Share

2. Jawaban

last update Last Updated: 2022-02-24 19:43:46

Kiyara mulai mencuci beras yang hendak ia olah menjadi bubur. Sesaat sebelum menyalakan kompor gas, ia memperhatikan indikator gas yang nyaris menyentuh garis merah. Badannya langsung merasa lemas. Jangan dulu, Tuhan. Jangan habis dulu. Ijinkan aku memasak bubur ini untuk makan malam suami dan anakku, bisik Kiyara sambil sedikit terisak.

Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop kompor gas. Matanya terpejam sebelum akhirnya bunyi klik terdengar. Ia membuka kedua matanya dengan perlahan. Api biru menyala, menjilat-jilat pantat panci yang berisi air dan beras yang sudah ia beri bumbu sebelumnya. Diaduknya perlahan sambil bibirnya tak henti-hentinya merapal doa, berharap bubur itu matang sebelum akhirnya kompor itu mati.

Suara ketukan mengejutkannya. Ia buru-buru membukakan pintu, karena ia tahu jam-jam ini adalah waktu Bian pulang dari berkeliling menjual produknya. Wajahnya langsung ia tata sedemikian rupa, mengira-ira senyum manis yang akan ia tampakkan di hadapan suami tercinta. Wajah kuyu Bian langsung cerah begitu melihat senyum manis Kiyara menyembul dari balik pintu.

"Mas," sapa Kiyara lalu meraih tangan kanan Bian dan menciumnya dengan takzim.

Bian tersenyum sekaligus bersedih. Wanita secantik Kiyara belum juga bisa ia bahagiakan hingga detik ini. Harapannya untuk membawa pulang berlembar-lembar kertas merah kembali pupus. Ia hanya mampu membawa dua lembaran biru untuk hari ini. Diciumnya kening Kiyara dengan penuh perasaan sembari mengucap maaf berulang kali dalam hati.  

"Masak apa hari ini, Cantik?" panggilan sayang Bian setiap kali ia pulang ke rumah sehabis berkeliling seharian.

Dan Kiyara, meski sudah hidup bersama pria tampan itu selama sepuluh tahun, tetap saja tersipu malu mendengar sapaan suaminya.

"Bubur kare, Mas. Mas suka kan?" jawab Kiyara sembari menarik tangan Bian untuk masuk ke dalam dapur. Ia lupa jika bubur yang ia masak belum matang, dan saat langkah kakinya menapak di lantai dapur, api yang tadi menyala biru kini mulai meredup. Kiyara melepaskan tangan Bian dari genggaman tangannya, berjalan cepat menghampiri meja yang di atasnya terletak kompor yang tengah menyala dengan setengah harapan.

Kiyara kembali komat-kamit merapal do'a. Ia langsung meraih sendok yang sejak tadi memang berada di dalam panci. Beras yang tadi masih keras kini mulai tampak setengah matang, airnya pun sudah sedikit mengental dengan warna agak kekuningan. Aroma bumbu rempah menguar memenuhi dapur membuat perut Bian langsung bereaksi. Ia berjalan mendekati Kiyara. Ia paham mengapa istrinya tampak begitu panik. Dengan tenang, ia mengambil alih sendok yang dipegang oleh Kiyara.

"Sini, biar Mas yang mengaduk. Kamu buatkan Mas teh panas saja. Jangan terlalu manis, ya?!" ucap Bian dengan suara lembut. 

Kiyara terdiam. Usahanya untuk menutupi agar Bian tidak tahu jika gas yang ia gunakan untuk memasak bubur sore itu hampir habis, gagal. Suaminya itu tahu, dan kini justru menggantikan dirinya mengaduk bubur yang seharusnya sudah siap di meja makan dan menunggu untuk disantap bersama.

"Kok malah diam di situ? Udah sana, nggak apa-apa. Nggak akan kualat, kok." Bian menatap heran Kiyara yang tetap bergeming di tempatnya.

"Kiya??!" panggil Bian untuk kesekian kalinya, membuat Kiyara mengangguk-angguk menutupi rasa malunya. Dengan cepat, ia membuat segelas besar teh panas dan menghidangkannya di meja makan. Ia pun menyiapkan mangkok-mangkok berukuran beserta sendoknya, lalu meletakkannya di meja makan. 

"Sudah matang buburnya. Mas tinggal mandi dulu, ya. Kamu siapkan di atas meja dan panggillah anak-anak untuk makan malam bersama," ucap Bian ke luar dari dapur dan melangkah ke kamar mandi. 

-0-

"Ma, Boleh nambah buburnya lagi nggak?" tanya Ayu, anak sulungnya yang berusia 7 tahun bertanya kepada Kiyara saat mangkoknya sudah kembali kosong.

"Bagas juga mau, Ma." Bagas, adik Ayu berusia 5 tahun, menyerahkan mangkok kosongnya pada Kiyara.

Kiyara tersenyum. Tidak apalah. Biarlah anak-anakku menghabiskan bubur yang masih setengah itu, besok makan apa biarlah jadi urusan esok hari, batin Kiyara. Bubur itu sengaja ia bagi dua, rencananya akan ia sisihkan untuk sarapan pagi besok. Namun, melihat kedua anaknya masih kelaparan, mau tidak mau naluri keibuannya terusik. Nanti malam, ia akan melaporkan kepada suaminya tentang tempat beras yang kini sudah kosong melompong.

Bian sudah lebih dulu menghabiskan buburnya. Kini pria itu tengah beristirahat di ruang tamu, sedangkan Kiyara menemani kedua anaknya menyelesaikan makan malam mereka.

"Habis ini lanjutkan belajar kalian ya, terus siapkan pelajaran besok lalu berangkat tidur," ujar Kiyara sembari membereskan meja makan kepada Ayu dan Bagas.

"Iya, Ma," jawab keduanya serempak, melangkah meninggalkan meja makan, masuk kembali ke kamar mereka.

Kiyara bergegas mencuci semua piring kotor lalu menyusul Bian ke ruang tamu. Dilihatnya pria tampan itu masih berkutat dengan ponselnya. Ia tahu jika suaminya itu kelelahan namun pria itu tidak lantas tidur, mengistirahatkan tubuhnya. 

"Nggak tidur, Mas?" Kiyara menghampiri Bian yang tidur di kursi panjang dengan kepalanya menyandar di lengan kursi yang sudah diberinya bantal.

Bian berdeham dan menggeleng. "Belum ngantuk," jawabnya singkat. Jarinya kembali sibuk mengetik kata-kata penawaran di toko online miliknya.

"Sudah ada yang pesan?" Kiyara mengangkat kedua kaki Bian lalu duduk di bawahnya, meletakkan kedua kaki suaminya itu diatas pangkuannya. Ia mulai memijat-mijat kaki Bian.

"Kamu kok tahu kalau kaki Mas pegal sekali," ucap Bian sembari memejamkan mata menikmati pijatan demi pijatan yang diberikan Kiyara. Ia menghela nafas lalu menggelengkan kepalanya."Belum deal, sih. Masih nanya-nanya dulu."

Kiyara menganggukkan kepalanya dan tidak lagi mengajukan pertanyaan. Setelah diam sejenak, wanita cantik itu menghentikan pijatannya. Bian mengangkat kepalanya, melihat ke arah istrinya yang kini tengah menundukkan kepala sedang jari-jarinya saling memijat satu sama lain. Bian segera menurunkan kakinya dari pangkuan istrinya. Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Kiyara.

"Ada apa?" Bian menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi kedua mata lentik Kiyara. Pria itu lalu bangkit dari duduknya, melangkah ke dalam menuju ke kamar lalu kembali lagi. Ia lantas membuka dompetnya dan mengeluarkan lembaran biru dan meletakkannya ke dalam genggaman tangan Kiyara. 

"Hari ini baru bisa bawa segini. InsyaAllah, besok bisa dua kali lipat dari ini." Bian tersenyum melihat Kiyara mengangkat wajahnya."Tidak apa-apa kan?" Bian kembali membetulkan letak rambut Kiyara yang melambai menutupi wajah cantik istrinya itu.

Namun wajah Kiyara masih tampak sendu, memancing kernyitan di kening Bian. "Ada masalah lain?" Ia terus memperhatikan wajah istrinya. Tidak biasanya istrinya diam seperti ini ketika ia memberi uang hasil jualannya hari ini.

"Itu... Jawaban. Kak Ardi menantikan jawaban kita. Tadi bolak balik telpon, tapi Kiya nggak berani mengangkat."

"Lah? Nggak angkat telponnya tapi kok bisa tahu kalau Kak Ardi menagih jawaban kita?" Bian menatap Kiyara dengan penuh tanya. Apakah iparnya itu akhirnya datang lagi ke rumah ini setelah panggilan telponnya tidak diangkat Kiyara.

"Apa Kak Ardi datang lagi kemari?"

Related chapters

  • Marrying You (Again)   3. Lupakan

    Bian menanti jawaban Kiyara. Ia merasa seperti sedang mendapat ancaman, merasa jika hidupnya sedang diawasi dan dinilai oleh para saudara iparnya. "Nggak. Nggak datang kemari, tapi, lewat pesan singkat." Kiyara akhirnya membuka mulutnya. Wanita itu kembali menundukkan wajahnya. Jujur, setelah membaca pesan yang dikirim oleh kakaknya, hati Kiyara justru tidak tenang dan emosinya malah terpancing. 'Aku tersinggung dengan perkataan mereka, tapi ketika aku berteriak mengatakan jika mereka telah menyinggungku, mereka tidak terima. Mereka justru mengatakan jika aku sudah terlebih dulu menyinggung mereka dan begitu tak tahu malu. Aku jadi bingung sendiri. Bagian mana yang sudah menyinggung mereka. Jika kami, aku dan suamiku memiliki pendapat berbeda dengan mereka, mereka lantas mengatakan kami sok, sok bisa mengatasi semuanya. Lantas, kami disuruh apa? Apakah kami tidak boleh mengatakan apa pun dan merasakan apa-apa begitu? Apakah mereka menganggap aku dan suamiku sebuah boneka? Apaka

    Last Updated : 2022-03-01
  • Marrying You (Again)   4. Ceraikan Dia!

    Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati."Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya."Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-

    Last Updated : 2022-03-03
  • Marrying You (Again)   5. Sepakat Untuk Bercerai

    Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak, tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak."Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri."Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera

    Last Updated : 2022-03-12
  • Marrying You (Again)   6. Apakah Kalian Sanggup?

    Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar

    Last Updated : 2022-04-08
  • Marrying You (Again)   7. Tidak Perlu

    "Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in

    Last Updated : 2022-04-17
  • Marrying You (Again)   8. Pesanan Dadakan

    Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida

    Last Updated : 2022-04-23
  • Marrying You (Again)   9. Telpon Yang Tak Diharapkan

    Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga

    Last Updated : 2022-05-09
  • Marrying You (Again)   10. Ujian Untuk Kiyara

    Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah

    Last Updated : 2022-05-10

Latest chapter

  • Marrying You (Again)   21. Ayo, Kita Bercerai, Mas.

    Kiyara akhirnya mengucapkan kata itu. Ia sudah tidak tahan lagi. Bian selalu saja mengulangi perbuatannya. Pria itu memang tidak berselingkuh, tapi selalu mengabulkan permintaan Murni dan mengabaikan keperluan anak-anaknya sendiri.Salahkah jika Kiyara memendam rasa cemburu yang sangat, sekaligus sakit hati yang sudah membuat luka di dalam hatinya tak kunjung hilang?"Ayo, kita bercerai saja, Mas. Dengan bercerai, Mas bisa bebas melakukan apapun yang Mas suka. Toh, semua saran, masukan dan peringatan dari Kiya tidak ada gunanya sama sekali.""Aku tidak mau!""Kiya sudah capek, Mas. Mas hanya mendengarkan Kiya ketika Mas membutuhkan Kiya saja. Lebih dari itu, tidak ada." Susah payah Kiyara mengatakan hal yang sebenarnya sangat tidak ingin ia ucapkan. Namun, kekecewaannya sudah sangat besar. Ia sudah tidak mau berbasa-basi lagi."Kiya!" bentak Bian. Kali ini, Kiyara benar-benar sudah memojokkannya. "Apa, Mas? Kiya salah? Katakan dan tunjukkan bagian dari perkataan Kiya yang salah."Bia

  • Marrying You (Again)   20. Bercerai

    Murni membolak-balikkan amplop putih yang disodorkan Bian. Alisnya berkerut dan nyaris saling bertautan satu dengan yang lain."Apa ini?" Ia menatap Bian, mencoba mengabaikan Kiyara yang menyeruput jus alpukat yang baru saja dihidangkan pelayan. Sayangnya, ia tidak berhasil. Sudut matanya justru terus mencuri-curi pandang ke arah Kiyara. Iparnya yang imut dan cantik."Maaf. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu." Kata-kata Bian menusuk hati Murni, membuat wanita itu panik. "Bagaimana bisa? Kamu sudah berjanji padaku akan mengabulkan permintaanku hari itu. Dan itu-itu tidak bisa dibatalkan begitu saja. " Murni ngotot. Ia sudah kepalang basah mengharapkan pinjaman Bian."Aku salah. Seharusnya aku tidak menyetujui permintaanmu begitu saja.""Tidak bisa! Kamu harus tetap melakukannya," seru Murni dengan nada tinggi dan memaksa.Kiyara masih diam di tempatnya. Isi gelasnya tinggal separuh. Ia memutar sedotannya searah jarum jam sesuka hatinya. Belum ada niatnya untuk bergabung dalam pembi

  • Marrying You (Again)   19. Morning Kiss

    Kiyara menggeliatkan tubuhnya. Matanya terasa sangat berat dan lengket. Ia membuka kedua matanya dengan susah payah. Diambilnya cermin kecil yang kebetulan tergeletak di meja di sampingnya. Ia menemukan keduanya bengkak. Kiyara bergegas pergi ke dapur, mengambil semangkuk air hangat untuk mengompres matanya. Suara gemericik air dari kamar mandi membuat Kiyara mempercepat langkahnya, kembali ke kamarnya. Ia melirik jam dinding yang ada di dapur. Jarum jam berhenti di angka 2, dan itu membuat Kiyara semakin mempercepat langkahnya. Ia langsung bersembunyi di balik selimut, dan berusaha memejamkan kembali kedua matanya. Pintu kamarnya dibuka dari luar. Aroma segar menguar menembus penciuman Kiyara. Kiyara berusaha tenang. Ia diam tak bergerak, dan berusaha mempertajam pendengarannya. Bagian kanan kasur yang ia tiduri, melesak ke dalam, dan itu membuat tubuh Kiyara mengirim peringatan ke seluruh tubuhnya.Ia ingin istirahat, dan tidak mau diganggu siapa pun. Hati dan perasaannya yang lela

  • Marrying You (Again)   18. Biarkan Aku Pergi

    "Mau kemana?" Bian menghadang Kiyara yang sudah menyeret koper dan mengenakan tas ranselnya. "Pergi." Kiyara tidak ingin berpanjang-panjang menjawab pertanyaan Bian. "Pergi kemana? Rumah kamu di sini, bukan di tempat lain." "Ini bukan rumah Kiya lagi." "Maksud kamu apa, Kiya?" Bian sudah mulai terpancing. "Tidak ada apa-apa. Tolong biarkan Kiya pergi. Kiya sudah tidak ada tempat lagi di sini." "Jangan bicara yang tidak-tidak. Kamu tetap di sini dan tidak boleh keluar sejengkal pun!" Kiyara tertawa sumbang. Wanita itu menatap Bian dengan tatapan nanar. Bian merasa sangat asing dengan istrinya saat ini. Tanpa disadari Kiyara, bulir air mata sudah terbentuk di kedua sudut matanya. "Kiya...." Bian melunak. Ia tersadar ketika buliran itu mulai jatuh membasahi pipi istrinya. Pria tampan itu berjalan mendekat. Tangan kanannya terulur ke depan berusaha menyentuh bahu Kiyara, tapi Kiyara dengan cepat menepisnya. "Kiya..." Bian terkejut dengan sikap dingin Kiyara. "Ada apa? Apakah aku

  • Marrying You (Again)   17. Lelah Kiyara

    Murni menatap Bian. Ia sudah tidak sabar lagi, menanti uang yang dijanjikan Bian beberapa waktu yang lalu, berada di tangannya sore ini. "Aku ... batalkan perjanjian itu." Jawaban Bian sontak membuat Murni berteriak tidak terima. "Apa!!! Tidak! Kau tidak boleh membatalkan janjimu! Kau sudah berjanji padaku untuk memberikan uang itu, hari ini. Kau tidak bisa membatalkannya!" Murni berteriak-teriak tidak terima. "Kakak ipar!" bentak Bian mengingatkan. Reaksi Murni sungguh diluar sangkaan Bian. "Mengapa kakak jadi kesetanan seperti itu? Aku berhak membatalkannya, karena hal itu bisa merusak hubunganku dengan Kiya." "Tetap tidak bisa! Kau seharusnya sudah tahu resiko itu sejak awal. Seharusnya kau sudah tahu akan seperti apa Kiyara, tapi nyatanya kau tetap saja memberikan uang itu kepada kami! 'Memberikan?' Bian menatap Murni. "Aku tidak pernah berniat untuk memberikan uang-uang itu kepada kalian. Akadnya sudah kuperjelas dari awal, bahwa itu berupa pinjaman atau hutang, bukan pembe

  • Marrying You (Again)   16. Ipar Tidak Tahu Diri

    Kiyara menatap tajam Murni. Ia tergelitik dengan pernyataan wanita itu barusan. "Apa maksudmu?" Murni tergelak. Ia merasa di atas angin. "Mengapa kau tidak sadar juga? Bian lebih memilih saudaranya ketimbang kau, wanita udik murahan!" Hardikan Murni berhasil memancing percikan emosi dalam diri Kiyara. Wajahnya memerah. Kepalanya berputar mencari alasan nenek sihir di depannya mengucapkan kalimat hinaan itu. Wanita cantik itu maju selangkah demi selangkah. Gerakan Kiyara tertangkap oleh sudut mata Murni. Wanita itu tersenyum mengejek. Rencananya berhasil. Dengan demikian, Kiyara akan membukakan pintu gerbang itu untuknya. Ia tidak berpikir jika setelah ini akan ada kejadian mengerikan yang menantinya. "Katakan sekali lagi!" Suara Kiyara terdengar sedikit bergetar. Jangan ditanya berapa besar usaha Kiyara menahan amarahnya. Buku-buku jarinya memutih akibat kepalan tangannya yang mengeras. Ia perlahan melangkahkan kakinya, semakin mendekati Murni. "Kau ingin aku mengulang yang m

  • Marrying You (Again)   15. Pria Berhati Emas

    Teriakan Bian membuat Kiyara terkejut setengah mati. Ia lantas lari menuju kamar mereka, melihat sang suami tengah terbelalak memandangi layar ponsel di tangannya. "Ada apa, Mas? Kenapa pakai teriak seheboh itu?" tanya Kiyara setengah bersungut mendekati Bian. "Lihat! Coba kamu lihat ini! Apa ada masalah dengan mata Mas?" Bian memberikan ponselnya kepada Kiyara yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, lalu mengucek kedua matanya berulang. Dengan wajah yang masih kesal, Kiyara menerima ponsel Bian. Tak sampai satu menit, kini giliran Kiyara yan berteriak heboh. "Maaas!" "Iya. Mas masih di sini. Benarkah itu atau apa?" Bian menatap layar ponsel yang sama dengan yang ditatap Kiyara. Kiyara menatap Bian. "Tidak tahu. Kalau mau tahu bener atau nggaknya ya harus cek saldo, Mas." Lalu, wanita itu diam sejenak. "M-Banking!" seru Kiyara begitu tiba-tiba, membuat Bian membesarkan kedua bola matanya. "Ah iya-iya. M-Banking. M-Banking. Sini ponselnya." Jemari Bian dengan lincah membuk

  • Marrying You (Again)   14. Menolak Pesanan

    Atmaja tidak berani mengucap sepatah kata pun. Pria berusia lebih dari enam puluh tahun itu,, diam membisu di tempat duduknya. Di dalam hati kecilnya sendiri, terjadi perang batin sejak menantunya itu melahirkan bayi cantik yang kemudian diberi nama Ayu. Hati kecilnya sangat ingin menimang bayi kecil itu, namun entah karena telah termakan hasutan kiri dan kanannya, maka hingga Bian memiliki satu lagi bocah kecil, yang berparas tampan bernama Bagas, Atmaja lebih memilih untuk membangun tembok tinggi dengan kedua cucunya itu. Cucu yang tidak bersalah dan tidak ingin mencari tahu, mengapa sikap sang kakek begitu berbeda terhadap mereka berdua. "Ayo, Mas. Kita pulang. Malam sudah semakin larut. Kasihan Ayu sama Bagas. Nanti mereka kedinginan terkena angin malam." Kiyara mulai membawa Bagas yang sudah jatuh tertidur di sofa, ke dalam pelukannya. Tidak ada lagi hal yang ditunggu oleh Bian. Permintaannya juga sudah ditolak mentah-mentah di awal pembicaraan mereka. Ajakan Kiyara adalah yang

  • Marrying You (Again)   13. Kebenaran Yang Terungkap

    Kiyara duduk mematung di samping Bian. Berulang kali mengigiti bibirnya, merasa gundah. Berita bahagia yang baru saja ia terima, harus secepat itu sirna karena kenyataan yang ada di depan mereka. Mereka tidak punya modal untuk menerima order itu. Helaan nafas panjang terdengar silih berganti antara Kiyara dan Bian. Lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Kiyara menjentikkan jarinya ke udara. Wanita itu melirik ke arah suaminya yang masih saja menatap kosong langit-langit ruangan itu. "Mas, mengapa tidak meminjam pada papa dan saudaranya mas?" Kiyara mencoba memberi solusi. Ia pikir ini adalah jalan terbaik daripada meminjam uang ke bank, meski dalam hatinya ada keraguan yang sangat besar. Tidak ada salahnya mencoba, meski mungkin jawaban yang sama akan kembali mereka terima. Bian langsung bangun dari tidur rebahannya. Wajahnya sedikit mengendur, tidak lagi tegang seperti sebelumnya. Ada senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. "Ide bagus. Aku akan da

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status