Lagi Dan lagi rumah Indri kembali ramai dengan kedatangan anak, menantu, serta cucunya. Omar menyambut Zee yang memamerkan buku yang baru saja ia beli. Sementara Nea dan Aciel mulai bercengkrama dengan Indri yang terlihat tidak enak badan. "Ibu kenapa bisa sakit gini?" tanya Nea sembari menyentuh kening Indri dengan punggung tangannya."Gimana?" tanya Aciel."Badan ibu hangat, setelah minum obat akan hilang. Ibu jangan terlalu banyak bergerak. Di mana Rea kenapa nggak keliatan?" Sejak tadi ia tidak melihat keberadaannya gadis itu, bahkan saat dirinya datang tidak ada sambutan sama sekali dari Rea. "Rea ada di kamarnya, ada beberapa berkas yang harus dikirim. Jadi, dari tadi dia sibuk itu.""Oh, Bu, usaha Nea yang kemaren mulai lancar. Banyak yang pesan mie buatan Nea terus risoles banyak juga. Kemarin Mas El bawa ke kantor juga, semuanya pada suka."Indri pun tersenyum bangga mendengar usaha Nea yang mulai lancar terlebih lagi Ia mendapat dukungan dari Aciel. "Syukurlah, maafkan Ibu
Pagi-pagi sekali ini ya sudah bersiap bersama Mbak Ani untuk pergi ke pasar membeli beberapa bahan-bahan untuk makanan yang dijual Nea. Sebelum pergi, Nea sudah mengatakan pada suster untuk memandikan Zee serta memberi makan gadis itu. setelah pekerjaan rumah sudah selesai, mereka berdua pun pergi akan tetapi langkah Nea terganti saat seseorang memanggilnya."Nyonya, Tuan manggil," ucap Mbak Ani pada Nea. Nea berbalik dan menaikkan sebelah alis, berjalan mendekat ke arah pria yang masih memakai pakaian tidur lengkap dengan rambut acak-acakan. Ia ingin sekali tertawa tetapi sebisanya ditahan. "Ada apa, mas?" tanya Nea."Mau ke mana pagi-pagi gini?" tanya Aciel yang terganggu saat mendengar suara pintu terbuka. Ya, Nea sempat masuk ke dalam kamar untuk mengambil dompetnya. "Sayang sama Mbak Ani mau ke pasar membeli bahan-bahan."Aciel mengangguk paham, lantas ia memberi kode kepada mereka berdua untuk menunggu sesaat dan dirinya kembali masuk ke dalam kamar. Beberapa saat kemudian Acie
Zee baru saja pulang sekolah, anak itu langsung bermain di meja makan dengan beberapa boneka yang dibawanya dari kamar. Nea sesekali meluangkan waktu untuk melihat anaknya yang sedang bermain di meja makan lalu kembali fokus membuat beberapa pesanan makanan yang datang. "Nyonya, tiap hari makin banyak yang mesan. Siska senang banget, uang tambahan yang nyonya kasih bisa buat jajan adik di kampung."Selain agar lebih leluasa mengurus rumah, inikah alasan Nea. Wanita itu merasa senang saat Siska bisa mengirimkan uang lebih ke kampung untuk adik-adiknya. Sebenarnya gaji dia bekerja di rumah ini sangatlah cukup akan tetapi hutang yang dimiliki keluarga Siska membuat gaji tersebut harus dipotong setiap bulannya. "Syukurlah, semoga ke depannya makin banyak pesanan dan orang-orang suka dengan makanan kita. Padahal saya cuma iseng aja open pre order makanan kayak gini, ternyata banyak yang suka."Usaha yang dijalani Nea saat ini adalah menjual makanan melalui media sosial dengan sistem pesan
Akhir pekan ini Nea disibukkan dengan pesanan dari Dayana. Setelah bangun tidur ia buru-buru masuk ke dapur dan menyiapkan semua bumbu-bumbu yang dibutuhkan sembari menunggu suster dan mbak yang lainnya datang. Aciel juga menambah satu orang lagi karyawan Nea. Kemarin mereka sudah membuat risoles yang sudah dibaluri tepung panir, jadi hari ini tinggal gorengnya saja. Bumbu-bumbu mie sudah sebagian diracik Nea, tersisa sedikit lagi. Mbak Ani kebahagian membuat buko pandan. Menu yang satu ini adalah hasil permintaan Mbak Ani yang ahli dalam membuat makanan satu itu. Semua orang sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tersisa Siska yang belum kedapatan pekerjaan karena sedang menjemur pakaian. "Mbak, nanti buko pandannya jangan terlalu manis, dibuat sedang aja, takut pada nggak bisa makan manis sama dipenuhi aja Cup-nya," ucap Nea. "Iya nyonya, nanti saya koreksi rasanya, oh ya nyonya, tadi malam saya udah kupas bawang, ada di dalam kulkas. Nyonya tinggal blender aja."Nea mengacun
Ini kali pertamanya Nea mengunjungi rumah mertuanya. Nea tidak sendirian melainkan ditemani oleh Acil yang secara sukarela mengantarkannya ke sini. Sebelumnya Mbak Ani dan Siska sudah pergi terlebih dahulu bersama makanan yang dipesan oleh Dayana. Nea masih belum mau beranjak dari mobil hingga Aciel merasa geram dan frustrasi melihat wanita itu masih tetap duduk. "Ne, mau sampai kapan duduk?" tanya Aciel.Nea menggeleng dengan raut wajah khawatir. Ia sendiri masih belum siap menghadapi banyak orang terlebih lagi teman-teman dari dayana yang sudah memenuhi rumah ibu mertuanya itu. "Aku takut banget, mas. Gimana kalau aku salah tingkah?"Tangan Aciel terulur meraih tangan wanitanya. "Tidak perlu khawatir, lakukan sebisamu jangan memaksakan diri. Kalau lelah kita bisa pulang." "Apa aku bisa?" Anggukan kepala Aciel membuat keyakinan dalam diri Nea langsung bangkit. "Jangan gugup, bersikap seperti biasa. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun kenapa harus takut?" Benar! Nea harus mengi
"Saya mau bicara." Tiga kata itu bak perintah yang tidak bisa dibantah sedikit pun sementara orang yang diberi perintah sangat tidak suka disuruh-suruh seperti itu. Alhasil, tidak ada pergerakan sama sekali.Merasa kesal tidak ada respon, seorang pria memakai kemeja hitam maju beberapa langkah mendekati Aciel yang masih sibuk dengan makanannya. "Saya bicara dengan anda!" tegasnya. "Silakan, di sana ada tempat duduk silakan duduk," ucap Aciel santai menunjuk kursi yang ada di depannya."Oke." Ia pun duduk dengan rasa kesal."Apa yang ingin dibicarakan? Silakan, saya ada kunjungan lapangan ke pembangunan gedung, silakan dipercepat!""Oh gini ya bicara sama orang yang sok berkuasa! Keren, keren, apa ini juga cara anda memaksa Nea?"Lagi dan lagi Niko mengangkat topik yang sama. Sejauh ini Niko tidak bertindak apa pun setelah mendengar pembicaraan Aciel dan Galen. Ya, pria itu adalah Niko. "Kenapa? Apakah saya mengusik hidup anda?" "Tentu, dengan Anda mengusik hidup Nea sama saja mengu
Aciel berusaha keras untuk pulang lebih awal akan tetapi masalah di lapangan cukup menguras otaknya dan tidak bisa ditinggalkan. Ada beberapa kesalahan perencanaan yang tidak sesuai dengan lapangan. Ia pun memijit pelipisnya, Jika begini tidak akan sesuai jadwal dan mengalami kerugian."Kalian bagaimana, Kenapa tidak dicek terlebih dahulu kondisi tanah di sini? Seharusnya dicek dan diuji terlebih dahulu sebelum melakukan perencanaan lebih lanjut jika begini bangunan akan molor selesainya," tegas Aciel pada para pegawainya. Konsultan perencana berdiri lebih depan dengan kepala menunduk. "Maaf pak, saya tidak meneliti lebih jauh. Saya akan mencari cara untuk menangani masalah ini.""Bagaimana caranya? Yasudah, nanti beri tahu saya bagaimana perkembangannya, besok Galen yang akan ke sini." Wajah kecewa Aciel meninggalkan lokasi proyek membuat orang-orang yang berbaris tadi langsung panik. Saat keluar dari lokasi proyek, Aciel menyadarkan tubuhnya di pintu mobil sambil memejamkan mata.
"Kenapa kamu tiba-tiba berpikiran demikian? Apakah aku selama ini pernah merendahkanmu? Ne, siapa yang mengatakan itu? Siapa yang membuatmu berpikir begitu?" Aciel mulai mendekati istrinya yang kembali terisak kuat. Nea enggan menatap Aciel, matanya terus menatap ke bawah. "Nea serendah itu," lirihnya.Kedua pipi Nea dipegang oleh Aciel dan perlahan diangkatnya agar dirinya bisa menatap wajah sang istri. "Kamu berharga, sangat berharga. Aku bahkan tidak bisa kehilanganmu saat ini," ucap Aciel.Mata Nea tak berkedip, menatap bola mata Aciel yang memancarkan ketulusan. Jantungnya pun ikut berdetak kencang bersamaan dengan kupu-kupu berterbangan bebas di perutnya, sangat menggelitik dan aneh. Tetapi sesaat kemudian wanita itu mengalihkan pandangannya. "Tapi kenapa mas? Kenapa harus ada kontrak yang mengikat kita? Aku tahu pernikahan kita memang sebuah kesepakatan, aku sadar itu tapi setiap kali aku mengingatnya aku selalu merasa rendah.""Kamu masih terikat akan kontrak itu? Kamu menga
Semalaman Nea tidak tidur, ia terus mencoba menghubungi Aciel akan tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Omar pun ikut menemani Nea karena khawatir pada anak sulungnya itu. Pagi ini sudah beberapa kali Omar memaksa sang putri untuk sarapan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Nea. "Ne, ayolah makan. Ibu sudah masak untuk kamu. Jangan hanya duduk seperti itu terus," ucap Omar melihat sang putri duduk di dekat jendela. Tidak ada respon, Nea masih duduk termenung di dekat jendela memikirkan keadaan Aciel. Telepon tidak diangkat dan ia pun tak bisa keluar rumah karena Indri mengurungnya. "Ayah akan coba bujuk ibumu agar bisa keluar, kamu bisa lihat keadaan Nak El. Jangan kayak gini terus, ayah jadi khawatir. Di luar ibumu sudah khawatir karena Rea masih belum bisa dihubungi."Nea memang terlihat acuh akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Omar didengarkannya dengan baik. Ia pun langsung menolehkan kepala, memang Nea belum menghubungi Rea. Apa yang terjadi pada gadis itu?
Matahari mulai tenggelam berganti dengan sinar rembulan akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras dengan ponsel yang terus menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat cemas sejak tadi membuat seorang pria paruh baya yang melihatnya merasa iba. "Ne, mungkin kerjaan Nak El belum selesai. Masuk saja dulu, di luar dingin," ucap Omar membujuk sang putri untuk masuk tapi tidak ada jawaban dari Nea. "Mas El udah janji mau datang, dia pasti datang yah. Ayah saja masuk, Nea tidak apa sendirian." Omar menghela napas berat melihat sang putri yang keras kepala. Ia pun melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. "Sudah jam 9 malam, lebih baik kamu istirahat saja."Nea menggeleng. "Tidak, Nea tidak bisa istirahat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Ponsel Mas El nggak aktif sekarang, tadi masih bisa di telepon. Kak Galen juga nggak angkat telepon Nea, tadi coba telepon kantor katanya mereka berdua nggak ada di kantor sejak pagi. Yah, kira-kira ke mana mereka? Nea khaw
Hari ini adalah hari yang ditunggu Nea. Semalaman wanita itu tidak tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Lihatlah sekarang saat ini Nea sedang sibuk di dapur menyiapkan beberapa makanan yang akan disajikan untuk sang suami. Indri pada awalnya sempat marah akan tetapi Omar membujuk istrinya itu untuk mendengarkan Aciel sekali ini saja. "Ne, jam berapa Nak El datang?" tanya Omar. Nea yang sedang sibuk menggoreng ayam langsung menoleh ke belakang di mana sang ayah tengah duduk di kursi roda dekat pintu dapur. "Katanya siang, yah. Pagi ada kerjaan yang harus dikerjai."Omar mengangguk paham. "Yaudah, ayah mau ke depan dulu jalan-jalan, kalau sudah datang kabari ayah saja." "Oke, hati-hati yah."Perhatian wanita itu kembali pada ayam yang sudah mulai matang. Ia membalikkan ayam itu dan menunggunya beberapa saat sebelum diangkat. Suara derap kaki yang mendekat membuat perhatian Nea kembali teralihkan. Indri berdiri di belakangnya dengan ponsel di tangan. Wajah yang terlihat ce
Rea tertawa melihat Galen yang baru saja terjatuh akibat tersandung. Tawanya yang cukup kuat membuat Galen mendengkus kesal dan berusaha untuk bangkit. Setelah itu, ia menoyor kepala Rea. Mereka baru saja dua hari di Yogyakarta tapi sudah sangat dekat satu sama lain. "Makanya jangan jalan cepat banget kak, tuh malah kesandung kan. Lagian, kebiasaan jalan kayak cheetah," kekeh Rea lalu berjalan meninggalkan Galen. "Kalau ketinggalan kereta gimana? Kamu tahu ini tiket terakhir."Hari ini, Galen akan pulang ke Jakarta. Sebelumnya Galen memperkenalkan Rea dengan teman kuliah Galen dulu yang akan menjaganya selama di sini. Ada beberapa urusan yang harus Galen kerjakan. "Ya ampun, padahal masih ada sepuluh menit lagi. Santai aja kali," ucap Rea tenang. Jika Rea bisa tenang tidak untuk Galen, pria itu sangat tepat waktu dan tidak pernah terlambat oleh karena itu ia berusaha sebisa mungkin untuk datang tepat waktu. "Rea waktu itu sangat berharga, bagi kamu hanya sepuluh menit bagi aku t
Nea melirik ke sekeliling, sekiranya dirasa sudah aman barulah ia mengunci pintu kamar dan mengambil ponsel yang diberikan Rea tempo hari. Ya, setelah kejadian tersebut, Indri menyita ponsel Nea dan membuatnya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Aciel. Untuk keluar saja Nea harus ditemani terlebih dahulu. Hidup Nea jauh dari kata nyaman. Setelah mencari kontak yang ingin dihubungi, barulah Nea langsung menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sang penerima menjawab panggilan Nea."Halo, Ne? Syukurlah akhirnya kamu hubungi aku." Suara yang sudah lama tidak didengar oleh Nea. Hanya suaranya baru terdengar membuat Nea sangat bahagia. Ia langsung mencari posisi nyaman untuk bicara pada orang tersebut. "Iya, mas. Kemarin mau hubungi mas, tapi ibu ngikutin aku Mulu sekarang ibu sedang tidur dan kebetulan ayah duduk di luar, jadi bisa hubungi mas.""Gimana kabar kamu? Semuanya baik, kan?" tanya Aciel. "Nea baik-baik saja, tidak ada masalah hanya kemarahan ibu yang belum reda. Mas g
"Di mana Kak El?" tanya Rea pada Galen yang baru saja datang dengan tas ransel yang seperti tidak ada isinya itu. Mata Rea masih berkeliling melihat keberadaan sosok Aciel. "Kakak nggak ngajak Kak El? Bukannya Rea minta tolong untuk mempertemukan Rea dengan Kak El?" Galen menghela napas. "El di rumah, dia nggak mau diajak bicara. Aku udah coba ngajak dia ke sini tapi nggak ada jawaban. Lebih baik kita tunggu saja mana tahu El akan datang." Harapan satu-satunya akan hubungan mereka adalah cara Aciel membujuk sang ibu. Indri saat ini memang sangat marah akan tetapi perlahan wanita itu akan mendengarkan Nea ataupun Aciel.Cukup lama mereka menunggu, setengah jam lagi kereta aka berangkat tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Aciel hingga pria itu terlihat sedang berjalan ke arah sini dengan wajah datarnya. "Itu Kak El!" Rea membenarkan ransel di punggungnya dan berlari menghampiri Aciel."Kak El, cepat Rea mau bicara!" Rea menarik tangan Aciel dan duduk di kursi yang tidak banyak oran
Suara gedoran pintu yang terus terdengar membuat orang rumah langsung berdecak kesal. Indri berjalan dengan hentakan kaki yang cukup kuat berjalan ke pintu rumah akan tetapi ditahan oleh Nea."Bu, biar Nea saja yang keluar," bujuk Nea.Indri menghempaskan kasar tangan Nea hingga tubuh sang anak terhuyung ke belakang. "Duduk saja di dalam jangan keluar!" tegasnya. Nea langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon sang suami akan tetapi tidak diangkat hingga akhirnya suara pintu terbuka menampilkan wajah Aciel. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Indri dengan nada tinggi. "Bu, dengarkan penjelasan El terlebih dahulu, El akui awal pernikahan kami salah dan telah memaksa Nea untuk menikahi saya—"Indri mengangkat telapak tangannya memberi kode pada Aciel untuk berhenti bicara. "Sudah, saya hanya ingin dengan pengakuan itu. Semuanya sudah jelas, kenapa masih di sini? Silakan pulang, masalah hutang akan saya bayar besok. Silakan pergi dan jangan pernah kembali!" Tangan Indri menarik ga
Sesuai permintaan Nea, sejak pagi Rea sudah mengawasi setiap gerak-gerik Omar dan Indri. Tidak ada yang aneh, malahan Indri yang merasa risih dengan Rea yang selalu mengikuti ke mana ia pergi. "Re, ada masalah apa sih? Kenapa ikutin ibu mulu?" protes Indri.Rea tidak menghiraukannya, ia malah sibuk dengan ponsel seakan dirinya sibuk padahal setelah itu kembali melihat ke arah ibunya tiada henti. "Kamu mau uang?" tanya Indri, teringat akan anak tetangga yang bertingkah persis seperti Rea karena menginginkan uang jajan lebih. Tatapan Rea langsung teralihkan dari ponsel. "Ha? Ibu bilang apa?" Indri berdecak kesal. "Kamu kenapa? Dari tadi sikapnya aneh banget. Kamu butuh uang jajan lebih?" tanya Indri. Sang anak pun menggeleng. "Cuma lihat ibu lagi masak apa. Lagian kak Nea baru ngirim uang jajan banyak, ngapain minta ke ibu lagi.""Yaudah, kamu tolongin ambil daun jeruk di kulkas." Rea pun langsung bangkit dari duduknya mengambil daun jeruk sesuai perintah sang ibu. Saat berbalik,
"El, kamu dan Nea harus bicarakan mengenai pernikahan kalian pada orang tua Nea secepatnya. Niko mulai mengumpulkan bukti menjatuhkanmu. Bahkan, dia sudah tahu Pak Broto yang membuat kamu meminta Nea untuk menikah." Galen memberikan beberapa foto yang menunjukkan Niko menemui sekretaris Pak Broto.Aciel mengacak rambut kasar sambil membuang semua foto-foto itu ke lantai. "Sial! Kenapa dia tidak berhenti?" geram Aciel. "Kamu secepatnya harus membatalkan kontrak pernikahan itu dan berkata jujur dengan orang tua Nea dan juga Tante Dayana sebelum terlambat."Niko sama sekali tidak membiarkan Aciel dapat bernapas lega. Ia pun bangkit dan membalikkan tubuh. Bola mata yang berputar hingga terhenti saat bertemu dengan netra hitam Nea. "Nea?" gumam Aciel dengan kepala yang beralih ke kiri Nea. "Rea?" Kedua kakak beradik itu berdiri sambil memandangi Aciel yang terlihat kaget. Terlebih lagi Rea yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Nea yang langsung menoleh ke kiri, makanan yang dipega