Zamar tersenyum lebar melihat nomor yang tertera dilatar ponselnya. Benda pipih itu berpendar menampilkan sebuah panggilan masuk. "Kenapa tersenyum seperti itu?" Sezha yang duduk disebelah memicingkan mata curiga. "Jangan cemburu, ini telpon dari seorang suami yang sedang kebingungan mencari istrinya." jawab Zamar masih dengan menatap layar ponselnya. Belum ada niat untuk menerima panggilan itu. Nafisah yang berada tak jauh dari dua orang itu pun merasa penasaran. "Siapa?" Merasa bisa menebak wanita bermata lebar itu melirik kearah Kirana yang sedang duduk beralaskan karpet bulu bersama Qiara dan Aydan. Wanita berparas ayu itu ternyata sangat suka anak kecil. Jadi tak butuh waktu lama dia pun bisa langsung akrab dengan Qiara dan Aydan. Zamar mengangkat alisnya dan Nafisah pun faham. Setelahnya pria itu beranjak menuju teras samping rumah. "Halo," sapanya santai lalu tertawa mendengar sambutan yang diberikan dari lawan bicaranya. "Apakah aku tidak salah dengar? Seorang Arsya Putr
Dengan langkah lebar Arsya memasuki rumah sang adik. Langkahnya langsung terhenti begitu sampai di ruang tamu. Matanya menyapu keseluruhan ruangan bercat putih bersih itu. Dimana istrinya? Apa Nafisah berbohong?"Dia ada di ruang tengah bersama Qiara." Nafisah yang baru saja menyusul masuk menunjuk ke dalam rumah. Tak menunggu lama pria itu pun langsung bergegas melangkah masuk. Langkahnya pun kembali terhenti begitu netra hitamnya hanya menangkap bayangan istri Zamar dan dua bocah yang sedang asyik main monopoli. Arsya langsung menoleh pada Nafisah dengan satu alis terangkat. "Kamu berbohong?" ucapnya pelan namun tegas. "Tadi sebelum aku tinggal, Kirana di situ." Tunjuk Nafisah ke arah sebelah Qiara. Gadis kecil yang wajahnya masih sedikit pucat itu pun mendongak. "Sayang, tante Kirana kemana?" "Ke atas," jawab Kirana lalu kembali sibuk dengan permainannya bersama Aydan. "Tadi Kirana izin masuk kamarmu, katanya takut dibawa paksa sama suaminya." Sezha fokus dengan layar televisi
Pov Nafisah. Pukul setengah tujuh malam Kak Shaka sampai rumah. Setengah jam yang lalu aku menelponnya untuk memberi tahu keberadaan kakaknya di rumah kami. Dan suamiku itu langsung pulang padahal aku sudah mengatakan dia tidak perlu khawatir. Semua baik-baik saja. "Kok pakai motor, Kak?" setelah menjawab salam dan mencium punggung tangannya. Seingatku tadi saat berangkat Kak Shaka mengendarai mobil. Dan lagi motor ini buka motor Kak Shaka. "Kalau bawa mobil takut kejebak macet, jadi pinjam motor pegawai kafe," jawabnya setelah memarkir motor bebek yang katanya pinjem itu. "Kamu gak papa kan? Qiara mana, gak papa juga kan?" Wajah lelahnya terlihat sangat khawatir. Jadi membuatku merasa bersalah. "Aku gak papa. Qiara juga gak papa. Kan tadi sudah kubilang, Mas Arsya datang cuma buat jemput Kirana." Rasa bersalah membuatku memeluk tubuh kekar itu. "Maaf sudah buat Kak Shaka khawatir dan panik." Rasanya sangat menyesal telah membuatnya panik seperti ini. Aku tidak bisa membayangk
. "Apa itu artinya kamu mau mengambil alih kembali perkebunan?" Sebuah senyum sinis tercetak di bibir Kak Shaka. "Apa kamu pikir, aku orang yang terbiasa menjilat ludahnya kembali?" Suamiku ini memang selalu sinis jika berbicara dengan kakak kandungnya itu. Entah seperti apa hubungan mereka kenapa terlihat tidak akur. "Kalau tidak ingin mengambil alih lalu kenapa kamu menyuruhku tinggal?" Pria yang bersandar pada sandaran ranjang itu menegakkan tubuhnya. Dia menolak suapan yang diulurkan oleh Kirana. "Perkebunan itu memang milikmu, kamu yang merintisnya dari nol. Kapanpun kamu meminta kembali aku akan mengembalikannya." Sambungnya dengan ekspresi datar. Dua saudara ini memang sangat aneh. Tak pernah sekalipun aku melihat keakraban keduanya. Apakah benar mereka ini saudara kandung? Aku jadi berpikir yang tidak-tidak. "Teruslah berprasangka buruk. Bukankah itu memang keahlianmu?" tukas Kak Shaka ketus. Setelahnya dia menggandengku keluar kamar. "Apa Kak Shaka tidak bisa bicara bai
"Kuharap Mas Arsya mengerti maksud Kakak. Dan tidak memaksa untuk pergi dari rumah ini." Kataku saat mengantar Kak Shaka dan Qiara ke depan. "Dia pasti mengerti. Meski keras namun jiwa pebisnisnya kuat. Dia pasti tidak akan melepaskan peluang untuk mendapatkan kontrak itu." Aku mengangguk dan tersenyum pada sosok pria didepanku ini. Dia yang paling tahu seperti apa kakaknya itu."Semalam Kakak sudah bicara sama Mas Zamar untuk kemungkinan menitipkan Qiara beberapa hari saat kita ke pergi. Tapi cobalah untuk merundingkannya dulu dengan Aska." Kak Shaka mengelus kepala Qiara. "Seandainya sudah libur sekolah kita akan membawanya." Kembali aku menganggukkan kepalaku. Mengerti maksudnya. "Ya sudah aku berangkat dulu, baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa telpon," pamitnya. "Iya, Kak. Hati-hati." Aku mencium punggung tangan suamiku itu. Tak lupa menyalami Qiara juga. "Assalamu'alaikum." Kompak Kak Shaka dan Qiara sebelum masuk mobil. Setelah menikah Kak Shaka lebih sering membawa mob
"Kak......" Aku berusaha menahan tubuhnya yang menubrukku dan memelukku erat. Yang lebih membuatku kaget dia menciumku secara tiba-tiba dan terkesan kasar juga menuntut. "Emmm....." Kalah dengan dengan tenaganya aku pun hanya bisa mengikuti kemauannya yang membawaku ke atas ranjang kami. "Kak... ada apa?" tanyaku saat bibirnya sudah berpindah menciumi pipi, dagu tak ketinggalan leherku. Tak menjawab, tangannya mulai mengger*yangi tubuhku. Risih, namun aku tak mungkin menolaknya. Aku halal untuknya. Ada apa dengannya? Dia seperti sedang marah? Tapi apa yang membuatnya marah. Belum sampai aku menemukan jawaban atas perlakuannya, pria yang bergelar suamiku itu mulai melucuti helai demi helai kain yang menempel di tubuhku. "Kak,....." Tatapan matanya yang berkabut membuatku menelan ludah. Takut dan bingung akhirnya aku pun pasrah membiarkannya menuntaskan hasratnya. Entah berapa lam kami bergelut dalam surga dunia itu , yang pasti kami melakukannya lebih dari satu kali. Hingga tubuh
"Kak." Segera aku mengejar dan mencekal tangannya. "Jangan, biarkan saja.""Sepertinya kemarin aku sudah salah mengambil langkah." Kak Shaka melepas tanganku. "Kakakku itu tidak akan pernah berubah." Dengan wajah yang memerah Kak Shaka pun berbalik. Langkahnya mantab menuruni tangga. Tak bisa dibiarkan. Aku bergegas menyusul, kembali aku mencekal tangan kekarnya dan memegangnya erat. "Jangan ribut lagi, ini sudah hampir magrib!" Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dengan mata memdelik kutarik kembali pria itu masuk kedalam kamar. "Dek,....." "Aku bilang, sudah cukup. Kalau Kakak tetap ingin memperpanjang masalah dengan Mas Arsya, jangan salahkan aku jika tak patuh padamu dan pergi dari rumah ini." Aku menyela ucapannya dengan sebuah ancaman yang ternyata sukses membuatnya menuruti ucapanku. Kak Shaka terdiam. Terdengar helaan nafas yang terasa begitu berat. Emosinya pasti sudah membumbung tinggi, jadi butuh waktu untuk meredamnya supaya tenang kembali. "Duduklah, di sini dan jang
"Jangan bohong!!! Dengar, aku tidak akan diam saja jika Arsya kembali membuat ulah! Dia boleh menghinaku tapi tidak akan Kubiarkan menghinamu."Astaghfirullah..... kenapa semua orang mode nuklir semua sih? Nggak Kak Shaka, nggak Mas Zamar sama aja. Dengan mata mendelik aku memberi kode pada Mas Zamar agar mengikuti ke halaman belakang. "Ayo!" Ajakku tak sabar, menarik lengan kakak kandungku itu. "Sebentar, jangan ada yang mengikuti kami." Aku berbicara pada Kak Shaka dan Mbak Sezha yang memandang kearahku. "Ck..... Siapa juga yang pengen ikut," ujar Mbak Sezha mengangkat bahunya cuek lalu kembali fokus pada sinetron yang digemari emak-emak. "Mas, sendiri kan yang bilang, aku jangan menjadi orang ketiga antara Kak Shaka dan Mas Arsya. Jangan membuat Shaka semakin membenci kakaknya." Aku kembali mengingatkan pesan Mas Zamar saat kami sudah duduk di bangku panjang yang ada di teras depan rumah. Mas Zamar menatapku dengan tangan dilipat di depan dada. "Jadi benar, Arsya buat masalah
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag