Pov Nafisah. Pukul setengah tujuh malam Kak Shaka sampai rumah. Setengah jam yang lalu aku menelponnya untuk memberi tahu keberadaan kakaknya di rumah kami. Dan suamiku itu langsung pulang padahal aku sudah mengatakan dia tidak perlu khawatir. Semua baik-baik saja. "Kok pakai motor, Kak?" setelah menjawab salam dan mencium punggung tangannya. Seingatku tadi saat berangkat Kak Shaka mengendarai mobil. Dan lagi motor ini buka motor Kak Shaka. "Kalau bawa mobil takut kejebak macet, jadi pinjam motor pegawai kafe," jawabnya setelah memarkir motor bebek yang katanya pinjem itu. "Kamu gak papa kan? Qiara mana, gak papa juga kan?" Wajah lelahnya terlihat sangat khawatir. Jadi membuatku merasa bersalah. "Aku gak papa. Qiara juga gak papa. Kan tadi sudah kubilang, Mas Arsya datang cuma buat jemput Kirana." Rasa bersalah membuatku memeluk tubuh kekar itu. "Maaf sudah buat Kak Shaka khawatir dan panik." Rasanya sangat menyesal telah membuatnya panik seperti ini. Aku tidak bisa membayangk
. "Apa itu artinya kamu mau mengambil alih kembali perkebunan?" Sebuah senyum sinis tercetak di bibir Kak Shaka. "Apa kamu pikir, aku orang yang terbiasa menjilat ludahnya kembali?" Suamiku ini memang selalu sinis jika berbicara dengan kakak kandungnya itu. Entah seperti apa hubungan mereka kenapa terlihat tidak akur. "Kalau tidak ingin mengambil alih lalu kenapa kamu menyuruhku tinggal?" Pria yang bersandar pada sandaran ranjang itu menegakkan tubuhnya. Dia menolak suapan yang diulurkan oleh Kirana. "Perkebunan itu memang milikmu, kamu yang merintisnya dari nol. Kapanpun kamu meminta kembali aku akan mengembalikannya." Sambungnya dengan ekspresi datar. Dua saudara ini memang sangat aneh. Tak pernah sekalipun aku melihat keakraban keduanya. Apakah benar mereka ini saudara kandung? Aku jadi berpikir yang tidak-tidak. "Teruslah berprasangka buruk. Bukankah itu memang keahlianmu?" tukas Kak Shaka ketus. Setelahnya dia menggandengku keluar kamar. "Apa Kak Shaka tidak bisa bicara bai
"Kuharap Mas Arsya mengerti maksud Kakak. Dan tidak memaksa untuk pergi dari rumah ini." Kataku saat mengantar Kak Shaka dan Qiara ke depan. "Dia pasti mengerti. Meski keras namun jiwa pebisnisnya kuat. Dia pasti tidak akan melepaskan peluang untuk mendapatkan kontrak itu." Aku mengangguk dan tersenyum pada sosok pria didepanku ini. Dia yang paling tahu seperti apa kakaknya itu."Semalam Kakak sudah bicara sama Mas Zamar untuk kemungkinan menitipkan Qiara beberapa hari saat kita ke pergi. Tapi cobalah untuk merundingkannya dulu dengan Aska." Kak Shaka mengelus kepala Qiara. "Seandainya sudah libur sekolah kita akan membawanya." Kembali aku menganggukkan kepalaku. Mengerti maksudnya. "Ya sudah aku berangkat dulu, baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa telpon," pamitnya. "Iya, Kak. Hati-hati." Aku mencium punggung tangan suamiku itu. Tak lupa menyalami Qiara juga. "Assalamu'alaikum." Kompak Kak Shaka dan Qiara sebelum masuk mobil. Setelah menikah Kak Shaka lebih sering membawa mob
"Kak......" Aku berusaha menahan tubuhnya yang menubrukku dan memelukku erat. Yang lebih membuatku kaget dia menciumku secara tiba-tiba dan terkesan kasar juga menuntut. "Emmm....." Kalah dengan dengan tenaganya aku pun hanya bisa mengikuti kemauannya yang membawaku ke atas ranjang kami. "Kak... ada apa?" tanyaku saat bibirnya sudah berpindah menciumi pipi, dagu tak ketinggalan leherku. Tak menjawab, tangannya mulai mengger*yangi tubuhku. Risih, namun aku tak mungkin menolaknya. Aku halal untuknya. Ada apa dengannya? Dia seperti sedang marah? Tapi apa yang membuatnya marah. Belum sampai aku menemukan jawaban atas perlakuannya, pria yang bergelar suamiku itu mulai melucuti helai demi helai kain yang menempel di tubuhku. "Kak,....." Tatapan matanya yang berkabut membuatku menelan ludah. Takut dan bingung akhirnya aku pun pasrah membiarkannya menuntaskan hasratnya. Entah berapa lam kami bergelut dalam surga dunia itu , yang pasti kami melakukannya lebih dari satu kali. Hingga tubuh
"Kak." Segera aku mengejar dan mencekal tangannya. "Jangan, biarkan saja.""Sepertinya kemarin aku sudah salah mengambil langkah." Kak Shaka melepas tanganku. "Kakakku itu tidak akan pernah berubah." Dengan wajah yang memerah Kak Shaka pun berbalik. Langkahnya mantab menuruni tangga. Tak bisa dibiarkan. Aku bergegas menyusul, kembali aku mencekal tangan kekarnya dan memegangnya erat. "Jangan ribut lagi, ini sudah hampir magrib!" Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dengan mata memdelik kutarik kembali pria itu masuk kedalam kamar. "Dek,....." "Aku bilang, sudah cukup. Kalau Kakak tetap ingin memperpanjang masalah dengan Mas Arsya, jangan salahkan aku jika tak patuh padamu dan pergi dari rumah ini." Aku menyela ucapannya dengan sebuah ancaman yang ternyata sukses membuatnya menuruti ucapanku. Kak Shaka terdiam. Terdengar helaan nafas yang terasa begitu berat. Emosinya pasti sudah membumbung tinggi, jadi butuh waktu untuk meredamnya supaya tenang kembali. "Duduklah, di sini dan jang
"Jangan bohong!!! Dengar, aku tidak akan diam saja jika Arsya kembali membuat ulah! Dia boleh menghinaku tapi tidak akan Kubiarkan menghinamu."Astaghfirullah..... kenapa semua orang mode nuklir semua sih? Nggak Kak Shaka, nggak Mas Zamar sama aja. Dengan mata mendelik aku memberi kode pada Mas Zamar agar mengikuti ke halaman belakang. "Ayo!" Ajakku tak sabar, menarik lengan kakak kandungku itu. "Sebentar, jangan ada yang mengikuti kami." Aku berbicara pada Kak Shaka dan Mbak Sezha yang memandang kearahku. "Ck..... Siapa juga yang pengen ikut," ujar Mbak Sezha mengangkat bahunya cuek lalu kembali fokus pada sinetron yang digemari emak-emak. "Mas, sendiri kan yang bilang, aku jangan menjadi orang ketiga antara Kak Shaka dan Mas Arsya. Jangan membuat Shaka semakin membenci kakaknya." Aku kembali mengingatkan pesan Mas Zamar saat kami sudah duduk di bangku panjang yang ada di teras depan rumah. Mas Zamar menatapku dengan tangan dilipat di depan dada. "Jadi benar, Arsya buat masalah
Tepat pukul 11 siang pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara...... Galih, orang kepercayaan Kak Shaka sudah stanby menunggu kedatangan kami. Kami pun segera menuju ke parkiran dimana sebuah mobil pajer* hitam berada. Setelah kami masuk mobil pun mulai menyusuri jalanan kota dengan berjuta pesona ini. Aku yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini pun tak hentinya berdecak kagum sampai-sampi membuat Kak Shaka mengacak rambutku gemas. "Jangan menertawakanku. Ini pertama buatku datang ke kota borneo ini," bisikku malu, takut terdengar oleh anak buah Kak Shaka yang duduk di kursi kemudi. Datang ke pulau yang indah dan eksotik ini adalah hal tak pernah kubayangkan sebelumnya. Jalanan di sini ternyata tak kalah dengan jalanan di jakarta. Hanya saja di sini lancar dan tidak banyak kemancetan seperti kota metropolitan tempatku lahir. Semakin lama perjalanan berlanjut dan kami melewati jalanan mulai sepi. Sepanjang jalan kami bisa menikmati suasana yang asri dengan banyak
Pagi-pagi sekali Kak Shaka sudah pamit pergi ke perkebunan. Ada hal mendadak yang tidak bisa di tunda lagi dan harus segera di selesaikan, katanya tadi pagi begitu selesai sholat shubuh berjamaah denganku. Setelah Kak Shaka pergi ku habiskan waktu dengan bermain ponsel di kamar sampai seseorang mengetuk pintu depan. Sebelum membuka aku mengintip dulu siapa yang datang. "Assalamu'alaikum, Bu. Saya yang biasa kerja bantu-banyu masak dan bersih-bersih di rumah ini," jelas wanita seumuran bibi Kak Shaka begit aku membuka pintu. "Wa'alaikum salam, silahkan masuk. Maaf say panggil apa ya?" Agak bingung aku bertanya panggilan apa yang bisa kugunakan, takut salah. "Abang Shaka biasa panggil saya Uma Sayidah." Abang Shaka? Oh... jadi di sini Kak Shaka dipanggil abang padahal Mas Arsya dipanggil Mas. Mungkin karena meraka besar di jakarta yang sebagian besar orang Jawa. "Ah.... iya, silahkan masuk Uma." Aku bergeser memberi ruang wanita bertumbuh agak kurus itu masuk. Bukan menghina fisi