Wanita berpakaian santai namun terlihat berkelas duduk di hadapan Nathalie. Senyum yang terukir di bibirnya seakan tidak pernah memudar. Bibirnya yang tipis dengan bulu mata yang lentik cukup mendeskripsikan satu hal. Sempurna. Wanita cantik yang kini menatap Nathalie dalam-dalam itu tampak tertarik akan sesuatu.
Sementara Nathalie. Ia bahkan tidak tahu apa yang membawa kakinya sampai ke tempat ini. Bodoh rasanya jika ia menganggap terkena hipnotis lantaran dirinya jelas-jelas sadar.
"Aku akan memperkenalkan diri lagi sebagai bentuk kesopanan." Wanita dengan gaya rambut disanggul sebagian tersebut mulai bersuara.
"Aku Emeralda, biasa dipanggil Emerald. Psikolog sekaligus psikoterapis yang menangani Kai sejak dua tahun lalu."
Nathalie menahan napas. Tidak dapat menahan kedua bola matanya yang kemudian melebar.
"A—apa maksudmu?" Ia menutup bibir dengan telapak tangan tidak percaya. Namun, tidak mungkin juga wanita yang sedang
Nathalie tidak menyangka dengan apa yang saat ini dilihatnya. Ia benar-benar tidak memikirkan akan satu hal.Angelista. Seorang wanita yang masih memiliki status jelas sebagai kekasih Kai.“Nathalie?” panggil wanita bermanik biru itu sekali lagi.“A-aku …” Suaranya serasa tercekat. Tiba-tiba saja ia tidak tahu harus berbicara apa.Sementara Angelista yang menunggu wanita di depannya menjawab, mengalihkan pandangannya pada apa yang Nathalie sembunyikan di belakang badan.“Apa itu?” tanya wanita pirang itu kala ia tak sengaja melihat siluet plastik putih.“Bukan apa-apa,” ujar Nathalie sembari memaksakan senyum. Ia bersiap untuk pergi dan menjauh dari Angelista yang masih bingung dengan kedatangannya.“Apa itu obat untuk Kai?”Tidak ada yang dapat Nathalie lakukan selain menghela napas pelan.“Ya,” jawabnya kemudian. Sudah terlambat jika ia ingi
Hal yang pertama kali Kai lihat ketika membuka mata adalah langit-langit kamarnya. Tampak terang karena matahari yang menembus gorden putih di sebelahnya.Pria itu menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Kemudian bangkit dari tidurnya dan mengamati sekitar. Hingga suara benda jatuh yang amat nyaring membuat ia mengerutkan kening.Disibaknya selimut yang menutupi sebagian badan dan ia mulai berjalan keluar.Dapur adalah tujuannya saat ini.“Tidak perlu membuat sarapan,” ujar Kai dengan suara khas orang bangun tidur. Ia berjalan mendekati Angelista yang kini memegang spatula. Mendesah pelan. Lalu mengambil wajan yang tergeletak di lantai.“Kai, bagaimana kondisimu?” Sontak Angelista berdiri di hadapan Kai. Mengamati wajah pria itu lekat-lekat.“Aku sudah lebih baik,” balas Kai seraya menaruh wajan yang ada di tangan.“Aku sedang menyiapkan sarapan untukmu. Sejak kemarin kau tidak memak
"Kau benar-benar akan membatalkan kerjasama kita?"Angelista menatap tidak percaya pada wanita bersurai ungu yang kini memandang dirinya dengan senyum tipis di wajah."Aku tidak pernah menandatangani kontrak yang kau kirimkan padaku. Jadi, kau tidak dapat mengatakan jika aku membatalkan kerjasama kita."Melihat wajah kesal Angelista, membuat Irine tidak dapat berkata-kata. Sama sekali tidak merasa bersalah pada wanita itu karena dari awal dirinya memang tidak memiliki niatan untuk berkolaborasi dengan Angelista."Kau tahu siapa aku, bukan? Brandku di Inggris sudah terkenal di dunia permodelan dan busana, bahkan sekarang merambat ke dunia entertainment. Banyak artis yang sudah mengenakan rancanganku selama ini. Butikku juga sudah tersebar di seluruh penjuru dunia. Kita akan membawa kemajuan yang pesat jika bersama. Kau juga mendapatkan kesempatan untuk lebih terkenal lagi. Tidakkah kau ingin mempertimbangkannya sekali lagi?"
"Paman, kenapa kau bisa ada di rumah sakit?"Jordi tidak menyangka akan bertemu dengan Kai di rumah sakit ini. Sebuah kebetulan yang jarang terjadi.Awalnya, ia pikir dirinya salah lihat. Mana mungkin pamannya yang begitu sibuk berkutat di atas meja kantornya itu mengunjungi rumah sakit tanpa alasan.Jika sakit pun, bahkan Kai dapat memanggil sepuluh dokter terbaik di belahan dunia ini. Atau bahkan menjadikan salah satu dari mereka sebagai dokter pribadinya.Namun, kala langkah Kai semakin mendekat ke arahnya. Jordi tidak dapat menyangkal jika ia benar-benar melihat pamannya di sini. Yang masih lengkap dengan balutan jas kerja."Aku datang untuk periksa." Pria yang tingginya beberapa senti lebih tinggi dari Jordi tersebut menaikkan salah satu alisnya."Kau sakit?"Jordi menggeleng cepat. "Aku mengantarkan temanku. Dia sedang sakit."Kai mengangguk. Tidak menyangka Jordi yang biasanya memiliki
Wajah Jordi yang semula sumringah tiba-tiba berganti hanya dalam beberapa detik. Ia membuka pintu ruangan Nathalie, dan menemukan wanita itu dalam kondisi terduduk dengan kepala yang tertunduk. "Hei, aku sudah datang membawakan makan untukmu." Pria itu meletakkan barang bawaannya. Dan kemudian mendekati wanita yang masih diam tak bergerak. Jejak-jejak air mata masih membekas jelas di wajah Nathalie. Sementara Jordi yang melihat itu tidak langsung mengatakan sesuatu yang ada dalam isi kepalanya. Ia rasa dirinya memahami bagaimana perasaan Nathalie saat ini. Sakit memang tidak mengenakkan. "Katakan saja, jangan memandangiku dengan penasaran." Bibir Nathalie terbuka pelan. Sebelum kemudian memalingkan pandangannya pada pria yang kini sok sibuk membuka bungkus roti. Mencuil bagian roti tersebut dan mendekatkannya ke mulut wanita itu. Nathalie terkekeh. Sesaat kemudian mengambil roti pemberian Jordi dan memasuk
"Kau mendapatkan ijin libur dua hari. Hari ini sebaiknya gunakan untuk istirahat saja," ujar Jordi. Dan langsung bergegas menuju di mana dapur Nathalie berada. "Apa yang ingin kau lakukan?" Wanita itu memandang tidak percaya ketika Jordi menggulung lengan bajunya dan mencari-cari sesuatu di dalam kulkas. "Memasak tentu saja. Apa karena sedang sakit matamu juga tidak dapat bekerja dengan baik?" Tidak ada yang Nathalie lakukan selain menghela napas panjang. Mau tak mau ia harus mengijinkan Jordi untuk berbuat sesuatu pada dapurnya. Meski ada sedikit rasa khawatir darinya apabila sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi. "Tenang saja, kemampuan memasak ku sudah meningkat jauh dari yang kau bayangkan." Pria itu mengacungkan pisau, sebelum kemudian memotong sayuran yang dipegangnya. Membiarkan Nathalie menggelengkan kepala melihat tingkah laku konyol pria itu. "Kau pria yang suka memasak." "Tentu sa
Angelista menarik kedua sudut bibir saat netranya menangkap suatu grafik yang bagus dalam tablet yang ada di tangannya. Menampilkan penjualan busana rancangan miliknya yang laris dan meraup keuntungan besar. Tidak dapat menyembunyikan rasa bangga yang muncul dalam benaknya, Angelista terkekeh pelan. Melihat pencapaian miliknya yang begitu nyata seperti ini, ia masih saja tidak mengerti dengan apa yang ada dalam isi kepala Irine. "Mungkinkah dia sedang menyesali perkataannya?" Angelista tersenyum miring. Membayangkan bagaimana wajah putus asa Irine karena telah memperlakukan dirinya dengan buruk. Wanita bersurai pirang tersebut menggeleng pelan. Lantas menyentuh layar dan kembali memeriksa. Sedangkan suara langkah sepatu yang beradu dengan lantai membuat dirinya cepat-cepat mengangkat kepala. Menemukan Kai tengah mengenakan jam tangan dan bersiap untuk berangkat kerja. Angelista tersenyum lebar. Namun, tak lama kemudian wajahnya ber
"Kau ... kenapa kau ada di sini?" ujar seseorang yang berdiri di depan pintu tersebut seraya menatap dingin ke arah Jordi. Sementara Jordi tidak bergerak. Separuh bibirnya tampak terbuka. Masih tidak percaya dengan siapa yang saat ini tengah beradu pandang dengannya. "Jordi, mengapa kau lama sekali membukakan pintu?" Tiba-tiba saja Nathalie datang. Setelah beberapa saat menunggu dan Jordi tidak segera kembali, ia menjadi khawatir dengan siapa yang datang. "Nathalie, sebaiknya kau bisa membuat alasan yang bagus nanti. Mengapa ada pria di rumahmu sepagi ini." Ekspresi Irine berubah manis. Ia tersenyum pada wanita di belakang Jordi yang saat ini balas menyapa dirinya dengan kaku...."Jadi, kemarin kau tidak memberitahuku jika kau sedang sakit?" Irine meletakkan sendok dan menghela napas putus asa. "Kau pikir aku orang asing? Mengapa kau membiarkan pria seperti ini berada di sisimu daripada aku? Kau anggap aku apa?"