Rumah Nea kini terasa hidup. Suara Zee terdengar hingga ke sudut rumah. Panas Zee langsung turun dan kini gadis itu tengah bermain dengan Rea, sementara Nea sibuk dengan laptopnya di meja makan. Ia mengerjakan pekerjaannya yang tertinggal.
“Ne, ibu merasa Nak El adalah malaikat yang datang untuk membantu kita,” ucap Indri setelah tahu mengenai Zee.
Mendengar ibunya mengatakan bahwa Aciel malaikat membuat Nea ingin protes. “Kenapa ibu berpikir begitu?”
Indri melihat ke arah Nea bingung. “Kenapa tidak? Kamu belum menyadarinya. Tidak ada yang kebetulan, sepertinya kalian memegang berjodoh.”
Konsentrasi Nea akan pekerjaan langsung buyar, ia menatap sang ibu.
“Tadi malaikat sekarang jodoh, ibu kenapa sih?” kesal Nea.
Menurut Nea reaksinya wajar, tetapi berbeda dengan Indri.
“Kenapa kamu marah? Kan kalian memang berjodoh.”
Nea menggigit bibir bagian bawahnya sambil merutuk d
Mbak Ani memeluk erat Nea yang baru saja pulang. "Syukurlah nyonya sudah pulang, saya dan yang lain khawatir banget. Pak Galen juga bolak-balik ke sini nanya nyonya udah pulang atau belum." Nea celingak-celinguk ke sekeliling rumah mencari keberadaan seseorang. Menyadari akan tatapan mata Nea yang tidak bisa diam melihat kesana kemarin membuat Mbak Ani langsung memegang pundaknya dan berkata, "Nyonya mencari siapa?" Wanita itu langsung gelagapan dan tersenyum tipis. "Tidak ada, cuma lihat keadaan rumah. Bagaimana Zee? Dia pasti marah sama Nea?" Mbak Ani terdiam. Semenjak Nea pergi, Zee tidak mau makan ataupun minum. Ia terus menangis ataupun menutup mulutnya setiap kali susternya memberi makanan. Sorot mata Mbak Ani yang tidak mau melihat ke arah Nea membuat wanita itu bertanya-tanya dan merasa khawatir. "Ada apa, mbak? Zee baik-baik saja kan?" "Akan lebih baik nyonya memastikannya saja sendiri."Nea akhirnya pergi menuju kamar anaknya untuk memastikan keadaan gadis kecil itu bai
Nea ketiduran di kursi teras begitu juga Mbak Ani. Keduanya mulai terlelap saat tidak ada topik dia antara mereka tanpa menyadari Aciel sudah sampai di rumah. Pria itu memandangi kedua wanita beda generasi itu tertidur menunggu kepulangannya. Setelah cukup lama memandangi keduanya terkhusus Nea, akhirnya Aciel membangunkan kedua wanita itu. "Bibi, bangun." Aciel memegang pelan pundak mbak Ani. Sadar akan kehadiran Aciel, mbak Ani langsung bangun dan tersenyum tipis. "Tuan sudah pulang, mau dibuatkan teh atau kopi? Nyonya—"Aciel menggeleng memberi kode kepada Mbak Ani untuk tidak memanggil Nea yang sedang terlelap. "Biarkan saja, mbak masuk ke dalam saja. Biar Nea saya yang angkat ke dalam."Mbak Ani tersenyum menggoda. "Baik, terserah tuan saja. Saya permisi dulu." Mbak Ani pun pergi meninggalkan mereka berdua di teras.Pria itu sempat ragu untuk menggendong Nea akan tetapi saat melihat posisi tidur yang tidak nyaman membulatkan tekadnya untuk membawa wanita itu ke dalam kamar. Awa
"Tasya cukup! Aku sudah mengatakan tidak ada lagi pertemuan setelah di bar itu. Kamu memohon samaku untuk menemanimu memata-matai tunjangan kamu dan aku sudah lakukan, tidak lagi." Aciel mulai jengah dengan tingkah wanita yang ada di hadapannya ini semakin menjadi-jadi.Wanita yang dipanggil Tasya oleh Aciel langsung memasang wajah kecewa sambil memunduk lemas. "Temani aku pilihin baju aja, El. Semenjak menikah kamu sudah susah diajak keluar. Aku jarang-jarang ke Indonesia, lho.""Kamu nggak capek dibenci sama Galen terus, Sya. Aku tahu kamu kesepian, tapi banyak orang yang bisa menemanimu. Galen sebentar lagi datang dan bisa saja dia akan berdebat lagi samamu. Aku nggak mau citra kamu rusak jika aku mulai mendukung Galen!"Tasya langsung membuang napas kasar. Persetan dengan Galen, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama temannya itu. Apakah tidak boleh? Mengapa Galen selaku menghalangi mereka? Kini dengan hadirnya status baru Aciel, membuatnya semakin susah pergi bersama pria itu.
Malam ini dipenuhi oleh bintang-bintang yang bertaburan di langit serta ditemani oleh bulan yang bersinar terang. Bukan angin yang cukup kuat menerbangkan anak rambutnya yang sedang duduk di balkon sambil memejamkan mata. Beberapa hari ini ia begitu menikmati kehidupannya. Tidak ada beban pekerjaan yang terus menghantuinya walaupun beban itu tidaklah membuatnya risau sama sekali. "Huh! Cuacanya mendukung untuk nyantai di sini," gumam Nea. Tidak lama kemudian ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Ia langsung menoleh dan tersenyum. "Mas? Mau duduk?" tawar Nea sembari menggeser kursi ke sebelahnya. "Hm," deham Aciel ikut duduk di sebelah Nea. "Di sini dingin, nanti bisa masuk angin," ucap Aciel. Nea tersenyum sambil menggeleng. "Sejuk nggak dingin, enak banget duduk di sini. Oh ya, kerjaannya udah selesai." Ah iya, hari ini Aciel pulang lebih cepat akan tetapi pria itu langsung masuk ke ruang kerjanya. Nea sempat mengantarkan makanan ke ruang kerja sebelum duduk
Rea memandangi ujung kakinya yang sedang memainkan bebatuan yang ada di depan kantor Niko. Gadis itu berencana mengajak Niko untuk makan siang di luar. Sepulang sekolah ya langsung buru-buru ke sini dan menghampiri pria itu. Rea sudah menghubungi Niko tetapi dia mengatakan kalau sedang banyak kerjaan. "Apa aku pulang aja?" gumam Rea. Sesaat kemudian seorang karyawan kantor menghampiri Rea. "Dengan Mbak Rea?"Kepala Rea langsung menoleh ke belakang di mana seorang pria berdiri sambil tersenyum ke arahnya. "Iya," jawab Rea."Pak Niko menyuruh Mbak Rea untuk masuk ke ruangannya, saya akan mengantarkannya."Senyum di wajah gadis itu langsung terbit, ia memegang tali ransel cukup erat dan berjalan mengikuti pria yang ada di depannya. Sepanjang jalan Rea melihat ke kanan dan kiri di mana orang-orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing membawa sebuah kertas, dan juga sedang membicarakan sesuatu yang penting."Mbak, itu ruangan Pak Niko, silakan masuk saja. Saya permisi dulu.""Terima pak,"
Suara riuh dan ucapan syukur yang terus menggema di ruang tamu rumah Indri membuat wanita paruh baya itu tersenyum bahagia. Hari ini semuanya berkumpul dalam rangka merayakan keterimanya Rea di universitas Gajah Mada. Nea, Zee, Aciel, bahkan Galen pun ikut merayakannya. Zee saat ini sedang duduk bersama Omar di teras rumah sambil bercerita banyak hal. Di ruang tamu ada Aciel, Galen, Indri, dan Rea, sementara Nea sedang menyiapkan camilan yang akan dimakan."Bagaimana kerjaan Nak El? Lancar? Ibu dengar Nak El bekerja sama dengan Pak Broto."Ah, sudah lama nama pria yang membuat Aciel dan Nea menikah itu disebut. Semenjak mereka menikah sampai sekarang, Pak Broto masih di luar negeri, kabarnya akan pulang Minggu depan. "Iya Bu, Nea cerita juga kalau dulu pernah tetanggaan sama Pak Broto."Indri mengangguk. "Benar, dulu pak Broto sayang banget sama Nea, beliau nggak punya anak jadinya ke mana pun pergi selalu bawa dia. Rea saat itu masih kecil banget, jadi jarang diajak Pak Broto. Sekara
Di tengah teriknya sinar matahari, Nea mengendarai motor hendak menjemput Zee sekolah. Kali ini ia akan menjemput dengan motor bukan mobil. Sesekali gadis kecil itu harus merasakan nikmatnya naik motor. Nea sempat ragu mengajak Zee menaiki motor akan tetapi ia punya rencana lain dengan gadis kecil itu yang mengharuskan mereka menaiki motor.Ia menunggu cukup lama di sekolah Zee. Nea duduk di bawa pohon sambil bermain ponsel, tidak lama kemudian seseorang duduk di sebelahnya. Penasaran siapa yang udah di sebelahnya, Nea pun menoleh sesaat tetapi matanya langsung tidak bisa beralih. "Mas?" gumamnya melihat pria berpakaian jas duduk di sebelahnya. "Tumben sekali siang-siang begini keluar kantor," ucapnya merasa bingung. Aciel yang tadinya memakai kacamata langsung dilepas. Netra hitamnya langsung menatap Nea. "Kenapa jemputnya naik motor, kamu tahu tingkat kecelakaan pengendara motor sekarang sudah meningkat. Gimana kalau terjadi sesuatu?" Ah ternyata itu alasannya. Nea lupa akan Acie
Lagi Dan lagi rumah Indri kembali ramai dengan kedatangan anak, menantu, serta cucunya. Omar menyambut Zee yang memamerkan buku yang baru saja ia beli. Sementara Nea dan Aciel mulai bercengkrama dengan Indri yang terlihat tidak enak badan. "Ibu kenapa bisa sakit gini?" tanya Nea sembari menyentuh kening Indri dengan punggung tangannya."Gimana?" tanya Aciel."Badan ibu hangat, setelah minum obat akan hilang. Ibu jangan terlalu banyak bergerak. Di mana Rea kenapa nggak keliatan?" Sejak tadi ia tidak melihat keberadaannya gadis itu, bahkan saat dirinya datang tidak ada sambutan sama sekali dari Rea. "Rea ada di kamarnya, ada beberapa berkas yang harus dikirim. Jadi, dari tadi dia sibuk itu.""Oh, Bu, usaha Nea yang kemaren mulai lancar. Banyak yang pesan mie buatan Nea terus risoles banyak juga. Kemarin Mas El bawa ke kantor juga, semuanya pada suka."Indri pun tersenyum bangga mendengar usaha Nea yang mulai lancar terlebih lagi Ia mendapat dukungan dari Aciel. "Syukurlah, maafkan Ibu
Semalaman Nea tidak tidur, ia terus mencoba menghubungi Aciel akan tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Omar pun ikut menemani Nea karena khawatir pada anak sulungnya itu. Pagi ini sudah beberapa kali Omar memaksa sang putri untuk sarapan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Nea. "Ne, ayolah makan. Ibu sudah masak untuk kamu. Jangan hanya duduk seperti itu terus," ucap Omar melihat sang putri duduk di dekat jendela. Tidak ada respon, Nea masih duduk termenung di dekat jendela memikirkan keadaan Aciel. Telepon tidak diangkat dan ia pun tak bisa keluar rumah karena Indri mengurungnya. "Ayah akan coba bujuk ibumu agar bisa keluar, kamu bisa lihat keadaan Nak El. Jangan kayak gini terus, ayah jadi khawatir. Di luar ibumu sudah khawatir karena Rea masih belum bisa dihubungi."Nea memang terlihat acuh akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Omar didengarkannya dengan baik. Ia pun langsung menolehkan kepala, memang Nea belum menghubungi Rea. Apa yang terjadi pada gadis itu?
Matahari mulai tenggelam berganti dengan sinar rembulan akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras dengan ponsel yang terus menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat cemas sejak tadi membuat seorang pria paruh baya yang melihatnya merasa iba. "Ne, mungkin kerjaan Nak El belum selesai. Masuk saja dulu, di luar dingin," ucap Omar membujuk sang putri untuk masuk tapi tidak ada jawaban dari Nea. "Mas El udah janji mau datang, dia pasti datang yah. Ayah saja masuk, Nea tidak apa sendirian." Omar menghela napas berat melihat sang putri yang keras kepala. Ia pun melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. "Sudah jam 9 malam, lebih baik kamu istirahat saja."Nea menggeleng. "Tidak, Nea tidak bisa istirahat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Ponsel Mas El nggak aktif sekarang, tadi masih bisa di telepon. Kak Galen juga nggak angkat telepon Nea, tadi coba telepon kantor katanya mereka berdua nggak ada di kantor sejak pagi. Yah, kira-kira ke mana mereka? Nea khaw
Hari ini adalah hari yang ditunggu Nea. Semalaman wanita itu tidak tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Lihatlah sekarang saat ini Nea sedang sibuk di dapur menyiapkan beberapa makanan yang akan disajikan untuk sang suami. Indri pada awalnya sempat marah akan tetapi Omar membujuk istrinya itu untuk mendengarkan Aciel sekali ini saja. "Ne, jam berapa Nak El datang?" tanya Omar. Nea yang sedang sibuk menggoreng ayam langsung menoleh ke belakang di mana sang ayah tengah duduk di kursi roda dekat pintu dapur. "Katanya siang, yah. Pagi ada kerjaan yang harus dikerjai."Omar mengangguk paham. "Yaudah, ayah mau ke depan dulu jalan-jalan, kalau sudah datang kabari ayah saja." "Oke, hati-hati yah."Perhatian wanita itu kembali pada ayam yang sudah mulai matang. Ia membalikkan ayam itu dan menunggunya beberapa saat sebelum diangkat. Suara derap kaki yang mendekat membuat perhatian Nea kembali teralihkan. Indri berdiri di belakangnya dengan ponsel di tangan. Wajah yang terlihat ce
Rea tertawa melihat Galen yang baru saja terjatuh akibat tersandung. Tawanya yang cukup kuat membuat Galen mendengkus kesal dan berusaha untuk bangkit. Setelah itu, ia menoyor kepala Rea. Mereka baru saja dua hari di Yogyakarta tapi sudah sangat dekat satu sama lain. "Makanya jangan jalan cepat banget kak, tuh malah kesandung kan. Lagian, kebiasaan jalan kayak cheetah," kekeh Rea lalu berjalan meninggalkan Galen. "Kalau ketinggalan kereta gimana? Kamu tahu ini tiket terakhir."Hari ini, Galen akan pulang ke Jakarta. Sebelumnya Galen memperkenalkan Rea dengan teman kuliah Galen dulu yang akan menjaganya selama di sini. Ada beberapa urusan yang harus Galen kerjakan. "Ya ampun, padahal masih ada sepuluh menit lagi. Santai aja kali," ucap Rea tenang. Jika Rea bisa tenang tidak untuk Galen, pria itu sangat tepat waktu dan tidak pernah terlambat oleh karena itu ia berusaha sebisa mungkin untuk datang tepat waktu. "Rea waktu itu sangat berharga, bagi kamu hanya sepuluh menit bagi aku t
Nea melirik ke sekeliling, sekiranya dirasa sudah aman barulah ia mengunci pintu kamar dan mengambil ponsel yang diberikan Rea tempo hari. Ya, setelah kejadian tersebut, Indri menyita ponsel Nea dan membuatnya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Aciel. Untuk keluar saja Nea harus ditemani terlebih dahulu. Hidup Nea jauh dari kata nyaman. Setelah mencari kontak yang ingin dihubungi, barulah Nea langsung menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sang penerima menjawab panggilan Nea."Halo, Ne? Syukurlah akhirnya kamu hubungi aku." Suara yang sudah lama tidak didengar oleh Nea. Hanya suaranya baru terdengar membuat Nea sangat bahagia. Ia langsung mencari posisi nyaman untuk bicara pada orang tersebut. "Iya, mas. Kemarin mau hubungi mas, tapi ibu ngikutin aku Mulu sekarang ibu sedang tidur dan kebetulan ayah duduk di luar, jadi bisa hubungi mas.""Gimana kabar kamu? Semuanya baik, kan?" tanya Aciel. "Nea baik-baik saja, tidak ada masalah hanya kemarahan ibu yang belum reda. Mas g
"Di mana Kak El?" tanya Rea pada Galen yang baru saja datang dengan tas ransel yang seperti tidak ada isinya itu. Mata Rea masih berkeliling melihat keberadaan sosok Aciel. "Kakak nggak ngajak Kak El? Bukannya Rea minta tolong untuk mempertemukan Rea dengan Kak El?" Galen menghela napas. "El di rumah, dia nggak mau diajak bicara. Aku udah coba ngajak dia ke sini tapi nggak ada jawaban. Lebih baik kita tunggu saja mana tahu El akan datang." Harapan satu-satunya akan hubungan mereka adalah cara Aciel membujuk sang ibu. Indri saat ini memang sangat marah akan tetapi perlahan wanita itu akan mendengarkan Nea ataupun Aciel.Cukup lama mereka menunggu, setengah jam lagi kereta aka berangkat tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Aciel hingga pria itu terlihat sedang berjalan ke arah sini dengan wajah datarnya. "Itu Kak El!" Rea membenarkan ransel di punggungnya dan berlari menghampiri Aciel."Kak El, cepat Rea mau bicara!" Rea menarik tangan Aciel dan duduk di kursi yang tidak banyak oran
Suara gedoran pintu yang terus terdengar membuat orang rumah langsung berdecak kesal. Indri berjalan dengan hentakan kaki yang cukup kuat berjalan ke pintu rumah akan tetapi ditahan oleh Nea."Bu, biar Nea saja yang keluar," bujuk Nea.Indri menghempaskan kasar tangan Nea hingga tubuh sang anak terhuyung ke belakang. "Duduk saja di dalam jangan keluar!" tegasnya. Nea langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon sang suami akan tetapi tidak diangkat hingga akhirnya suara pintu terbuka menampilkan wajah Aciel. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Indri dengan nada tinggi. "Bu, dengarkan penjelasan El terlebih dahulu, El akui awal pernikahan kami salah dan telah memaksa Nea untuk menikahi saya—"Indri mengangkat telapak tangannya memberi kode pada Aciel untuk berhenti bicara. "Sudah, saya hanya ingin dengan pengakuan itu. Semuanya sudah jelas, kenapa masih di sini? Silakan pulang, masalah hutang akan saya bayar besok. Silakan pergi dan jangan pernah kembali!" Tangan Indri menarik ga
Sesuai permintaan Nea, sejak pagi Rea sudah mengawasi setiap gerak-gerik Omar dan Indri. Tidak ada yang aneh, malahan Indri yang merasa risih dengan Rea yang selalu mengikuti ke mana ia pergi. "Re, ada masalah apa sih? Kenapa ikutin ibu mulu?" protes Indri.Rea tidak menghiraukannya, ia malah sibuk dengan ponsel seakan dirinya sibuk padahal setelah itu kembali melihat ke arah ibunya tiada henti. "Kamu mau uang?" tanya Indri, teringat akan anak tetangga yang bertingkah persis seperti Rea karena menginginkan uang jajan lebih. Tatapan Rea langsung teralihkan dari ponsel. "Ha? Ibu bilang apa?" Indri berdecak kesal. "Kamu kenapa? Dari tadi sikapnya aneh banget. Kamu butuh uang jajan lebih?" tanya Indri. Sang anak pun menggeleng. "Cuma lihat ibu lagi masak apa. Lagian kak Nea baru ngirim uang jajan banyak, ngapain minta ke ibu lagi.""Yaudah, kamu tolongin ambil daun jeruk di kulkas." Rea pun langsung bangkit dari duduknya mengambil daun jeruk sesuai perintah sang ibu. Saat berbalik,
"El, kamu dan Nea harus bicarakan mengenai pernikahan kalian pada orang tua Nea secepatnya. Niko mulai mengumpulkan bukti menjatuhkanmu. Bahkan, dia sudah tahu Pak Broto yang membuat kamu meminta Nea untuk menikah." Galen memberikan beberapa foto yang menunjukkan Niko menemui sekretaris Pak Broto.Aciel mengacak rambut kasar sambil membuang semua foto-foto itu ke lantai. "Sial! Kenapa dia tidak berhenti?" geram Aciel. "Kamu secepatnya harus membatalkan kontrak pernikahan itu dan berkata jujur dengan orang tua Nea dan juga Tante Dayana sebelum terlambat."Niko sama sekali tidak membiarkan Aciel dapat bernapas lega. Ia pun bangkit dan membalikkan tubuh. Bola mata yang berputar hingga terhenti saat bertemu dengan netra hitam Nea. "Nea?" gumam Aciel dengan kepala yang beralih ke kiri Nea. "Rea?" Kedua kakak beradik itu berdiri sambil memandangi Aciel yang terlihat kaget. Terlebih lagi Rea yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Nea yang langsung menoleh ke kiri, makanan yang dipega