisa, Mas. Belum bisa seperti, Mas." Kiyara menghapus airmatanya dengan ujung lengan bajunya.
Hidup itu tidak semudah yang dibayangkan, tidak selalu berjalan seseuai yang direncanakan. Ada hal lain yang berlaku diluar nalar kita sebagai manusia, dan Tuhan-lah yang berada dibalik itu semua. Jika menyalahkan suatu peristiwa, mengapa bisa terjadi? Mengapa tidak begini, mengapa tidak begitu? Apakah mereka sudah lupa, jika ada Zat Yang Maha Mengatur segalanya? Yang bisa membolak-balikkan hati dan rencana dalam sekejap?
Kiyara menghembuskan nafas panjangnya. Ingin rasanya meneriaki kakak-kakaknya itu, meluapkan semua kekesalannya di hadapan mereka. Namun, itu semua tidaklah mungkin. Percuma. Niat hati ingin mengklarifikasi tapi justru akan menjadi bumerang-bumerang lain untuk dirinya dan suami.
"Mas. Apa mas tahu jika mas sudah dianggap ..." Kiyara tidak meneruskan kata-katanya. Dirinya tidak sampai hati menyampaikan penilaian saudaranya terhadap suaminya itu.
Bian mengangguk. Tanpa mendengar kelanjutan kalimat Kiyara yang kembali terputus, Bian mengangguk, membuat Kiyara kembali mendesah sedih.
"Sudahlah. Tidak usah dipikirin. Mending kita mikir gimana caranya dagangannya Mas ini laku, bukan cuma untuk sekarang tapi untuk seterusnya," ajak Bian. Ia tidak ingin menghabiskan seluruh energinya untuk memikirkan penilaian orang lain terhadap dirinya. Cukup baginya Tuhan sebagai saksi apa yang sudah dilakukannya untuk anak istrinya, meski mungkin masih sangat jauh dari apa yang seharusnya ia berikan untuk mereka.
Tiba-tiba dering ponsel Kiyara kembali terdengar. Dengan cepat Bian meraih ponsel istrinya sebelum Kiyara menyadari gerakannya. Bian berdiri dari duduknya. Ia melangkah ke luar rumah, menjauhkan diri agar istrinya tidak bisa menguping pembicaraan mereka. Ia ingin istrinya tidak terlibat perseteruan dengan iparnya, meski sebenarnya mereka masihlah saudara kandung yang saling mengkhawatirkan satu sama lain, meski cara yang mereka lakukan salah. Terlalu ikut campur kehidupan rumah tangga sang adik.
"Kiyara?" Suara Ardi terdengar tidak sabar.
Bian diam, tidak berniat menjawab. Ia ingin mendengar sendiri apa yang akan dikatakan kakak Kiyara itu tentang dirinya.
"Belum pulang suami malasmu itu?" hardik Ardi, membuat Bian mengerutkan kedua alisnya.
"Apa kau tidak mengatakan pada suamimu tentang pesan Kakak tadi?" tanya Ardi begitu ketus. Bian sampai mengurut dadanya. Sebegitu bencinya kah ipar-iparnya terhadapnya?
"Kiya. Apa yang sebenarnya ada dalam benak kamu? Mengapa kamu begitu membelanya? Coba kamu pikirkan? Sudah berapa banyak yang ia berikan padamu? Kosmetik? Apa ia membelikan kebutuhan kosmetikmu? Pakaian kamu? Jangan coba mengelak. Kakak tahu, kamu membeli dengan uangmu sendiri. Hasil jualan online kamu, kamu sisihkan untuk membeli beberapa potong pakaian untuk kamu dan dia kan? " Ardi terus saja nyerocos. Ia begitu semangat menjelekkan Bian, suami adik bungsunya.
"Pernah dia membelikan ponsel untukmu? Sejauh ini, kamulah yang selalu membelikan ponsel untuknya kan?"
Sudut hati Bian membenarkan ucapan iparnya itu, dan ini membuatnya tersentak. Semua ucapan Ardi seakan menyingkap tabir yang selama ini tidak pernah ia bahas dengan Kiyara. Selama ini, ia menganggap istrinya itu membeli semua kosmetik, dengan uang hasil menabung dari sisa-sisa uang belanja.
Ingatan Bian jatuh pada merk kosmetik yang saat ini dipakai Kiya dan sekali lagi ia harus rela untuk mengakui jika pernyataan iparnya itu memang benar adanya. Kiyara sampai harus mengganti semua merk kosmetiknya ke merk yang tidak pernah ia gunakan, hingga akhirnya berhenti menggunakan kosmetik karena kulitnya justru rusak karena tidak ada yang cocok.
Ardi berhenti sejenak, memikirkan poin apa lagi yang ingin ia sampaikan pada adik bungsunya itu.
"Kiya, jika memang Bian sudah tidak lagi sanggup menafkahimu, kamu bisa mengajukan cerai ke pengadilan agama. Untuk apa terus bertahan dengan pria yang sama sekali tidak bisa menafkahi mu?" Selama itu bertahan mendengarkan berbagai cacian dan hinaan iparnya, Bian akhirnya tidak lagi bisa menahan emosinya.
"Apa maksud Kak Ardi?" tanya Bian tajam.
Ardi terkejut. Ia tidak mengira jika sejak tadi yang ia ajak bicara bukanlah adiknya melainkan orang yang ia jelek-jelekkan sendiri, iparnya sendiri. Pria itu segera memposisikan dirinya seolah ia tidak melakukan kesalahan, bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
"Mana Kiyara? Mengapa justru kau yang mengangkat telponku?"
Bian mengabaikan pertanyaan Ardi, dan mengulangi pertanyaannya."Apa maksud perkataan Kak Ardi tadi?"
Hening sejenak. Ardi tidak segera menjawab pertanyaan iparnya itu. Entah mengapa dirinya sangat membenci adik iparnya itu, padahal jika ditelisik, Bian tidak pernah menyakiti atau menyinggungnya.
"Tidak ada maksud apa-apa," jawabnya singkat.
"Lalu kata cerai itu, tidak ada artinya juga?" sindir Bian. Kali ini, ucapan iparnya itu sudah keterlaluan. Menyarankan adiknya untuk bercerai dengannya? Kakak macam apa itu?! Tangan kanannya mengepal, mencoba membendung gelombang amarah yang mulai menguasai dirinya.
"Kau ini memang benar-benar bebal. Dari kemarin bukankah aku sudah mengatakan pada adikku yang bodoh itu, untuk meninggalkanmu. Apakah kau tidak juga paham maksud dibaliknya?" Ardi berdecak kesal.
Kedua mata Bian melotot. Ia tidak percaya jika kakak Kiyara mengusulkan ide gila itu. Mengapa tidak mendukung mereka untuk saling menguatkan,mendukung agar adiknya tidak patah semangat? Tapi justru memberi masukan yang menyesatkan seperti ini? Wajah Bian mulai kusut. Benar- benar tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar dari kakak iparnya itu.
"Ceraikan Kiyara! Kembalikan adikku kepada kami! Kami masih bisa mengurusnya bersama kedua anakmu itu."
Brug! Ponsel Kiyara terlepas dari tangan Bian.
Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak, tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak."Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri."Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera
Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar
"Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in
Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida
Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga
Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah
Kiyara meringis kesakitan dalam diam. Sialan! Mengapa pasangan suami istri menyebalkan ini bertamu saat suaminya tidak di rumah, umpat Kiyara dalam hati. "Maksud kakak apa? Saya tidak punya uang sebanyak itu." Ini orang kenapa sih, datang-datang minta uang? Kiyara memandang kesal Murni, istri Henri, kakak iparnya. Mengapa mereka datang saat Mas Bian tidak di rumah? Selalu saja mencari gara-gara di saat suaminya tidak sedang ada di rumah."Tsk. Jangan bohong kamu! Kalau kamu tidak punya uang, mengapa bisa membangun rumah sebagus ini?" Murni menatap kesal Kiyara. "Bisa membangun rumah sebagus ini, masa iya tidak punya uang?" cibir Murni. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dan ia hanya menemukan satu buah televisi lcd ukuran empat puluh dua inci, yang tergantung di tengah ruang dan sebuah laptop.Iisshhhh! Sumpah demi apa pun, saat ini Kiyara sangat ingin menarik wanita berhati iblis di depannya itu, ke dalam bak mandi dan menenggelamkan kepalanya hingga ke dasar bak. Sudah
Bian membuka pintu rumahnya dan berjalan masuk ke dalam. Tumben kok tidak ada suara anak-anak. Apa mereka semua sedang pergi? Bian meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, selanjutnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan kedua matanya. Hari ini begitu panas, membuat tenggorokannya terasa begitu kering. Bian mengeluarkan botol minum dari tas kerjanya dan meneguk air yang tersisa. Ia melirik jam dinding, yang terpasang tepat di atas pintu masuk rumahnya. Jam dua siang. Mengapa rumah begitu sepi? Kemana istri dan anak-anaknya? Bian berdiri dari duduknya, melangkah masuk ke ruang tengah lalu masuk ke kamarnya. Ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kamar, samar telinganya menangkap suara Kiyara yang sedang mengomeli seseorang atau tentang seseorang? Bian mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk. Sengaja ia mengetuk pintu itu dengan ketukan lemah, agar supaya Kiyara hanya mendengarnya samar. Bian melihat sang istri tengah melipat pakaian sambil mengomel. Mengom
"Cepat! Aku tidak mau masalah ini berlarut-larut. Jangan sampai Bian melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku tidak mau nama baikku dan keluargaku tercoret karena ulahmu!"Murni tergagap. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus merelakan mobil yang baru ia beli satu bulan lalu. Dengan langkah gontai, Murni mengambil kunci mobil dari dalam tasnya, dan menyerahkannya kepada Henri."Yang lain?"Hah?! Murni menatap Henri dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu yang lain?""Kunci mobil yang lain. Kau tidak hanya punya satu mobil, bukan? Jika hanya ini yang kau serahkan untuk melunasi hutangmu pada Bian, maka tidak cukup. Ingat, hutangmu lebih dari setengah milyar. Aku hanya akan membantu sebesari yang aku tahu saja. Dua puluh juta. Tidak lebih."Murni menggigit bibir bagian bawahnya. Habislah dia. Ia tidak punya lagi mobil yang bisa ia banggakan di depan teman sosialitanya. Murni mengeluarkan dua kunci mobil dari laci meja riasnya. Ia tidak rela, akan tetapi tangan Henri dengan cepat mengambil
Hujan turun begitu deras, membuat suasana hati Bian semakin sendu. Ia merasa sangat kesepian. Suara canda dan tawa Bagas beserta Ayu, membuat Bian berpikir untuk menjemput Kiyara. Tapi- Tunggu dulu... Dimana ia dapat menemukan Kiyara? Kemana perginya Kiyara saja, ia tidak tahu.Bian mengusap kasar wajahnya. Andai dirinya mendengar semua nasihat dan peringatan dari Kiyara, pasti ia tidak akan mengalami semua ini. Hidupnya berantakan. Tidak ada istri yang biasanya melayani semua kebutuhannya, tidak juga anak yang menghibur dirinya dengan rengekan dan teriakan mengganggu mereka.Bian menatap sisi kasurnya yang kini kosong. Ia menyentuh sisi yang kini terasa sangat dingin. Lagi, Bian hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia menatap bantal dan guling yang tertata rapi di sebelahnya.Ia merindukan sosok yang biasa menemani istirahat malamnya. Sosok yang selalu panik jika ia pulang kehujanan, yang selalu mengomel jika ia melewatkan jam makan siang."Aah, Kiyara! Kamu ada dimana, Sayang?" Bia
Kiyara sedang mengangkat jemuran ketika ponselnya berdering. Dengan sigap, Kiyara mengambil benda pipih itu di atas nakas.K: "Halo?"M: "Selamat Sore, Bu. Ini saya, Maryono, Bu."Wajah Kiyara seketika cerah.K: "Bagaimana kabarnya, Mar?"M: "Baik, Bu. Bapak sekarang sudah kembali bekerja di pabrik, Bu. Sejak tiga hari yang lalu. Pulang dari rumah sakit langsung ke pabrik, tapi hanya sebentar. Saya mengingat pesan Ibu untuk menjaga bapak."Kiyara mengangguk puas. Ia harus memberi sesuatu kepada pemuda itu karena sudah bersedia menjaga suaminya dengan begitu tulus.K: "Terima kasih, ya? Saya tidak tahu harus bagaimana untuk berterima kasih sama kamu?"M: "Oh-Tentu tidak , Bu. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan bapak. Bapak sudah sangat baik kepada kami, sudah seyogyanya kami membalas kebaikan bapak."K: "Sampaikan ucapan terima kasih saya kepada teman-teman kamu di sana."M: "Baik, Bu. Eng-..."Kiyara menangkap sesuatu yang ingin diutarakan Maryono, tapi pemuda itu tampaknya rag
Kiyara menatap Bian yang masih terlelap. Ada rasa bersalah yang dirasakan Kiyara melihat suaminya yang terbaring lemah di hadapannya. Namun, sebuah kilatan amarah melintas di kedua netranya."Lihat, Mas! Saat kau sakit seperti ini, dimana mereka yang kamu beri bantuan kemarin? Dimana mereka saat kamu menderita seperti sekarang? Datang melihat pun tidak. Mereka sama sekali tidak peduli denganmu, Mas. Mereka hanya peduli dengan perut mereka sendiri. Mereka mendekatimu hanya saat kamu punya uang."Kiyara menghembuskan napasnya. "Tapi mengapa ... Mengapa kau justru lebih mendengarkan mereka yang memanfaatkanmu? Kau justru lebih memilih mereka daripada keluargamu sendiri? Aku dan anak-anak justru kau abaikan. Kau lebih mementingkan mereka daripada kami?"Terdengar sedikit isakan tapi itu hanya sebentar. Kiyara menyeka air mata yang sempat memenuhi sudut matanya. "Semoga Mas bisa segera sembuh. Ada banyak kebenaran yang harus Mas ketahui. Jadi, jangan menyerah."Selama tiga hari, Kiyara menj
"Lagipula Kiyara, apakah kamu rela ada perempuan lain yang menggantikan posisimu di sisinya? Bian itu ganteng loh. Tante berani taruhan, pasti dulu banyak yang ngantri untuk jadi istrinya." Melina terus berusaha meyakinkan Kiyara.Kiyara hanya menyimak penuturan wanita paruh baya itu. Ia tidak lagi berani membantah. Tidak mudah bagi Kiyara untuk melupakan semua kejadian masa lalunya bersama Bian. Sikap Bian yang membuat dirinya mengajukan cerai, sungguh meninggalkan luka mendalam di hatinya."Udah, Ma. Setidaknya, biarkan Kiyara berpikir dan menenangkan dirinya dulu. Bian juga sekali-kali harus dipaksa mikir. Dia juga keterlaluan. Mama bayangkan sendiri, jika Papa seperti Bian, apakah Mama bisa bertahan sampai sejauh ini seperti Kiyara?"Melina setuju. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Bian dan Kiyara. Perpisahan sementara ini bisa jadi salah satu cara untuk keduanya saling memahami satu sama lain. Utamanya untuk Bian. Pria itu tampaknya harus merasakan kehilangan dulu baru bisa
Bian masih duduk terpengkur di kursi makan. Pandangannya keosong. . Hingga pagi ini, Kiyara belum juga kembalil. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa.Di saat pikirannya melayang entah kemana, mencari sosok Kiyara di sela ingatannya beberapa hari yang lalu, sebuah pesan masuk membuat Bian terlonjak dari duduknya."Pak Bian. Saya mau order mukena sebanyak 50 puluh kodi. Motif yang saya pillih akan saya kirim segera. Saya juga akan mengirim tanda jadi sebesar tiga puluh persen di awal, tiga puluh persen saat barang akan dikirim, dan sisanya akan saya bayar setelah barang dalam perjalanan."Bian hanya membaca pesan itu dengan ekspresi datar. Tidak seperti biasanya. Ia akan melonjak kegirangan lalu lari mencari Kiyara,dan langsung menghambur memeluk istri tercintanya itu.Jumlah order yang tertera di layar ponselnya tidak dapat mengusir kesedihannya. Apalah arti pesanan besar tetapi ia tidak memiliki seorang pun untuk berbagi kebahagiaan.Ponsel Bian berdering. Bian hanya mengabaikannya
Kiyara melipat kertas itu menjadi empat lalu memasukkannya ke dalam sebuah amplop berwarna coklat. Ia letakkan di dalam laci. Ia tidak memberikan tulisan di amplop. Sengaja hal itu dilakukannnya agar Bian menemukan surat itu setelah beberapa hari kepergiannya.Ini bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan Kiyara. Namun, ia sudah tidak menemukan cara lain. Bila ia memberitahu Bian jika ia akan pergi ke luar kota, maka pria itu pasti akan melarangnya. Padahal, Kiyara sangat butuh waktu untuk menyendiri. Kiyara sudah tidak ingin lagi berdebat dan ribut dengan Bian. Tenaganya seperti terkuras habis setiap beradu kata dengan pria itu. Percuma dan percuma. Tidak ada gunanya. Mobil taksi yang dipesannya tadi pagi sudah mulai berjalan meninggalkan rumahnya. Mereka bergerak menuju sekolah Ayu dan Bagas. Kiyara turun dari mobil, kemudian berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke ruangan kepala sekolah. Ia setidaknya harus mengucapkan salam perpisahan kepada pihak sekolah.Tiga puluh m
Kiyara dibuat terpaku mendengar pertanyaan Ayu. Bagaimana ia menjelaskan semua pada bocah kecil di depannya?Ayu masih sabar menanti jawaban Kiyara. Ia merasa sangat perlu untuk mendengar jawaban ibunya. Akan tetapi. Wajah Kiyara yang berkerut memupuskan keinginannya. Ayu berdiri dari duduknya. Ia melangkah pelan meninggalkan Kiyara yang masih bingung memulai penjelasannya. Wanita itu takut, Ayu justru menjadi semakin bingung menghadapi situasi ini.Sudut mata Kiyara menangkap sosok Ayu yang mulai menjauh darinya. "Mama masih sayang sama Papa."Ayu menghentikan langkahnya. Bocah itu meragukan pendengarannya. Benarkah ibunya mengatakan itu?"Mama masih sayang sama papa. Tapi, Mama perlu waktu untuk menenangkan diri, begitu juga dengan papa. Semua itu demi kebaikan kita semua. Oleh karena itu, Mama memberikan pilihan seperti kemarin, dan apapun pilihan Ayu dan Bagas, Mama tidak akan marah atau pun menyesal. Jika kalian memilih untuk ikut Mama, maka kalian masih bisa menelpon papa. Beg
Kiyara menata koper-koper sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan kecurigaan Bian. Ia pun melakukan tugasnya seperti biasa. Uang tabungannya pribadi cukup untuknya bertahan selama enam bulan, termasuk semua kebutuhan untuk Bagas dan Ayu. Ia memang menyimpan hasil usaha sampingannya.Kiyara membuat berbagai aksesoris perhiasan dari manik-manik dan kawat, untuk menyalurkan hobinya membuat kerajinan tangan, dan mewujudkan cita-citanya sebagai jewelery desainer. Dari pelanggan yang sedikit, kini ia sudah memiliki banyak pelanggan.Kiyara menyapu semua ruangan rumah yang telah ia tempati selama hampir delapan tahun, dengan netranya yang kini berwarna kemerahan. Niatnya sedikit goyah mana kala kenangan demi kenangan hadir di pelupuk matanya. Canda tawa serta tangisan Ayu dan Bagas terngiang di telinganya, membawa dirinya kembali ke beberapa waktu silam.Kiyara menarik napas panjang. Berat memang tapi setidaknya ia perlu waktu untuk menyendiri, memikirkan semua dengan hati dan pikiran yan