"Gajian kurang berapa hari?" tanya Tania pada Niar."Sepuluh hari lagi. Kenapa, Tan? Kamu sudah kehabisan uang? Mau pinjam sama aku?"Tania menggeleng lemah sambil tersenyum. "Setelah gajian aku akan mengundurkan diri."Niar yang mendengar tersentak kaget. "Kenapa?""Suamiku melarang.""Suami? Memang kamu sudah bersuami?""Ya. Lelaki yang menemuiku beberapa waktu lalu adalah suamiku, namanya Mas Hanif," jawab Tania."Wah, bakal patah hati si Arnold," ucap Niar sambil cekikikan. Ia malah punya rencana konyol untuk mengerjai temannya itu. Tidak bisa dipungkiri kalau selama ini ia menyukai Arnold secara diam-diam, tetapi lelaki itu lebih memilih Tania."Kenapa dengan Arnold?""Nggak apa-apa, udah, lupain saja," jawab Niar.***Malam hari...Tania sudah ditunggu oleh Hanif diluar. Ia melangkahkan kaki nya dengan cepat."Sudah lama menunggu?" tanya Tania sambil memakai sabuk pengaman. "Belum, paling setengah jam yang lalu.""Itu mah sudah lama.""Bagiku tidak lama, karena aku menunggu cal
"Aku tidak bisa hidup denganmu, Beni. Tolong, mengertilah," ucap Murni sambil terisak."Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tetapi ingat, aku akan bawa anakku pergi!""Apa kamu belum jera membuatku menderita? Kamu sudah menodaiku, kamu juga sudah memisahkanku dengan lelaki yang ku cintai. Apa itu semua belum cukup?""Itu karena salahmu. Dulu kau menghinaku dan keluargaku, juga Hanif kesayanganmu yang selalu ikut campur!""Tapi aku sudah meminta maaf. Apa itu masih kurang?"Beni tersenyum sinis."Bahkan selama itu aku masih sangat membenci lelaki itu, ingin sekali aku membunuhnya.""Jangan sakiti dia, biarkan dia bahagia. Cukup aku yang kamu sakiti," pinta Tania."Jangan berpikir sepicik itu. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya.""Aku mohon, jangan ambil anakku.""Kalau begitu, menikahlah denganku, maka semuanya akan ku anggap selesai, aku tidak akan menyakiti keluargamu dan juga lelaki itu," ucap Beni.Murni nampak berpikir, tetapi mau gimana lagi. Ia tidak mau dipisah
"Aku memang belum merasakan bagaimana rasanya mempunyai anak, tetapi aku tahu rasanya kehilangan," ucap Tania selesai pemakaman Tristan.Malam ini mereka menginap di rumah kakaknya untuk mengikuti acara tahlilan."Kita semua merasa kehilangan tetapi jangan sampai larut dalam kesedihan. Kasihan Tristan, dia tidak akan tenang kalau terus-terusan ditangisi," ucap Hanif sambil membelai lembut kepala istrinya.Tania pun mengangguk. Ia naik turunkan pikirannya dan mencoba ikhlas dengan apa yang telah terjadi.Setelah itu Hanif mengajak istrinya untuk tidur. Sedangkan Tania sama sekali tidak bisa memejamkan mata.Hanif yang sadar akan kegelisahan istrinya pun langsung memeluk tubuh istrinya dan berharap bisa memberikan ketenangan."Tidur," ucap Hanif."Aku nggak bisa tidur.""Dipaksa, jangan sampai kamu sakit. Besok kita masih repot, kalau kamu kurang tidur, yang ada badan kamu akan drop. Aku nggak mau kamu sakit," ucap Hanif sambil merekatkan pelukannya."Iya, Mas." Lalu Tania pun mencoba m
"Sebelumnya maaf, Bu. Anak yang di bawa Murni anak siapa? Karena selama kami menjalin hubungan, saya belum pernah menyentuhnya sama sekali," ucap Hanif. Ia tidak mau kalau kedatangan ibunya Murni untuk meminta pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak dia lakukan."Ibu percaya kamu lelaki baik, Hanif. Kamu tidak akan melakukan hal itu. Adapun tentang anak itu, itu anak dari hasil pemerkosaan. Murni telah diperkosa."Hanif yang mendengar tersentak tidak percaya. Kini ia tatap tajam wanita paruh baya dihadapannya. Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia lontarkan."Murni diperkosa?" tanya Hanif lagi."Iya, jiwanya hancur. Dua hari yang lalu dia pulang dan menceritakan semuanya. Awalnya Ibu tidak percaya, Ibu kira dia orang yang mirip sama Murni, tetapi setelah penjelasannya dan beberapa bukti kuat kalau dia Murni, baru Ibu bisa mempercayainya.""Maaf waktu itu saya tidak bisa menjaga Murni dengan baik. Semua yang terjadi karena salah saya," ucap Hanif penuh penyesalan."Semuanya sudah m
"Kamu bicara apa sih? Aku nggak suka kamu bicara tentang perpisahan," ucap Hanif yang mulai terpancing emosi. Dia memang tidak suka kalau istrinya membahas masalah perceraian."Kalau kita berpisah, kamu bisa balik pada Mbak Murni, kamu bisa melanjutkan hubunganmu yang pernah terputus dan kamu bisa menebus kesalahanmu di masa lampau.""Bicaramu semakin ngawur! Aku nggak suka kamu seperti ini," ucap Hanif.Tania diam saja. Dalam hatinya ia juga merasakan sakit saat mengatakan ini, tetapi ia sudah dikuasi rasa cemburu."Kamu kenapa, Tania?" ucap Hanif yang mulai melunak. Ia sadar, ketika istrinya bersikap keterlaluan, pasti ada hal yang memicu."Aku capek. Aku mau tidur.""Kamar kamu bukan di sini, tetapi di sebelah.""Malam ini aku ingin tidur di sini," jawab Tania."Baiklah. Aku tidak akan memaksa," ucap Hanif lalu beranjak meninggalkan Tania sendiri, ia merasa lelah dan tak tahu harus berbuat. Ia merasa benar-benar kesal terhadap istrinya itu. Makanya lebih baik ia memberikan ruang te
Murni tersentak ketika melihat kedatangan Hanif. Hatinya begitu berdebar melihat lelaki yang masih bertahta dihatinya bersedia datang ke rumahnya."Malam, Murni," ucap Hanif."Malam, Mas," jawab Murni dengan senyum. Saat ini ia begitu yakin kalau Hanif masih sangat mencintainya, tetapi ia sedih karena tidak bisa berjodoh dengan lelaki itu."Silahkan duduk, Mas," ucap Murni setelah beberapa saat hening. Jujur saja, ia begitu gugup. Memang sebelumnya ia sempat bertemu Hanif, tetapi yang lelaki itu tahu, dirinya adalah Mitha, bukan Murni."Terimakasih." Hanif pun duduk di hadapan Murni. Ada rasa canggung setelah lama mereka tidak bertemu, selain itu ada rasa bersalah yang mendalam ketika mendengar Murni diperkosa."Ibu mana?" tanya Hanif memecah keheningan."Ada, masih dibelakang," jawab Murni mata tak lepas dari Hanif. Sedangkan Hanif sendiri merasa risih ketika dipandang seperti itu."Murni.""Ya.""Aku minta maaf," ucap Hanif."Untuk?""Untuk semua yang telah terjadi. Semua salahku. A
"Kamu kemana, Tania!" teriak Hanif lagi. Tapi percuma saja, sekencang apapun ia berteriak, istrinya itu sudah pergi jauh. Penyesalan tinggallah penyesalan.Tak tinggal diam, Hanif langsung menghubungi kakak iparnya, ia berharap kalau Tania pulang ke rumah kakaknya, tetapi hasilnya nihil. Tania tidak ada di sana, dia juga tidak menghubungi kakaknya sama sekali.Setelah itu berganti pada orang yang dekat dengan istrinya, semuanya juga tak ada yang mengetahui.Hanif semakin frustasi. Tak putus asa, ia melajukan mobilnya ke tempat istrinya ngontrak dulu, tapi di sana tidak ada orang sama sekali.Diambilnya handphone, mencoba menghubungi, sama saja, nomor itu tidak aktif bahkan pesan WA nya pun hanya centang satu."Kamu dimana, Tania?" ucap Hanif. Ia begitu benar-benar takut kehilangan istrinya, ia takut istrinya tak akan kembali karena kebodohan yang ia buat sendiri.Selang beberapa menit ada panggilan masuk di ponselnya. Dengan cepat ia ambil ponsel itu dan berharap tertera nama Tania di
"Semoga Tania bisa segera ditemukan ya, Mas," ucap Linda pada suaminya saat mereka tengah beranjak tidur."Aamiin. Kasihan Hanif, dia sangat terpuruk. Sebagai lelaki aku tahu apa yang dirasakan Hanif, dia terlihat sangat menyesal," jawab Zaki.Di sini Linda ingin mengatakan sesuatu selain membahas adik iparnya, tetapi ia takut kalau suaminya akan marah."Kenapa melamun? Ayok tidur, besok kita akan menempuh perjalanan panjang, jangan sampai kamu kecapean," ucap Zaki."Aku teringat Tristan, aku kangen sama dia, Mas," bohong Linda. Padahal bukan itu yang membuat pikirannya terganggu. "Ikhlas kan. Tristan sudah tenang di sana," ucap Zaki, padahal hatinya juga bergemuruh hebat. Ia juga belum sepenuhnya ikhlas dengan kepergian anaknya. Tetapi ia akan mencoba, bukankah semua yang hidup pasti akan merasakan mati?"Iya, Mas."***Langit nampak cerah ketika Hanif dan juga ibunya datang menjemput Zaki. Hari ini mereka akan melakukan perjalanan ke kota Blitar. Hanif sendiri sudah mengajukan cuti
"Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung
Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel
"Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant
"Apa ada saksinya, Mas, yang melihat kejadian itu?" tanya Tania saat ia sudah sampai di kediaman kakaknya. Melihat kondisi kakaknya, membuat Tania merasa prihatin. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan Kakak iparnya itu tidak sesuai realita.Sewaktu di telepon Kakak iparnya mengatakan jika Zaki tidak apa-apa tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Di hadapan Tania, tubuh kakaknya itu mengalami banyak luka. Apalagi di lengan kirinya, goresannya cukup parah."Tadi ada yang melihat plat mobilnya, ada juga yang mengejar tetapi tidak kekejar," jawab Zaki sambil meringis kesakitan saat luka itu terasa nyut-nyutan."Bawa ke rumah sakit saja, Mas. Itu lukanya cukup parah loh," tawar Hanif. Dirinya pun sama seperti istrinya, tidak tega melihat kondisi kakaknya seperti ini."Tadi sudah dibawa ke Puskesmas terdekat. Ini sudah tidak apa-apa kok," jawab Zaki yang merasa tak enak dengan adiknya. Terpaksa ia harus berbohong karena tidak mungkin berkata sejujurnya. Mereka sudah mau membantu membenahi ge
"Sekali lagi kamu menghina istri saya, maka mulut Anda akan saya sumpal dengan sandal ini!" bentak Hanif sambil menunjukkan sandal yang ia pakai."Ini Murni, kan?" tanya wanita itu yang seperti kebingungan."Dia Tania, bukan Murni!" tegas Hanif yang masin tak terima, apalagi melihat anaknya meringsut ketakutan saat melihat wanita itu marah-marah."Jadi bukan Murni?" tanyanya lagi memastikan."Apa mata Ibu sudah rabun sehingga tidak bisa membedakan mana Murni dan mana orang lain?" tanya Tania pelan tapi terdengar nyelekit."Saya rasa Ibu terlalu muda jika harus pikun," ucapnya lagi.Sedangkan wania itu tergagap menahan malu karena merasa salah sasaran. Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya tanpa berani menatap dua manusia di depannya."Maaf," ucap wanita itu. "Kata maaf mudah saja dilontarkan, tapi apa Ibu tahu imbas dari ucapan Ibu ini, anak saya ketakutan dan saya takut mempengaruhi mentalnya," jawab Tania sambil menatap tajam. Ia benar-benar tidak tahu siapa wanita ini, selam
"Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar
"Lanjut saja, Mas," ucap Murni saat suaminya itu menghentikan motornya sejenak. Sama seperti yang ada dalam pikiran istrinya, sepertinya ia tak asing dengan corak baju itu, tapi hatinya mengatakan mungkin saja yang punya baju model itu banyak dan bukan satu orang saja.Menempuh waktu seperempat jam untuk keduanya sampai di kontrakan mereka. Kontrakan itu terlihat kecil dan tidak seperti rumah ibunya yang besar, tetapi Murni menerima, mungkin dengan ini konflik bersama suaminya bisa lebih dihindari."Semoga betah," ucap Randi sambil membantu anaknya turun dari motor. "Aku akan betah, Mas, selagi aku bisa bersama kamu terus," jawab Murni. Kini mereka masuk ke rumah tersebut, dan di sana semuanya sudah tersusun rapi. Randi memang sengaja membersihkan dahulu sebelum memboyong anak istrinya ke sini.Kontrakan itu terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu, kamar mandi pun berada di belakang dekat dengan dapur."Farel kamarnya di sana, ya?" ucap Randi sambil membawa anak sambungnya tersebu
Mendengar ucapan suaminya, Tania tak kuasa menahan air matanya. Kini dengan cepat ia pergi dari hadapan Hanif dan mengurung diri di kamar.Hanif yang sadar akan ucapannya lantas mendekati istrinya."Sayang, maafin aku," ucap Hanif lembut sambil meraih pundak istrinya."Kamu tidak salah, akunya saja yang bebal dan tak bisa dibilangin," jawab Tania dengan isak tangisnya. Kini ia menunduk, sakit banget dikatain seperti itu apalagi selama ini Hanif nyaris tak pernah berkata kasar padanya."Maksudku bukan itu." Hanif berkata pelan sambil meraih tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan."Aku akan kembalikan uang ini pada ibunya Mas Randi, kalau dia mau minta tolong, biar pada orang baik yang mau menolongnya," ucap Tania dan langsung beranjak. Kini ia usap air mata itu."Jangan seperti ini, Tania," ucap Hanif sambil menahan kepergian istrinya. Bukan tak mau dimintai tolong, tapi Hanif lebih menjaga rumah tangganya, ia tak mau sampai kejadian waktu dulu terulang lagi. "Sayang, aku mint
"Aku ke sini untuk mengambil anak suamiku," ucap wanita itu yang tak lain adalah Via. Dia tak datang sendiri tetapi datang bersama wanita paruh baya, Murni sendiri tahu siapa wanita di sebelahnya karena memang tak pernah bertemu."Dia anakku," jawab Murni yang paham akan maksud perempuan itu. Seketika ia teringat akan ucapan mantan suaminya yang mengatakan jika sampai kapanpun ia tetap ayahnya Farel."Kamu tidak lupa kan, jika Beni adalah ayah anakmu, kurasa ingatanmu masih kuat, jadi Beni menyuruhku untuk membawa Farel," jawab Via dengan sesantai mungkin."Aku tidak akan memberikan anakku.""Kamu jangan lupa, Murni, jika dia juga anak Beni, dan Beni juga berhak atas anak itu," ketus Via."Tapi aku yang mengurusnya, aku yang memberi kasih sayang, bukan Beni," tekan Murni."Kalau kamu tidak mau memberikan anak itu padaku, maka biar Beni sendiri yang akan mengambilnya," jawab Via dan langsung beranjak, tapi wanita di sampingnya itu tak mengikuti langkah Via tetapi malah mendekat ke arah