"Kak......" Aku berusaha menahan tubuhnya yang menubrukku dan memelukku erat. Yang lebih membuatku kaget dia menciumku secara tiba-tiba dan terkesan kasar juga menuntut. "Emmm....." Kalah dengan dengan tenaganya aku pun hanya bisa mengikuti kemauannya yang membawaku ke atas ranjang kami. "Kak... ada apa?" tanyaku saat bibirnya sudah berpindah menciumi pipi, dagu tak ketinggalan leherku. Tak menjawab, tangannya mulai mengger*yangi tubuhku. Risih, namun aku tak mungkin menolaknya. Aku halal untuknya. Ada apa dengannya? Dia seperti sedang marah? Tapi apa yang membuatnya marah. Belum sampai aku menemukan jawaban atas perlakuannya, pria yang bergelar suamiku itu mulai melucuti helai demi helai kain yang menempel di tubuhku. "Kak,....." Tatapan matanya yang berkabut membuatku menelan ludah. Takut dan bingung akhirnya aku pun pasrah membiarkannya menuntaskan hasratnya. Entah berapa lam kami bergelut dalam surga dunia itu , yang pasti kami melakukannya lebih dari satu kali. Hingga tubuh
"Kak." Segera aku mengejar dan mencekal tangannya. "Jangan, biarkan saja.""Sepertinya kemarin aku sudah salah mengambil langkah." Kak Shaka melepas tanganku. "Kakakku itu tidak akan pernah berubah." Dengan wajah yang memerah Kak Shaka pun berbalik. Langkahnya mantab menuruni tangga. Tak bisa dibiarkan. Aku bergegas menyusul, kembali aku mencekal tangan kekarnya dan memegangnya erat. "Jangan ribut lagi, ini sudah hampir magrib!" Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dengan mata memdelik kutarik kembali pria itu masuk kedalam kamar. "Dek,....." "Aku bilang, sudah cukup. Kalau Kakak tetap ingin memperpanjang masalah dengan Mas Arsya, jangan salahkan aku jika tak patuh padamu dan pergi dari rumah ini." Aku menyela ucapannya dengan sebuah ancaman yang ternyata sukses membuatnya menuruti ucapanku. Kak Shaka terdiam. Terdengar helaan nafas yang terasa begitu berat. Emosinya pasti sudah membumbung tinggi, jadi butuh waktu untuk meredamnya supaya tenang kembali. "Duduklah, di sini dan jang
"Jangan bohong!!! Dengar, aku tidak akan diam saja jika Arsya kembali membuat ulah! Dia boleh menghinaku tapi tidak akan Kubiarkan menghinamu."Astaghfirullah..... kenapa semua orang mode nuklir semua sih? Nggak Kak Shaka, nggak Mas Zamar sama aja. Dengan mata mendelik aku memberi kode pada Mas Zamar agar mengikuti ke halaman belakang. "Ayo!" Ajakku tak sabar, menarik lengan kakak kandungku itu. "Sebentar, jangan ada yang mengikuti kami." Aku berbicara pada Kak Shaka dan Mbak Sezha yang memandang kearahku. "Ck..... Siapa juga yang pengen ikut," ujar Mbak Sezha mengangkat bahunya cuek lalu kembali fokus pada sinetron yang digemari emak-emak. "Mas, sendiri kan yang bilang, aku jangan menjadi orang ketiga antara Kak Shaka dan Mas Arsya. Jangan membuat Shaka semakin membenci kakaknya." Aku kembali mengingatkan pesan Mas Zamar saat kami sudah duduk di bangku panjang yang ada di teras depan rumah. Mas Zamar menatapku dengan tangan dilipat di depan dada. "Jadi benar, Arsya buat masalah
Tepat pukul 11 siang pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara...... Galih, orang kepercayaan Kak Shaka sudah stanby menunggu kedatangan kami. Kami pun segera menuju ke parkiran dimana sebuah mobil pajer* hitam berada. Setelah kami masuk mobil pun mulai menyusuri jalanan kota dengan berjuta pesona ini. Aku yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini pun tak hentinya berdecak kagum sampai-sampi membuat Kak Shaka mengacak rambutku gemas. "Jangan menertawakanku. Ini pertama buatku datang ke kota borneo ini," bisikku malu, takut terdengar oleh anak buah Kak Shaka yang duduk di kursi kemudi. Datang ke pulau yang indah dan eksotik ini adalah hal tak pernah kubayangkan sebelumnya. Jalanan di sini ternyata tak kalah dengan jalanan di jakarta. Hanya saja di sini lancar dan tidak banyak kemancetan seperti kota metropolitan tempatku lahir. Semakin lama perjalanan berlanjut dan kami melewati jalanan mulai sepi. Sepanjang jalan kami bisa menikmati suasana yang asri dengan banyak
Pagi-pagi sekali Kak Shaka sudah pamit pergi ke perkebunan. Ada hal mendadak yang tidak bisa di tunda lagi dan harus segera di selesaikan, katanya tadi pagi begitu selesai sholat shubuh berjamaah denganku. Setelah Kak Shaka pergi ku habiskan waktu dengan bermain ponsel di kamar sampai seseorang mengetuk pintu depan. Sebelum membuka aku mengintip dulu siapa yang datang. "Assalamu'alaikum, Bu. Saya yang biasa kerja bantu-banyu masak dan bersih-bersih di rumah ini," jelas wanita seumuran bibi Kak Shaka begit aku membuka pintu. "Wa'alaikum salam, silahkan masuk. Maaf say panggil apa ya?" Agak bingung aku bertanya panggilan apa yang bisa kugunakan, takut salah. "Abang Shaka biasa panggil saya Uma Sayidah." Abang Shaka? Oh... jadi di sini Kak Shaka dipanggil abang padahal Mas Arsya dipanggil Mas. Mungkin karena meraka besar di jakarta yang sebagian besar orang Jawa. "Ah.... iya, silahkan masuk Uma." Aku bergeser memberi ruang wanita bertumbuh agak kurus itu masuk. Bukan menghina fisi
Tanpa pikir panjang aku berbalik arah dan bergegas pergi dari tempat itu. Tak kupedulikan panggilan Uma Sayidah yang terdengar mengejarku. Perubahan sikapnya yang terlalu mendadak membuatku merasa curiga. Juga dia yang seperti memaksa untuk membawaku ke tempat ini lalu keberadaan Gracia. Semakin membuatku merasa ada yang tak beres dengan semua ini. Sampai di rumah aku langsung masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Aku benar-benar tak perduli lagi dengan wanita paruh baya yang terus memanggil dan mengikutiku masuk ke dalam rumah. Entah apa yang dilakukannya di luar kamar, aku sama sekali tidak peduli. Mengingat kehadiran Gracia membuatku pusing dan mual seketika. Tak tahan aku pun berlari ke kamar mandi, kutumpahkan semua makanan yang baru beberapa jam yang lalu masuk ke dalam lambungku. Ternyata luka masa lalu yang kualami dulu belum sepenuhnya sembuh. Meski sudah bertahun-tahun lamanya namun begitu kembali melihat sosok itu bayangan kejadian itu kembali muncul seperti roll film
Selesai makan malam Nafisah langsung masuk kamar. Tanpa bicara atau sekedar pamit pada Shaka duduk di seberangnya dan Uma Sayidah yang sedang berberes di dapur. Shaka yang bingung juga khawatir hanya bisa menghela nafas panjang. Dia harus mencari tahu apa yang sudah terjadi pagi tadi sehingga istrinya itu jadi berubah dingin. Nafisah yang dia kenal sangat ramah dan hangat namun saat hatinya merasa kecewa, wanita cantik itu bisa berubah sedingin gunung es. Dari dapur Uma Sayidah hanya bisa menatap penuh sesal pada Shaka. Entah apa yang harus dia katakan jika Shaka bertanya tentang penyebab istri jadi menutup mulut. Di kamar Nafisah merebahkan diri di atas tempat tidur dan mulai memainkan ponselnya. Sekedar berselancar di dunia maya sembari menunggu kantuk menjemput. Tak lupa dia juga berkirim pesan pada kakak iparnya untuk menanyakan kabar sang putri di sana. Rasa lega menyelimuti hatinya saat istri Zamar mengabarkan jika kakek dan nenek Qiara sudah datang. Untuk sementara Qiara t
Setelah menghabiskan sebatang rokok di teras, Shaka pun bergegas masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu lalu berjalan menuju kamarnya yang ada di bagian tengah rumah itu. Hal pertama yang dilakukannya adalah masuk kamar mandi untuk gosok gigi dan mengambil wudhu. Sholat Isya belum dikerjakannya. Sekitar lima belas menit dia pun selesai dengan kewajibannya. Sekitar pukul sembilan malam Shaka pun memutuskan masuk ke dalam rumah. Pikirannya sudah lebih tenang setelah bertukar pikiran dengan Zamar. Dia sudah bisa menentukan langkah apa yang harus diambilnya. Begitu masuk tatapannya tertuju pada wanitanya yang berbaring membelakanginya. Nafas kasar diembuskan beberapa kali masih dengan posisi berdiri di depan pintu. Duduk di sofa kamar adalah pilihannya saat ini. Dengan memandangi wanita yang sudah halal untuknya itu tengah menutup matanya. Entah sudah tidur beneran atau sedang berpura-pura. "Dek," panggilnya lembut, sambil menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. "Jika kamu belum ti