"Kenapa?" tanya Hanif."Tidak ada.""Jawab jujur.""Kata ibunya Mbak Murni, kalian itu masih saling cinta, Mas. Apa itu benar?" tanya Tania. Memang yang mengganggunya sedari tadi adalah perkataan yang ini. Tania takut kalau suaminya hanya sandiwara saja agar ia bisa kembali ke rumah."Tidak sama sekali. Murni sudah tidak ada di hati, semua yang diucapkan ibunya Murni adalah sebuah kebohongan. Kamu tidak usah percaya padanya. Cukup aku yang kamu percayai, karena yang tahu isi hatiku hanya aku sendiri bukan ibunya Murni. Kamu harus percaya kalau cintaku hanya untukmu," ucap Hanif sambil menatap lekat ke arah istrinya. Seperti biasa, ketika dipandang seperti itu, Tania akan menundukkan kepala.Hanif pun memegang kedua pipi Tania sampai mereka berdua bertatap pandang. Ntah kenapa, setiap menatap mata indah itu, jantungnya berdegup dengan kencang. "Aku akan bicara dengan ibunya Murni agar tidak mengganggu hubungan kita. Mau tak mau dia harus sadar kalau hubunganku dengan anaknya sudah kan
"Sekali lagi saya tekankan, tidak akan pernah ada pernikahan antara suami saya dengan Mbak Murni," tegas Tania."Kamu tidak tahu, suamimu berani datang ke sini untuk menemui Murni, jadi kamu jangan coba-coba memisahkan mereka," ketus Ibu Murni."Suami saya ke sini atas perizinan dari saya, tidak ada cinta lagi dari suami saya untuk Mbak Murni, kalau saya tidak mengizinkan maka suami saya tidak mungkin ke sini. Mas Hanif bukan ingin menemui Mbak Murni, tetapi ingin menemui Ibu, tanyakan saja kalau tidak percaya! Sekali lagi Ibu berbuat seperti ini, maka jangan salahkan saya kalau saya akan bertindak lebih dari ini. Bisa saya pastikan Ibu akan merasakan malu semalu-malunya.""Kamu mengancamku!" bentaknya tak terima. Ia merasa dipermalukan oleh Tania karena wanita itu berani membantahnya. Hal yang paling tidak ia sukai ketika ucapannya dibantah oleh orang lain, apalagi oleh wanita yang umurnya masih dibawahnya."Saya tidak merasa mengancam, tetapi kalau Ibu merasa ucapan saya ini adalah
{Jangan macam-macam atau kamu akan tahu akibatnya}Hanif dan juga Tania membaca pesan surat itu yang terletak bersama dengan batu dan pecahan kaca. Mereka berdua nampak terkejut ketika membaca surat tersebut.Siapa orang yang telah melakukan ini, batin mereka berdua."Siapa, Mas, dalang dari semua ini?" tanya Tania.Hanif menggeleng lemah. "Aku juga tidak tahu.""Kita lapor polisi saja.""Benar, tetapi tidak untuk saat ini. Besok aku akan pasang CCTV, kalau hal ini terulang lagi maka biar diusut polisi," jawab Hanif."Tapi aku takut.""Jangan takut, kan ada aku di sini.""Tapi kamu kerja, aku di rumah sendiri.""Ada Bi Yun.""Tapi tetap takut."Hanif memegang wajah istrinya. "Aku akan selalu menjagamu. Kalau masih takut, kamu bisa ke rumah Ibu, sepulang kerja baru ku jemput.""Apa nggak merasa repot?"Hanif tersenyum. "Demi kamu aku tak pernah merasa repot."Tania langsung memeluk suaminya. Jujur saja, sekuat-kuatnya dia, belum pernah seumur hidupnya merasakan teror seperti ini. Ia
"kalian tinggal di sini saja, lagian Ibu juga merasa sepi di rumah sendiri," ucap ibunya saat mereka tengah menikmati sarapan pagi."Rencananya kalau keadaan sudah membaik kami akan pulang ke rumah, tetapi untuk sementara waktu kita akan di sini, Bu, aku nggak tega ninggalin Tania sendirian di rumah," jawab Hanif sambil memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.Rasanya sudah lama sekali ia tak merasakan makanan yang diolah sang Ibu. Semenjak memutuskan menikah dan tinggal di rumah sendiri, ia sangat jarang mau makan di rumah ibunya, ia selalu berkilah istrinya sudah memasak dan tak mau mengecewakan Tania.Walaupun saat itu rasa cinta belum ada tetapi ia selalu ingin menjaga hati Tania, dia bukan lelaki kejam. Ia ingin menghargai jerih payah istrinya walau tak bisa dipungkiri dari hal sekecil itu maka tumbuh benih-benih cinta tanpa ia sadari."Tinggal di sini sajalah, biar Ibu punya teman. Apalagi kalau setelah lahiran tinggal di sini, maka rumah ini akan rame anak kecil," ucap ibunya.
"Viola?" Tania merasa terkejut karena calon Hildan adalah Viola, seorang wanita yang akan dinikahi Randi. Bahkan terakhir yang ia dengan Randi sudah menyebar undangan."Tania?" Sekarang ganti Viola yang tak kalah terkejutnya."Kalian saling kenal?" tanya Hildan sambil menatap ke arah wanita di depannya.Tania sendiri bungkam, ia takut salah bicara. Apalagi Hildan dengan Viola adalah calon pengantin, ia takut kalau bicara sejujurnya malah membuat hubungan keduanya hancur."Kenal, Mas. Tania itu yang pernah tinggal di rumah Mbak Sri, saudaranya Mas Randi yang tempo hari aku ceritain itu," jawab Viola. "Randi yang mau dijodohkan dengan kamu waktu itu?""Iya.""Wah, aku sampai tidak tahu," jawab Hildan dengan senyum lebar.Sedangkan Tania dan juga Hanif menatap dengan tak mengerti dua insan di depannya.Banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan, tetapi melihat saat ini banyak keluarga termasuk budhenya, maka ia urungkan niat itu.Obrolan ringan pun dilanjutkan, Tania sama sekali t
Sudah lebih dari satu bulan Tania dan juga Hanif tinggal di rumah sang Ibu, rencananya hari ini mereka akan balik ke rumah karena selama itu tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Teror pun juga cuma satu kali, itupun ketika mereka masih di rumah."Apa nggak ditunda saja baliknya," ucap sang Ibu sambil mendekati anaknya yang sedang membereskan baju."Tania minta sekarang, Bu, lagian rumah dikosongkan terlalu lama juga tidak baik, kan?" jawab Hanif."Iya, tapi rumah ini jadi sepi kalau kalian balik. Tinggal di sini saja temani Ibu. Ibumu ini sudah tua lo."Hanif menatap ke arah istrinya, Tania pun juga begitu."Bagaimana, Sayang?" tanya Hanif."Terserah kamu saja, Mas," jawab Tania sambil menghentikan aktivitasnya. "Biasanya kalau terserah itu tanda tak mau. Perempuan memang seperti itu, bilangnya terserah tapi ketika aku memutuskan ini, salah juga," gerutu Hanif."Lah, kok jadi begini? Memang aku perempuan seperti itu? Kalau aku bilang terserah ya terserah, kok jadi kaya mojokin aku gi
Malam ini Hanif mengajak istrinya untuk keluar. Di hari spesial sang istri, ia ingin memberi sesuatu yang spesial. Sudah menjadi kebiasaan seperti tahun-tahun yang telah lewat, tetapi kali ini didasari oleh cinta yang tengah menggebu."Kita ke mana lagi, Mas?" tanya Tania saat suaminya tak menyebutkan ke mana mereka pergi. "Ngikut aja," jawab Hanif sambil tetap fokus menatap ke depan."Iya, ke mana dulu?""Nanti kamu juga tahu," jawab Hanif."Bikin penasaran."Hanif tersenyum tanpa menjawab, ia menoleh sebentar ke arah sang istri sambil satu tangannya membelai lembut kepala Tania.Tak membutuhkan waktu lama, mereka pun sampai di lokasi, di mana lagi kalau bukan di bukit tempat di mana Hanif memaksa istrinya untuk melayani."Kenapa ke sini?" tanya Tania tak mengerti. Biasanya mereka akan ke sini kalau hati benar-benar kacau, mereka akan menghabiskan waktu di sini sambil mengamati pemandangan dari atas."Kita bernostalgia," jawab Hanif.Tania mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tak m
Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil sekilas menatap Tania. Hal yang tidak pernah ia lakukan pada perempuan manapun. Bahkan pada Murni, ia tak pernah menunjukkan wajah bersahabat, selalu wajah masam yang ia perlihatkan.Buru-buru Beni mengajak istrinya itu pergi. Mereka tak jadi belanja ke supermarket tersebut.Sedangkan Hanif menahan amarah, ia mengepalkan tangan lalu menyusul keduanya yang meninggalkan lokasi begitu saja. "Mau ke mana kamu!" bentak Hanif sambil mencekal lengan Beni. Kali ini ia tidak akan membiarkan lelaki itu pergi, dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah menyuruh seseorang untuk mencelakai kakak angkatnya."Bukan urusanmu!" jawab Beni dengan menarik tangannya dengan paksa."Kamu harus ikut aku ke kantor polisi, kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu tempo hari," tekan Hanif."Silahkan kalau berani. Tapi ingat, akan ada nyawa yang melayang setelah ini," jawab Beni dengan tertawa sinis."Aku tidak akan takut dengan ancamanmu.""Apa kamu
"Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung
Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel
"Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant
"Apa ada saksinya, Mas, yang melihat kejadian itu?" tanya Tania saat ia sudah sampai di kediaman kakaknya. Melihat kondisi kakaknya, membuat Tania merasa prihatin. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan Kakak iparnya itu tidak sesuai realita.Sewaktu di telepon Kakak iparnya mengatakan jika Zaki tidak apa-apa tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Di hadapan Tania, tubuh kakaknya itu mengalami banyak luka. Apalagi di lengan kirinya, goresannya cukup parah."Tadi ada yang melihat plat mobilnya, ada juga yang mengejar tetapi tidak kekejar," jawab Zaki sambil meringis kesakitan saat luka itu terasa nyut-nyutan."Bawa ke rumah sakit saja, Mas. Itu lukanya cukup parah loh," tawar Hanif. Dirinya pun sama seperti istrinya, tidak tega melihat kondisi kakaknya seperti ini."Tadi sudah dibawa ke Puskesmas terdekat. Ini sudah tidak apa-apa kok," jawab Zaki yang merasa tak enak dengan adiknya. Terpaksa ia harus berbohong karena tidak mungkin berkata sejujurnya. Mereka sudah mau membantu membenahi ge
"Sekali lagi kamu menghina istri saya, maka mulut Anda akan saya sumpal dengan sandal ini!" bentak Hanif sambil menunjukkan sandal yang ia pakai."Ini Murni, kan?" tanya wanita itu yang seperti kebingungan."Dia Tania, bukan Murni!" tegas Hanif yang masin tak terima, apalagi melihat anaknya meringsut ketakutan saat melihat wanita itu marah-marah."Jadi bukan Murni?" tanyanya lagi memastikan."Apa mata Ibu sudah rabun sehingga tidak bisa membedakan mana Murni dan mana orang lain?" tanya Tania pelan tapi terdengar nyelekit."Saya rasa Ibu terlalu muda jika harus pikun," ucapnya lagi.Sedangkan wania itu tergagap menahan malu karena merasa salah sasaran. Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya tanpa berani menatap dua manusia di depannya."Maaf," ucap wanita itu. "Kata maaf mudah saja dilontarkan, tapi apa Ibu tahu imbas dari ucapan Ibu ini, anak saya ketakutan dan saya takut mempengaruhi mentalnya," jawab Tania sambil menatap tajam. Ia benar-benar tidak tahu siapa wanita ini, selam
"Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar
"Lanjut saja, Mas," ucap Murni saat suaminya itu menghentikan motornya sejenak. Sama seperti yang ada dalam pikiran istrinya, sepertinya ia tak asing dengan corak baju itu, tapi hatinya mengatakan mungkin saja yang punya baju model itu banyak dan bukan satu orang saja.Menempuh waktu seperempat jam untuk keduanya sampai di kontrakan mereka. Kontrakan itu terlihat kecil dan tidak seperti rumah ibunya yang besar, tetapi Murni menerima, mungkin dengan ini konflik bersama suaminya bisa lebih dihindari."Semoga betah," ucap Randi sambil membantu anaknya turun dari motor. "Aku akan betah, Mas, selagi aku bisa bersama kamu terus," jawab Murni. Kini mereka masuk ke rumah tersebut, dan di sana semuanya sudah tersusun rapi. Randi memang sengaja membersihkan dahulu sebelum memboyong anak istrinya ke sini.Kontrakan itu terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu, kamar mandi pun berada di belakang dekat dengan dapur."Farel kamarnya di sana, ya?" ucap Randi sambil membawa anak sambungnya tersebu
Mendengar ucapan suaminya, Tania tak kuasa menahan air matanya. Kini dengan cepat ia pergi dari hadapan Hanif dan mengurung diri di kamar.Hanif yang sadar akan ucapannya lantas mendekati istrinya."Sayang, maafin aku," ucap Hanif lembut sambil meraih pundak istrinya."Kamu tidak salah, akunya saja yang bebal dan tak bisa dibilangin," jawab Tania dengan isak tangisnya. Kini ia menunduk, sakit banget dikatain seperti itu apalagi selama ini Hanif nyaris tak pernah berkata kasar padanya."Maksudku bukan itu." Hanif berkata pelan sambil meraih tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan."Aku akan kembalikan uang ini pada ibunya Mas Randi, kalau dia mau minta tolong, biar pada orang baik yang mau menolongnya," ucap Tania dan langsung beranjak. Kini ia usap air mata itu."Jangan seperti ini, Tania," ucap Hanif sambil menahan kepergian istrinya. Bukan tak mau dimintai tolong, tapi Hanif lebih menjaga rumah tangganya, ia tak mau sampai kejadian waktu dulu terulang lagi. "Sayang, aku mint
"Aku ke sini untuk mengambil anak suamiku," ucap wanita itu yang tak lain adalah Via. Dia tak datang sendiri tetapi datang bersama wanita paruh baya, Murni sendiri tahu siapa wanita di sebelahnya karena memang tak pernah bertemu."Dia anakku," jawab Murni yang paham akan maksud perempuan itu. Seketika ia teringat akan ucapan mantan suaminya yang mengatakan jika sampai kapanpun ia tetap ayahnya Farel."Kamu tidak lupa kan, jika Beni adalah ayah anakmu, kurasa ingatanmu masih kuat, jadi Beni menyuruhku untuk membawa Farel," jawab Via dengan sesantai mungkin."Aku tidak akan memberikan anakku.""Kamu jangan lupa, Murni, jika dia juga anak Beni, dan Beni juga berhak atas anak itu," ketus Via."Tapi aku yang mengurusnya, aku yang memberi kasih sayang, bukan Beni," tekan Murni."Kalau kamu tidak mau memberikan anak itu padaku, maka biar Beni sendiri yang akan mengambilnya," jawab Via dan langsung beranjak, tapi wanita di sampingnya itu tak mengikuti langkah Via tetapi malah mendekat ke arah