Sudah sepuluh menit sejak Dokter keluar setelah melakukan pemeriksaan pada Nathalie. Dan beberapa saat kemudian, kedua kelopak mata yang semula tertutup itu kini perlahan terbuka. Memamerkan manik cokelat cerah yang indah. "Leon?" Nathalie memanggil nama pria itu dengan lemah. Dan Leon yang segera mendekat. "Apa aku baru saja pingsan?" Pria itu mengangguk. "Kau harus tenang. Jangan terlalu memikirkan hal yang berat. Kau harus segera sembuh, mengerti?" Nathalie menarik kedua sudut bibirnya dan membuat pria lain yang ada di ruangan ini menggertakkan gigi. Kai sangat marah. Ia sangat merah ketika melihat bagaimana Nathalie melihat Leon sebagai dirinya. Namun, ia harus bisa menekan perasaannya agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Namun, saat Leon kemudian mengulurkan tangannya untuk mengusap pucuk kepala Nathalie, Kai benar-benar tidak sanggup melihat semua ini. Ia beranjak dari tempat duduknya yang langsung ditahan oleh sebuah tangan yang memegang lengannya dengan ken
Melihat Nathalie yang memejamkan mata dan menunggunya, membuat Leon ingin melupakan sejenak perannya saat ini. Ia pun makin mendekatkan wajahnya dan hanya tinggal beberapa senti lagi, sebelum kemudian ia merasakan tarikan cepat dari seseorang yang kemudian memukul wajahnya dengan keras. Bugh!"Sialan kau!" Kai kembali melayangkan pukulan telak. Dan Leon sama sekali tidak memiliki waktu untuk menghindar."Bisa-bisanya kau memanfaatkan keadaannya untuk melakukan hal seperti ini! Dasar Bajingan!" Sedangkan Nathalie yang masih tak berkutik lantaran terkejut itu kemudian mendekati Leon dan memeluk pria itu untuk melindunginya. "Hentikan!" "Lepaskan dia, Thalia! Aku harus memberinya pelajaran karena telah menyentuhmu!" Nathalie menggeleng. Air matanya hampir keluar saat ia melihat wajah Leon yang penuh dengan lebam. Bahkan hidung pria itu mulai mengeluarkan darah. "Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?! Kenapa kau tiba-tiba memukulnya!" Nathalie menghadap Kai dan merentangkan ta
"Thalia, apa kau ingat tempat ini? Ini adalah tempat di yang kau datangi saat kau terlambat jam kuliah dan menangis sambil meneleponku untuk datang. Kau masih mengingatnya?"Nathalie mengerucutkan bibir. Lantas membuang pandangan dari pria yang ada di sampingnya dengan wajah menahan malu."Saat itu aku hanya tidak punya pilihan lain." Pria yang ada di sebelah Nathalie itu mengernyit, kemudian terkekeh pelan. "Aku pikir kau sudah melupakannya. Itu sudah beberapa tahun berlalu.""Mana mungkin aku melupakan kejadian memalukan itu?" Nathalie masih tidak menoleh. Membiarkan pria di sebelahnya itu kemudian menarik tangannya untuk berjalan bersama. Menggenggam tangannya dengan erat dan Nathalie yang kemudian tersenyum sembari menunduk dalam. "Lihat itu, matahari sebentar lagi akan tenggelam."Dan Nathalie kemudian mengalihkan pandangannya pada semburat jingga keorenan yang sedang ditunjuk oleh pria di sampingnya. "Indah ...." Nathalie bergumam pelan. Kembali memalingkan wajahnya pada pri
"Kau pikir ini menyenangkan?" Wanita yang kini terkurung di dalam penjara itu memegang kuat jeruji besi yang menjadi pembatas antara dirinya dan pria yang saat ini berdiri di hadapannya. Seorang pria dengan tatapan angkuh yang sialnya pernah ia cintai dengan sangat dalam. Dan seorang yang juga telah membawa dirinya pada keadaan seperti ini."Harusnya sejak awal aku sudah membunuhmu!" Kai tidak bereaksi apapun selain tatapannya yang masih datar tertuju pada wanita itu. Memandang Angelista yang terlihat sangat menyedihkan dengan surai pirangnya yang berantakan tak terawat. "Kau sudah berakhir," ujar Kai sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pandangannya mengikuti Angelista yang kemudian berdiri dengan kedua kakinya yang terlihat lemah. "Selama aku belum mati. Semua ini tidak akan pernah berakhir, Kai." Angelista menyeringai kejam.Namun, Kai tak mempedulikan wanita itu dan hanya menghela napas pendek. "Meski harus merangkak dengan penuh darah dan nanah. Aku akan
Nathalie keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil di tangannya untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Malam ini ia hanya menggunakan sweater hijau toska dengan celana pendek saja. Setelah rambutnya kering, Nathalie lantas berjalan menuju laptopnya yang ada di kamar dan memeriksa pekerjaan dirinya. Sampai beberapa saat kemudian, ponselnya kemudian berdering. Dan Nathalie tersenyum tipis saat mendapati panggilan dari Leon malam ini. "Ya? Tumben sekali kau meneleponku malam-malam begini." Nathalie terkekeh pelan. Memiringkan kepalanya ke samping dan sedikit menunduk. "Aku hanya ingin memberitahumu jika besok aku harus pergi."Nathalie mengangguk pelan sembari mengulum bibir bawahnya. "Kau bisa mengatakannya besok padahal." "Tidak. Karena aku besok akan sangat sibuk dan tidak sempat memegang ponsel." Leon terdiam sebentar. "Apa kau akan merindukanku?" Wanita itu mengerutkan alis. "Apa yang kau katakan? Kau bertanya padahal sudah tahu jelas jawabannya." Nathalie menipiskan bibi
"Malta. Dia berasal dari Malta."Nathalie mendesah pelan. Perkataan Rena sejak kemarin masih terbayang memenuhi isi kepala. Dengan sisa ingatannya sendiri yang masih sangat kurang, Nathalie sempat berpikir jika apa yang selama ini ia lakukan berada dalam kesalahan. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. Ia akan berusaha untuk mengingat semuanya meski kenangan buruk di masa lalu pun. Setidaknya, ia jadi mengerti bagaimana seharusnya dirinya menjalani hidup. Dan sekarang, Nathalie tidak mengerti mengapa ia berhenti di sini. Di bawah pohon di dekat rumah megah yang tak terasa asing baginya. Saat melewati rumah ini, entah mengapa spontan ia menghentikan mobil yang dikendarainya dan diam di sini sejak sepuluh menit yang lalu.Nathalie menghela napas sesaat. Sebelum kemudian ia keluar dan bersandar pada mobil sembari memandangi rumah mewah di hadapannya. Sepertinya, ingatannya pernah membawanya kemari. Namun, sampai saat ini ia masih belum bisa memastikan apakah benar atau salah."Nath
Sudah hampir sepuluh menit Nathalie berjalan bersama dengan Kai di sebelahnya. Dan selama sepuluh menit itu Nathalie hanya terdiam. Sesekali memandang pada kaktus yang baru saja ia beli dan tak sengaja bertemu dengan pria ini."Anu ... Kai. Bolehkah aku bertanya satu hal?" tanya Nathalie, menggigit bibir bawahnya pelan dan melirik pria itu sekilas. "Tanyakan saja." Kai menjawab dengan tenang. "Bukankah waktu itu kau mengatakan jika kekasihmu tidak jadi datang. Jadi, kau memberikan bunga tulip itu padaku. Kau ingat?" Pria itu tampak tertegun mendengar apa yang Nathalie ucapkan."Ah ... aku mengatakannya." Kai mengangguk pelan.Dan Nathalie makin tidak mengerti. Padahal, tadi wanita yang ada di dalam toko bunga tersebut berkata jika Kai selalu membeli bunga tulip berwarna putih untuk kekasihnya yang sedang sakit. Namun, waktu itu Kai berkata seolah kekasihnya sedang pergi dan tidak jadi datang menemuinya. Wanita muda yang menjual bunga tersebut terlihat tidak sedang berbohong. Jadi
Nathalie memejamkan mata saat mencium aroma lezat dari hidangan yang ada di hadapannya. Ia lantas tersenyum lebar. Menatap Leon dengan raut wajah kagum. "Aku tidak percaya kau bisa memasak!" pujinya sembari mengacungkan kedua jempol yang membuat pria yang duduk di hadapannya itu terkekeh pelan. "Makanlah," ujar Leon sembari mengambilkan beberapa lauk yang baru saja ia sajikan itu ke piring Nathalie. Dan wanita itu lantas mengangguk pelan. Mencicipi makanan buatan Leon dengan senang."Sejak kapan kau bisa memasak?" tanya Nathalie. "Sudah lama. Aku pernah bekerja di Restoran sebelumnya." Leon menipiskan bibir. Dan Nathalie hanya mengangguk. Beberapa saat berlalu, dan mereka telah menyelesaikan makanannya. Kini keduanya berada di balkon yang ada pada apartemen Leon. Pemandangan kota yang gemerlap tampak indah dari sini. Nathalie menghela napas pelan. Menoleh ke samping saat ia menyadari ada seseorang yang mendekat ke arahnya. "Minum?" Pria itu memberikan segelas cokelat hangat p