"Kamu kemana, Tania!" teriak Hanif lagi. Tapi percuma saja, sekencang apapun ia berteriak, istrinya itu sudah pergi jauh. Penyesalan tinggallah penyesalan.Tak tinggal diam, Hanif langsung menghubungi kakak iparnya, ia berharap kalau Tania pulang ke rumah kakaknya, tetapi hasilnya nihil. Tania tidak ada di sana, dia juga tidak menghubungi kakaknya sama sekali.Setelah itu berganti pada orang yang dekat dengan istrinya, semuanya juga tak ada yang mengetahui.Hanif semakin frustasi. Tak putus asa, ia melajukan mobilnya ke tempat istrinya ngontrak dulu, tapi di sana tidak ada orang sama sekali.Diambilnya handphone, mencoba menghubungi, sama saja, nomor itu tidak aktif bahkan pesan WA nya pun hanya centang satu."Kamu dimana, Tania?" ucap Hanif. Ia begitu benar-benar takut kehilangan istrinya, ia takut istrinya tak akan kembali karena kebodohan yang ia buat sendiri.Selang beberapa menit ada panggilan masuk di ponselnya. Dengan cepat ia ambil ponsel itu dan berharap tertera nama Tania di
"Semoga Tania bisa segera ditemukan ya, Mas," ucap Linda pada suaminya saat mereka tengah beranjak tidur."Aamiin. Kasihan Hanif, dia sangat terpuruk. Sebagai lelaki aku tahu apa yang dirasakan Hanif, dia terlihat sangat menyesal," jawab Zaki.Di sini Linda ingin mengatakan sesuatu selain membahas adik iparnya, tetapi ia takut kalau suaminya akan marah."Kenapa melamun? Ayok tidur, besok kita akan menempuh perjalanan panjang, jangan sampai kamu kecapean," ucap Zaki."Aku teringat Tristan, aku kangen sama dia, Mas," bohong Linda. Padahal bukan itu yang membuat pikirannya terganggu. "Ikhlas kan. Tristan sudah tenang di sana," ucap Zaki, padahal hatinya juga bergemuruh hebat. Ia juga belum sepenuhnya ikhlas dengan kepergian anaknya. Tetapi ia akan mencoba, bukankah semua yang hidup pasti akan merasakan mati?"Iya, Mas."***Langit nampak cerah ketika Hanif dan juga ibunya datang menjemput Zaki. Hari ini mereka akan melakukan perjalanan ke kota Blitar. Hanif sendiri sudah mengajukan cuti
"Kenapa kamu setega itu meninggalkan aku?" tanya Hanif dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya, setelah tiga minggu tidak bertemu dan menahan semua kerinduan, hari ini ia kembali dipertemukan dengan sang istri."Maaf," ucap Tania, ia sama sekali tak berani menatap Hanif. Hatinya masih sakit, ia belum bisa bertemu dengan suaminya."Kamu tahu, aku hampir gila tanpamu. Aku mencarimu ke sana kemari, tapi kamu seperti hilang ditelan bumi. Dan kini akhirnya aku bisa menemukanmu di sini," ucap Hanif. Kini ia semakin mendekat, kerinduan yang selama ini ia rasa seakan tak bisa ia kendalikan. Ia mencoba memeluk istrinya itu, tetapi Tania lebih memilih menghindar dan berlalu dari hadapan suaminya."Semua asumsi mu salah besar, Tania. Aku...""Stop, Mas. Aku tidak ingin mendengarkan semua alasanmu," jawab Tania memotong ucapan Hanif. Hanif menatap tak percaya. Sebegitu terlukanya kah istrinya saat ini? Ia sadar apa yang telah dilakukannya salah besar, tanpa mendengarkan ucapan istrinya, ia lebih mem
"Kenapa nggak memberi kabar kalau mau datang ke sini? Jadinya nggak ada persiapan," ucap Mbak Sri membuka percakapan saat semuanya tengah berkumpul di meja makan.Hanif sendiri lebih memilih diam, ia juga tidak seperti awal tadi yang terus-menerus mendekati istrinya.Kini ia lebih banyak diam dan tak terlalu merespon obrolan hangat mereka.Tania pun juga begitu, selain karena masih kecewa dengan peristiwa Murni, ia juga marah dengan tuduhan suaminya. Ia merasa suaminya menilainya wanita gampangan. "Sebenarnya mau memberitahu, tetapi tidak jadi karena ingin memberi kejutan buat Tania," jawab Zaki. Ia nampak biasa berbicara dengan Mbak Sri, selain karena masih ada hubungan saudara, tautan umurnya pun tidak terlalu jauh."Dan kamu berhasil. Tania nampak begitu shock dengan kedatangan kalian," ucap Mbak Sri sambil menatap ke arah Tania. "Mas Hanif kok lebih banyak diam?" tanya Mbak Sri pada Hanif."Capek, Mbak," jawab Hanif sesingkat mungkin."Tania, ajak suamimu beristirahat karena mul
"Mas Hanif, kamu kenapa?" tanya Tania sambil mengguncangkan tubuh suaminya. Tetapi tubuh itu hanya diam tak bergerak."Mas, jangan bercanda ya? Aku nggak suka kamu kaya gini," ucap Tania lagi. Ia semakin panik melihat kondisi suaminya, ia belum pernah sekalipun melihat suaminya pingsan seperti ini.Sedangkan Vino yang tak sengaja melihat Om nya tak sadarkan diri, dia langsung ke depan dan memberitahu ayahnya.Semua orang panik lalu beranjak ke dapur untuk melihat Hanif."Hanif kenapa, Tan?" tanya Zaki."Nggak tahu. Tiba-tiba saja Mas Hanif ambruk begitu saja," jawab Tania tak bisa menyembunyikan tangisnya."Angkat ke dalam, biar aku panggilkan bidan Desa," ucap Mbak Sri.Dibantu yang lainnya Hanif pun dibopong menuju kamarnya."Sudah, tidak apa-apa. Hanif kalau banyak pikiran dan kurang istirahat memang seperti ini," ucap Ibu mertuanya menenangkan Tania. "Apa selama ini Mas Hanif kurang tidur, Bu?" tanya Tania lagi.Ibu mertuanya mengangguk. Ia menyaksikan sendiri anaknya yang kurang
Kenapa nggak kunci pintu kalau mau itu," sindir Randi. Kini tatapannya menelisik ke arah Tania dan juga Hanif.Dirinya memang tidak tahu kalau mereka berdua adalah suami istri, yang ia tahu, Hanif adalah saudara jauh dari Mbak Sri."Jangan berpikir macam-macam, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap Tania lalu beranjak pergi. "Di rumah ini hanya ada kalian berdua dan tidak ada siapapun di sini, lalu apa aku tidak boleh berpikir aneh-aneh?"Tania tak menanggapi. Ia hanya berlalu dan melewati Randi begitu saja. Baginya pertanyaan Randi hanya lelucon belaka."Tan, aku mau bicara," ucap Randi sambil mengikuti langkah Tania."Bicara saja. Biasanya juga langsung bicara," jawab Tania sambil melanjutkan membuat kue."Kamu suka lelaki tadi?""Bukan urusanmu," ketus Tania. Ia memang tidak menyukai jika ada seseorang yang bertanya tentang dirinya, apalagi hatinya. Karena semua itu termasuk privasi dan tidak semua orang boleh mengetahuinya."Aku hanya ingin menjaga kamu dari lelaki yang t
Jantung Tania berdegup keras. Ia tidak menyangka kalau Hanif akan sekecewa ini. Ia pun juga tak bermaksud membuatnya terluka."Kenapa kamu berbicara seperti itu? Secara tidak langsung, kamu telah menuduhku mempunyai lelaki lain," lirih Tania. Kini ia melangkah mendekati sang suami. Ingin sekali berkata jangan pergi tetapi lidahnya terasa sangat kelu."Aku tidak mengatakan itu. Coba cerna sekali lagi apa yang baru saja ku ucapkan," jawab Hanif tanpa menoleh sedikitpun. Hatinya benar-benar hancur saat ini."Mas, maafin aku.""Kamu tidak salah, Tania. Aku lah yang bersalah.""Tapi kenapa kamu pergi. Dengan kamu yang seperti ini malah membuatku yakin kalau aku yang bersalah."Hanif menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu ia membalikkan badan dan menatap istrinya dengan lekat."Apa kamu mencintaiku?"Tania terhenyak, sudah tentu rasa itu masih ada, kenapa juga suaminya bertanya seperti ini, harusnya tanpa bertanya dia sudah tahu jawabannya."Tolong jawab jujur, apa kamu mencintaiku?" tanya
"Tania, ku tekankan sekali lagi. Ini adalah permintaan dariku untuk yang terakhir kalinya. Mau kah kamu menjadi istriku lagi? Aku tak mau menjanjikan apapun selain kebahagiaan karena ku yakin kamu pun tidak akan percaya," ucap Hanif. Kini ia mengambil nafas dalam, ada suatu perasaan yang sulit ia cerna, ntah itu takut, ragu atau bahagia.Takut akan ditolak, ragu akan sebuah perasaan istrinya dan bahagia karena istrinya menahan kepergiannya."Tania, mau kah kamu menerima cintaku lagi, lalu kita bina hubungan kita dari awal dan menjadi orang tua yang utuh untuk anak-anak kita kelak?""Ada syaratnya, Mas," ucap Tania dengan ragu. Ia ragu kalau suaminya akan menolak syarat itu."Apa syaratnya?""Aku ingin kita tinggal di sini dan menghilang dari jejak Mbak Murni, aku nggak mau kalau kamu masih terbayang masa lalumu," jawab Tania."Aku setuju. Tinggal di sini rasanya juga enak dan sekali lagi ku tegaskan, tidak ada Murni dalam hubungan kita, dimana pun kita berada, walaupun Murni yang akan
"Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung
Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel
"Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant
"Apa ada saksinya, Mas, yang melihat kejadian itu?" tanya Tania saat ia sudah sampai di kediaman kakaknya. Melihat kondisi kakaknya, membuat Tania merasa prihatin. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan Kakak iparnya itu tidak sesuai realita.Sewaktu di telepon Kakak iparnya mengatakan jika Zaki tidak apa-apa tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Di hadapan Tania, tubuh kakaknya itu mengalami banyak luka. Apalagi di lengan kirinya, goresannya cukup parah."Tadi ada yang melihat plat mobilnya, ada juga yang mengejar tetapi tidak kekejar," jawab Zaki sambil meringis kesakitan saat luka itu terasa nyut-nyutan."Bawa ke rumah sakit saja, Mas. Itu lukanya cukup parah loh," tawar Hanif. Dirinya pun sama seperti istrinya, tidak tega melihat kondisi kakaknya seperti ini."Tadi sudah dibawa ke Puskesmas terdekat. Ini sudah tidak apa-apa kok," jawab Zaki yang merasa tak enak dengan adiknya. Terpaksa ia harus berbohong karena tidak mungkin berkata sejujurnya. Mereka sudah mau membantu membenahi ge
"Sekali lagi kamu menghina istri saya, maka mulut Anda akan saya sumpal dengan sandal ini!" bentak Hanif sambil menunjukkan sandal yang ia pakai."Ini Murni, kan?" tanya wanita itu yang seperti kebingungan."Dia Tania, bukan Murni!" tegas Hanif yang masin tak terima, apalagi melihat anaknya meringsut ketakutan saat melihat wanita itu marah-marah."Jadi bukan Murni?" tanyanya lagi memastikan."Apa mata Ibu sudah rabun sehingga tidak bisa membedakan mana Murni dan mana orang lain?" tanya Tania pelan tapi terdengar nyelekit."Saya rasa Ibu terlalu muda jika harus pikun," ucapnya lagi.Sedangkan wania itu tergagap menahan malu karena merasa salah sasaran. Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya tanpa berani menatap dua manusia di depannya."Maaf," ucap wanita itu. "Kata maaf mudah saja dilontarkan, tapi apa Ibu tahu imbas dari ucapan Ibu ini, anak saya ketakutan dan saya takut mempengaruhi mentalnya," jawab Tania sambil menatap tajam. Ia benar-benar tidak tahu siapa wanita ini, selam
"Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar
"Lanjut saja, Mas," ucap Murni saat suaminya itu menghentikan motornya sejenak. Sama seperti yang ada dalam pikiran istrinya, sepertinya ia tak asing dengan corak baju itu, tapi hatinya mengatakan mungkin saja yang punya baju model itu banyak dan bukan satu orang saja.Menempuh waktu seperempat jam untuk keduanya sampai di kontrakan mereka. Kontrakan itu terlihat kecil dan tidak seperti rumah ibunya yang besar, tetapi Murni menerima, mungkin dengan ini konflik bersama suaminya bisa lebih dihindari."Semoga betah," ucap Randi sambil membantu anaknya turun dari motor. "Aku akan betah, Mas, selagi aku bisa bersama kamu terus," jawab Murni. Kini mereka masuk ke rumah tersebut, dan di sana semuanya sudah tersusun rapi. Randi memang sengaja membersihkan dahulu sebelum memboyong anak istrinya ke sini.Kontrakan itu terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu, kamar mandi pun berada di belakang dekat dengan dapur."Farel kamarnya di sana, ya?" ucap Randi sambil membawa anak sambungnya tersebu
Mendengar ucapan suaminya, Tania tak kuasa menahan air matanya. Kini dengan cepat ia pergi dari hadapan Hanif dan mengurung diri di kamar.Hanif yang sadar akan ucapannya lantas mendekati istrinya."Sayang, maafin aku," ucap Hanif lembut sambil meraih pundak istrinya."Kamu tidak salah, akunya saja yang bebal dan tak bisa dibilangin," jawab Tania dengan isak tangisnya. Kini ia menunduk, sakit banget dikatain seperti itu apalagi selama ini Hanif nyaris tak pernah berkata kasar padanya."Maksudku bukan itu." Hanif berkata pelan sambil meraih tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan."Aku akan kembalikan uang ini pada ibunya Mas Randi, kalau dia mau minta tolong, biar pada orang baik yang mau menolongnya," ucap Tania dan langsung beranjak. Kini ia usap air mata itu."Jangan seperti ini, Tania," ucap Hanif sambil menahan kepergian istrinya. Bukan tak mau dimintai tolong, tapi Hanif lebih menjaga rumah tangganya, ia tak mau sampai kejadian waktu dulu terulang lagi. "Sayang, aku mint
"Aku ke sini untuk mengambil anak suamiku," ucap wanita itu yang tak lain adalah Via. Dia tak datang sendiri tetapi datang bersama wanita paruh baya, Murni sendiri tahu siapa wanita di sebelahnya karena memang tak pernah bertemu."Dia anakku," jawab Murni yang paham akan maksud perempuan itu. Seketika ia teringat akan ucapan mantan suaminya yang mengatakan jika sampai kapanpun ia tetap ayahnya Farel."Kamu tidak lupa kan, jika Beni adalah ayah anakmu, kurasa ingatanmu masih kuat, jadi Beni menyuruhku untuk membawa Farel," jawab Via dengan sesantai mungkin."Aku tidak akan memberikan anakku.""Kamu jangan lupa, Murni, jika dia juga anak Beni, dan Beni juga berhak atas anak itu," ketus Via."Tapi aku yang mengurusnya, aku yang memberi kasih sayang, bukan Beni," tekan Murni."Kalau kamu tidak mau memberikan anak itu padaku, maka biar Beni sendiri yang akan mengambilnya," jawab Via dan langsung beranjak, tapi wanita di sampingnya itu tak mengikuti langkah Via tetapi malah mendekat ke arah