Pagi ini aku bangun kesiangan, hampir setengah enam. Kalau tidak dibangunkan oleh istriku mungkin aku tidak sempat menjalankan ibadah sholat shubuh.Sejak semalam aku sulit untuk tidur. Karena saking bahagianya sampai mataku sulit terpejam. Bibir tak lelah tersenyum sejak semalam. Hari ini adalah salah satu momen yang paling aku tunggu dalam hidupku. Setelah mampu menghalalkan Nafisah Khumairah sebulan yang lalu dan hari ini resepsi atau walimatul urusyi sebagai salah satu cara mengumumkan status kami kepada orang-orang yang mengenal kami. Meski ini kali kedua untuk Nafisah tapi aku ingin resepsi kali ini menjadi momen paling indah dalam. hidup Nafisah Khumairah.Segala persiapan sudah aku serahkan pada IO ternama dan berpengalaman. Kupercayakan semuanya namun tetap aku awasi. Kutekankan jika pesta harus terlihat mewah tapi elegan dan dikemas dengan kesederhanaan. Aku tetap tidak bia mengabaikan permintaan istriku yang ingin pestanya sesederhana mungkin. Undangan sudah seminggu yang
Pov Shaka. Acara berjalan dengan sangat lancar. Hampir semua yang kami undang datang. Bahkan ada beberapa orang yang tidak diundang namun datang. Alasannya beragam, ada yang merasa kenal lama dengan istriku jadi memutuskan datang meski tidak diundang. Ada yang katanya punya hutang hajatan pada Nafisah. "Kak, Mas Arsyad belum datang?" tanya Nafisah di sela-sela menyalami tamu. Sejak acara dimulai tamu tak henti naik pelaminan dan mengucapkan selamat. Kulirik jam tangan di pergelangan tanganku. "katanya ada pertemuan penting dengan calon investor yang ingin bekerjasama sama dengan perkebunan kami." Aku mengurai senyum diakhir kalimatku.Aku tak ingin Nafisah berpikir negatif dengan keterlambatan kakak kandungku itu. Hampir semua saudara dan kerabat kami hadir. Dari luar kota juga luar pulau kompak datang tadi pagi dan langsung menuju hotel. Tapi kakak kandungku malah telat dengan alasan pekerjaan. Aku percaya, tak sedikit dari saudara kami berpikir juja kakakku itu sengaja tak datan
Sepanjang jalan aku terus menggerutu karena kesal. Sesekali Nafisah mengelus lenganku. Wanitaku ini masih sangat terlihat cantik meski rautnya nampak kelelahan. Sungguh tak tega melihatnya harus ikut ke kantor polisi malam-malam begini. Dan itu semua karena Mas Arsya. Aku benar-benar tak habis pikir dengan kakakku itu, bisa-bisanya dia membuat masalah yang seharusnya tidak dia lakukan di umurnya yang sudah menginjak 35 tahun."Harusnya dia itu menikah bukan bikin onar di luar rumah." Tanpa sadar aku mengeluarkan unek-unek yang ada dalam hatiku. "Umur sudah kepala tiga bisa-bisa melecehkan wanita di dalam kereta." Aku masih tak bisa mengendalikan diri, mataku fokus ke jalanan tapi mulutku tak bisa lagi diam. Kesal, rasanya. Di malam yang seharusnya aku nikmati dengan istriku, sekarang malah harus kekantor polisi. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan. "Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, tenang dulu ya!" Kembali Nafisah mengelus lenganku lembut untuk yang kesekian kal
"Sampai kapan kalian akan terus berdebat?" Aku yang sudah kehilangan kesabaran berusaha menengahi. "Mintalah maaf, biar semua cepat selesai." Karaku menatap Mas Arsya. "Aku gak salah, buat apa minta maaf?" Bukannya menurutiku Mas Arsya malah tidak terima. "Saksi dan bukti menunjukkan kamu yang salah." Rasa lelah dan kesal membuatku terpancing. Detik berikutnya aku pun berdiri. "Apa susahnya mengalah, ini sudah terlarut malam untuk berdebat." "Kak, dengerin dulu Mas Arsya bicara. Mungkin ini salah faham." Nafisah yang sejak tadi diam kini ikut bicara. Tangannya menarikku supaya kembali duduk. "Istrimu saja bisa lebih bijak dari kamu yang seorang guru," sahut Mas Arsya. Ck...... Apa aku tidak salah dengar? Aku pun tersenyum sinis menanggapinya. Giliran dapat masalah bilang istriku bijak, kemarin-kemarin menghina istriku karena statusnya yang seorang janda. "Kenapa?" tanyanya tapi tak kuhiraukan. Kuhela nafas panjang, untuk mengurangi gemuruh di dadaku. Merasa lebih tenang aku me
Pov Nafisah. Pukul satu dini hari terlihat dari layar ponsel saat permukaan benda pipih itu berpendar menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk. [Bagaimana, bisa diselesaikan secara baik-baik?] Isi pesan dari Mas Zamar. [Alhamdulillah bisa. Ini sudah akan pulang.] Kusempatkan membalas pesan Mas Zamar sambil berjalan menuju mobil yang berada di parkiran kantor polisi. "Masuklah, Dek." Kak Shaka membukakan pintu bagian depan mobil. Aku masuk pun masuk setelah memastikan wanita bernama Kirana itu telah duduk di kursi penumpang bagian belakang bersama Mas Arsya. Tidak seperti beberapa detik yang lalu, kakak iparku itu tak lagi menolak permintaanku untuk mengantarkan Kirana lebih dulu. Ya, mungkin karena lelah. Jalanan sudah sangat sepi saat mobil bergerak keluar dari halaman kantor polisi. Kirana sedikit sungkan menyebutkan alamatnya saat rumahnya. "Maaf merepotkan," ucapnya dengan senyum terpaksa yang kulihat dari kaca mobil. Aku pun menoleh padanya dan membalasnya dengan senyum
Sejak semalam Qiara demam. Putriku itu mengeluh tenggorokannya sakit dan kepalanya pusing. Badannya sangat panas tapi dia merasa kedinginan. Pagi-pagi sekali aku dan Kak Shaka membawanya ke rumah dokter Arya. Dokter yang sudah menjadi langg*nan jika Qiara sakit. Saat sakit, Qiara akan sangat manja. tidak bisa tinggal barang sebentar saja. Dia akan langsung menangis jika tak menemukanku di sampingnya. Situasi ini membuatku tak bisa menepati janjiku pada Kirana untuk menemui bosnya. Serba salah juga, aku tidak mungkin meninggalkan Qiara yang dalam kondisi sakit tapi aku juga tidak bisa mengabaikan nasib Kirana yang butuh pekerjaannya kembali. Dan hari ini sudah tiga hari wanita itu tidak bekerja. Jika kelamaan takut bosnya sudah terlanjur mencari penggantinya. Sedangkan orang yang seharusnya bertanggung jawab atas masalah Kirana malah sibuk dengan pekerjaannya sendiri. "Hari ini aku ada janji penting. Kamu kan tahu aku sedang melobi sebuah perusahaan ternama supaya kita bisa menjadi
Lagi-lagi aku tak bisa memahami maksud dari ucapan Mas Arsya? Memang apa yang sudah aku lakukan? Kenapa sampai pria itu mengatakan aku adalah sumber dari malapetaka dalam kehidupan mereka? "Bangun dari mimpimu! Sadar dan lihat dengan jelas seperti apa wanita yang kamu cintai itu." Semakin lama ucapan Mas Arsya seperti sudah tak memiliki rasa sungkan lagi padaku. Setiap kata yang dia ucapkan seperti sedang berusaha mempengaruhi Kak Shaka dengan mengolok-olokku. "Cukup! Kuperingatkan tarik ucapanmu kembali Atau..." Kak Shaka mengepalkan tangannya. Aku yang Merasa terkejut dengan sikap Mas Arsya, perlahan melepaskan lengan kekar itu. "Apa salahku? Kenapa Mas Arsya sepertinya sangat membenciku?" Tak bisa lagi kutahan, pertanyaan itu pun meluncur dengan bebas dari kedua bibirku. "Sok polos," jawabnya sambil berdecih. "Kubilang tarik ucapanmu!!!!." Kembali Kak Shaka membentak. Suaranya sangat keras membuatku takut akan mengusik tidur Qiara. "Kamu pasti tahu segila apa aku?" Lagi-lagi s
Begitu kami masuk kamar terlihat Qiara sudah dalam posisi duduk diatas tempat tidur dengan air mata yang berderai membasahi wajahnya yang pucat. Segera aku melangkah mendahulu Kak Shaka. "Sayang...... Kebangun, ya?" Aku merengkuh tubuh kecil yang terasa mulai kembali menghangat. "Maaf ya, tadi Bunda, bukain pintu Papa Shaka sama Om Arsya." Terpaksalah aku berbohong.Kubetulkan bantal dan gulingnya kemudian mengajaknya untuk kembali berbaring dan menepuk punggungnya lembut sesekali mengelusnya. Kak Shaka pun ikut menyusul kami, naik keatas tempat tidur lalu berbaring di samping Qiara. Telapak tangan besar itu ikut mengelus pelan puncak kepala gadis kecil dalam dekapanku. Kuhela nafas saat netraku menangkap warna kemerahan di permukaan punggung tangan Kak Shaka. Meski dia tidak seputih kulitku namun kulitnya sangat bersih jadi jika terluka pasti akan terlihat.Hampir tiga puluh menit suasana hening. Tangis Qiara sudah mereda dan berganti dengan dengkuran halus. Putriku sudah kembali
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag