"Mas Hanif, kamu kenapa?" tanya Tania sambil mengguncangkan tubuh suaminya. Tetapi tubuh itu hanya diam tak bergerak."Mas, jangan bercanda ya? Aku nggak suka kamu kaya gini," ucap Tania lagi. Ia semakin panik melihat kondisi suaminya, ia belum pernah sekalipun melihat suaminya pingsan seperti ini.Sedangkan Vino yang tak sengaja melihat Om nya tak sadarkan diri, dia langsung ke depan dan memberitahu ayahnya.Semua orang panik lalu beranjak ke dapur untuk melihat Hanif."Hanif kenapa, Tan?" tanya Zaki."Nggak tahu. Tiba-tiba saja Mas Hanif ambruk begitu saja," jawab Tania tak bisa menyembunyikan tangisnya."Angkat ke dalam, biar aku panggilkan bidan Desa," ucap Mbak Sri.Dibantu yang lainnya Hanif pun dibopong menuju kamarnya."Sudah, tidak apa-apa. Hanif kalau banyak pikiran dan kurang istirahat memang seperti ini," ucap Ibu mertuanya menenangkan Tania. "Apa selama ini Mas Hanif kurang tidur, Bu?" tanya Tania lagi.Ibu mertuanya mengangguk. Ia menyaksikan sendiri anaknya yang kurang
Kenapa nggak kunci pintu kalau mau itu," sindir Randi. Kini tatapannya menelisik ke arah Tania dan juga Hanif.Dirinya memang tidak tahu kalau mereka berdua adalah suami istri, yang ia tahu, Hanif adalah saudara jauh dari Mbak Sri."Jangan berpikir macam-macam, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap Tania lalu beranjak pergi. "Di rumah ini hanya ada kalian berdua dan tidak ada siapapun di sini, lalu apa aku tidak boleh berpikir aneh-aneh?"Tania tak menanggapi. Ia hanya berlalu dan melewati Randi begitu saja. Baginya pertanyaan Randi hanya lelucon belaka."Tan, aku mau bicara," ucap Randi sambil mengikuti langkah Tania."Bicara saja. Biasanya juga langsung bicara," jawab Tania sambil melanjutkan membuat kue."Kamu suka lelaki tadi?""Bukan urusanmu," ketus Tania. Ia memang tidak menyukai jika ada seseorang yang bertanya tentang dirinya, apalagi hatinya. Karena semua itu termasuk privasi dan tidak semua orang boleh mengetahuinya."Aku hanya ingin menjaga kamu dari lelaki yang t
Jantung Tania berdegup keras. Ia tidak menyangka kalau Hanif akan sekecewa ini. Ia pun juga tak bermaksud membuatnya terluka."Kenapa kamu berbicara seperti itu? Secara tidak langsung, kamu telah menuduhku mempunyai lelaki lain," lirih Tania. Kini ia melangkah mendekati sang suami. Ingin sekali berkata jangan pergi tetapi lidahnya terasa sangat kelu."Aku tidak mengatakan itu. Coba cerna sekali lagi apa yang baru saja ku ucapkan," jawab Hanif tanpa menoleh sedikitpun. Hatinya benar-benar hancur saat ini."Mas, maafin aku.""Kamu tidak salah, Tania. Aku lah yang bersalah.""Tapi kenapa kamu pergi. Dengan kamu yang seperti ini malah membuatku yakin kalau aku yang bersalah."Hanif menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu ia membalikkan badan dan menatap istrinya dengan lekat."Apa kamu mencintaiku?"Tania terhenyak, sudah tentu rasa itu masih ada, kenapa juga suaminya bertanya seperti ini, harusnya tanpa bertanya dia sudah tahu jawabannya."Tolong jawab jujur, apa kamu mencintaiku?" tanya
"Tania, ku tekankan sekali lagi. Ini adalah permintaan dariku untuk yang terakhir kalinya. Mau kah kamu menjadi istriku lagi? Aku tak mau menjanjikan apapun selain kebahagiaan karena ku yakin kamu pun tidak akan percaya," ucap Hanif. Kini ia mengambil nafas dalam, ada suatu perasaan yang sulit ia cerna, ntah itu takut, ragu atau bahagia.Takut akan ditolak, ragu akan sebuah perasaan istrinya dan bahagia karena istrinya menahan kepergiannya."Tania, mau kah kamu menerima cintaku lagi, lalu kita bina hubungan kita dari awal dan menjadi orang tua yang utuh untuk anak-anak kita kelak?""Ada syaratnya, Mas," ucap Tania dengan ragu. Ia ragu kalau suaminya akan menolak syarat itu."Apa syaratnya?""Aku ingin kita tinggal di sini dan menghilang dari jejak Mbak Murni, aku nggak mau kalau kamu masih terbayang masa lalumu," jawab Tania."Aku setuju. Tinggal di sini rasanya juga enak dan sekali lagi ku tegaskan, tidak ada Murni dalam hubungan kita, dimana pun kita berada, walaupun Murni yang akan
"Jangan macam-macam kamu. Dia itu istriku!" bentak Hanif tak terima. Sejujurnya ia sudah menduga kalau lelaki ini menaruh hati pada istrinya."Tenang saja, aku cuma mengutarakan isi hatiku tanpa ada niat merebut istrimu," jawab Randi. Ia memang tak ada niat merebut tetapi ia sangat sulit menahan hatinya. Kejadian kemarin saat mendengar Mbak Sri menyebut mertua Tania, ia baru sadar kalau lelaki di samping wanita itu adalah suaminya. "Lalu tujuanmu mengatakan cinta pada istriku itu apa?!" Hanif nampak sekali tak terima. Jujur saja ia cemburu walaupun melihat istrinya nampak biasa saja. Bahkan respon Tania bukan nampak senang, ia hanya menunjukkan wajah datar."Tidak ada. Aku hanya ingin Tania tahu kalau aku mencintainya.""Pulanglah, Mas. Aku sudah bersuami, percuma saja kamu mengatakan perasaanmu. Kenyataannya memang aku tak ada perasaan," lirih Tania. Ia nampak tak enak saat mengatakan itu."Baiklah. Datanglah ke hari pernikahanku nanti," ucap Randi."Kapan?" Satu bulan lagi.""Ins
Tania menatap lama layar ponsel itu, ada perasaan iba tetapi ada juga khawatir.Mungkinkah selama ini suaminya masih sering menghubungi wanita itu?Lalu tujuan suaminya memintanya kembali untuk apa kalau mereka berdua masih sering berhubungan."Kenapa bengong?" tanya Hanif menghampiri istrinya. Bahakan Tania sendiri sampai tidak sadar ketika suaminya telah menyelesaikan mandinya."Enggak.""Kamu jangan berpikir macam-macam. Oh iya, udah kamu blokir nomor itu?" tanya Hanif.Tania menggeleng."Bukan hak ku untuk memblokir nomor seseorang di ponsel kamu, Mas. Kamu punya jari dan kalau pun kamu mau, sudah dari dulu kamu blokir nomor itu."Hanif mengangguk faham. Ia tahu istrinya tengah cemburu, karena tak mau Tania berpikir macam-macam lagi, ia pun mengambil ponselnya lalu memblokir nomor Murni."Sudah. Kamu bisa lihat," ucap Hanif sambil memperlihatkan bukti blokiran tersebut.Tania hanya menatap tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ntah kenapa moodnya mendadak hilang.Hanif pun berlutut di
Hanif masih diam mematung dan di posisi yang sama. Ia sama sekali enggan untuk sekedar mendekat. Ia tak mau terjadi konflik antara dirinya dan juga istrinya. Kedatangannya ke sini bukan karena inginnya, tetapi karena permintaan istrinya. Kalau bukan Tania yang meminta tentu ia sudah pergi. "Hanif?" panggil ibunya Murni."Maaf, Bu. Saya tidak bisa karena saya dengan Murni sudah tidak ada hubungan apapun. Seseorang yang boleh membutuhkan saya hanya Tania dan keluarga, tidak dengan wanita lain," jawab Hanif. Bahkan kini genggaman tangannya semakin dieratkan ke tangan istrinya."Lalu untuk apa kamu ke sini kalau bukan untuk Murni?" tanya ibunya Murni dengan tatapan tajam. Sebenarnya ia sangat mengharap kalau anaknya bisa kembali dengan Hanif, karena ia tahu anaknya masih sangat mencintai lelaki itu."Bukan saya, tetapi istri saya yang ingin melihat kondisi Murni."Tania menghela nafas panjang, lalu ia berjalan mendekat ke arah Murni. Ibunya pun hanya menatap sinis ke arah Tania tanpa me
Tani terdiam beberapa saat sambil menatap wanita itu. Segenap kekuatannya ia kumpulkan juga memikirkan harus dijawab apa ucapan wanita tak punya belas kasih ini.Seketika ia baru menyadari kalau wanita ini tidak terlalu menyukainya."Ingat, Tania. Kamu hanya orang ketiga dalam hubungan Hanif dan juga Murni," ucap ibunya Murni. Tania tersentak kaget, tidak menyangka kalau wanita itu akan berkata demikian. Rasanya kepalanya sudah mendidih, ia ingin sekali marah lalu memaki-maki wanita itu, tetapi hatinya berkata jangan.Tania sadar, ia harus mengahadapi wanita itu dengan kepala dingin, tidak mungkin ia akan bar-bar dan memaki-maki wanita itu. Hal ini akan semaki merendahkan dirinya sebagai wanita. Ia ingin menunjukkan siapa dirinya dan apa masih pantas untuk dihina."Tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap anda, tetapi asumsi anda tentang saya ternyata nol besar," ucap Tania menjeda ucapan. Bahkan wanita itu memandangnya dengan tatapan tak mengerti."Saya kira sebagai sesama wanit
"Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung
Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel
"Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant
"Apa ada saksinya, Mas, yang melihat kejadian itu?" tanya Tania saat ia sudah sampai di kediaman kakaknya. Melihat kondisi kakaknya, membuat Tania merasa prihatin. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan Kakak iparnya itu tidak sesuai realita.Sewaktu di telepon Kakak iparnya mengatakan jika Zaki tidak apa-apa tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Di hadapan Tania, tubuh kakaknya itu mengalami banyak luka. Apalagi di lengan kirinya, goresannya cukup parah."Tadi ada yang melihat plat mobilnya, ada juga yang mengejar tetapi tidak kekejar," jawab Zaki sambil meringis kesakitan saat luka itu terasa nyut-nyutan."Bawa ke rumah sakit saja, Mas. Itu lukanya cukup parah loh," tawar Hanif. Dirinya pun sama seperti istrinya, tidak tega melihat kondisi kakaknya seperti ini."Tadi sudah dibawa ke Puskesmas terdekat. Ini sudah tidak apa-apa kok," jawab Zaki yang merasa tak enak dengan adiknya. Terpaksa ia harus berbohong karena tidak mungkin berkata sejujurnya. Mereka sudah mau membantu membenahi ge
"Sekali lagi kamu menghina istri saya, maka mulut Anda akan saya sumpal dengan sandal ini!" bentak Hanif sambil menunjukkan sandal yang ia pakai."Ini Murni, kan?" tanya wanita itu yang seperti kebingungan."Dia Tania, bukan Murni!" tegas Hanif yang masin tak terima, apalagi melihat anaknya meringsut ketakutan saat melihat wanita itu marah-marah."Jadi bukan Murni?" tanyanya lagi memastikan."Apa mata Ibu sudah rabun sehingga tidak bisa membedakan mana Murni dan mana orang lain?" tanya Tania pelan tapi terdengar nyelekit."Saya rasa Ibu terlalu muda jika harus pikun," ucapnya lagi.Sedangkan wania itu tergagap menahan malu karena merasa salah sasaran. Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya tanpa berani menatap dua manusia di depannya."Maaf," ucap wanita itu. "Kata maaf mudah saja dilontarkan, tapi apa Ibu tahu imbas dari ucapan Ibu ini, anak saya ketakutan dan saya takut mempengaruhi mentalnya," jawab Tania sambil menatap tajam. Ia benar-benar tidak tahu siapa wanita ini, selam
"Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar
"Lanjut saja, Mas," ucap Murni saat suaminya itu menghentikan motornya sejenak. Sama seperti yang ada dalam pikiran istrinya, sepertinya ia tak asing dengan corak baju itu, tapi hatinya mengatakan mungkin saja yang punya baju model itu banyak dan bukan satu orang saja.Menempuh waktu seperempat jam untuk keduanya sampai di kontrakan mereka. Kontrakan itu terlihat kecil dan tidak seperti rumah ibunya yang besar, tetapi Murni menerima, mungkin dengan ini konflik bersama suaminya bisa lebih dihindari."Semoga betah," ucap Randi sambil membantu anaknya turun dari motor. "Aku akan betah, Mas, selagi aku bisa bersama kamu terus," jawab Murni. Kini mereka masuk ke rumah tersebut, dan di sana semuanya sudah tersusun rapi. Randi memang sengaja membersihkan dahulu sebelum memboyong anak istrinya ke sini.Kontrakan itu terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu, kamar mandi pun berada di belakang dekat dengan dapur."Farel kamarnya di sana, ya?" ucap Randi sambil membawa anak sambungnya tersebu
Mendengar ucapan suaminya, Tania tak kuasa menahan air matanya. Kini dengan cepat ia pergi dari hadapan Hanif dan mengurung diri di kamar.Hanif yang sadar akan ucapannya lantas mendekati istrinya."Sayang, maafin aku," ucap Hanif lembut sambil meraih pundak istrinya."Kamu tidak salah, akunya saja yang bebal dan tak bisa dibilangin," jawab Tania dengan isak tangisnya. Kini ia menunduk, sakit banget dikatain seperti itu apalagi selama ini Hanif nyaris tak pernah berkata kasar padanya."Maksudku bukan itu." Hanif berkata pelan sambil meraih tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan."Aku akan kembalikan uang ini pada ibunya Mas Randi, kalau dia mau minta tolong, biar pada orang baik yang mau menolongnya," ucap Tania dan langsung beranjak. Kini ia usap air mata itu."Jangan seperti ini, Tania," ucap Hanif sambil menahan kepergian istrinya. Bukan tak mau dimintai tolong, tapi Hanif lebih menjaga rumah tangganya, ia tak mau sampai kejadian waktu dulu terulang lagi. "Sayang, aku mint
"Aku ke sini untuk mengambil anak suamiku," ucap wanita itu yang tak lain adalah Via. Dia tak datang sendiri tetapi datang bersama wanita paruh baya, Murni sendiri tahu siapa wanita di sebelahnya karena memang tak pernah bertemu."Dia anakku," jawab Murni yang paham akan maksud perempuan itu. Seketika ia teringat akan ucapan mantan suaminya yang mengatakan jika sampai kapanpun ia tetap ayahnya Farel."Kamu tidak lupa kan, jika Beni adalah ayah anakmu, kurasa ingatanmu masih kuat, jadi Beni menyuruhku untuk membawa Farel," jawab Via dengan sesantai mungkin."Aku tidak akan memberikan anakku.""Kamu jangan lupa, Murni, jika dia juga anak Beni, dan Beni juga berhak atas anak itu," ketus Via."Tapi aku yang mengurusnya, aku yang memberi kasih sayang, bukan Beni," tekan Murni."Kalau kamu tidak mau memberikan anak itu padaku, maka biar Beni sendiri yang akan mengambilnya," jawab Via dan langsung beranjak, tapi wanita di sampingnya itu tak mengikuti langkah Via tetapi malah mendekat ke arah