Pov Shaka. Acara berjalan dengan sangat lancar. Hampir semua yang kami undang datang. Bahkan ada beberapa orang yang tidak diundang namun datang. Alasannya beragam, ada yang merasa kenal lama dengan istriku jadi memutuskan datang meski tidak diundang. Ada yang katanya punya hutang hajatan pada Nafisah. "Kak, Mas Arsyad belum datang?" tanya Nafisah di sela-sela menyalami tamu. Sejak acara dimulai tamu tak henti naik pelaminan dan mengucapkan selamat. Kulirik jam tangan di pergelangan tanganku. "katanya ada pertemuan penting dengan calon investor yang ingin bekerjasama sama dengan perkebunan kami." Aku mengurai senyum diakhir kalimatku.Aku tak ingin Nafisah berpikir negatif dengan keterlambatan kakak kandungku itu. Hampir semua saudara dan kerabat kami hadir. Dari luar kota juga luar pulau kompak datang tadi pagi dan langsung menuju hotel. Tapi kakak kandungku malah telat dengan alasan pekerjaan. Aku percaya, tak sedikit dari saudara kami berpikir juja kakakku itu sengaja tak datan
Sepanjang jalan aku terus menggerutu karena kesal. Sesekali Nafisah mengelus lenganku. Wanitaku ini masih sangat terlihat cantik meski rautnya nampak kelelahan. Sungguh tak tega melihatnya harus ikut ke kantor polisi malam-malam begini. Dan itu semua karena Mas Arsya. Aku benar-benar tak habis pikir dengan kakakku itu, bisa-bisanya dia membuat masalah yang seharusnya tidak dia lakukan di umurnya yang sudah menginjak 35 tahun."Harusnya dia itu menikah bukan bikin onar di luar rumah." Tanpa sadar aku mengeluarkan unek-unek yang ada dalam hatiku. "Umur sudah kepala tiga bisa-bisa melecehkan wanita di dalam kereta." Aku masih tak bisa mengendalikan diri, mataku fokus ke jalanan tapi mulutku tak bisa lagi diam. Kesal, rasanya. Di malam yang seharusnya aku nikmati dengan istriku, sekarang malah harus kekantor polisi. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan. "Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, tenang dulu ya!" Kembali Nafisah mengelus lenganku lembut untuk yang kesekian kal
"Sampai kapan kalian akan terus berdebat?" Aku yang sudah kehilangan kesabaran berusaha menengahi. "Mintalah maaf, biar semua cepat selesai." Karaku menatap Mas Arsya. "Aku gak salah, buat apa minta maaf?" Bukannya menurutiku Mas Arsya malah tidak terima. "Saksi dan bukti menunjukkan kamu yang salah." Rasa lelah dan kesal membuatku terpancing. Detik berikutnya aku pun berdiri. "Apa susahnya mengalah, ini sudah terlarut malam untuk berdebat." "Kak, dengerin dulu Mas Arsya bicara. Mungkin ini salah faham." Nafisah yang sejak tadi diam kini ikut bicara. Tangannya menarikku supaya kembali duduk. "Istrimu saja bisa lebih bijak dari kamu yang seorang guru," sahut Mas Arsya. Ck...... Apa aku tidak salah dengar? Aku pun tersenyum sinis menanggapinya. Giliran dapat masalah bilang istriku bijak, kemarin-kemarin menghina istriku karena statusnya yang seorang janda. "Kenapa?" tanyanya tapi tak kuhiraukan. Kuhela nafas panjang, untuk mengurangi gemuruh di dadaku. Merasa lebih tenang aku me
Pov Nafisah. Pukul satu dini hari terlihat dari layar ponsel saat permukaan benda pipih itu berpendar menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk. [Bagaimana, bisa diselesaikan secara baik-baik?] Isi pesan dari Mas Zamar. [Alhamdulillah bisa. Ini sudah akan pulang.] Kusempatkan membalas pesan Mas Zamar sambil berjalan menuju mobil yang berada di parkiran kantor polisi. "Masuklah, Dek." Kak Shaka membukakan pintu bagian depan mobil. Aku masuk pun masuk setelah memastikan wanita bernama Kirana itu telah duduk di kursi penumpang bagian belakang bersama Mas Arsya. Tidak seperti beberapa detik yang lalu, kakak iparku itu tak lagi menolak permintaanku untuk mengantarkan Kirana lebih dulu. Ya, mungkin karena lelah. Jalanan sudah sangat sepi saat mobil bergerak keluar dari halaman kantor polisi. Kirana sedikit sungkan menyebutkan alamatnya saat rumahnya. "Maaf merepotkan," ucapnya dengan senyum terpaksa yang kulihat dari kaca mobil. Aku pun menoleh padanya dan membalasnya dengan senyum
Sejak semalam Qiara demam. Putriku itu mengeluh tenggorokannya sakit dan kepalanya pusing. Badannya sangat panas tapi dia merasa kedinginan. Pagi-pagi sekali aku dan Kak Shaka membawanya ke rumah dokter Arya. Dokter yang sudah menjadi langg*nan jika Qiara sakit. Saat sakit, Qiara akan sangat manja. tidak bisa tinggal barang sebentar saja. Dia akan langsung menangis jika tak menemukanku di sampingnya. Situasi ini membuatku tak bisa menepati janjiku pada Kirana untuk menemui bosnya. Serba salah juga, aku tidak mungkin meninggalkan Qiara yang dalam kondisi sakit tapi aku juga tidak bisa mengabaikan nasib Kirana yang butuh pekerjaannya kembali. Dan hari ini sudah tiga hari wanita itu tidak bekerja. Jika kelamaan takut bosnya sudah terlanjur mencari penggantinya. Sedangkan orang yang seharusnya bertanggung jawab atas masalah Kirana malah sibuk dengan pekerjaannya sendiri. "Hari ini aku ada janji penting. Kamu kan tahu aku sedang melobi sebuah perusahaan ternama supaya kita bisa menjadi
Lagi-lagi aku tak bisa memahami maksud dari ucapan Mas Arsya? Memang apa yang sudah aku lakukan? Kenapa sampai pria itu mengatakan aku adalah sumber dari malapetaka dalam kehidupan mereka? "Bangun dari mimpimu! Sadar dan lihat dengan jelas seperti apa wanita yang kamu cintai itu." Semakin lama ucapan Mas Arsya seperti sudah tak memiliki rasa sungkan lagi padaku. Setiap kata yang dia ucapkan seperti sedang berusaha mempengaruhi Kak Shaka dengan mengolok-olokku. "Cukup! Kuperingatkan tarik ucapanmu kembali Atau..." Kak Shaka mengepalkan tangannya. Aku yang Merasa terkejut dengan sikap Mas Arsya, perlahan melepaskan lengan kekar itu. "Apa salahku? Kenapa Mas Arsya sepertinya sangat membenciku?" Tak bisa lagi kutahan, pertanyaan itu pun meluncur dengan bebas dari kedua bibirku. "Sok polos," jawabnya sambil berdecih. "Kubilang tarik ucapanmu!!!!." Kembali Kak Shaka membentak. Suaranya sangat keras membuatku takut akan mengusik tidur Qiara. "Kamu pasti tahu segila apa aku?" Lagi-lagi s
Begitu kami masuk kamar terlihat Qiara sudah dalam posisi duduk diatas tempat tidur dengan air mata yang berderai membasahi wajahnya yang pucat. Segera aku melangkah mendahulu Kak Shaka. "Sayang...... Kebangun, ya?" Aku merengkuh tubuh kecil yang terasa mulai kembali menghangat. "Maaf ya, tadi Bunda, bukain pintu Papa Shaka sama Om Arsya." Terpaksalah aku berbohong.Kubetulkan bantal dan gulingnya kemudian mengajaknya untuk kembali berbaring dan menepuk punggungnya lembut sesekali mengelusnya. Kak Shaka pun ikut menyusul kami, naik keatas tempat tidur lalu berbaring di samping Qiara. Telapak tangan besar itu ikut mengelus pelan puncak kepala gadis kecil dalam dekapanku. Kuhela nafas saat netraku menangkap warna kemerahan di permukaan punggung tangan Kak Shaka. Meski dia tidak seputih kulitku namun kulitnya sangat bersih jadi jika terluka pasti akan terlihat.Hampir tiga puluh menit suasana hening. Tangis Qiara sudah mereda dan berganti dengan dengkuran halus. Putriku sudah kembali
"Dek." Panggil Kak Shaka sambil beranjak bangun. Wajahnya terlihat cemas karena aku hanya diam saja."Please..... jangan membuatku takut dengan diam saja begitu. Sulit sekali menebak pikiranmu, Dek." Pria itu menatapku melas. Ada yang menghangat didalam sana melihatnya cemas begitu. Dia benar, terkadang pemikiranku memang tak terduga. Tak sama dengan kebanyakan orang yang luluh dengan kata cinta. Seringnya harga diri yang mendominasi pikiranku membuatku sulit memaafkan. Tapi kali berbeda, rasanya serba salah. Jujur, sakit sekali hatiku. Mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut kakak kandung Kak Shaka. Hatiku seperti dicabik-cabik dengan pisau tajam lalu di siram air garam, perih tak terkira. Dengan begitu ringannya kalimat menyakitkan itu Mas Arsya ucapkan, apa dia pikir kejadian dua belas tahun lalu itu tidak melukaiku? Aku pun terluka dan patah hati. Aku bahkan butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa kembali berinteraksi dengan dengan teman-temanku karena malu. Untuk masa