"Kamu bicara apa sih? Aku nggak suka kamu bicara tentang perpisahan," ucap Hanif yang mulai terpancing emosi. Dia memang tidak suka kalau istrinya membahas masalah perceraian."Kalau kita berpisah, kamu bisa balik pada Mbak Murni, kamu bisa melanjutkan hubunganmu yang pernah terputus dan kamu bisa menebus kesalahanmu di masa lampau.""Bicaramu semakin ngawur! Aku nggak suka kamu seperti ini," ucap Hanif.Tania diam saja. Dalam hatinya ia juga merasakan sakit saat mengatakan ini, tetapi ia sudah dikuasi rasa cemburu."Kamu kenapa, Tania?" ucap Hanif yang mulai melunak. Ia sadar, ketika istrinya bersikap keterlaluan, pasti ada hal yang memicu."Aku capek. Aku mau tidur.""Kamar kamu bukan di sini, tetapi di sebelah.""Malam ini aku ingin tidur di sini," jawab Tania."Baiklah. Aku tidak akan memaksa," ucap Hanif lalu beranjak meninggalkan Tania sendiri, ia merasa lelah dan tak tahu harus berbuat. Ia merasa benar-benar kesal terhadap istrinya itu. Makanya lebih baik ia memberikan ruang te
Murni tersentak ketika melihat kedatangan Hanif. Hatinya begitu berdebar melihat lelaki yang masih bertahta dihatinya bersedia datang ke rumahnya."Malam, Murni," ucap Hanif."Malam, Mas," jawab Murni dengan senyum. Saat ini ia begitu yakin kalau Hanif masih sangat mencintainya, tetapi ia sedih karena tidak bisa berjodoh dengan lelaki itu."Silahkan duduk, Mas," ucap Murni setelah beberapa saat hening. Jujur saja, ia begitu gugup. Memang sebelumnya ia sempat bertemu Hanif, tetapi yang lelaki itu tahu, dirinya adalah Mitha, bukan Murni."Terimakasih." Hanif pun duduk di hadapan Murni. Ada rasa canggung setelah lama mereka tidak bertemu, selain itu ada rasa bersalah yang mendalam ketika mendengar Murni diperkosa."Ibu mana?" tanya Hanif memecah keheningan."Ada, masih dibelakang," jawab Murni mata tak lepas dari Hanif. Sedangkan Hanif sendiri merasa risih ketika dipandang seperti itu."Murni.""Ya.""Aku minta maaf," ucap Hanif."Untuk?""Untuk semua yang telah terjadi. Semua salahku. A
"Kamu kemana, Tania!" teriak Hanif lagi. Tapi percuma saja, sekencang apapun ia berteriak, istrinya itu sudah pergi jauh. Penyesalan tinggallah penyesalan.Tak tinggal diam, Hanif langsung menghubungi kakak iparnya, ia berharap kalau Tania pulang ke rumah kakaknya, tetapi hasilnya nihil. Tania tidak ada di sana, dia juga tidak menghubungi kakaknya sama sekali.Setelah itu berganti pada orang yang dekat dengan istrinya, semuanya juga tak ada yang mengetahui.Hanif semakin frustasi. Tak putus asa, ia melajukan mobilnya ke tempat istrinya ngontrak dulu, tapi di sana tidak ada orang sama sekali.Diambilnya handphone, mencoba menghubungi, sama saja, nomor itu tidak aktif bahkan pesan WA nya pun hanya centang satu."Kamu dimana, Tania?" ucap Hanif. Ia begitu benar-benar takut kehilangan istrinya, ia takut istrinya tak akan kembali karena kebodohan yang ia buat sendiri.Selang beberapa menit ada panggilan masuk di ponselnya. Dengan cepat ia ambil ponsel itu dan berharap tertera nama Tania di
"Semoga Tania bisa segera ditemukan ya, Mas," ucap Linda pada suaminya saat mereka tengah beranjak tidur."Aamiin. Kasihan Hanif, dia sangat terpuruk. Sebagai lelaki aku tahu apa yang dirasakan Hanif, dia terlihat sangat menyesal," jawab Zaki.Di sini Linda ingin mengatakan sesuatu selain membahas adik iparnya, tetapi ia takut kalau suaminya akan marah."Kenapa melamun? Ayok tidur, besok kita akan menempuh perjalanan panjang, jangan sampai kamu kecapean," ucap Zaki."Aku teringat Tristan, aku kangen sama dia, Mas," bohong Linda. Padahal bukan itu yang membuat pikirannya terganggu. "Ikhlas kan. Tristan sudah tenang di sana," ucap Zaki, padahal hatinya juga bergemuruh hebat. Ia juga belum sepenuhnya ikhlas dengan kepergian anaknya. Tetapi ia akan mencoba, bukankah semua yang hidup pasti akan merasakan mati?"Iya, Mas."***Langit nampak cerah ketika Hanif dan juga ibunya datang menjemput Zaki. Hari ini mereka akan melakukan perjalanan ke kota Blitar. Hanif sendiri sudah mengajukan cuti
"Kenapa kamu setega itu meninggalkan aku?" tanya Hanif dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya, setelah tiga minggu tidak bertemu dan menahan semua kerinduan, hari ini ia kembali dipertemukan dengan sang istri."Maaf," ucap Tania, ia sama sekali tak berani menatap Hanif. Hatinya masih sakit, ia belum bisa bertemu dengan suaminya."Kamu tahu, aku hampir gila tanpamu. Aku mencarimu ke sana kemari, tapi kamu seperti hilang ditelan bumi. Dan kini akhirnya aku bisa menemukanmu di sini," ucap Hanif. Kini ia semakin mendekat, kerinduan yang selama ini ia rasa seakan tak bisa ia kendalikan. Ia mencoba memeluk istrinya itu, tetapi Tania lebih memilih menghindar dan berlalu dari hadapan suaminya."Semua asumsi mu salah besar, Tania. Aku...""Stop, Mas. Aku tidak ingin mendengarkan semua alasanmu," jawab Tania memotong ucapan Hanif. Hanif menatap tak percaya. Sebegitu terlukanya kah istrinya saat ini? Ia sadar apa yang telah dilakukannya salah besar, tanpa mendengarkan ucapan istrinya, ia lebih mem
"Kenapa nggak memberi kabar kalau mau datang ke sini? Jadinya nggak ada persiapan," ucap Mbak Sri membuka percakapan saat semuanya tengah berkumpul di meja makan.Hanif sendiri lebih memilih diam, ia juga tidak seperti awal tadi yang terus-menerus mendekati istrinya.Kini ia lebih banyak diam dan tak terlalu merespon obrolan hangat mereka.Tania pun juga begitu, selain karena masih kecewa dengan peristiwa Murni, ia juga marah dengan tuduhan suaminya. Ia merasa suaminya menilainya wanita gampangan. "Sebenarnya mau memberitahu, tetapi tidak jadi karena ingin memberi kejutan buat Tania," jawab Zaki. Ia nampak biasa berbicara dengan Mbak Sri, selain karena masih ada hubungan saudara, tautan umurnya pun tidak terlalu jauh."Dan kamu berhasil. Tania nampak begitu shock dengan kedatangan kalian," ucap Mbak Sri sambil menatap ke arah Tania. "Mas Hanif kok lebih banyak diam?" tanya Mbak Sri pada Hanif."Capek, Mbak," jawab Hanif sesingkat mungkin."Tania, ajak suamimu beristirahat karena mul
"Mas Hanif, kamu kenapa?" tanya Tania sambil mengguncangkan tubuh suaminya. Tetapi tubuh itu hanya diam tak bergerak."Mas, jangan bercanda ya? Aku nggak suka kamu kaya gini," ucap Tania lagi. Ia semakin panik melihat kondisi suaminya, ia belum pernah sekalipun melihat suaminya pingsan seperti ini.Sedangkan Vino yang tak sengaja melihat Om nya tak sadarkan diri, dia langsung ke depan dan memberitahu ayahnya.Semua orang panik lalu beranjak ke dapur untuk melihat Hanif."Hanif kenapa, Tan?" tanya Zaki."Nggak tahu. Tiba-tiba saja Mas Hanif ambruk begitu saja," jawab Tania tak bisa menyembunyikan tangisnya."Angkat ke dalam, biar aku panggilkan bidan Desa," ucap Mbak Sri.Dibantu yang lainnya Hanif pun dibopong menuju kamarnya."Sudah, tidak apa-apa. Hanif kalau banyak pikiran dan kurang istirahat memang seperti ini," ucap Ibu mertuanya menenangkan Tania. "Apa selama ini Mas Hanif kurang tidur, Bu?" tanya Tania lagi.Ibu mertuanya mengangguk. Ia menyaksikan sendiri anaknya yang kurang
Kenapa nggak kunci pintu kalau mau itu," sindir Randi. Kini tatapannya menelisik ke arah Tania dan juga Hanif.Dirinya memang tidak tahu kalau mereka berdua adalah suami istri, yang ia tahu, Hanif adalah saudara jauh dari Mbak Sri."Jangan berpikir macam-macam, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap Tania lalu beranjak pergi. "Di rumah ini hanya ada kalian berdua dan tidak ada siapapun di sini, lalu apa aku tidak boleh berpikir aneh-aneh?"Tania tak menanggapi. Ia hanya berlalu dan melewati Randi begitu saja. Baginya pertanyaan Randi hanya lelucon belaka."Tan, aku mau bicara," ucap Randi sambil mengikuti langkah Tania."Bicara saja. Biasanya juga langsung bicara," jawab Tania sambil melanjutkan membuat kue."Kamu suka lelaki tadi?""Bukan urusanmu," ketus Tania. Ia memang tidak menyukai jika ada seseorang yang bertanya tentang dirinya, apalagi hatinya. Karena semua itu termasuk privasi dan tidak semua orang boleh mengetahuinya."Aku hanya ingin menjaga kamu dari lelaki yang t