"Aduh, kenapa aku bisa sampai ceroboh, sih?” gumam Jessy. Ia baru saja terkena percikan minyak panas pada punggung tangannya. Tadinya, ia hendak memasak sesuatu untuk makan malam. Pelayan di rumah Brandon sudah melarang, tapi Jessy tetap saja bersikeras ingin memasak.“Nona, saya sudah katakan biar saya saja,” ucap salah seorang pelayan yang langsung mengambil alih aktivitas Jessy.Jessica meniupi punggung tangannya yang terkena percikan minyak barusan. Saat itu Brandon tiba-tiba saja muncul membuat Jessy terkejut.“Jessy, tangan kamu kenapa?”Brandon melihat tangan Jessy sedikit melepuh. “Maaf, Tuan. Tadi, Nona terkena percikan minyak panas, padahal saya sudah melarang Nona untuk melakukannya,” ujar pelayan di rumah Brandon.“Ah, ini bukan apa-apa kok,” jawab Jessy sambil menyembunyikan tangannya ke belakang badan. “Aku mau lihat Natasha dulu, ya,” tambahnya.“Jessy, sebentar. Bisa ikut saya?” ajak Brandon.“Ke mana?”“Sebentar,” jawab Brandon langsung berjalan, meminta Jessy
Marina benar-benar menyesal karena tahu belakangan bahwa Roy mendekatinya karena motif dendam padanya. Kalau saja dulu dia menuruti titah keluarganya untuk menikahi Maxime saja dan tidak kabur dari rumah, mungkin dia tidak perlu mengalami hal menyakitkan seperti sekarang. Di depannya ada sebotol kecil berisikan lima butir pil penggugur. Roy menunggu dia meminum itu secara langsung dihadapannya tapi Marina ketakutan setengah mati dan tidak mau melakukannya karena takut mati. Sekujur tubuhnya gemetar luar biasa, saking takutnya ketika Roy melotot memaksa ia agar segera menelan pil tersebut. "Telan sekarang!" "Emmm..." geleng Marina sambil membungkam mulutnya. Namun Roy tak tinggal diam, dia mencekoki Marina secara paksa agar Marina mau membuka mulut dan obat itu bisa masuk ke dalamnya. Tapi Marina enggan membuka mulut, ia malah menangis dan gemetaran membuat Roy semakin kesal. "Kamu mau membuat saya semakin marah, hah! Buka mulut!" paksa pria itu. Marina tetap menggeleng. "Argh!
"Sudah kau bereskan?" tanya Max dari sambungan telepon. Alisnya mengkerut sambil mendengarkan seksama penjelasan orang suruhannya. Di sampingnya ada Nayra yang tengah sibuk dengan rambutnya. Nayra dan Maxime hari ini akan menengok Natasha yang tinggal bersama Brandon. "Oh, baguslah. Tolong urus sampai selesai. Aku tak ingin ada masalah." Setelah itu Maxime menutup teleponnya. "Urusan pekerjaan, Daddy?" tanya Nayra. "Ya, Baby, biasalah," jawab Maxime. "Hem, apa ada masalah? Belakangan aku lihat sepertinya cukup serius juga," kata Nayra."Tidak ada, hanya urusan kecil. Sudah dibereskan oleh asistenku," jelas Maxime. "Wah, syukurlah," kata Nayra. "Hari ini aku akan kursus masak, Dad," lanjutnya. "Kursus masak? Kok tiba-tiba?" Nayra cemberut. Dia masih kepikiran karena ucapan Maxime tentang spageti buatannya kemarin. Pasti rasanya tidak benar-benar enak. Buktinya, Maxime bilang agar Nayra tidak perlu memasak lagi lain kali. Pasti karena kapok mencicipi masakannya yang berantakan.
Tidak terasa sudah satu minggu, sejak Nayra dan Max menikah. Hari ini Brandon akan terbang ke Italia. Max dan Nayra pun sedang dalam perjalanan menuju ke Bandara, sekaligus menjemput gadis kecil mereka, Natasha. Nayra tampak murung, ia pasti merasa sedih karena Brandon akan pergi cukup lama, belum tahu berapa bulan baru kembali lagi ke Indonesia. Padahal ia baru saja merasakan memiliki keluarga, tapi pamannya itu malah pergi lagi. Ditambah lagi kejadian tempo hari sewaktu Maxime bertemu dengan ibu dari gadis kecil yang tak sengaja ditemui Max. Ibu dari anak kecil itu seperti menyukai suaminya. Ya, Nayra cemburu. “Baby, kenapa murung?” tanya Maxime, sambil mengusap puncak kepala Nayra.“Enggak kok, aku hanya sedih karena Uncle akan pergi, padahal aku dan dia baru aja bertemu.”Senyuman Nayra tidak seperti biasanya, sudut matanya tampak basah. Sesekali ia menyeka air matanya yang hampir membanjiri pipi. Bibirnya sedikit bergetar, ia berusaha tidak memperlihatkan kesedihannya di ha
Hari ini Maxime harus kembali ke kantor. Sedangkan Natasha juga sudah mulai kembali ke sekolah, setelah mengajukan libur selama satu minggu. Nayra mendampingi Max dan Natasha sampai ke depan pintu gerbang. Mereka akan berangkat bersama, sedangkan Nayra berdiam di rumah. Ia sudah memutuskan untuk menghabiskan waktu lebih banyak sebagai ibu rumah tangga. Meskipun ia tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaannya, karena Minggu depan dia ada jadwal mengurus project iklan salah satu brand ternama.“Mommy, aku pergi ke sekolah dulu, ya.” Natasha mencium punggung tangan Nayra, disusul kecupan lembut pada kedua pipi gadis kecil itu dari Nayra.“Hati-hati, ya, anak Mommy belajar yang rajin,” sahut Nayra dengan pelukan hangat seorang ibu sambung, yang sangat dibutuhkan Natasha. Rasanya pelukan seorang ibu begitu hangat, sampai Natasha tidak ingin melepaskannya. “Nath sangat senang dipeluk Mommy, sekarang Natasha nggak merasa kesepian lagi,” ungkap gadis kecil Maxime itu.Maxime mengusap p
“JESSICA!”Nayra yang memiliki kode apartemen Jessy, segera masuk ke kamar gadis berusia dua puluh empat tahun itu, tepatnya tiga bulan lagi genap sudah usianya.“Jessica, ya Allah ini udah jam berapa, Jess! Bangun!” Nayra menggerakkan tubuh Jessy yang masih terlelap.“Apa sih, lo siapa ngapain ke kamar gue!” Jessica hanya melenguh sambil menarik selimutnya, menutupi lagi tubuhnya yang meringkuk kedinginan terkena udara AC.“Aku Brandon, Sayang.” Suara Nayra dibuat-buat menyerupai Brandon, meskipun tetap saja tidak mirip sama sekali.“Brandon? Mana mungkin, dia lagi di Italia,” jawab Jessy yang kembali meringkuk, tapi sesaat kemudian ia bergegas bangun.“Astaga, Brandon? Apakah tadi aku dengar nama dia? Di mana dia?”Nayra tertawa terpingkal sambil mengacak rambut Jessica yang sudah acak-acakan sejak tadi. “Otak lo dipenuhin Brandon semua! Bangun woi, ini udah jam sembilan, gila lo!”Jessica menajamkan matanya, ternyata Nayra yang menipunya barusan, batinnya kesal.“Becanda l
“Baby, bangun. Kita pulang, yuk,” ucap Max sambil mengelus pipi istrinya yang ketiduran di sofa kerjanya. Setelah keduanya bercinta tadi, Nayra kelelahan dan tertidur. Sampai tidak sadar waktu sudah semakin sore. Sudah waktunya mereka pulang ke rumah. Nayra menggerakkan tubuhnya sambil perlahan menyipitkan mata. “Udah mau pulang, ya? Maafin aku ketiduran, Daddy.”“Nggak apa-apa, maaf aku bangunin kamu, ya. Tapi kasihan kamu tidur di sofa. Kita pulang, yuk, supaya kamu bisa istirahat di rumah,” jawab Maxime. Senyuman Nayra mengembang, ia pun beranjak duduk. Dilingkarkan kedua tangannya pada leher Max sambil menatap kedua mata pria ganas di depannya.Seperti biasa, sesampainya di rumah. Nayra langsung bermain dengan anaknya, yaitu Natasha. Saat itu Natasha begitu bersemangat menceritakan dirinya yang pergi berjalan-jalan dengan Jessy sepulang sekolah. Nayra merasa senang melihat senyuman Natasha yang mengembang. Untunglah, Jessica cepat akrab dengan Natasha.Setelah ia menemani
Aku nggak bisa berbuat seperti itu pada Pak Maxime. Kamu jangan bawa-bawa aku!” teriak Meggie sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangannya dari Jordan.“Sudah terlanjur, kamu nggak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Semua foto-foto kamu ada padaku. Kalau kamu nggak mau bantu aku. Aku akan sebar semua foto kamu itu sekarang,” tekan Jordan semakin mengeratkan cengkeramannya.“Ahh, sakit! Lepaskan!” Meggie meringis, ia menangis dan tidak mau melakukan apa yang diperintahkan oleh Jordan terhadapnya, tapi kalau dia tidak mau, maka namanya akan hancur.Akhirnya, dia tidak punya pilihan lain selain menerima permintaan Jordan. Meskipun itu sangat beresiko, bagaimana kalau Max tau perbuatannya?Di lain sisi dering telepon membuat lamunan Nayra pun pecah. Ya, hari ini dia mulai bekerja kembali. Baru saja ia menyelesaikan sesi pemotretan yang pertama. Rasanya, ia sudah rindu pada suami dan juga anaknya, Natasha.“Siapa sih, ganggu orang lagi ngelamun aja,” gerutu Nayra sambil menggeser layar