Anyelir mondar-mandir di kamarnya dengan perasaan gelisah. Sudah sejak kemarin gadis itu tidak mau keluar kamar dan menolak makan. Damian bahkan kebingungan dengan tingkahnya yang tidak seperti biasa.
'Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi ....'Gadis dengan piyama ungu itu melempar ponselnya ke ranjang dengan perasaan marah. Papanya kemana? Sudah satu minggu dan dia belum dijemput juga untuk pulang. Bahkan, pria itu sudah tidak meneleponnya lagi.Dia jarang sekali jauh dari Papanya begini. Jadi, rasanya aneh dan menyebalkan saat Anyelir tidak melihatnya dalam jangka waktu yang lama.Tok ... tok ... tok ..."Siapa?" tanya gadis itu begitu mendengar suara ketukan pintu di luar kamarnya."Kalau Bi Wati yang mau nyuruh aku sarapan, balik aja ke dapur. Aku nggak mau," jawab Anyelir begitu tidak mendengar suara apapun lagi."Boleh masuk?"Menyadari orang yang ada di sana, Anyelir segera membukakan pintu. Damian berdiri di sana dengan wajah khawatir begitu Anyelir membuka pintu."Kenapa, Om?" tanya Anyelir yang Damian sadari tidak sesemangat biasanya."Kenapa kamu nggak makan sejak kemarin? Nanti kamu sakit, Anyelir." Damian bertanya cepat.Anyelir diam. Sepersekian detik kemudian berbalik dan segera duduk di kasur kamarnya. "Biarin aja," jawab gadis itu tidak peduli.Damian mendengkus. Duda tampan itu berjalan mendekat dan berdiri sambil berkacak pinggang di depan Anyelir."Biarin aja apanya? Kalau kamu sakit memangnya siapa yang repot? Terus kalau kamu sakit, ntar aku dikira nggak becus ngurus kamu sama Pak Ardi."Mendengar nama Papanya disebut, seketika mata Anyelir memanas. Tanpa dapat dicegah, tangis gadis itu pecah. Damian yang kaget dengan reaksi tiba-tiba Anyelir, kontan ikut duduk dan memeluknya menenangkan."Kenapa? Kok nangis?" tanya Damian panik sekaligus bingung.Meski mengesalkan dan merepotkan, Damian selalu tidak tega kalau melihat anak kecil menangis di depannya seperti ini. Mata pria itu menyorot Anyelir lekat berikutnya mengapus air mata di pipi gadis itu."Kenapa? Hm?" tanya Damian lagi. Dengan nada paling lembut yang tidak pernah Anyelir dengar keluar dari mulut pria itu sebelumnya."Papa kemana, Om? Kapan mau jemput aku? Aku mau pulang," tanya Anyelir sambil menangis lagi."Ooh ... kamu rindu Om Ardi? Tenang aja ish, hari ini dia pulang kok. Hari ini pasti dia jemput kamu, kan udah seminggu. Tadi malam juga dia habis ngabarin aku," jelas Damian mencoba menenangkan.Mata Anyelir berbinar senang. Tapi, sepersekian detik kemudian kembali digenangi air mata."Kok malah Om yang dikabarin?! Seharusnya aku, anaknya aku atau Om sih?!" tanya Anyelir ngegas membuat Damian tertawa geli."Kamu ini, masak cemburu sama aku sih? Ya jelas lah anaknya kamu, kalau anaknya aku, nggak mungkin tiap hari nelepon cuma buat nanyain anak bandelnya udah makan tengah malem apa belum," jawab duda tampan itu sambil terkekeh."Seharusnya kan dia nelepon aku, kan aku rindu." Anyelir cemberut.Damian yang gemas dengan ekspresi cemberut gadis itu, kontan menjawil pipi tembang Anyelir dan mengeluarkan ponsel dari saku celana."Nih, coba telepon lagi. Btw Papamu bukannya nggak rindu, malah kayaknya dia yang paling rindu. Tapi ... ya gitu. Katanya dia nggak mau ngomong langsung sama kamu, soalnya kalau denger suara kamu pasti dia pengen langsung pulang."Mendengar alasan yang diberikan Damian, Anyelir merasa sedikit lega. Tadi dia sempat berpikir bahwa Papanya bertemu calon istri baru dan meninggalkannya di sini. Tapi, pikiran buruknya ternyata jauh sekali dari kata benar."Coba teleponin, Om." Anyelir meminta sambil kembali menyodorkan ponsel pria itu pada pemiliknya.Damian segera menelepon Pak Ardi. Beberapa detik, panggilan tersambung dan berdering. Lalu, beberapa menit kemudian, panggilan diangkat.Tidak memberikan ruang untuk Damian sekedar bilang 'Hallo', Anyelir sudah lebih dulu menyabet ponselnya. Gadis itu tersenyum kelewat senang begitu mendengar suara sang papa."Halo ... Papaaaa!"Damian yang mendengar rengekan gadis 19 tahun itu, hanya bisa menggeleng tidak habis pikir. Ini Anyelir beneran 19 tahun atau bukan sih? Kok kelakuannya kayak bocah SD yang sedang merengek minta minum es di musim hujan?"Anyelir ... apa kabar, Nak? Aih akhirnya Papa bisa denger suara kamu," ucap Pak Ardi terdengar terkejut sekaligus senang di seberang sana.Anyelir menggigit lidahnya guna menahan teriakan saking senangnya. "Anye baik kok, Pa. Aih Papa! Kenapa teleponan sama Om Duda tiap hari? Kenapa nggak telepon Anye aja tiap hari? Anye tiap hari sengaja nggak matiin data soalnya ngira Papa mau chat Anye lewat WA loh! Papa malah nggak ngechat sama sekali, sesibuk apa sih di sana sampai lupain Anye? Nggak asik ish! Kapan pulaaaang?"Damian melongo mendengar kalimat kelewat panjang gadis di depannya. Tapi, duda tampan itu lagi-lagi cuma diam saja. Pikirnya, sebahagia Anyelir saja. Lagian dia lebih suka melihat gadis pendek itu heboh begini daripada mengurung diri di kamar dan tidak mau makan."Papa udah sampai bandara kok, Anye. Sebentar lagi mau jemput kamu ke rumah Nak Damian ini loh. Tunggu ya!" Anyelir melotot kaget begitu mendengar kalimat Pak Ardi.Segera melirik Damian, gadis itu menatap pria itu penuh permohonan. "Ayok ke bandara, Om. Anterin aku!" pinta Anyelir memelas."Mau ngapain?" tanya Damian mengernyit heran."Jemput Papa dong, yakali jemput turis. Dikira aku ini pemandu wisata apa?" tanya Anyelir malah ngegas.Duda tampan itu memutar bola mata malas. "Nggak, Pak Ardi langsung ke sini kok ntar. Nggak usah nggak sabaran gitu!""Duduk yang anteng di rumah Nak Damian, Sayang. Beberapa saat lagi Papa pasti sampai sana. Makannya sekarang mandi terus ganti baju dulu gih, siap-siap buat pulang. Pasti sekarang kamu masih pakai piyama, 'kan?" Mendengar kalimat sang papa, Anyelir nyengir."Enggak kok, Pa. Anye sudah mandi ya!" sanggah Anyelir malah berbohong.Damian yang mendengarnya, kontan mendelik tidak suka. Segera menyabet ponselnya, pria itu menempelkan benda pipih itu di telinga."Bohong itu, Pak Ardi. Dia susah kalau disuruh mandi. Kalau nggak jam 10, dia nggak akan lepad piyama. Bahkan kadang meski ganti baju, dia mandinya sore. Anak gadis mana boleh kayak gitu kan ya?"Anyelir cemberut begitu mendengar aduan Damian pada Papanya. Segera menyabet ponsel pria itu lagi, Anyelir menyembunyikannya di belakang tubuh."Om Duda nggak boleh ngomong gitu sama Ayah!" tegur Anyelir galak."Aku kan cuma ngomong fakta," jawab Damian santai."Halo ... Pa. Awas aja ya kalau Papa percaya sama omongannya Om Duda! Dia bohong itu! Mana ada aku mandi sore, ngawur dia itu. Papa lebih percaya aku kan daripada dia?" tanya Anyelir cerewet."Iya-iya, yasudah sana mandi. Taksi Papa sudah sampai ini.""Okey, Papa!"Begitu sambungan telepon terputus, Anyelir menyodorkan ponsel Damian dengan wajah kelewat sumringah. Saking senangnya, gadis itu bahkan sudah naik ke atas kasur dan meloncat-loncat di sana kegirangan.Damian cuma bisa menggeleng-geleng heran."Sana mandi, Anak kecil! Kamu juga belum sarapan. Jangan sampai Pak Ardi ngira aku nelantarin anaknya di sini." Damian menitah sambil menarik ujung baju Anyelir dari sisi ranjang.Anyelir berpikir sejenak. Berikutnya, gadis itu turun dari kasur dan tersenyum makin lebar."Karena hari ini hari terakhir aku tinggal di rumah Om, yaudah deh aku nurut aja."Berikutnya, gadis berpiyama ungu itu berjalan dan menghilang di ambang pintu kamar mandi.Anyelir sudah bersiap-siap dengan koper juga terusan pink selututnya sejak setengah jam lalu. Tapi, tidak ada tanda-tanda taksi yang membawa sang papa berhenti di halaman rumah Damian. Bahkan, saking tidak sabarannya, Anyelir meminta satpam rumah untuk membuka gerbang rumah sang duda tampan lebar-lebar. Kata Anyelir biar ia leluasa menghadap jalan. Katanya juga, biar Papanya tidak lupa jalan menuju rumah Damian dan tersesat masuk ke rumah orang lain. Memang alasan yang tidak masuk akal. Tapi, Damian membiarkan saja gadis cerewet itu bertingkah sesuka hati. Mumpung hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.Besok-besok, rumah Damian tentu saja bakal kembali damai dan sepi. Tidak seperti ketika Anyelir mendirikan perkemahan di ruang tengah. Tidak seperti ketika Anyelir menghancurkan dapur pukul 3 malam. Tidak seperti ketika gadis itu masih bisa keliaran di sini dan merecoki kehidupan Damian."Anye ... Papamu belum datang juga?" tanya Damian ikutan heran.Anyelir menoleh dengan mat
Damian menghela napas berat. Merasa kasihan sekaligus kebingungan harus membujuk Anyelir bagaimana lagi. Gadis yang kini duduk di lantai sambil memeluk lutut itu, terlihat kacau dan sangat berantakan.Tadi, sehabis menjemput jenazah Pak Ardi, gadis itu mengamuk lagi di sana. Polisi bahkan sampai kesusahan untuk mengevakuasi korban juga bekas kecelakaan karena Anyelir yang terus memeluk jenazah Papanya yang penuh luka.Akhirnya, dengan perasaan luar biasa tidak tega, Damian membawa paksa gadis itu untuk kembali ke rumahnya. Sudah cukup lama Damian menenangkannya tapi gadis itu terus melempar berbagai macam benda yang mampu ia gapai ke arah Damian.Anyelir baru bisa tenang saat Damian bilang jenazah sang papa bakal diurus dan diantar ke rumah Damian. Pria itu sangat kasihan melihat kondisi Anyelir. Gadis itu seperti orang yang kehilangan kewarasan semenjak mengetahui kematian Papanya. Bahkan, Damian kuwalahan untuk mengendalikannya."Kamu nggak mau ganti baju dulu? Bentar lagi jenazah Pa
Anyelir mengerjapkan mata guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Begitu matanya terbuka sempurna, hal pertama yang mampu gadis itu tangkap adalah langit-langit ruangan berwarna putih susu.Ini di mana? Sudah jelas ini bukan kamarnya ataupun kamar Damian. "Sudah sadar, Anye?" Begitu mendengar suara si duda tampan, Anyelir hendak menoleh tapi kepalanya malah terserang nyeri. Gadis itu memilih memejamkan mata lagi guna meredakan pening yang menghinggapi kepala. Lehernya terasa kaku dan tegang. Tubuhnya juga terasa remuk redam. Jangan tanyakan perutnya yang bergejolak tak mengenakkan serta tenggorokannya yang kering."Kenapa?"Pertanyaan dengan nada khawatir itu membuat Anyelir membuka kelopak mata. Begitu menemukan keberadaan Damian di depannya, gadis itu mengernyit bingung."Kamu di rumah sakit, kemarin kamu pingsan di pemakaman papa kamu," jawab Damian meski gadis itu tidak bertanya.Sejenak, gadis itu tertegun. Jadi, kematian Papa memang nyata, ya? Padahal hati kecil Anyelir
Anyelir memandangi Damian yang tengah mempersiapkan kepulangannya dalam diam. Sejenak, gadis itu tersenyum lega. Beruntung karena dipertemukan dengan orang sebaik duda tampan itu. Meski lumayan ketus dan galak pada Anyelir, pria itu selalu siaga satu kala ia membutuhkan atau menginginkan sesuatu."Ayo kita pulang, Anye." Damian mengajak sambil mendorong sebuah kursi roda ke depan gadis itu.Anyelir yang melihat benda itu, menggeleng keras."Aku nggak mau naik ini, dikira aku patah tulang apa? Pokoknya gamau," tolak gadis itu sambil bersedekap dada dan memalingkan wajah. Khas anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan impiannya.Damian memutar bola mata malas. "Emang kamu kuat jalan sampai mobil saya di luar?" tanya Damian yang dibalas Anyelir dengan gelengan.Dia tidak cukup punya tenaga meski hanya untuk berbicara dengan nada lantang. Apalagi berjalan sampai parkiran. Tubuhnya juga masih terasa lemas dan tidak bertenaga."Yaudah makannya, ayok naik ini aja!" titah Damian sa
Damian mengendarai mobilnya memasuki gerbang rumah. Setelah melewati banyak macam bujukan juga paksaan, akhirnya Anyelir mau ikut pulang dengannya ke sini lagi. Awalnya, gadis pendek itu keukeuh ingin tetap tinggal di rumahnya sendiri. Tapi, Damian tidak setuju. Karena di pertemuan terakhir ia dan Pak Ardi, pria itu menitipkan Anyelir padanya. Dia tidak mungkin juga tega membiarkan gadis ceroboh itu tinggal sendiri tanpa pengawasan.Tapi, Anyelir tetaplah Anyelir. Gadis itu selalu punya banyak macam cara untuk merepotkan Damian. Gadis itu bilang tetap bakal tinggal di rumahnya dan segera mencari pekerjaan untuk bertahan hidup sendiri. Kalau saja Damian tidak mengancam bakal memotong leher kucing betina kesayangannya, mungkin sekarang pria itu tidak bisa membawa Anyelir ke rumah ini lagi berikut kucingnya."Waaah ... Mama Dolly lapar, ya? Ayok kita cari makanan di kulkasnya Om Duda, di sana ada banyak snack loh, aku yang suka masukin ke freezer." Anyelir berucap sambil mengelus kepala
Damian baru saja membuka pintu kamarnya saat menemukan Anyelir tengah berlari hanya dengan berbalut handuk merah muda di lantai bawah. Dengan tidak pakai malunya, gadis itu mengenakan handuk pendek sambil mengejar kucingnya yang dari sependengar Damian, tidak mau mandi dan kabur di guyuran air pertama.Damian mungkin akan bersikap abai jika pakaian yang dikenakan gadis itu cukup sopan. Tapi, handuk dengan tinggi setengah paha juga hanya mampu menutup dada itu bukan hal yang sopan untuk gadis 19 tahun loh. Dia juga tahu gadis itu tepos. Tapi tidak usah pamer-pamer juga lah. Dikira Damian bakal peduli apa?"Anyeee ... setidaknya sana mandi dulu kamunya, urusan kucing biar belakangan!" tegur Damian mulai kesal sendiri melihat gadis itu yang tidak berhenti berlari.Anyelir menghentikan langkahnya. Tangannya berkacak pinggang berikutnya melenggang menaiki tangga lagi guna ke kamar mandi."Dasar Mama Dolly! Disuruh mandi kok nggak mau?! Kayaknya mau ngikut kakaknya yang bau," dumel gadis itu
"Kamu ngapain lagi, Anyeeee?" tanya Damian tidak mengerti begitu membuka pintu rumah.Gadis itu tidak apa-apa. Hanya saja, kewarasannya yang sangat apa-apa. Damian sudah capek-capek khawatir bahkan sampai terburu-buru pulang ke rumah, tapi gadis itu rupanya capek berperang dengan kebodohannya."Ish ... Mama Dolly tuh, Om!" adu Anyelir hampir menangis.Gadis itu masih sibuk terduduk di lantai ruang tengah dengan cat air yang tumpah di pakaian juga beberapa bagian lantai rumah. Damian berkacak pinggang. Matanya menyorot Anyelir menghakimi."Bersihkan sekarang atau leher Mamamu itu kugorok pakai gergaji?!" ancam Damian membuat gadis itu segera berdiri."Jangan gitu dong, Om! Bukan salah Mama Dolly kok, aku yang tadi mau warnain bulu dia pakai cat air warna biru, tapi dia nyakar terus lari. Terus pas ngejar dia aku kesadung habis itu kena beginian. Pokoknya jangan potong lehernya Mama Dolly! Aku bersihin sekarang kok," cerita sekaligus bujuk Anyelir dengan mata sudah hampir menangis.Damia
Setelah mengerahkan beberapa suruhannya, Damian mengetahui keberadaan Anyelir. Kemudian, pria itu bergegas keluar guna mencari keberadaan gadis itu secepatnya.Kalau dia tahu panggilan yang dilakukan Anyelir beberapa kali adalah bentuk permintaan tolong gadis itu, mungkin Damian tidak bakal mengabaikannya. Sekarang, dia juga merasa bersalah karena sempat merasa ingin gadis itu segera dewasa dan tinggal sendiri saja.Begitu sampai di sebuah hutan juga depan sebuah gubuk tua, Damian menepikan mobilnya. Pria itu keluar dengan mengendap-endap agar tidak ketahuan karena suara langkah kakinya.Menurut informasi, Anyelir berada di sana. Entah dengan alasan apa orang itu malah menculik gadis itu. Sejenak, Damian menahan gemelatuk giginya begitu berbagai bayangan hal buruk berputar di kepala. Kalau sampai terjadi sesuatu pada gadis itu, Damian tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.Dia sudah diamanahkan untuk menjaga Anyelir oleh Almarhum Pak Ardi. Bagaimana bisa pria itu lalai dalam menjag
"Pokoknya nggak mau tau! Nggak mau makan kalau nggak diseduhin mie instan!" Teriakan cempreng dari sang putri bungsu, membuat Anyelir berkacak pinggang. Perempuan itu mendengkus kesal sebelum kemudian beralih ke dapur."Azura! Jangan bikin Mama marah! Kata Papa, Mama lagi mode singa betina," bisik Elynca---sang putri sulung yang sayangnya tidak mirip bisikan. Karena Anyelir bahkan mampu mendengar 'bisikan' gadis kelas 1 SMP itu. Azura menoleh pada sang kakak kemudian memasang wajah memelas."Mintain mie instan ke Papa kalau gitu. Sana teleponin Papa, Kak Elyn!" Azura meminta sambil menarik-narik ujung baju kakaknya. Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas 4 SD tersebut bahkan hampir menangis hanya karena sebungkus mie instan."Lagian kamu sih! Makan mie mulu, dimarahin Papa tau rasa deh," omel Elynca membuat Azura menggeleng protes."Aku nggak makan mie banyak kok sekarang. Cuma 2 kali sehari," cerita Azura yang dibalas dengusan sebal Elynca."Itu banyak namanya, Zuraaa! Papa aja
"Hei, Anak kecil! Makan dulu baru main! Ya Ampun, kok susah banget nurutnya sih?!" omel Anyelir pada gadis berambut sebahu yang berlari keluar dari dapur.Meninggalkan sang Ibu yang kini sudah berkacak pinggang di pintu utama rumah. Elynca menyengir lebar begitu melihat kekesalan yang terpeta di wajah awet muda sang Mama. Tapi, bukannya takut, gadis 5 tahun itu justru semakin berlari hendak keluar gerbang kalau saja tidak menubruk tubuh seseorang.Bruk ...."Aduuh ...." Elynca meringis sambil mengusap-usap keningnya tengan tangan mungilnya.Tapi, begitu mengenali celana orang yang ditabraknya, perempuan itu mendongak antusias dan menemukan wajah Damian tengah tersenyum sama sepertinya."Hei, Nona Adisthy kecil. Kamu ngapain Mamamu lagi sekarang sampai dia semarah itu, hm?" tanya Damian sambil menggendong sang putri dengan begitu ringan.Anyelir yang melihat kepulangan suaminya, semakin mendengkus kesal. "Oh ... inget rumah ternyata? Kirain lupa alamat terus nggak tau mau pulang lewat
Anyelir duduk berpangku tangan serius sambil memandangi pria di depannya yang memasak wajah ngeri. Berbanding terbalik dengan wajah sang suami di sampingnya yang sudah seperti hendak menerkam orang."Dia nggak bisa itu, Nye! Mending kamu liat aku makan pedes aja daripada dia. Dia mah cemen!" saran Damian masih tak mau menyerah membujuk istrinya.Anyelir mendesis kesal. Merasa fokusnya memandang wajah Angga terganggu oleh rengekan Damian."Ish, diem dulu, Om! Lagi serius ini!" kesal Anyelir begitu melihat Angga mulai membuka cup mie instan pedas yang dibelikan Anyelir khusus untuknya.Meski disuruh diam, Damian tetap mendumel sebal. Masih tidak terima karena Anyelir lebih tertarik pada wajah kepedasan Angga daripada wajah cool-nya."Apa hebatnya sih liat wajah Angga makan pedes dariapa liat wajah ganteng suami kamu ini?!" tanya Damian masih tidak mengerti."Kalau Om kan bisa makan pedes, dia mah nggak bisa. Jadi ya lucu aja ekspresinya gitu," jawab Anyelir sambil cekikikan geli.Damian
Anyelir berbaring telentang di lantai keramik dingin ruang tengah. Tanpa alas, tanpa bantal, juga tanpa niat bangkit meski Damian sudah menyorotnya tajam dari lantai atas tepat di ujung tangga."Woi!" teriak Damian yang ditanggapi Anyelir dengan tatapan malas.Melihat Anyelir yang tidak berpindah posisi sama sekali, Damian kontan berlari turun tangga. Anyelor yang melihatnya, menggeleng-geleng."Jangan lari-lari di tangga! Dasar anak kecil!" peringat Anyelir menirukan kalimat sang suami saat mengomelinya.Damian mendengkus sebal. Tanpa berucap apapun, pria itu mendekat pada Anyelir yang terlihat seperti paus terdampar. Damian mengangkat tubuh sang istri santai. Seolah tidak keberatan padahal perut Anyelir mulai terlihat lebih menonjol karena kehamilannya yang menginjak usia 5 bulan."Jangan rebahan di lantai tanpa alas! Dasar anak kecil!" balas Damian sambil membaringkan perempuan itu di sofa panjang ruang tengah.Anyelir menghela napas berat. Seolah habis melakukan kegiatan melelahka
"Om?" Anyelir terpaku melihat Damian berdiri di sampingnya dengan payung yang bahkan belum tertutup. Pria itu menyorotnya dengan pandangan tak terbaca. Seperti ... sorot kecewa?"Tadi niatnya mau jemput kamu, mau perbaikin hubungan kita juga. Tapi, kayaknya nggak guna. Kamu udah punya Angga."Selesai mengatakan hal itu, Damian melangkah meninggalkan Anyelir menuju mobilnya yang entah pria itu parkir dimana. Menyadari kesalah pahaman yang terjadi, Anyelir bangkit berdiri dan berlari menembus hujan mengejar Damian.Tapi, langkah lebar dan cepat Damian tidak berhasil membuatnya mengejar pria itu. Anyelir yang lincah dalam hal berlari tidak menyerah tentu saja.Sedangkan Angga, memperhatikan dalam diam di kursi depan minimarket. Sejenak, senyum getir menghiasi wajah pria tampan itu. Menyadari kesempatannya yang sudah nihil juga Anyelir yang sepertinya terlihat begitu mencintai suaminya."Om! Tunggu dulu!" teriak Anyelir begitu berhasil menarik ujung jaket sang suami yang kontan ikut basa
Anyelir mendelik begitu menemukan dua garis merah dari benda di genggamannya. Perempuan itu menggigit bibir bawah gusar. Masih tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya saat ini.Dia hamil. Anyelir akan menjadi seorang Ibu. Rasanya ... terlalu cepat dan tiba-tiba.“Masak aku hamil sih?” tanya Anyelir pada dirinya sendiri.Perempuan itu hanya menggigit bibir bawah gelisah. Tidak mengerti harus menanggapi hal ini dengan reaksi apa. Dia ... masiih terlalu muda untuk menjadi seorang Ibu kan, ya?Mengabaikan test pack di tangannya, Anyelir segera keluar dari kamar mandi dan berjalan ke ruang tengah, hendak pulang. Tadi, sehabis mampir ke apotek, dia memang memilih pulang ke sini, ke rumah Papa. Rencananya ingin membuat Damian panik dan akhirnya mencarinya ke sini, lebih tepatnya cari perhatian. Tapi, hingga pukul 8 malam, pria itu bahkan tidak mencarinya sama sekali.Dalam hati, Anyelir merasa sedikit kecewa. Dia pikir Damian bakal peduli padanya. Tapi, jangankan mencari, pria itu ba
Karena merasa bersalah dan sudah cukup bermain marah-marahan, siang ini, Anyelir sudah menyiapkan sekotak makanan untuk makan siang Damian. Rencananya, perempuan pendek itu akan datang ke kantor Damian dengan modus mengantar makan siang sekalian minta maaf atas sikap menyebalkannya selama ini.Sedari pagi tadi, beberapa kali ketika berbicara dengan Lisa, perempuan cantik itu mengungkit-ungkit tentang ‘tidak baik istri mendiamkan suami terlalu lama’ membuat Anyelir akhhirnya sedikit mendapat hidayah. Maka dari itu, begitu Lisa berjalan keluar rumah dengan alasan pergi menemui temannya, Anyelir berlari mengejar.“Kak Lisa! Jadi mau pergi?” tanya Anyelir sambir berdiri di samping Lisa yang sudah hendak memasuki mobil merahnya. Perempuan itu terlihat ngos-ngosan sehabis berlari dari lantai dua hingga halaman rumah.“Nggak usah lari-lari aelah, Nye! Emangnya kenapa?” peringat dan tanya Lisa sambil terkekeh geli melihat tingkah kekanakan istri sepupunya tersebut.“Ehehe ... maaf, Kak. Habis
Sudah terhitung 3 hari sejak Anyelir dan Damian main marah-marahan. Atau ... bisa juga disebut bertengkar sih. Damian sebelumnya ingin minta maaf lebih dulu meski merasa tidak melakukan kesalahan. Tapi, melihat sikap Anyelir yang sinis serta seolah tidak menganggap keberadaannya di rumahnya sendiri, pria itu memilih mengurungkan niatnya.Entah harus mengatakan Anyelir atau Damian yang kekanakan, yang jelas Lisa tidak berani ikut campur. Perempuan itu hanya bersikap seperti biasa. Sesekali mengajak bicara Damian kemudian sesekali berbicara dengan Anyelir yang auranya sama-sama mencekam.Seperti malam ini ...."Nye ... kok kamu makannya dikit banget sih?" tanya Lisa heran begitu melihat isi piring Anyelir.Perempuan itu hanya menyendokkan nasi yang bagi Lisa bisa dimakan sekali suapan serta lauk sayur asam. Anyelir menyengir."Lagi diet."Damian melirik piring sang istri. Beberapa detik kemudian, berdehem guna menahan tawa. Ingat! Dia masih marah pada perempuan itu."Badan kerempeng git
Hingga pukul 8 malam, Anyelir tidak tampak ingin keluar dari kamarnya. Perempuan itu entah tengah melakukan apa di dalam. Damian memilih membiarkan saja. Terlalu terbiasa dengan gaya ngambek ala Anyelir. Perempuan itu bahkan kembali ke kamar sebelah---markas ngambeknya.“Dam, si Anye mana? Masak kita makan malemnya nggak sama dia sih? Istri ngambek itu ya dibujuk, bukan malah balik didiemin!” Lisa memberi wejangan.Damian mendengkus kesal. “Istri yang hobinya ngambek tiap hari itu ya didiemin, bukan malah dibujuk terus. Ntar malah makin ngelunjak. Kapan berpikir dewasanya coba?” balas pria itu santai.Lisa memberengut sebal. “Emang bener kata si Anye, susah ngomong sama orang jelek.” Lisa menghujat kemudian memilih berlalu dari hadapan pria yang masih setia rebahan sambil nonton TV di ruang tengah itu.Di sisi lain, Anyelir terbangun dari tidurnya karena merasakan perut yang keroncongan. Setelah selesai sholat magrib, ia tidak sengaja ketiduran dan sekarang terjaga lagi karena lapar.