Malam ini Hanif mengajak istrinya untuk keluar. Di hari spesial sang istri, ia ingin memberi sesuatu yang spesial. Sudah menjadi kebiasaan seperti tahun-tahun yang telah lewat, tetapi kali ini didasari oleh cinta yang tengah menggebu."Kita ke mana lagi, Mas?" tanya Tania saat suaminya tak menyebutkan ke mana mereka pergi. "Ngikut aja," jawab Hanif sambil tetap fokus menatap ke depan."Iya, ke mana dulu?""Nanti kamu juga tahu," jawab Hanif."Bikin penasaran."Hanif tersenyum tanpa menjawab, ia menoleh sebentar ke arah sang istri sambil satu tangannya membelai lembut kepala Tania.Tak membutuhkan waktu lama, mereka pun sampai di lokasi, di mana lagi kalau bukan di bukit tempat di mana Hanif memaksa istrinya untuk melayani."Kenapa ke sini?" tanya Tania tak mengerti. Biasanya mereka akan ke sini kalau hati benar-benar kacau, mereka akan menghabiskan waktu di sini sambil mengamati pemandangan dari atas."Kita bernostalgia," jawab Hanif.Tania mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tak m
Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil sekilas menatap Tania. Hal yang tidak pernah ia lakukan pada perempuan manapun. Bahkan pada Murni, ia tak pernah menunjukkan wajah bersahabat, selalu wajah masam yang ia perlihatkan.Buru-buru Beni mengajak istrinya itu pergi. Mereka tak jadi belanja ke supermarket tersebut.Sedangkan Hanif menahan amarah, ia mengepalkan tangan lalu menyusul keduanya yang meninggalkan lokasi begitu saja. "Mau ke mana kamu!" bentak Hanif sambil mencekal lengan Beni. Kali ini ia tidak akan membiarkan lelaki itu pergi, dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah menyuruh seseorang untuk mencelakai kakak angkatnya."Bukan urusanmu!" jawab Beni dengan menarik tangannya dengan paksa."Kamu harus ikut aku ke kantor polisi, kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu tempo hari," tekan Hanif."Silahkan kalau berani. Tapi ingat, akan ada nyawa yang melayang setelah ini," jawab Beni dengan tertawa sinis."Aku tidak akan takut dengan ancamanmu.""Apa kamu
Tania merasa ketakutan saat lelaki tua itu menatapnya dengan tajam. Bahkan kini dia melangkah semakin dekat ke arahnya. Tania semakin meringsut dan Hanif pun dengan sigap melindungi istrinya. Tetapi setakut-takutnya Tania, ia tetap akan melawan. Dalam diamnya dan dalam penjagaan sang suami, Tania mengumpulkan kekuatan untuk melawan, ia fokuskan pikirannya untuk melakukan apa kalau sampai lelaki itu mau menyakitinya.Jujur saja, suami Yu Parni tidak biasanya seperti ini, ia sangat mengenal keluarga itu dan menilai keluarga yang baik, tapi semua asumsi itu telah dipatahkan saat mendengar lelaki tua tersebut mencaci maki kakaknya, walaupun ia tak tahu apa permasalahan sesungguhnya, tetapi ia merasa sakit hati kalau kakaknya dimaki-maki."Terakhir bertemu kamu tidak secantik ini," ucap suami Yu Parni. Kini ia mendekat dan mencoba menyentuh Tania. Saat tangannya hendak menggapai, dengan cepat Hanif mencengkeram dengan tatapan melotot.Ia tidak suka istrinya disentuh lelaki manapun kecuali
"Tangkap dia, Pak. Dia yang sudah menipu saya," ucap lelaki itu sambil menunjuk ke arah Zaki. Sedangkan Zaki sendiri terlihat pucat pasi atas kedatangan polisi tersebut apalagi ucapan yang dilontarkan lelaki itu.Selama hidupnya belum pernah ia berurusan dengan polisi. Dia merasa takut apalagi ia hanyalah kaum bawah dan nol akan pengetahuan. Ia takut dipenjara dan meninggalkan anak istrinya dengan segala kekurangan yang ada."Menipu apa maksudnya, pak?" tanya Zaki dengan tubuh gemetar. Jujur saja ia merasa takut, sedangkan Tania dan Hanif mencoba mendekat."Ini hanya kesalahpahaman, Pak. Kakak saya ini tidak pernah menipu siapapun," jawab Tania mencoba memberi tahu. "Kamu tidak tahu, dia sudah membawa uangku," jawabnya."Ada bukti?" tanya Tania mencoba tenang. "Suruh tanya sama istrinya, dia yang menerima uang itu."Tania pun masuk ke dalam dan mencari kakak iparnya, ia pun juga meminjam ponsel kakaknya lali keluar menemui Bapak polisi dan lelaki tua tersebut."Saya tanya sekali lag
Hatinya mendadak tak karuan, kalau benar Tania adalah adik Beni, maka asumsinya pada Tania kalau wanita itu wanita baik adalah salah besar."Dia tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak mengenalnya, aku hanya tahu saja dan menganggap dia adalah adikku," jawab Beni. Ia tidak suka membahas Tania dengan Murni, ada sesuatu yang membuatnya teringat dengan masa lalu. Nyeri, itulah yang ia rasa. Mendadak hatinya sakit ketika mengingat hal dulu, hal yang membuatnya jadi seperti ini, menjadi lelaki kejam.Murni tidak puas dengan jawaban Beni. Kini ia melangkah pergi, ia akan menemui Tania di kediaman mertuanya.Ia sudah tahu kalau Tania tidak tinggal di rumahnya yang dulu, ia juga mendengar perihal teror yang terjadi karena gosip itu secepat kilat menyebar.Sedangkan Beni yang melihat istrinya pergi hanya diam saja dan tak menaruh curiga apapun. Tetapi ia menyuruh anak buahnya untuk mengikuti kemana perginya istrinya tersebut.***"Lagi keluar sama Hanif, bentar lagi juga pulang. Ada apa
Beni yang mendengar istrinya berada di rumah Tania langsung datang menyusul. Ia benar-benar marah terhadap Murni. Ia berjanji akan menyiksa Murni lebih kejam lagi setelah ini, ia tidak akan memberikan ampun pada perempuan itu. "Sebelum berbicara itu dipikir, memangnya aku tidak tahu siapa Tania, aku memilihkannya untuk menjadi menantuku itu tidak asal pilih, aku sudah tahu Tania sejak dia masih bayi. Kamu bisa saja meracuni otak Hanif tetapi tidak denganku," ucap ibunya Hanif. Saat ini dia benar-benar marah, baru saja hubungan anaknya dengan menantunya membaik kini datang lagi wanita tak tahu diri.Wanita yang sudah meninggalkan anaknya dan kini datang untuk menghancurkan."Aku tidak tahu, ma-maaf," ucap Murni sangat gugup. Saat ini ia benar-benar takut, tuduhan yang telah ia lontarkan pada Tania ternyata salah besar.Ia merutuki kebodohannya karena telah mempercayai ucapan ibunya. Harusnya ia tidak gegabah seperti ini, harusnya tadi ia menahan diri untuk tidak menemui Tania."Aku ba
"Anak Ibu mengalami keguguran dan sekarang harus di kuret," ucap Dokter yang menangani Murni saat ini. Murni dibawa ke rumah sakit oleh bantuan tetangga yang kebetulan hari minggu berada di rumah.Sedangkan Beni, ibunya tidak tahu kemana perginya lelaki tersebut. Setelah puas menyiksa Murni, dia pun pergi begitu saja dan tanpa pamit."Lakukan yang terbaik buat anak saya, Dok," jawabnya.Dokter itu pun menganggu setelah itu dia pun pamit. Ibunya Murni terlihat sangat menyesal tak bisa berbuat apapun saat anaknya disiksa, untuk lapor polisi rasanya juga takut. Ia tak tahu rahasia mana yang telah Beni ketahui. Tetapi ia merasa takut kalau salah satu rahasia itu terungkap maka ia akan mendekam di penjara, ia tak mau hal itu terjadi.***Sudah beberapa hari ini sikap Tania berubah, ia lebih banyak diam dan tak merespon suaminya, bahkan kini ia terlihat cuek. Hari-harinya terlihat murung tak seceria biasanya. Ketika makan pun juga begitu, Tania yang biasa banyak berbicara kini lebih memili
Murni yang sedang kontrol ke rumah sakit tak sengaja bertemu dengan ibunya Hanif. Ia pun mendekat karena penasaran siapa yang dirawat. Tapi sebelum pertanyaan itu terlontar ia melihat Hanif keluar dari ruangan tersebut."Mas," panggil Murni. Sedangkan Hanif sendiri memalingkan muka dan enggan untuk menjawab."Siapa yang sakit?" tanya Murni lagi.Saat ini ia didampingi oleh adiknya, ibunya sedang berada di rumah, sejak kejadian waktu itu kondisi ibunya memang sedikit drop."Bukan urusanmu," ketus Hanif. Ia merasa karena wanita ini, ia dan Tania bertengkar. Bahkan beberapa waktu ini istrinya mendiamkannya."Tania? Kalau iya, aku ingin menemuinya. Boleh kan? Aku hanya ingin meminta maaf," ucap Murni.Hanif pun berpikir, istrinya sempat mengatakan ingin bertemu dengan Murni, apa saat ini waktu yang tepat untuk mempertemukannya?"Baiklah,"ucap Hanif.Ia pun mendampingi istrinya saat Murni masuk ke dalam, sedangkan sang adik, dia disuruh menunggu di luar bersama ibunya Hanif."Aku minta ma
"Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung
Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel
"Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant
"Apa ada saksinya, Mas, yang melihat kejadian itu?" tanya Tania saat ia sudah sampai di kediaman kakaknya. Melihat kondisi kakaknya, membuat Tania merasa prihatin. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan Kakak iparnya itu tidak sesuai realita.Sewaktu di telepon Kakak iparnya mengatakan jika Zaki tidak apa-apa tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Di hadapan Tania, tubuh kakaknya itu mengalami banyak luka. Apalagi di lengan kirinya, goresannya cukup parah."Tadi ada yang melihat plat mobilnya, ada juga yang mengejar tetapi tidak kekejar," jawab Zaki sambil meringis kesakitan saat luka itu terasa nyut-nyutan."Bawa ke rumah sakit saja, Mas. Itu lukanya cukup parah loh," tawar Hanif. Dirinya pun sama seperti istrinya, tidak tega melihat kondisi kakaknya seperti ini."Tadi sudah dibawa ke Puskesmas terdekat. Ini sudah tidak apa-apa kok," jawab Zaki yang merasa tak enak dengan adiknya. Terpaksa ia harus berbohong karena tidak mungkin berkata sejujurnya. Mereka sudah mau membantu membenahi ge
"Sekali lagi kamu menghina istri saya, maka mulut Anda akan saya sumpal dengan sandal ini!" bentak Hanif sambil menunjukkan sandal yang ia pakai."Ini Murni, kan?" tanya wanita itu yang seperti kebingungan."Dia Tania, bukan Murni!" tegas Hanif yang masin tak terima, apalagi melihat anaknya meringsut ketakutan saat melihat wanita itu marah-marah."Jadi bukan Murni?" tanyanya lagi memastikan."Apa mata Ibu sudah rabun sehingga tidak bisa membedakan mana Murni dan mana orang lain?" tanya Tania pelan tapi terdengar nyelekit."Saya rasa Ibu terlalu muda jika harus pikun," ucapnya lagi.Sedangkan wania itu tergagap menahan malu karena merasa salah sasaran. Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya tanpa berani menatap dua manusia di depannya."Maaf," ucap wanita itu. "Kata maaf mudah saja dilontarkan, tapi apa Ibu tahu imbas dari ucapan Ibu ini, anak saya ketakutan dan saya takut mempengaruhi mentalnya," jawab Tania sambil menatap tajam. Ia benar-benar tidak tahu siapa wanita ini, selam
"Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar
"Lanjut saja, Mas," ucap Murni saat suaminya itu menghentikan motornya sejenak. Sama seperti yang ada dalam pikiran istrinya, sepertinya ia tak asing dengan corak baju itu, tapi hatinya mengatakan mungkin saja yang punya baju model itu banyak dan bukan satu orang saja.Menempuh waktu seperempat jam untuk keduanya sampai di kontrakan mereka. Kontrakan itu terlihat kecil dan tidak seperti rumah ibunya yang besar, tetapi Murni menerima, mungkin dengan ini konflik bersama suaminya bisa lebih dihindari."Semoga betah," ucap Randi sambil membantu anaknya turun dari motor. "Aku akan betah, Mas, selagi aku bisa bersama kamu terus," jawab Murni. Kini mereka masuk ke rumah tersebut, dan di sana semuanya sudah tersusun rapi. Randi memang sengaja membersihkan dahulu sebelum memboyong anak istrinya ke sini.Kontrakan itu terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu, kamar mandi pun berada di belakang dekat dengan dapur."Farel kamarnya di sana, ya?" ucap Randi sambil membawa anak sambungnya tersebu
Mendengar ucapan suaminya, Tania tak kuasa menahan air matanya. Kini dengan cepat ia pergi dari hadapan Hanif dan mengurung diri di kamar.Hanif yang sadar akan ucapannya lantas mendekati istrinya."Sayang, maafin aku," ucap Hanif lembut sambil meraih pundak istrinya."Kamu tidak salah, akunya saja yang bebal dan tak bisa dibilangin," jawab Tania dengan isak tangisnya. Kini ia menunduk, sakit banget dikatain seperti itu apalagi selama ini Hanif nyaris tak pernah berkata kasar padanya."Maksudku bukan itu." Hanif berkata pelan sambil meraih tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan."Aku akan kembalikan uang ini pada ibunya Mas Randi, kalau dia mau minta tolong, biar pada orang baik yang mau menolongnya," ucap Tania dan langsung beranjak. Kini ia usap air mata itu."Jangan seperti ini, Tania," ucap Hanif sambil menahan kepergian istrinya. Bukan tak mau dimintai tolong, tapi Hanif lebih menjaga rumah tangganya, ia tak mau sampai kejadian waktu dulu terulang lagi. "Sayang, aku mint
"Aku ke sini untuk mengambil anak suamiku," ucap wanita itu yang tak lain adalah Via. Dia tak datang sendiri tetapi datang bersama wanita paruh baya, Murni sendiri tahu siapa wanita di sebelahnya karena memang tak pernah bertemu."Dia anakku," jawab Murni yang paham akan maksud perempuan itu. Seketika ia teringat akan ucapan mantan suaminya yang mengatakan jika sampai kapanpun ia tetap ayahnya Farel."Kamu tidak lupa kan, jika Beni adalah ayah anakmu, kurasa ingatanmu masih kuat, jadi Beni menyuruhku untuk membawa Farel," jawab Via dengan sesantai mungkin."Aku tidak akan memberikan anakku.""Kamu jangan lupa, Murni, jika dia juga anak Beni, dan Beni juga berhak atas anak itu," ketus Via."Tapi aku yang mengurusnya, aku yang memberi kasih sayang, bukan Beni," tekan Murni."Kalau kamu tidak mau memberikan anak itu padaku, maka biar Beni sendiri yang akan mengambilnya," jawab Via dan langsung beranjak, tapi wanita di sampingnya itu tak mengikuti langkah Via tetapi malah mendekat ke arah