Terdiam. Mala menatap jauh ke gedung-gedung yang berbaris dengan gemerlap lampu layaknya bintang kecil jika dipandangi dari atas gedung dimana Mala berpijak saat ini.Helaan napas panjangnya, pertanda ia lelah.Tak kuasa menahan sesak di dadanya. Satu nama yang terpatri di hatinya. Masihkah akan tetap sama?Mala mem-block nomor ponsel Dewa dengan hati teriris pedih."Ini udah berakhir. Lupakan dia, Mala."Air mata turun membasahi pipinya. Tapi Mala langsung menghapusnya."Gwenchana," lirihnya sambil berbalik, pergi.****Hari ini Mala kembali ke kampusnya. Dia duduk di kelas dengan senyuman lebar melingkar di bibirnya. "Semangat!""Mala!""Lyra?" sahut Mala. Lyra langsung memeluknya. "Udah sembuh?"Mala mengangguk. "Ne."Lyra tersenyum. "Okay. Syukurlah.""Kemarin aku ke rumah sakit. Terus kata dokternya kamu udah semingguan lalu pulang ke rumah. Ternyata kamu udah ngampus hari ini," kata Lyra dibalas anggukan lagi dari Mala. "Iya,""Oh iya. Waktu itu pas aku baru sadar, pacarku lihat
"Mala." Dewa saat ini sedang di kampusnya. Sontak dia kaget, apa tadi yang didengarnya? Mala bilang putus?"Anj***!"Mendengar Dewa mengumpat, dua sahabat Dewa langsung menoleh. "Lo kenapa, Wa!""Mala?" tanya Zaki."Gila apa gue nggak salah denger?" ucap Dewa masih terkejut. "Dia lagi ngeprank atau apa.""Cerita bego! Kenapa?" timpal Dika penasaran."Mala bilang putus. Terus hpnya di matiin. Sekarang kontak gue lo liat. Di blok!"Dewa memperlihatkan foto profil Mala yang mendadak tanpa foto. Bukankah itu tandanya Mala sudah memblok nomor ponselnya?"Wah. Gila! Mala prank kali. Bukannya lo dan dia baik-baik aja kan?" sahut Zaki."Nggak beres Wa. Mending lo telpon bundanya deh, mastiin." Dika berkomentar. "Gue takut aja, ada sesuatu," imbuhnya cemas.Benar apa kata Dika. Dewa segera menelpon Delia, ibunda Mala. Dia benar-benar shock kenapa Mala tiba-tiba demikian padanya."Hallo tante. Mala nya ada nggak?" tanya Dewa dari sambungan telepon.Dewa mengusap wajahnya saat Delia mengatakan M
Song~That's Okay by D.OKedua tangan Mala masih memegangi ujung dress yang dikenakannya. Di depannya saat ini merupakan pemandangan yang begitu menyakitkan untuk Nirmala. Sungguh sakit, dan tak pernah Mala bayangkan akan terpampang jelas di matanya."Kakak." Mala gemetar.Dipelupuk matanya, ada Dewa yang sedang memeluk seorang gadis. Lebih tepatnya Lyra memeluk Dewa dari belakang.Tak sanggup melihatnya, Mala memilih berbalik sambil menyeka air matanya.Hiks. Mala tak ingin menangis melihatnya. Tapi sumpah ini sangat menyakitkan. Setelah enam bulan dia menunggu, ingin memastikan segalanya. Mala ingin menemui Dewa, dia berharap kata-kata Alyra yang baru saja lulus dari universitasnya itu adalah kesalahan besar. Ternyata semuanya berbalik adanya. Mala melihat sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia sangka.Mala melangkahkan kakinya meski terasa lemas. Tubuhnya begitu lemah dan ia nyaris pingsan. Tapi sekuat tenaga Mala mencoba menegakkan tubuhnya. Mala harus segera meninggalkan tempat i
Mala baru saja selesai membereskan barang-barangnya dari dalam koper. Memindahkan pakaian ke lemarinya, meski tidak banyak. Baju Mala masih tertata rapi di lemarinya.Kedua mata Mala berpusat pada dinding kamarnya. Foto-foto Dewa begitu banyak terpajang di sana. Senyuman Mala melingkar tipis, rupanya foto-foto itu masih ada dan tidak berubah posisinya.Tentu siapa yang berani memindahkan foto-foto tersebut kalau bukan dirinya sendiri. Mala mengambil foto-foto itu lalu memasukkannya ke dalam kotak. Mala merasa foto itu sebaiknya tidak perlu ada di sana. Tapi, mendadak perasaanya tidak nyaman. Mala berpikir kalau hanya foto sepertinya tidak masalah. Dewa juga tidak akan masuk ke kamarnya lagi, bukankah begitu?Mala pun mengembalikan foto-foto tadi ke posisinya semula. "Kamu lagi apa, Kak?" tanyanya sambil mengelus foto Dewa."Dasar gila! Ngapain ngomong sama benda mati." Mala menggeleng kemudian melanjutkan lagi aktifitasnya.Malam pun datang. Kota Bandung semakin dingin saja di malam h
Mala yang saat itu sedang berbaring dikejutkan dengan suara ketukan pintu berulang."Siapa yang bertamu? Ini kan udah malam," ucapnya sambil melihat arah jarum jam yang menunjukkan pukul 21.30 WIB.Kedua kakinya turun dari ranjang, lalu berjalan menuju ke arah pintu sambil mengikat rambutnya. Ikat rambut itu adalah ikat rambut pemberian Dewa beberapa tahun lalu, sampai saat ini masih Mala simpan.Mala membuka pintu dan menutupnya kembali dengan cepat saat melihat orang yang ada di depannya tadi. "Ya Tuhan. Apa aku nggak salah lihat?""Mala, kok pintunya di tutup. Buka Mala, aku mau ngomong sama kamu."Itu adalah Dewa. Jadi apa yang akan dilakukan Dewa sekarang. Padahal sejak tadi Mala berusaha tidak keluar rumah karena tidak ingin berpapasan dengan pria itu. Tapi, sekarang pria itu mendatangi rumahnya.Mala membuka pintunya, lalu menatap Dewa sekilas sebelum pandangannya diedarkan ke arah lain. "Ada apa?"Pria di depan Mala itu tak kuasa menahan dirinya lebih lama. Dewa langsung merai
Mala mencoba melepaskan ciuman Dewa yang begitu dalam hingga ia kesulitan bernapas. Dewa melepaskannya sejenak. Tapi tangannya masih mencengkeram dua bahu Mala dengan kuat."Stop Kak! Kenapa Kakak cium aku!" sentak Mala dengan suara meninggi."Karena Kakak mau cium kamu. Kakak mau tepatin janji Kakak, cium kamu lebih lama saat kita bertemu lagi." Dewa menawan kedua mata Mala hingga gadis itu tidak dapat berkutik."Omong kosong. Itu cuma masa lalu." Mala menggeleng."Bagi Kakak itu semua bukan omong kosong. Kamu tahu? Kakak datang ke Korea tepat waktu kamu wisuda. Tapi, Kakak nggak jadi menemui kamu, sewaktu Kakak tahu, kamu udah punya pacar.""Hah?" kaget Mala. "Pacar?"Dewa mengusap wajahnya. "Kakak nggak peduli, Mala. Meski Kakak nggak lihat wajah dia, tapi Kakak lihat dia cium kamu. Apa itu namanya kalau bukan pacar."Mala mengerutkan kening. Dia tidak pernah berciuman dengan cowok selain Dewa. Lalu siapa yang Dewa lihat itu?"Kak. Aku nggak pernah ciuman dengan lelaki lain. Mana m
Dewa merapikan rambut sambil melihat ke arah kaca spion mobil. Senyumnya terus melingkar, hari ini Dewa sangat bahagia.Mala berjalan mendekat ke mobilnya. Tapi bukannya masuk ke dalam mobil, gadis itu hanya diam saja di depan gerbang rumahnya. Dewa pun lantas keluar dari mobil lalu menghampiri Mala."Pagi. Kok bukannya masuk malah berdiri di situ?" tanya Dewa. Mala menahan senyumnya, menutupi mulutnya dengan scarf dilehernya."Aku nunggu taksi.""Taksi?" Dewa mengernyitkan kening. "Kenapa naik taksi? Kan aku mau antar kamu, Sayang."Mala berdecih. "Siapa yang nyuruh kamu antar aku sih," sahutnya, ketus. Mala lupa apa yang terjadi semalam. Oh tidak! Bagaimana bisa Mala lupa semua itu. Dia hanya masih terasa canggung saja."Nggak ada yang nyuruh. Aku merasa punya kewajiban untuk mengantar kamu sampai tempat tujuan dengan selamat.""Kamu supir aku?" celetuk Mala, menaikkan sebelah alis.Dewa tertawa kecil. "Bisa. Aku bisa jadi supir atau apapun terserah kamu."Mala mengangguk. "Oke. Ber
Mala benar-benar terkejut mendengar itu. Bukannya Dewa bilang dia tidak berpacaran setelah mereka putus? Lalu kenapa Indah mengatakan hal yang bertolak belakang. Apa Dewa berbohong padanya?"Mala kok malah bengong sih?" tanya indah."Kata kamu mantan Bos Dewa? Kamu yakin, Indah?" tanya Mala lagi memastikan itu dengan lebih jelas.Indah menggaruk tengkuknya. "Belum pasti sih. Tapi keduanya akrab gitu. Mbak Kristal juga perhatian banget, beda deh. Cuma nggak ada omongan kalau mereka pacaran, itu cuma tebakan.""Hah tebakan?""Iya. Karena mbak Kristal itu dianggap pasangan yang cocok untuk bos Dewa.""Kamu bercanda?" ucap Mala membuat Indah terkejut."Kenapa muka kamu kayak gitu? Seolah-olah kamu merasa mbak Kristal nggak cocok sama bos Dewa," kata Indah sedikit heran."Em, bukan gitu kok." Mala secepatnya menggeleng. Dia tidak mau jika rahasianya terbongkar terlalu awal. Dia juga masih ingin fokus bekerja, bukan untuk memamerkan diri bahwa dia pacar bosnya."Emang sih, ya, mbak Kristal