Kami semua udah kumpul di meja makan. Mama Winanta membawa Lele sambal sedangkan Mama gue membuat sayur tumis buncis.Saat makan, kami semua tidak banyak bicara. Bahkan hampir tidak bicara, selain saat sebelum makan dan itu hanya basa-basi."Beberapa hari lagi kalian akan persiapan ujian tengah semester kan? Belajar yang rajin yah Vanessa" ucap Papa Winanta."Iya, Om.. maksih udah ngingetin"Yah, hanya segitu aja basa-basi nya.Setelah selesai makan, gue mama dan Mamanya Winanta beresin piring dan meja. Papa Winanta udah pulang duluan sedangkan Winanta nonton TV."Van, lo dah siap?" tanya Winanta dari ruang tamu melihat gue yg berdiri di dekat meja makan"Kenapa?" tanya gue yang berusaha gak cuek."Gue mau bicara berdua di teras, bisa gak?"Dalem hati gue sih ogah banget, tapi sebelum gue tolak, mama udah Nyamber duluan,"Yaudah sana Vanessa, temanin Winanta di luar. Udah siap juga kok nyuci piringnya."Akhirnya kami berdua keluar dan keliatan kalau Winanta puas Karna seolah menang."
Tiga hari kemudian, udah memasuki persiapan ujian. Setelah beberapa hari lalu gue tidur dengan beban pikiran, sekarang pikiran gue yang beneran jadi beban. Gue udah maki-maki Winanta walaupun dalam hati. Gue juga sangat yakin kalau gue bisa belajar dengan baik dan menaikan peringkat kelas gue. Bahkan otak Halu gue berkata akan merebut gelar juara Winanta. Keterlaluan banget kan gue halusinasi nya?. Secara gue gak pernah naik dari peringkat ke empat, masa tiba-tiba jadi juara satu. Hah... mulai sekarang kayanya gue harus mati-matian belajar. Gue gak mau kalau sampai gue di permalukan lagi sama Winanta kayak kemarin. Gue gak mau kalau dia sampai menyombongkan diri lagi karena gue gak bisa belajar tanpa bantuan dia. Jujur aja nih, gue bisa dapat peringkat empat juga karena belajar bareng dia. Rasanya tuh beda aja gitu. Walaupun pelajaran yang di bahas sama, tapi lebih masuk ke otak kalau belajarnya bareng dia ketimbang belajar sendiri. Gak tau deh, capek banget mikirin beban pikiran.
Gue berjalan mengikuti Winanta dari belakang. Dia samasekali gak ada menoleh ke belakang buat liat gue. Winanta cowok yang beneran sangat percaya diri. Dia gak takut kalau gue ternyata gak nurutin dan ngikutin dia. Kami udah di luar kelas, tapi Winanta belum balik badan untuk bicara, malah terus mau jalan. "Lo mau bicara apa sih?!" tanya gue yang membuat Winanta menghentikan langkah kakinya. "Jangan disini. Ikutin aja gue, cari tempat yang nyaman." ucap Winanta masih tidak berbalik melihat gue. "Gak perlu ada istilah nyaman di antara kita, apalagi cuma untuk obrolan yang gak jelas" ketus gue"Kalau gak mau bicara disini, gue masuk!" ancam gue"Gue bilang jangan disini. Lihat jendela, Alvin dan Kayla masih ngawasin kita dari sana" ucap Alvin sedikit menoleh ke kiriGue ngelirik ke arah ruangan kelas, terlihat kalau yang Winanta bilang itu benar. Kayla spontan masang senyum waktu gue liat. "Ntar aja deh, di jam istirahat. Udah mau masuk juga" gue mau balik arah"Masih ada sekitar se
Setelah semua pesanan udah gue antar dan memakan waktu hampir setengah jam, akhirnya gue tiba di perpustakaan Umum. Gue memarkirkan motor, tapi gue gak langsung masuk ke perpustakaan, melainkan berjalan ke minimarket yang hanya beberapa meter dari sini. Gue merasa haus dan gerah banget. Setelah gue beli minuman kaleng bersoda dan menghabiskannya di minimarket, barulah gue masuk ke perpustakaan. Perpustakaan nya gak terlalu ramai, padahal mau masuk ujian. Yah, tapi bagus sih. Gak enak juga kalau perpustakaan nya penuh, karena yang lain pasti pada bareng teman atau pacar, sedangkan gue sendiri aja. Enak banget Kayla, pasti sekarang dia lagi bareng Dimas, belajar sambil modus dikit. Gue udah ngambil beberapa buku. Buku yang gue ambil, semuanya berkaitan dengan pelajaran fisika. Gue gak tau, ujian nanti apa duluan pelajaran yang di jadwalkan, yang penting gue mau belajar ini dulu.. karena fisika paling bikin otak gue mumet lebih parah daripada matematika. Gue duduk di kursi yang bagia
Setelah beberapa jam kami fokus belajar masing-masing, gak terasa waktu cepat banget berjalan dan sekarang udah jam setengah enam sore. Gue menyusun buku dan bersiap untuk pulang. "Eh? Udah mau pulang ya?" tanya Farez ketika gue berdiri. "Iya nih, udah sore banget ternyata" jawab gue masih tetap berdiri di hadapanya dengan memegang semua buku yang gue baca. "Mau pulang langsung? Boleh gak, kalau kita singgah makan dulu di kafe? Yang daerah sini aja, biar jalan bareng ke kafe nya." ucap Farez menawarkan. Gue diam dan berpikir. Gak ada salahnya sih kami makan bareng, toh udah jadi teman.Mungkin aja ini bisa jadi kesempatan bagus buat gue supaya bisa ngelupain Winanta. "Boleh, mumpung gue juga udah lapar" jawab gue yang masih berdiri memegang buku. "Beneran? Yaudah ayo" ucap Farez dan langsung berdiri sambil menyusun buku. Kami pun mengembalikan buku dan keluar barengan. "Memangnya kafe di daerah sini dimana? Gue gak pernah jalan-jalan daerah sini" tanya gue ketika kami baru a
Gue baru sampai di rumah dan ternyata Winanta udah ada di rumah gue entah sejak kapan. Dia duduk di kursi yang ada di teras. Dengan tatapan dingin, seolah marah nungguin gue. "Ngapain?" tanya gue turun dari motor. "Duduk" jawab Winanta yang ngeselin. Gue pengen banget kepo in, ngapain dia disini, apa beneran nunggu gue, sejak kapan dia disini dan apa Mama gue tau kalau dia datang? Soalnya pintu rumah masih di tutup. "Yaudah, silahkan lanjutin duduknya, gue mau masuk" gue mulai melangkah. "Cowok tadi siapa?" tanya Winanta yang menghentikan langkah gue tepat di depan pintu. "Hah... kenapa?" tanya gue dengan nada malas, melihat ke arahnya dengan wajah datar. "Vanessa, gue tanya sama lo, cowok tadi siapa?!" Winanta sedikit meninggikan suaranya. "Santai dong.. gak usah sampai teriak" ucap gue"Gue gak ada teriak! Coba lo jawab pertanyaan gue..! Apa susahnya sih?!" ucapnya tanpa melihat gue sambil langsung berdiri."Lo mau Mama gue sampai dengar pertengkaran kita?! Gak usah tinggi-t
Dering ponsel gue berbunyi dari nomor yang enggak terdaftar di kontak. Biasanya walaupun kontak enggak di kenal, gue coba angkat. Namun karena nomor ini nelpon di tengah malam gini, gue jadi takut kalau memang orang aneh yang nelpon.Gue membiarkan panggilannya mati sendiri karena mau lanjut tidur. Sebelum tidur, gue mau nyalain mode hening di handphone. Namun sebelum jari gue sempat meng klik mode hening, nomor itu nelpon lagi."Ck! Siapa sih?!" umpat gueGue mikir sebentar, "kalau misalnya ini adalah nomor handphone keluarga gue, atau bahkan ini memang telepon penting, kan gak bagus juga gak gue angat.""Angkat aja kali ya?" Gue pun memutuskan untuk mengangkat telponnya."Halo? Ini siapa ya?" tanya gue dengan lembut."Ini.... gue" ucap seseorang dari sebrang sana. Suara yang familiar dan gue kenal betul meskipun melalui telepon, suara Winanta."Hah... ngapain Lo nelpon? Udah ya, gue mau tidur""Tunggu! Tunggu dulu. Gue gak bisa tidur Van" ucap Winanta "Ya terus?" Cuek gue"Gue gak
Setelah selesai belanja, sesuai perintah Mama gue bantuin mama bikin pancake. Sebenarnya gue kurang suka sama bau durian, tapi mau gimana lagi. Walaupun udah pakai masker masih juga kecium bau nya. Mama bilang tadi mau bahas Winanta sambil bikin pancake, tapi kok pancake nya udah mau siap dan tinggal di bungkus belum ada bicara sama sekali. Apa mama lupa? "Ma, kita gak jadi bahas soal hubungan Vanes dan Winanta?" tanya gue memulai percakapan dan supaya besok-besok gak ada lagi obrolan soal Winanta. "Astaga iya, kenapa mama bisa lupa ya? Padahal dari semalam mama masih ingat mau bahas itu" ucap mama sambil menyusun pancake ke mika (*untuk tempat pancake terbuat dari plastik) "Jadi, sebenarnya kalian tuh sejak kapan udah putus- tunggu.. itu gak penting. Yang penting sekarang, kenapa kalian bisa putus? Winanta ketahuan selingkuh? Memang benar dia selingkuh?" tanya Mama. "Iya ma, dia selingkuh. Yang waktu itu ada pesan pancake atas nama Dilla, cewek itu ternyata pacar baru W
Saat kami sampai di dalam kafe, setelah pesanan kami datang, Farez langsung bicara hal yang ingin dia sampaikan tadi. "Jadi sebenarnya, kafe ini milik orang tuaku" ucapnya, lalu meminum ice cappucino. "H-hah?" otak gue masih nge-lag. "Kafe ini milik orang tuaku, yang nantinya di teruskan ke aku. Bahkan sekarang pun aku udah sering memantau perkembangan kafe." Gue diam, dan tentunya muka gue ngak ngok kayak orang idiot. "Ahaha kamu kenapa diam aja sih?" tanya Farez. "Emm.. yah, g-gue masih belum cerna. Gue sama sekali gak nyangka kalau ternyata kafe yang paling gue sukai ini milik keluarga lo. Bahkan gue beneran heran kenapa tiba-tiba sekarang lo ngakuin hal ini. Selama ini juga gak ada tanda-tanda kalau lo pemilik kafe ini. Semua pelayan juga biasa aja." mulut gue terus menyerocos kayak kereta api yang jalan. Tunggu-- gue bilang tadi apa? 'Tanda-tanda kafe ini milik Farez?' Tiba-tiba aja gue inget, di hari itu, hari waktu gue dateng kesini sendiri dan ngeliat du
Di mall. Gue dan Farez baru selesai keliling dan mau cari kafe untuk kami makan. Sementara Winanta ada nampak gue dari kejauhan. Dia juga keliling mall bareng Dilla. "Vanes!" teriak Winanta yang enggak gue dengar. "Vanes siapa yang?" tanya Dilla sambil menggandeng tangan Winanta. "Vanes mantan aku lah, siapa lagi" jawab Winanta dengan tidak melihat ke arah Dilla. "Bisa ya kamu manggil mantan kamu di depan pacar kamu" Dilla sedikit meninggikan suara. "Haduh udah ya, aku lagi gak mau ribut sama kamu sekarang" "Nyatanya kamu yang cari ribut" ucap Dilla. Winanta tidak menghiraukan ucapan Dilla. Ia langsung mengambil handphonenya dan mencoba menghubungi Vanessa. Namun nihil karena nomor Winanta udah gue blokir. "AH SIAL!" umpat Winanta mematikan telponnya dan memasukan handphonenya lagi ke dalam saku celana. "Sayang, sekarang kamu lagi ngapain sih?!" Dilla kesal karena Winanta sibuk sendiri. "Sayang, coba minjam handphone kamu dulu" ucap Winanta mengarahkan tang
Kami udah nyobain makanan di beberapa tempat. Mulai dari sejenis roti sampai makanan pedas. Rasanya beneran kayak nge-date walaupun cuma jalan-jalan sama teman. "Van, coba kemari" ucap Farez sambil memegang bando. kami sedang. melihat-lihat pita. Gue pun menghampirinya dan Farez langsung memakaikan bando kucing itu di kepala gue. "Haha gak cocok" ucap Farez dan langsung menaruh kembali bando itu. "iih nyebelin juga elo ya" ucap gue. "Udah yuk, lanjut lagi liat-liat yang lain" gue memimpin jalan. "Mau liat perhiasan enggak?" tanya Farez. "Enggak" jawab gue. "Itu ada promo daster--" "Gue gak pake daster" "Mau liat-liat baju renang gak?" tanya Farez yang tidak serius. "Haha apa sih? Ngelawak ya. Gue gak pernah berenang pake baju renang" ucap gue, sekarang kami udah sejajar jalannya. "Loh, ternyata kamu bisa berenang ya?" tanya Farez. "Iya, bisa. Gaya batu haha" Farez ikut tertawa, tapi seketika tawa gue terhenti karena melihat orang yang ada di depa
Gak disangka, gue dan Farez selalu bersama ke perpustakaan. Hingga hari terakhir kita belajar bersama, ia berkata, "Semangat ya ujiannya, selesai ujian kita ketemu lagi" ucapnya saat itu seakan jadi salam perpisahan karena kami gak bakalan jumpa dulu sebelum selesai ujian. Walaupun udah lumayan belajar, tapi otak gue memang seketika beku dan mata rasanya sakit begitu liat lembaran soal ujian. Tentu saja sangat berbanding terbalik dengan Winanta si jenius itu. Ibaratnya gue baru baca soal, dia udah mengerjakan soal berikutnya. Hari-hari ujian yang membosankan pun gue lalui dengan segenap nyawa. Ternyata walaupun gue bersyukur Winanta gak posesif, tapi ada rasa kehilangan dari diri gue. Terutama saat masa ujian. Biasanya selesai ujian, dia langsung mengelus kepala gue sambil mensupport dengan perkataan yang manis. Tapi gue yakin gue akan move on walaupun butuh waktu yang lama. Karena itu gue mulai jalan sama Farez. ******* "Akhirnyaaa~ akhirnya ujian selesai juga!!" Ter
Gue dan Farez akhirnya makan bareng. "Nanti mau lanjut ke perpustakaan?" tanya gue "Iya, mau bareng? Kayak waktu itu" ucap Farez "Oke, boleh aja" ucap gue. Setelah selesai makan, gue dan Farez jalan menuju perpustakaan. "Elo sering banget yah ternyata ke kafe itu" ucap gue membuka pembicaraan sambil jalan. "Ya lumayanlah, dekat juga dari rumah." "Oh? Omong-omong rumah lo dimana?" tanya gue lagi. "Gak jauh kok dari kafe, kapan-kapan aku ajak ya" tawar Farez. "Haha gak usah juga gak masalah kok, kan gak harus tau juga kalo emang lo ga mau gue tau apapun tentang lo" ucap gue yang sedikit mengarah tentang Farez yang menyembunyikan identitasnya. Farez sejenak terdiam, seperti mempertanyakan sesuatu di dalam hatinya. Atau entah apa yang dia pikirkan. "Ya... yaudah kalau memang kamu enggak mau aku ajak mampir kapan-kapan." ucap Farez "Astaga, bukan gitu maksud gue--" Gue panik sendiri karena kayaknya Farez udah salah paham. "Udah yuk masuk, jangan ribut" uca
Setelah selesai belanja, sesuai perintah Mama gue bantuin mama bikin pancake. Sebenarnya gue kurang suka sama bau durian, tapi mau gimana lagi. Walaupun udah pakai masker masih juga kecium bau nya. Mama bilang tadi mau bahas Winanta sambil bikin pancake, tapi kok pancake nya udah mau siap dan tinggal di bungkus belum ada bicara sama sekali. Apa mama lupa? "Ma, kita gak jadi bahas soal hubungan Vanes dan Winanta?" tanya gue memulai percakapan dan supaya besok-besok gak ada lagi obrolan soal Winanta. "Astaga iya, kenapa mama bisa lupa ya? Padahal dari semalam mama masih ingat mau bahas itu" ucap mama sambil menyusun pancake ke mika (*untuk tempat pancake terbuat dari plastik) "Jadi, sebenarnya kalian tuh sejak kapan udah putus- tunggu.. itu gak penting. Yang penting sekarang, kenapa kalian bisa putus? Winanta ketahuan selingkuh? Memang benar dia selingkuh?" tanya Mama. "Iya ma, dia selingkuh. Yang waktu itu ada pesan pancake atas nama Dilla, cewek itu ternyata pacar baru W
Dering ponsel gue berbunyi dari nomor yang enggak terdaftar di kontak. Biasanya walaupun kontak enggak di kenal, gue coba angkat. Namun karena nomor ini nelpon di tengah malam gini, gue jadi takut kalau memang orang aneh yang nelpon.Gue membiarkan panggilannya mati sendiri karena mau lanjut tidur. Sebelum tidur, gue mau nyalain mode hening di handphone. Namun sebelum jari gue sempat meng klik mode hening, nomor itu nelpon lagi."Ck! Siapa sih?!" umpat gueGue mikir sebentar, "kalau misalnya ini adalah nomor handphone keluarga gue, atau bahkan ini memang telepon penting, kan gak bagus juga gak gue angat.""Angkat aja kali ya?" Gue pun memutuskan untuk mengangkat telponnya."Halo? Ini siapa ya?" tanya gue dengan lembut."Ini.... gue" ucap seseorang dari sebrang sana. Suara yang familiar dan gue kenal betul meskipun melalui telepon, suara Winanta."Hah... ngapain Lo nelpon? Udah ya, gue mau tidur""Tunggu! Tunggu dulu. Gue gak bisa tidur Van" ucap Winanta "Ya terus?" Cuek gue"Gue gak
Gue baru sampai di rumah dan ternyata Winanta udah ada di rumah gue entah sejak kapan. Dia duduk di kursi yang ada di teras. Dengan tatapan dingin, seolah marah nungguin gue. "Ngapain?" tanya gue turun dari motor. "Duduk" jawab Winanta yang ngeselin. Gue pengen banget kepo in, ngapain dia disini, apa beneran nunggu gue, sejak kapan dia disini dan apa Mama gue tau kalau dia datang? Soalnya pintu rumah masih di tutup. "Yaudah, silahkan lanjutin duduknya, gue mau masuk" gue mulai melangkah. "Cowok tadi siapa?" tanya Winanta yang menghentikan langkah gue tepat di depan pintu. "Hah... kenapa?" tanya gue dengan nada malas, melihat ke arahnya dengan wajah datar. "Vanessa, gue tanya sama lo, cowok tadi siapa?!" Winanta sedikit meninggikan suaranya. "Santai dong.. gak usah sampai teriak" ucap gue"Gue gak ada teriak! Coba lo jawab pertanyaan gue..! Apa susahnya sih?!" ucapnya tanpa melihat gue sambil langsung berdiri."Lo mau Mama gue sampai dengar pertengkaran kita?! Gak usah tinggi-t
Setelah beberapa jam kami fokus belajar masing-masing, gak terasa waktu cepat banget berjalan dan sekarang udah jam setengah enam sore. Gue menyusun buku dan bersiap untuk pulang. "Eh? Udah mau pulang ya?" tanya Farez ketika gue berdiri. "Iya nih, udah sore banget ternyata" jawab gue masih tetap berdiri di hadapanya dengan memegang semua buku yang gue baca. "Mau pulang langsung? Boleh gak, kalau kita singgah makan dulu di kafe? Yang daerah sini aja, biar jalan bareng ke kafe nya." ucap Farez menawarkan. Gue diam dan berpikir. Gak ada salahnya sih kami makan bareng, toh udah jadi teman.Mungkin aja ini bisa jadi kesempatan bagus buat gue supaya bisa ngelupain Winanta. "Boleh, mumpung gue juga udah lapar" jawab gue yang masih berdiri memegang buku. "Beneran? Yaudah ayo" ucap Farez dan langsung berdiri sambil menyusun buku. Kami pun mengembalikan buku dan keluar barengan. "Memangnya kafe di daerah sini dimana? Gue gak pernah jalan-jalan daerah sini" tanya gue ketika kami baru a