Setelah beberapa hari Tania istirahat di rumah mertua, rencananya sore ini ia akan pulang ke rumahnya sendiri. Mencari informasi pada tetangga, rumah mereka bisa dikatakan aman karena tidak ada sesuatu yang mencurigakan.Walau bagaimanapun, tinggal di rumah sendiri jauh lebih nyaman daripada tinggal bersama mertua. Ya, bisa dibilang mertuanya sudah sangat baik terhadapnya dan menganggapnya seperti anak sendiri, tetapi ia tetap merasa nyaman tinggal di rumahnya sendiri."Rumah ini pasti sepi ketika kalian pulang," ucap sang Ibu. Ia pun tidak bisa menahan kepergian anak dan menantunya, ia tidak bisa egois. Anaknya sudah mempunyai kehidupan sendiri dan bisa dikatakan layak, bahkan tempat tinggal pun juga nyaman, bahkan lebih bagus rumah anaknya daripada rumahnya sendiri."Kami pasti akan sering menengok Ibu," jawab Tania lembut."Tapi rasanya tetap beda."Tania diam, bingung harus menjawab apa, mau tidak mau ia merasakan kalau Ibu mertuanya ini berat mengizinkannya pulang.Tetapi ia har
"Darimana kamu tahu?" tanya Hanif. Kini nada suaranya semakin melunak, ia bahkan tidak sempat curiga terhadap wanita paruh baya tersebut. "Tidak perlu kamu tahu darimana aku tahu, intinya yang meneror rumahmu waktu lalu adalah mertuaku.""Tidak ada bukti sama saja berbohong," sungut Hanif. Walaupun hatinya ragu, tetapi ia tidak bisa langsung mempercayai ucapan lelaki itu. Apalagi melihat Murni hanya diam saja, hal itu membuatnya bertanya, apa Murni juga tahu perihal ini."Terserah kalau tidak percaya."Setelah mengatakan itu, Beni pun pamit dan mengajak istrinya itu untuk pulang. Ternyata berlama-lama di rumah Hanif mampu membuatnya merasa kesal. Tak bisa dipungkiri, ia memang sangat membenci sosok Hanif karena dianggap sebagai penghalang balas dendamnya waktu lalu."Apa benar yang dikatakan Beni, Mas? Aku belum bisa mempercayainya, masa ibunya Mbak Murni sampai sejauh itu berbuat," ucap Tania. Sedangkan Hanif sendiri masih diam, ia mengatur nafasnya yang naik turun karena menahan a
Mereka berdua berjabat tangan sebentar dengan wanita bernama Via tersebut. Wanita cantik tapi terlihat agak tomboy."Iya, ini istri Beni dan dia menikah baru beberapa minggu yang lalu," jawab ibunya Beni.Hanif dan Tania terhenyak, mereka berdua saling pandang sesaat, lalu menatap mereka tetapi tidak berani mengucapkan apapun."Selamat untuk pernikahannya, Mbak," ucap Tania ramah. Ia mencoba bersikap biasa walaupun banyak tanya di kepala."Terimakasih, Mbak.""Nak, kamu tadi kok bertanya Murni. Memang siapa Murni itu?" tanya ibunya Beni."Kamu kenal wanita itu?" tanya Via sambil menatap ke arah Tania. Bahkan tatapannya sedang menelisik, menaruh curiga."Dia temanku," jawab Tania."Oh, temannya," ucap Via dengan sinis.Bahkan Tania sendiri jadi risih ditatap seperti itu. Setelahnya ia pun pamit karena dirasa suasana mulai tidak kondusif, tetapi ia ditahan oleh Via."Dia itu pelakor, aku akan membuat perhitungan padanya dan kupastikan kalau Beni akan segera menceraikannya," ucap Via den
"Kamu tenang saja. Walaupun Beni berhasil kabur, tetapi dia tidak akan bisa menyakiti kamu lagi," ucap ibunya menenangkan. Kini ia dekap anak kesayangannya itu untuk sekedar memberi kekuatan.Saat ini, Murni sendiri nampak khawatir dan terlihat tegang. Bukan masalah Beni berhasil ditangkap ataupun kabur, tetapi ibunya tidak tahu Beni seperti apa, Beni pasti akan melakukan segala cara untuk menghancurkan hidupnya. Dirinya sangat mengenal siapa Beni sebenarnya, lelaki itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Walaupun di dalam penjara sekalipun, lelaki itu bisa saja melukai dirinya dan keluarga.Kini ia merasa hidupnya terancam, tidak ada lagi tempat mengadu kecuali pada yang memberi hidup."Baiklah, kami akan berupaya untuk bisa menangkap saudara Beni, dan kalau kalian ada yang mengetahui di mana tempat persembunyiannya atau mendengar info terbarunya, kalian bisa menghubungi kami," ucap polisi tersebut lalu pamit undur diri.Kini tinggal Murni yang terlihat lemas, tetangga pun suda
Entah kekuatan darimana, Murni berhasil melarikan diri. Ia lari dengan sangat kencang sambil berteriak meminta tolong. Sedangkan di belakangnya juga terdapat Via yang terus mengejar dan tak ingin targetnya itu berhasil meloloskan diri. Kakinya terus berlari tanpa mengenal lelah, di saat dirinya telah menangkap lengan Murni, tiba-tiba saja ada seseorang yang menariknya.Via nampak terkejut karena orang itu tak lain adalah Polisi, tak hanya itu di sana terdapat ibunya Murni dan juga sang adik."Ini sudah masuk tindakan kriminal, silahkan Ibu ikut dengan kami," ucap Polisi tersebut dan langsung membawa Via. Wanita itu tak bisa melawan juga tak bisa berkutik.Tetapi ia menatap tajam ke arah Murni seakan memberi isyarat kalau dirinya akan membalas kejadian ini suatu saat nanti."Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya ibunya sambil memeluk sang anak yang masih terlihat syok."Tidak apa-apa, Bu." "Ada yang terluka?"Murni menggeleng, setelahnya sang Ibu membawa anaknya itu untuk pulang. Ia san
Ibunya Beni yang mendengar anaknya berada di rumah sakit karena terkena tembakan saat ingin melarikan diri, akhirnya dengan dibantu salah satu tetangga, datang melihat kondisi anaknya.Hati Ibu mana yang tidak hancur ketika melihat anaknya terbujur dengan mata terpejam, walau dia bukan anak kandung, tetapi dirinya sangat menyayangi Beni seperti anaknya sendiri.Sejahat apapun Beni, dia tetap anaknya dan kasih sayang itu tidak akan pernah pudar. Apalagi perlakuan lelaki itu selalu baik padanya.Hati wanita itu menjerit, rasanya tulang belulang itu sudah rapuh, berdiri saja ia sudah tak sanggup, hatinya teramat sakit, ingin masuk tapi masih belum bisa karena kondisi Beni katanya masih kritis.Dalam diam di tengah tangisnya, ia pejamkan mata, memohon pada yang memberi hidup untuk menyelamatkan anaknya dan memberi kesempatan untuk bisa menjadi manusia yang lebih baik.Seketika ingatannya terbayang ketika Beni masih kecil, waktu di mana lelaki itu menggigil kedinginan karena demam yang tak
Hari berganti hari, bulan pun juga sudah berlalu. Kini usia kehamilan Tania sudah menginjak sembilan bulan dan tinggal menunggu hari saja untuk bisa melihat anaknya terlahir ke dunia.Hanif sendiri tidak bisa meninggalkan istrinya terlalu lama. Di setiap kesempatan, pasti ia akan menelfon istrinya dan menanyakan keadaan.Ia khawatir jika waktu istrinya merasakan tanda-tanda kelahiran, ia telat mengetahuinya, walaupun saat ini ada ibunya yang sementara waktu tinggal di rumahnya, tetapi ia tidak mau gagal menjadi suami siaga untuk istrinya.***Pukul setengah tiga pagi, Tania merasakan mulas seperti ingin buang air besar, tetapi saat dikeluarkan maka tidak akan keluar. Ia mengira tengah sembelit.Apalagi mulas itu semakin lama semakin terasa, akhirnya karena sudah tak tahan, ia pun membangunkan suaminya."Mas," panggil Tania pelan. Satu kali goncangan, suaminya itu belum membuka mata. Mungkin karena kecapean kerja makanya tidurnya terlalu pulas."Mas, bangun. Perutku sakit," ucap Tania
Keesokan harinya tepatnya di ruangan Tania dirawat, semuanya pada heboh karena bayi kecil itu baru saja dimandikan. Terlebih Hanif yang sangat antusias menggendong anaknya. Semalaman bayi kecil itu terjaga, walaupun tidak menangis, tetapi bayi kecil itu tidak mau tidur. "Anak Papa sudah wangi," ucap Hanif sambil menggendong anaknya, saat ini ia sedikit bersikap egois dan tidak mau digantikan menggendong putri tercintanya."Ya memang papanya, jam segini belum mandi," jawab ibunya. Ia sengaja berkata demikian agar Hanif segera beranjak mandi dan ganti dia yang menggendong cucu.Maklum saja, dia hanya mempunyai satu anak dan itu pun laki-laki. Jadi ketika cucunya terlahir dan diketahui berjenis kelamin perempuan, maka ia sangat bahagia. Ingin merasakan merawat anak perempuan, walaupun itu cucunya. "Nanti saja, ya? Walaupun nggak mandi, tapi mamanya masih suka nempel sama Papa," jawab Hanif dan langsung mendapatkan cubitan dari istrinya karena memang posisinya bersebelahan dengan Tani