"Jangan bohong!!! Dengar, aku tidak akan diam saja jika Arsya kembali membuat ulah! Dia boleh menghinaku tapi tidak akan Kubiarkan menghinamu."Astaghfirullah..... kenapa semua orang mode nuklir semua sih? Nggak Kak Shaka, nggak Mas Zamar sama aja. Dengan mata mendelik aku memberi kode pada Mas Zamar agar mengikuti ke halaman belakang. "Ayo!" Ajakku tak sabar, menarik lengan kakak kandungku itu. "Sebentar, jangan ada yang mengikuti kami." Aku berbicara pada Kak Shaka dan Mbak Sezha yang memandang kearahku. "Ck..... Siapa juga yang pengen ikut," ujar Mbak Sezha mengangkat bahunya cuek lalu kembali fokus pada sinetron yang digemari emak-emak. "Mas, sendiri kan yang bilang, aku jangan menjadi orang ketiga antara Kak Shaka dan Mas Arsya. Jangan membuat Shaka semakin membenci kakaknya." Aku kembali mengingatkan pesan Mas Zamar saat kami sudah duduk di bangku panjang yang ada di teras depan rumah. Mas Zamar menatapku dengan tangan dilipat di depan dada. "Jadi benar, Arsya buat masalah
Tepat pukul 11 siang pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara...... Galih, orang kepercayaan Kak Shaka sudah stanby menunggu kedatangan kami. Kami pun segera menuju ke parkiran dimana sebuah mobil pajer* hitam berada. Setelah kami masuk mobil pun mulai menyusuri jalanan kota dengan berjuta pesona ini. Aku yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini pun tak hentinya berdecak kagum sampai-sampi membuat Kak Shaka mengacak rambutku gemas. "Jangan menertawakanku. Ini pertama buatku datang ke kota borneo ini," bisikku malu, takut terdengar oleh anak buah Kak Shaka yang duduk di kursi kemudi. Datang ke pulau yang indah dan eksotik ini adalah hal tak pernah kubayangkan sebelumnya. Jalanan di sini ternyata tak kalah dengan jalanan di jakarta. Hanya saja di sini lancar dan tidak banyak kemancetan seperti kota metropolitan tempatku lahir. Semakin lama perjalanan berlanjut dan kami melewati jalanan mulai sepi. Sepanjang jalan kami bisa menikmati suasana yang asri dengan banyak
Pagi-pagi sekali Kak Shaka sudah pamit pergi ke perkebunan. Ada hal mendadak yang tidak bisa di tunda lagi dan harus segera di selesaikan, katanya tadi pagi begitu selesai sholat shubuh berjamaah denganku. Setelah Kak Shaka pergi ku habiskan waktu dengan bermain ponsel di kamar sampai seseorang mengetuk pintu depan. Sebelum membuka aku mengintip dulu siapa yang datang. "Assalamu'alaikum, Bu. Saya yang biasa kerja bantu-banyu masak dan bersih-bersih di rumah ini," jelas wanita seumuran bibi Kak Shaka begit aku membuka pintu. "Wa'alaikum salam, silahkan masuk. Maaf say panggil apa ya?" Agak bingung aku bertanya panggilan apa yang bisa kugunakan, takut salah. "Abang Shaka biasa panggil saya Uma Sayidah." Abang Shaka? Oh... jadi di sini Kak Shaka dipanggil abang padahal Mas Arsya dipanggil Mas. Mungkin karena meraka besar di jakarta yang sebagian besar orang Jawa. "Ah.... iya, silahkan masuk Uma." Aku bergeser memberi ruang wanita bertumbuh agak kurus itu masuk. Bukan menghina fisi
Tanpa pikir panjang aku berbalik arah dan bergegas pergi dari tempat itu. Tak kupedulikan panggilan Uma Sayidah yang terdengar mengejarku. Perubahan sikapnya yang terlalu mendadak membuatku merasa curiga. Juga dia yang seperti memaksa untuk membawaku ke tempat ini lalu keberadaan Gracia. Semakin membuatku merasa ada yang tak beres dengan semua ini. Sampai di rumah aku langsung masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Aku benar-benar tak perduli lagi dengan wanita paruh baya yang terus memanggil dan mengikutiku masuk ke dalam rumah. Entah apa yang dilakukannya di luar kamar, aku sama sekali tidak peduli. Mengingat kehadiran Gracia membuatku pusing dan mual seketika. Tak tahan aku pun berlari ke kamar mandi, kutumpahkan semua makanan yang baru beberapa jam yang lalu masuk ke dalam lambungku. Ternyata luka masa lalu yang kualami dulu belum sepenuhnya sembuh. Meski sudah bertahun-tahun lamanya namun begitu kembali melihat sosok itu bayangan kejadian itu kembali muncul seperti roll film
Selesai makan malam Nafisah langsung masuk kamar. Tanpa bicara atau sekedar pamit pada Shaka duduk di seberangnya dan Uma Sayidah yang sedang berberes di dapur. Shaka yang bingung juga khawatir hanya bisa menghela nafas panjang. Dia harus mencari tahu apa yang sudah terjadi pagi tadi sehingga istrinya itu jadi berubah dingin. Nafisah yang dia kenal sangat ramah dan hangat namun saat hatinya merasa kecewa, wanita cantik itu bisa berubah sedingin gunung es. Dari dapur Uma Sayidah hanya bisa menatap penuh sesal pada Shaka. Entah apa yang harus dia katakan jika Shaka bertanya tentang penyebab istri jadi menutup mulut. Di kamar Nafisah merebahkan diri di atas tempat tidur dan mulai memainkan ponselnya. Sekedar berselancar di dunia maya sembari menunggu kantuk menjemput. Tak lupa dia juga berkirim pesan pada kakak iparnya untuk menanyakan kabar sang putri di sana. Rasa lega menyelimuti hatinya saat istri Zamar mengabarkan jika kakek dan nenek Qiara sudah datang. Untuk sementara Qiara t
Setelah menghabiskan sebatang rokok di teras, Shaka pun bergegas masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu lalu berjalan menuju kamarnya yang ada di bagian tengah rumah itu. Hal pertama yang dilakukannya adalah masuk kamar mandi untuk gosok gigi dan mengambil wudhu. Sholat Isya belum dikerjakannya. Sekitar lima belas menit dia pun selesai dengan kewajibannya. Sekitar pukul sembilan malam Shaka pun memutuskan masuk ke dalam rumah. Pikirannya sudah lebih tenang setelah bertukar pikiran dengan Zamar. Dia sudah bisa menentukan langkah apa yang harus diambilnya. Begitu masuk tatapannya tertuju pada wanitanya yang berbaring membelakanginya. Nafas kasar diembuskan beberapa kali masih dengan posisi berdiri di depan pintu. Duduk di sofa kamar adalah pilihannya saat ini. Dengan memandangi wanita yang sudah halal untuknya itu tengah menutup matanya. Entah sudah tidur beneran atau sedang berpura-pura. "Dek," panggilnya lembut, sambil menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. "Jika kamu belum ti
Dengan tangan saling bertautan, langkah Shaka dan Nafisah mantab memasuki lobi hotel. Disusul Galih yang berjalan di belakang dua orang itu. Shaka dan Nafisah berheti tepat di depan pintu masuk sebuah restoran yang berada di lantai dua hotel bintang lima itu. Dengan tatapannya Shaka menyapu seluruh ruangan yang dipenuhi orang-orang yang sedang menikmati sarapan pagi. "Di sana, Pak." Galih menunjuk ke meja paling ujung. "Mari," sambungnya lalu berjalan lebih dulu menuju meja dimana ada wanita yang duduk berhadapan dengan seorang pria paruh baya. "Selamat pagi, Bu Gracia." Sapa Galih sopan pada seorang wanita cantik dengan kulit putih bersih dan mata sipit yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu menoleh, "Selamat......." Kalimat di ujung lidahnya seketika ia telan kembali ketika melihat dua sosok yang berada di belakang Galih. "Heh....." Sebuah senyum sinis terukir di wajah wanita keturunan Tionghoa itu. "Wahh....... siapa ini yang datang? Romeo and Juliet versi dunia nyata, atau....
"Maaf, Pak Hartama bisa ikut saya ke meja lain." Pinta Galih namun tak ditanggapi oleh Pria berkaca mata itu. "Maaf, bisa tinggalkan kami?" tegas Shaka mengarahkan pandangannya pada Hartama. "Ada hal yang perlu kami bicarakan dengan Keponakan Anda." Hartama pun akhirnya beranjak setelah Gracia mengangguk samar. Lalu mengikuti Galih untuk duduk di meja lain yang berjarak kurang lebih tiga meter dari tiga orang itu. "Ayo duduk." Dengan penuh perhatian Shaka menarik kursi untuk Nafisah. Hal itu tak luput dari perhatian Gracia seketika membuat wanita itu berdecih karena muak. "Cih....." decihnya kesal. "Katakan mau apa?" Sambungnya sambil menatap sinis. "Berhentilah mengganggu hidup kami! Jalani hidup masing-masing!" Ujar Shaka. Tak menyahut Gracia hanya menatap penuh kebencian pada Nafisah. "Apa salahku padamu? Kenapa kamu begitu membenciku, padahal selama ini akulah yang kamu rugikan," tanya Nafisah sambil menahan rasa mual yang mulai terasa di perut dan tenggorokannya. "Apa? Ap