—POV SerenaKini hari sudah memasuki sore. Entah kenapa aku baru merasakan gejala orang hamil sekarang-sekarang ini. Kata dokter usianya sudah 8 Minggu. Dan di 8 Minggu belakang aku hanya merasakan mual saja. Ya, aku kira hanya mual biasa karena masuk angin sebab aku pun tidak merasakan ada yang berbeda dari dalam tubuhku. Namun, 2 Minggu belakangan ini aku merasa stamina tubuhku mulai menurun. Entah tubuhku yang gampang lelah, tidur pun lebih cepat dari biasanya dan mulai pemilih dalam soal makanan. Seperti sekarang ini, aku sedang menunggu Bi Siti masak sambal cumi dan juga tumis kangkung. Padahal masakan sebelumnya sudah tersedia. "Saya mau mandi dulu, Bi. Gerah. Bi Siti habis masak nanti langsung mandi aja, temani saya makan." Bi Siti pun mengangguk sambil mengoseng tumis kangkung. "Baik, Bu. Selesai masak Bibi langsung mandi." Aku berdiri dari duduk dan langsung melenggang pergi menuju kamar hendak membersihkan badan. Hari ini rasanya lelah sekali. Padahal aku tak melakukan a
"Serena, kamu nggak apa-apa?" tanya Mas Samuel khawatir. Aku menoleh ke belakang di mana Mas Samuel nampak membantu mengurut leherku agar cairan bening itu mudah keluarnya. Benar saja, setelahnya aku kembali memuntahkan cairan tersebut. Dirasa sudah enakan, aku langsung kumur-kumur di sana dan membasuh mulut serta wajah. Kedua tanganku masih bertumpu di wastafel dengan napas sedikit terengah-engah. Mas Samuel menuntunku kembali ke meja makan. Ia menuangkan air untukku dan dengan cepat aku nerima gelas yang berisikan air putih tersebut lalu meminumnya hingga tandas. "Kamu sakit?" Mas Samuel menyentuh keningku. "Aku baik-baik aja, Mas." Padahal kepalaku pusing sekali. Badan juga rasanya lemas. Tapi aku tidak ingin menunjukkan hal itu di depan Mas Samuel. Takut sewaktu-waktu pria itu menelepon dokter pribadinya dan itu akan berbahaya untukku, juga anakku yang masih dalam kandungan."Ya udah kita lanjut makan aja. Mau saya suapin?" tawarnya. Aku menggeleng lirih. Menatap tak selera
Di perjalanan pulang setelah makan mie ayam. Aku dan Mas Samuel sedang berjalan menuju rumah. Selama jalan kaki, tidak banyak obrolan yang kami bincangkan. Aku lebih memilih diam. Membiarkan Mas Samuel bernostalgia. Karena jika diingat-ingat itu hanya akan membuatku sakit sendiri. Mengingat apa yang selama ini diperjuangkan nyatanya harus berakhir di pengadilan. Ah, menyesakan. "Anin nanyain kamu terus," ujar Mas Samuel. Aku tidak menjawab. Hanya menoleh sebentar dan terus melanjutkan perjalanan. "Katanya rindu sama kamu," ujarnya lagi. "Aku juga. Titip salam buat Anin," balasku tanpa menoleh sedikit pun. Mas Samuel tidak lagi berbicara. Pria itu sesekali menoleh ke arahku, memalingkan lagi wajahnya lalu kembali berjalan. Sampai berulang kali. Hingga akhirnya aku menghentikan langkah di pertengahan jalan. "Kenapa?" tanya Mas Samuel lebih dulu. Aku menatapnya lama. Menghela napas sebentar. Aku ingin sekali memeluk pria di hadapanku ini. Sayangnya aku tak punya keberanian lebih.
"Malam itu, kita tidur bersama?" tanya Mas Samuel membuat lututku lemas sendiri. Aku menatapnya dengan sorot mata Mas Samuel yang tampak meminta penjelasan lebih. Aku memegang seatbelt dengan tangan sedikit gemetar. Bingung harus menjawab apa. "A-aku turun di sini aja," putusku. Tanganku dengan tergesa-gesa langsung membuka sabuk pengaman dan memegang pintu mobil hendak keluar. Sialnya pintu tersebut masih terkunci. Alhasil mau tak mau pandangan kami kembali bertemu. "Saya hanya butuh jawaban kamu, iya atau enggak, Serena." Mas Samuel memandangku penuh. Aku mati kutu di tempat. Mulutku sengaja kututup rapat-rapat, takut ucapanku yang keluar nanti malah membuatku diambang kehancuran. "Jawab Serena," kata Mas Samuel terus menuntut. "Enggak." Aku memandangnya penuh keyakinan. "Aku nggak pernah ke main ke bar, apalagi tidur bersama. Mas kayanya salah liat. Itu bukan aku." Mas Samuel menatapku tak percaya. Pria itu membuka ponselnya, seolah mencari sesuatu di dalam sana. Aku berusa
Ke esok kan paginya. Aku terbangun dari posisi tidurku karena merasakan mual yang tak dapat ditahan. Meski dengan keadaan sedikit terkejut, aku langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi yang bergejolak di dalam perut. Kalian tidak salah. Aku masih berada di apartemen Mas Samuel. Tadi, sewaktu aku membuka mata aku merasakan tangan kekar melingkar di area perutku. Kini, posisiku masih di kamar mandi. Menatap diri di dalam cermin dengan pikiran penuh. Tiba-tiba aku merasakan tendangan di bawah sana. Refleks tanganku memegang perut, mengusap perlahan dengan tatapan teduh. Mungkin dedek bayi merasakan apa yang saat ini Ibunya rasakan. Bahagia sekaligus sedih. "Kamu kenapa?" tanya Mas Samuel muncul dari belakang. Spontan aku berbalik dan menjauhkan tanganku dari area perut. Namun, Mas Samuel rupanya lebih dulu melihat posisi tanganku yang cukup ambigu tersebut. "Perut kamu kenapa?" Mas Samuel menghampiriku. "Mual lagi?" tanyanya. Aku membuka mulut tapi tak kunjung menjawab.
Posisiku saat ini sedang berada di toko bunga milik Mbak Yuni. Selain menjadi ibu rumah tangga, Mbak Yuni juga mengelola toko bunga yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Perempuan yang berhasil menikah dengan Mas Rifki itu membuat diriku iri dibuatnya. Pernikahan mereka hampir mendekati kata sempurna. "Tumben main ke sini, sumpek ya di rumah terus?" tanya Mbak Yuni. Aku menoleh padanya. Mengangguk singkat. Lalu kembali memilih kira-kira bunga apa yang cocok untuk ditanam di halaman rumah. "Mbak liat-liat badan kamu lumayan berisi, ya, Ser?" Pergerakanku berhenti. Tanganku langsung menjauh dari bunga mawar. Apakah kehamilanku sudah terlihat? Atau memang semua perempuan gampang menyadari kehamilan seseorang? Maksudku, perubahan-perubahan tertentu perempuan pasti selalu mengetahuinya. Contohnya seperti sekarang. Tadi Ibunya Kinan, sekarang Mbak Yuni. Apakah memang sungguh ketara? "Eh, itu maksud Mbak... bagus kamu gemukkan gini. Berarti selama ini kamu bahagia."Aku terkekeh pelan
—Rumah Ibu, POV SerenaYa, sama seperti dulu. Kali ini hanya ada aku, Mbak Yuni dan Ibu saja di ruang tamu. Kami bertiga duduk saling berhadapan dengan ekspresi masing-masing. Aku beberapa kali menghela napas karena keadaan di ruang tamu mendadak hening. Ibu terus menatapku dengan ketajaman matanya. Entah apa reaksi Ibu ketika beliau mengetahui bahwa kini aku sedang mengandung cucunya. "Ada yang mau Serena kasih tau sama Ibu," ujarku begitu hati-hati. Mbak Yuni menatapku penuh arti, juga dengan Ibu. Namun, tatapan Mbak Yuni nampak resah. Berbeda dengan Ibu yang terlihat penasaran dan menampilkan raut wajah curiga. "Serena harap Ibu nggak kecewa." Aku menatap Ibu dengan sorot mata teduh. "Serena hamil, Bu." Tiga kata itu akhirnya keluar dari mulutku. Ibu langsung mematung di tempat. Wanita itu terlihat syok sampai memegang dadanya tak percaya. "Maksud kamu hamil bagaimana Serena?" tanya Ibu dengan napas yang tercekat. Aku mengusap perutku sendiri. "Di dalam sini, ada buah hati S
Ting! Bayu :/send a photoFoto yang dikirim oleh Bayu adalah foto di mana Mas Samuel dan Kinan sedang berpelukan. Pria itu hanya mengirimkan foto tanpa pesan ketikan. Namun, aku seolah mengerti maksud pria itu mengirim foto tersebut. Karena merasa tidak ada yang perlu dibalas, aku mematikan ponsel dan kembali melamun di atas balkon kamar. Di dalam foto tadi, jelas mereka saling berpelukan, sebab bukan hanya tangan Kinan saja yang memeluk pinggang Mas Samuel, melainkan pria itu pun melakukan hal yang sama. Aku tak ingin mengingat-ngingat foto tersebut, tapi kenapa pikiranku terus tertuju ke arah sana? Tiba-tiba aku merasa jengkel sendiri. Ah, tidak mungkin aku cemburu. "Serena?" panggil Mbak Yuni. Aku menoleh ke belakang. "Kenapa Mbak?""Kalau itu terlalu berat, kamu bisa cerita sama Mbak, Ser."Aku tersenyum padanya. Mbak Yuni sangat baik. Perempuan itu sudah seperti Kakak kandungku sendiri. Aku menyayangi perempuan yang amat dicintai oleh Kakakku. Perempuan sederhana yang selal
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d