Senyum Clarabelle lepas saat melihat Jordan datang menemuinya di rumah Adriano. Dia sangat rindu pada Jordan. Berhadapan dengannya, Clarabelle tidak menunggu lagi, dia peluk Jordan dengan erat.
“How are you, Honey? I really miss you.” Clarabelle tidak mau melepaskan Jordan.
Hati Jordan berdenyut. Clarabelle semakin berani mengungkapkan rasa sayangnya. Sebutan ‘Honey’, Jordan yakin baru kali ini Clarabelle ucapkan buatnya. Jordan pun merasa rindu yang sama. Dia rindu senyum manis wajah ayu Clarabelle. Rindu Clarabelle akan bercerita apa saja yang dia ingat, membuat suasana ceria di antara mereka.
“I miss you too, Babe. How is papa?” Jordan menanyakan Adriano.
“He’s fine. Come in.” Clarabelle menggandeng Jordan dan mengajaknya masuk ke dalam, ke ruang tengah.
Adriano sedang duduk ditemani Susan, teman Clarabelle. Mereka tersenyum lebar sambil bicara atau sama lain.
“Hai, Jordan, senang melihatmu!” Adriano mengurai senyum pada Jordan.
Obrolan terus terjadi. Tawa sesekali terdengar di antara mereka. Susan tak bosan memandang Lorenz. Tampan, meslipun tidak setegap James atau Jordan, dia tetap menarik dan keren. Susan tidak menyangkal, dia suka pria ramah itu.“Kamu ternyata pria yang menyenangkan, Lorenz. Kukira kamu pendiam dan hanya suka dengan urusan pekerjaan kantor yang membuat kepala pening itu.” Crystal memandang Lorenz sambil tersenyum.“Kita mesti bisa menempatkan diri, Nyonya. Kalau bekerja harus serius dan maksimal. Saat menikmati suasana santai, juga serius dan maksimal. Aku suka bercerita. Dan, tidak keberatan mendengarkan cerita juga.” Lorenz menjawab Crystal dengan senyum renyah.“Ah, pantas saja, dua cucuku itu betah bersama kamu. Kamu tahu bagaimana menghadapi James, tapi juga tahu menghadapi Jordan. Great!” Makin lebar Crystal tersenyum.“Terima kasih pujiannya.” Lorenz mengangguk sambil kembali melempar senyum manisnya.
“Aku lelah, Karen, aku butuh istirahat. Dan aku sangat haus.” Jordan berbalik, dia berjalan menuju ke ruang makan mengambil minuman. Karen hanya menatap saja pada Jordan. Dia sangat kenal Jordan. Dia tahu pria itu tidak sepenuhnya ingin bersamanya. Ternyata waktu bersama yang mulai terjalin, sekalipun Jordan masih mengimbangi permainannya, Jordan masih memikirkan wanita pinggiran itu. “Hebat sekali dia. Bagaimana bisa Jordan lekat dengan wanita biasa? Kukira dengan memaksanya di sampingku, Jordan bisa punya hati sama seperti yang lalu ketika kami masih berkencan.” Karen kecewa karena tidak mampu merebut hati Jordan. “Tapi aku tidak akan menyerah, Jordan. Aku punya kunci kuat untuk juga mengikatmu. Kalau kamu terikat pernikahan dengan Clarabelle, kamu terikat bisnis denganku.” Karen tersenyum sinis. Tekadnya tidak akan luntur. Jordan masih datang, menemui dia, dia masih punya waku untuk mengikat Jordan lebih kuat. Karen menyusul Jordan ke ruang makan.
James meraih handuk kecil yang tergantung di sisi bench press yang dia gunakan berlatih. Tenang sekali, dia tidak segera merespon Clarabelle yang tampak tegang memandang padanya. James mengusap keringat di wajah dan lehernya, lalu mengambil botol minum dan meneguk air di dalamnya beberapa kali.Clarabelle kesal sekali. Dia yakin James sengaja tidak mau menanggapinya. Rasanya ingin sekali Clarabelle menendang betis pria tampan di depannya itu. Tapi bagaimanapun dia harus tahu bersikap. Dia yang datang dan butuh bantuan James kali ini.“Terima kasih sudah mengantar adik iparku. Kembalilah bekerja.” James bicara pada pelayan yang juga masih berdiri di tempatnya, menunggu perintah James.Pelayan itu mengangguk, kemudian beranjak meninggalkan ruang fitness itu. Tinggal James berdua dengan Clarabelle. James melangkah mendekat. Dia mengarahkan pandangannya lurus pada Clarabelle.“Aku tahu mengapa kamu mencariku.” DIngin kata-kata yang Jam
Tangan Clarabelle terkepal di sisi tubuhnya. Matanya menyala memandang Jordan yang terperangah melihat ke arahnya. “Lala!?” Jordan sama sekali tidak menduga jika Clarabelle bisa menemukan dia berada di tempat itu. Di apartemennya! “You are great!” Suara Clarabelle bergetar. “Jadi di sini kamu melakukan bisnismu? Oke. Kamu benar-benar hebat, Hayden!” “Lala, aku bisa menjelaskan semua ini!” Jordan maju tiga langkah. Kacau! Semua kacau dan berantakan. Bagaimana bisa Clarabelle mengetahui dia ada di apartemen? “Apa yang perlu kamu jelaskan, Tuan Hayden?!” Clarabelle melotot lebar dengan hati mendidih. Dadanya naik turun karena marah yang hampir meledak. Lalu Clarabelle kembali memandang Karen yang mengenakan gaun tidur begitu minim dan seksi. “Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu. Seharusnya kamu malu kamu tidur dengan suami orang. Apa kamu tidak percaya diri mencari pria baik-baik dan bebas? Kurasa ada yang salah dengan otakmu, Karen!”
Clarabelle membuka pintu mobil, turun, dan berdiri berhadapan dengan James. Clarabelle masih tidak mengerti mengapa pria itu mengikutinya. Sebenarnya apa yang James inginkan dari Clarabelle? “Apa yang kamu ingin bicarakan denganku?” Suara CLarabele terdengar serak, sedikit bergetar. Emosinya masih belum kembali normal. Tapi Clarabelle berusaha setenang mungkin menghadapi James. “Kamu sudah bertemu Jordan. Apa yang akan kamu lakukan? Kamu tahu adikku seperti apa. Ini yang aku pikirkan dulu, waktu dia membawa kamu pulang. Dia hanya menganggap pernikahan itu permainan.” James bciara lembut, tidak ada nada ketus atau menyindir. Rasa takut dan kesal pada James tiba-tiba saja memudar dari hati Clarabelle. “Awalnya aku mengira kamu sama seperti Jordan, tidak serius dengan hubungan ini. Kupikir …” “Aku menerima Jordan karena dia Hayden.” Clarabelle memotong kalimat James. James menatap Clarabelle dan mengangguk. Dia memasukkan kedua tangan pad
Clarabelle menguatkan hati, menahan air mata yang sudah di ujung dan ingin tumpah. Dia memandang Jordan, menunggu pria itu memberikan alasan mengapa dia bertingkah bodoh dan lagi-lagi menipu Clarabelle."Kamu ingat masalah yang aku hadapi di kantor? Kerugian karena aku tertipu dalam bisnis?" Jordan memulai dengan menarik pikiran Clarabelle pada situasi di kantor."Ya, aku ingat." Clarabelle menjawab datar. Aneh, apa hubungan urusan kantor dengan wanita simpanan Jordan?"Karen, dia yang menolong aku mengatasi masalahku. Aku sangat panik dan kacau. Dia muncul dan dalam waktu beberapa hari semua mampu dia selesaikan. Hanya saja, dia memintaku ..." Jordan menarik nafas dalam. Ini bagian yang pasti sulit diterima Clarabelle jika dia katakan.Clarabelle mengerutkan keningnya, menatap tajam pada Jordan."Kami akhirnya membuat kesepakatan. Jika dia mampu menyelesaikan masalah bisnisku yang berantakan, aku akan bersedia bersamanya. Jadi teman tidurnya
Tangan dan tubuh Clarabelle rasanya gemetar. Adriano kembali jatuh sakit. Kondisinya turun drastis. Dokter minta agar Adriano dirawat di rumah sakit. Clarabelle berulang kali menangis karena merasa bersalah, membuat papanya drop karena mendengar masalahnya dengan Jordan.Pasti Adriano terpengaruh dengan situasi yang Clarabelle dan Jordan hadapi. Dia pasti sangat kepikiran karena itu. Apalagi Adriano merasa dia penyebab Clarabelle harus menderita gara-gara pernikahan yang dia lakukan.“Sayang … maafkan Papa …” Dengan tangan hampir tak ada daya, Adriano memegang lengan putrinya.“Papa, kenapa masih berpikiran begitu? Aku janji akan baik-baik saja. Entah dengan Jordan atau tidak, aku pasti baik-baik saja.” Clarabelle memandang papanya dengan ujung mata sudah kembali basah.“Sayang, apa kamu akan berpisah dengan Jordan?” Adriano memandang nanar dengan wajah pucat.Clarabelle tidak langsung menjawab pert
Baru beberapa menit Clarabelle dan Susan duduk di depan kamar Adriano, muncul Jordan bersama dengan Lorenz. Hati Clarabelle berdenyut. Perih kembali menghujam. Tapi dia menekan rasa itu, tidak mau menunjukkannya di depan Susan dan Lorenz. Apalagi jika nanti di depan papanya. “Honey … how is papa?” Jordan berdiri di depan Clarabelle. Dia mengulurkan tangan, memegang kedua bahu Clarabelle. Clarabelle enggan memandang Jordan. Dia sedikit menunduk. “Papa sedang tidur. Kondisinya buruk.” Jordan menghela nafas panjang. “Bisakah aku melihatnya?” Clarabelle mengangguk. Tanpa bicara dia berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar diikuti Jordan. Di dalam kamar Adriano masih terlelap. Tapi jelas dia tampak pucat dan sangat lemah. Jordan berdiri di dekat ranjang, memandang pada pria sederhana yang penyabar itu. Saat Adriano tahu perbuatan Jordan, dia tidak mengusir Jordan agar pergi dari Clarabelle. Adriano meminta hati Jordan terbuka, mau berubah, dan han
"Mana cucuku? Aku sudah tidak sabar mau memeluknya!" Suara ceria itu, terdengar renyah. Clarabelle sangat merindukannya. Dengan cepat Clarabelle menemui Crystal yang baru melangkah masuk ke dalam rumah. "Oh, my God!" Crystal terbelalak begitu melihat Clarabelle. "Lihat, Sayang. Bayimu sudah tumbuh sebesar ini?" Crystal memegang perut Clarabelle dan mengusapnya dengan rasa gembira yang meluap. Clarabelle tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Sambutan hangat itu rasanya membalut semua hal yang dulu ingin dia lupakan. Keluarga Hayden. Keluarga itu akan terus menjadi bagian hidupnya. "Apa kabar, Lala?" Ann-Mary ganti memeluk Clarabelle. Suara manisnya yang elegan, Clarabelle juga rindu. "Aku sangat baik." Clarabelle tersenyum. Ada rasa tidak nyaman juga mengumpul di hatinya. "Aku minta maaf, karena pergi diam-diam. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Aku minta maaf." "Anakku yang tidak tahu menjaga istrinya. Kenapa kamu minta maaf? Jordan yang harus minta maaf. Dulu dia berj
Matahari cerah. Salju mulai mencair perlahan-lahan. Musim dingin kian bergeser, musim semi akan datang beberapa minggu lagi.Clarabelle duduk di pinggir jendela. Dia memandang ke jalanan dan pemandangan di depan rumah tempat dia tinggal. Tenang, hening, dan meneduhkan. Dari arah belakangnya, aroma harum kopi panas terasa masuk ke penciuman.Clarabelle menoleh, Jordan berdiri dengan dua cangkir di tangannya. Wajah tampan itu tidak tersenyum, tetapi tatapan ceria muncul dari sorot matanya."Minuman hangat buat jantung hatiku. Susu saja. Kopi buat aku." Jordan memberikan satu cangkir kepada Clarabelle."Ah, aku sudah membayangkan meneguk kopi panas dan harum. Kenapa susu lagi?" Clarabelle cemberut tetapi dia terima juga cangkir dari Jordan."Biar sehat. Nanti saja kalau sudah lahir kesayangan kita, kamu minum kopi." Jordan duduk di sebelah Clarabelle. Dia menghirup harum kopi di cangkirnya, lalu meneguk beberapa kali."Hm, ibu hamil ga masalah
Salju baru beberapa menit lalu berhenti. Mobil hitam James berhenti dan terparkir di garasi rumah besar itu. James turun dari mobil dan dengan cepat berputar, membuka pintu mobil dari sisi lainnya. "We are here. Come on, Babe." James mengulurkan tangannya. Nerry menyambut tangan James dan keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling. Tempat parkir saja begitu luas. Ada beberapa mobil ada di dalam garasi. Semua jelas mobil berkelas, mobil tidak terlalu sering tampak di jalanan. "They are waiting." James tersenyum. Dia menggandeng Nerry dan mengajak masuk ke rumah dari pintu samping, langsung ke ruang keluarga. "Tuan, aku sangat gugup." Nerry memperhatikan James. Wajah gadis itu merah merona. Sedangkan James tersenyum lebar penuh keceriaan. "Tenang saja. Kamu tidak akan dihukum karena jatuh cinta pada Hayden. Dan jangan panggil aku Tuan," kata James. "Iya, Tuan. Oh, James? Aneh." Nerry tersenyum
Jordan menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu. Apa yang baru dia dengar? Dia berbalik. Matanya bertemu mata indah yang membuatnya jatuh hati. Mata bulat dan bening Clarabelle. "Are you sure, you wanna leave me? And our baby?" Clarabelle memandang Jordan. Tangannya menyentuh bagian perutnya. Jordan masih mencerna apa yang terjadi. Tatapan matanya makin menghujam. "Setelah semua yang kamu lakukan, toko coklat Lala Joy, meninggalkan rumah mewah di Sydney, tidak peduli kantor Hayden, dan melepas semua wanita itu ... kamu akan pergi dariku?" Clarabelle bicara dengan tenang. Kedua matanya tampak teduh. Perlahan bibirnya tersenyum. "Lala ...." Jordan tak percaya yang dia lihat. Clarabelle mengucapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya. "I miss you too, Jordan Gerald Hayden. Deep ini my heart, I always wanna hug you." Bibir tipis Clarabelle kembali menguntai senyum. Jordan segera kembali mendekat dan memegang tangan Clarabelle. "What do
James keluar kamarnya. Dia menelpon Susan dan terpaksa membuat Susan bangun. Kabar yang James berikan tentang Clarabelle mengejutkan Susan. Dia cepat-cepat bersiap dan menemui James di tempat parkir."Susan, kamu bantu aku. Ini situasi buruk. James bertingkah bodoh lagi dan membuat Clarabelle kembali terluka." James mulai melajukan mobil keluar hotel.Hari mulai terang, tetapi matahari tidak mau menunjukkan dirinya."Apa yang Tuan harapkan dariku?" tanya Susan."Aku akan tenangkan Jordan. Dia kembali merasa bodoh dan menyesal. Kurasa dia lebih kacau karena bayi mereka dalam bahaya." James terdengar resah dan cemas. "Kamu, aku minta kamu tenangkan Clarabelle. Aku tidak tahu apa yang dia rasa tentang Jordan setelah kejadian ini. Aku hampir yakin, dia akan meminta bercerai."Deg. Susan menatap James. Apakah seburuk itu? Susan tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan nanti pada Clarabelle."Aku rencana h
Jordan panik. Dia gemetar melihat Clarabelle bahkan kesulitan duduk."Lala ... Lala ...." Jordan tidak tahu harus bicara apa.Sementara darah terus mengalir dan melebar di atas salju."Jordan, sakit ...." ucap Clarabelle sambil memegang perutnya."Dokter ... kita ke dokter. Tunggu, aku ambil mobil. Bertahanlah," ujar Jordan di antara rasa bingung dan ketakutan.Dia berdiri dan berjalan kembali ke tokonya. Dia harus segera mengambil mobil dan membawa Clarabelle ke rumah sakit. Clarabelle makin pucat. Rasa dingin yang menusuk, disertai rasa sakit yang mendera perut, kaki, pinggang, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hampir tidak bisa bergerak lagi.Beberapa menit berikutnya, Jordan datang. Dia membantu Clarabelle masuk ke dalam mobil. Clarabelle lunglai, tetapi tubuhnya juga kaku karena kedinginan. Dengan hati tidka karuan, Jordan mulai melajukan kendaraannya. Hari tidak lagi bersalju, tetapi jalanan cukup sulit ditempuh, Jordan tidak
Clarabelle terkejut dengan reaksi Jordan. Dia mencoba melepaskan diri, tapi Jordan tidak mau mengalah. Dia bahkan lebih berani bertindak. Dia kecup Clarabelle. Dia lepaskan kerinduan dengan memeluk erat istrinya.Clarabelle awalnya ingin berontak. Sayangnya, hati dan rindunya tidak sejalan. Hati menolak, tetapi rindu yang Clarabelle rasa memaksanya menyambut kemesraan yang Jordan lemparkan. Debaran kuat menguasai Clarabelle. Degupan yang menyenangkan, yang menaikkan hasrat dirinya tak bisa dibendung. Clarabelle menyerah. Dia mulai menikmati sentuhan Jordan."I miss you. So much ...." Jordan berbisik, lembut. Clarabelle makin bergelora.Tidak ada penolakan, Jordan makin melangkah jauh. Permainan dia lanjutkan. Dia menarik Clarabelle naik ke atas ranjang. Mereka meneruskan perjalanan rindu dan cinta yang terlalu lama tertahan karena rasa marah, kecewa, dan juga takut makin terluka.Di luar salju kembali deras. Bahkan suara angin menderu pun terdengar. Rindu
Mobil Jordan oleng. Clarabelle mendekap dadanya dengan rasa takut mencuat begitu cepat. Mobil hampir saja bertabrakan. Jordan sigap kembali ke posisi dan mengendalikan setir. Untung, dia mampu menghindar sehingga tabrakan tidak terjadi. "Ya Tuhan ...." Clarabelle masih merasakan dadanya berdetak begitu cepat karena rasa kaget. Jordan sudah kembali menguasai kendaraannya. Tapi dia juga sama terkejutnya. Berulang kali dia mengambil nafas dalam, menenangkan diri. "Sorry, I am sorry," kata Jordan tanpa melihat CLarabelle. Dia fokus menyetir. Clarabelle tidak menjawab. Dalam hati dia bersyukur, tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak bisa membayangkan jika benar tabrakan terjadi. Bukan hanya dia dan Jordan yang celaka, tetapi bayi mungil di rahimnya juga. Hening. Sisa perjalanan hingga ke toko Jordan, tidak ada yang bicara. Jordan memarkir kendaraannya, langsung masuk ke garasi. Clarabelle kembali memegang pipi Jordan, lalu ke lehernya.
James menajamkan tatapannya. Dua bola mata indah dan lentik milik Nerry berair. Apa yang dia risaukan? Mengapa justru gadis itu jadi bersedih? "Nerry, ada apa? Aku sungguh-sungguh dengan niatku. Aku tidak akan mempermainkan kamu. Aku janji ...." "Bukan itu. Maafkan aku," sahut Nerry. James menutup mulutnya. Dia lebih baik mendengar yang Nerry akan utarakan padanya. Mungkin memang dia terlalu cepat meminta Nerry menjadi kekasihnya apalagi masuk dalam pernikahan. Rasanya sama saja dengan kisah Jordan dan Clarabelle. "Mengenal Tuan secara langsung, punya momen bersama, buat aku ... seperti mimpi. Ga masuk akal. Tuan tiba-tiba muncul di depanku. Semua hari-hariku berubah seketika." Nerry mulai mengungkapkan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. James menunggu. Dia tahu Nerry belum selesai. "Jujur, aku jika sungguh bersama Tuan nanti, seperti cinderella. Dari hidup sederhana masuk dalam sebuah istana. Apakah aku bisa, Tuan? Apakah aku cu