Tiga hari sudah, orang tua Anita menginap di rumah putrinya. Hingga saat ini, mereka belum mengetahui kalau Anita bekerja dengan Rama. Dan Anita harus bersyukur selama tiga hari ini pria itu tidak ada di tempat. Tugas luar kota yang mengharuskan dirinya pergi, membuat dunia Anita lebih tenang dari hari sebelum-sebelumnya.
Meski demikian, bukan berarti dia terhindar dari problema kehidupan. Sudah Anita tebak sebelumnya kalau orang tuanya datang tidak hanya sekedar berkunjung ke rumahnya yang baru. Tentu ada maksud dan tujuan lain yang mereka rencanakan. Dan memang benar, ketika hari pertama saja, Anita telah ditanyai macam-macam oleh sang mama. Tak hanya masalah pekerjaan yang di interogasi. Bagi Heni, pekerjaan adalah nomor ke sekian setelah jodoh.
Inilah yang selalu jadi beban pikiran Anita. Kepalanya akan kembali pening saat ia ditanya mengenai calon suami. Bahkan setelah ia memutuskan pergi dari rumah, ibunya masih saja menekan dirinya untuk segera mencari pendamping hidup. Yang katanya sudah tua, takut nggak akan laku lagi. Astaga, masih ada saja orang tua yang berpikir demikian.
Untung saja Rangga selalu setia dipihak sang putri. Membela Anita kalau sang istri mulai bawel pada anak sulungnya itu.
Seperti pagi ini, saat mereka berkumpul di meja makan....
"Jadi kapan kau akan mengenalkan pacarmu itu sama Mama dan Papa, Nit?" Pertanyaan ini entah yang ke berapa kali diajukan Heni pada putrinya.
"Sabar dong, Ma. Nggak bisa sekarang Nita kenalinnya. Saat ini orangnya sedang sibuk."
"Heleh, sibuk kok terus. Mama sama Papa ini loh nggak minta waktu banyak. Sebentar saja cukup. Kami cuma pengen tau, seperti apa penampakan calon menantu kami itu." Kalau sudah begini, Anita akan memutar bola matanya.
Yah, mulai lagi dehhhh....
Anita tak akan menanggapi lagi kata-kata mamanya setelah ini. Ia pilih fokus pada nasi goreng telur asin di hadapannya dari pada harus berdebat panjang lebar yang nantinya akan berujung pertengkaran. Sementara Rangga cuma pendengar setia diantara keduanya.
Pada saat itulah tiba-tiba bel rumah berbunyi.
Ting...Tong...
Siapa?
Anita yang sudah menyuapkan makanan, terhenti seketika dengan mulut berisi penuh nasi goreng.
Apakah itu Sandi?
Anita bertanya-tanya sendiri sambil mengunyah makanannya perlahan. Batinnya berperang. Pasalnya, sejak orang tuanya datang minggu kemarin, Anita telah menghubungi Sandi untuk tidak menjemputnya seperti biasa. Ia pilih naik angkutan umum dari pada harus ketahuan dijemput oleh seorang pria, atau ini akan mempengaruhi ketenangannya.
Ting...Tong...
Kali ini orang yang ada di meja makan itu tak bisa mengabaikan tamu yang tengah berkunjung. Heni dengan segera beranjak dari duduknya. Namun Anita yang sudah waspada dengan cepat menghentikan gerakan sang mama.
"Biar Anita saja yang membuka pintunya. Itu pasti ketua RT yang minta iuran sampah tiap bulan."
Anita masih sempat menyambar segelas air dan meneguk isi di dalamnya dengan cepat sebelum berlari pergi menuju pintu.
Sialan! Awas saja kalau itu Sandi!
Ceklek!
"Kau?!"
"Kenapa lama sekali sih? Kakiku sudah hampir kesemutan berdiri terus disini."
Tamu asing itu hampir melangkah masuk namun semua terurung ketika Anita justru mendorong tubuhnya keluar.
"Siapa, Nit?" teriak Heni dari dalam rumah, kencang.
"Tukang listrik," sahut Anita tak kalah kencang.
Blaaammmm!!!
Pintu di dorong Anita kasar sehingga menutup sempurna meninggalkan bunyi nyaring yang sedikit memekakkan telinga.
"Apa-apaan sih? Kenapa aku di dorong-dorong begini? Dan siapa yang tukang listrik?" protes orang itu tak terima. Ia menepis tangan Anita yang masih mencengkeram lengannya dengan kuat.
Mata Anita melotot menatap pria yang kini berdiri menjulang dengan gagah di hadapannya, dengan tajam.
"Siapa yang menyuruhmu kemari? Bukankah kau keluar kota?"
Ah....rupanya dia adalah Rama, atasannya.
"Aku sudah pulang, semalam. Dan sekarang mau menjemputmu untuk berangkat bersama ke kantor." Pria itu bersilang tangan di dada.
"Aku bisa berangkat sendiri dan tidak perlu kau jemput. Lagi pula apa kau lupa kalau aku punya pacar. Kalaupun harus menjemput, maka pacarku lah yang akan datang dan bukan dirimu."
Rama tertawa kecil.
"Kenapa kau tertawa? Tidak ada yang lucu!"
"Hei, apa kau lupa, kalau aku sudah mencatat namamu menjadi calon istriku di urutan pertama? Yang itu berarti aku sekarang adalah calon suamimu. Jadi lebih berhak mana yang menjemput? Pacarmu, atau calon suamimu, Nona?"
Anita menggeram. Kedua tangannya mengepal keras. Seandainya saja di dalam rumah tidak ada kedua orang tuanya, sudah pasti ia mendepak pria itu kasar-kasar agar angkat kaki dari rumahnya segera.
"Bermimpi saja kau dalam tidurmu, Tuan! Dan meski di dunia ini hanya engkau satu-satunya makhluk Adam yang tercipta, aku tetap tidak sudi menikah denganmu. Mengerti?!"
"Oh ya?" Rama mendekatkan wajahnya pada Anita. "Kau yakin dengan kata-katamu barusan?"
"Kenapa tidak?"
Keduanya saling menatap. Bagi Rama itu adalah tantangan. Sedang buat Anita, itu merupakan rasa kepercayaan diri yang sangat dia yakini.
"Kalau begitu kita lihat nanti!"
Rama mengambil langkah hendak melewati keberadaan perempuan di hadapannya, ingin memaksa masuk.
"Kau mau kemana?" cegah Anita cepat.
"Tentu saja masuk ke dalam rumahmu."
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Tidak boleh, ya tidak boleh! Jangan banyak tanya!"
Dahi Rama mengernyit. Matanya melirik sekilas pada pintu yang diikuti lirikan yang sama oleh Anita, meyakinkan kalau pintu memang sudah tertutup sempurna.
"Aku jadi penasaran, kenapa kau melarangku masuk ke dalam?" Rama menggaruk-garuk janggutnya yang tak berambut. Menatap wajah Anita penuh selidik. "Dan bukankah tadi ada seseorang di rumahmu. Siapa di--,"
"Bukan siapa-siapa!" potong Anita cepat. "Sekarang kau cepat pergi dari rumahku!" Anita mendorong lagi tubuh kekar Rama agar mau pergi dari halaman rumahnya.
"Hei, aku kesini untuk menjemputmu. Apa kau tidak mengerti?" Rama masih bertahan.
Astaga, aku bisa gila kalau lama-lama bersama dia!
"Baiklah, baiklah. Aku ikuti kemauanmu. Aku berangkat bareng kamu. Sekarang, ku minta kau tunggu di mobilmu saja. Aku akan mengambil tasku, okay?" Anita mencoba bernegosiasi.
Rama tak menjawab. Sekali lagi matanya melirik ke arah pintu rumah. Dia memang curiga pada Anita kali ini. Perempuan itu seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Seakan ada orang lain yang tak diijinkan untuk bertemu dengannya. Tapi siapa? Apa itu pacar Anita? Tapi jelas-jelas tadi Rama mendengar kalau itu suara perempuan. Apakah dia sahabatnya, atau....
"Hello, kau mengerti ucapanku kan?" Anita mengagetkan renungan Rama.
"Hmm."
"Jadi tunggulah disana!"
"Tapi aku belum sarapan."
Astaga, dia pikir rumahku warung?
"Kita bisa mampir ke sebuah cafe, nanti."
"Tapi aku ingin masakanmu. Yang kapan hari itu.....lumayan enak."
Edan! Aku bisa masuk rumah sakit jiwa kalau begini terus.
Anita memijit-mijit keningnya yang mendadak pening.
"Okay, aku akan membawakanmu bekal. Kau puas?" Sekali lagi perempuan itu mencoba bekerja sama. Sungguh ia harus ekstra keras menahan kesabarannya pagi ini.
"Hmm, baiklah."
Anita bernapas dengan lega setelah Rama akhirnya mau mengalah dan menurutinya. Pria itu lalu berjalan keluar dan Anita segera masuk ke dalam rumah.
"Kok lama, Nit?" tanya sang mama saat melihat kemunculan putrinya.
"Ah, biasa Ma. Kami ngobrol sebentar tadi," bohong Anita.
"Jadi Pak RT atau Tukang listrik?"
Anita menghentikan langkah dan mendesah halus, "Tukang Air, Ma." Setelah itu ia segera berlalu menghindari macam-macam pertanyaan dari mamanya yang cukup selektif.
Perempuan itu tidak singgah ke meja makan lagi tapi langsung menuju kamar, mengambil tas kerjanya. Setelah itu dia menuju dapur untuk mengambil kotak bekal dan baru kembali ke meja makan, menyendukkan sisa nasi goreng ke dalam kotak makanan tersebut.
"Kau tidak sarapan lagi?" Setelah keterdiamannya yang terlalu lama, barulah kali ini Rangga yang bertanya. Melihat tingkah putrinya yang sedikit aneh, ia menaruh curiga.
"Aku buru-buru, Pa. Makanya aku bawa bekal ini saja, takut nanti kalau masih lapar di kantor." Anita berusaha menjawab dengan tenang yang akhirnya mendapat oh ria dari sang ayah.
"Anita berangkat dulu ya Ma, Pa," pamitnya kemudian lalu mencium kedua orang tuanya bergantian.
"Hati-hati. Kalau pulang malam, jangan lupa kabari kami," pesan Heni sebelum putrinya menghilang dari balik pintu. Anita hanya memberi kedipan mata sebelah sebagai jawaban atas pesan tersebut.
"Apa menurut Papa tidak ada yang aneh pada Anita?" Heni mulai serius dengan suaminya.
"Kupikir kau tidak tahu," jawab Rangga menggantung.
"Papa juga sadar?"
"Dia putriku. Apa kau saja yang tahu?"
Rangga beranjak menyudahi sarapannya.
"Kita harus mencari tahu, Pa. Sepertinya Anita menyembunyikan sesuatu dari kita."
"Kau saja yang cari tahu. Aku mau nonton TV seharian ini."
Wajah Heni merengut. Ia lalu membereskan meja makan meski mulutnya tidak lepas dari komat-kamit.
"Dasar ayah dan anak sama saja!"
(○_○)
Siapa yang nggak gemas sih dengan mereka? Kaya Tom and Jerry saja 🤣🤣
Ramaikan!!
Braaakkk!!Anita menaruh kotak makanan itu dengan kasar di atas dashboard. Ia cuma melirik sekilas pada pria di sampingnya."Bekalmu!" ucapnya sangat dingin tak bersahabat. Setelahnya ia melengos menatap ke sisi kiri keluar jendela kaca mobil. Rama tak merespon sikap Anita barusan. Ia pilih menjalankan mobil dengan segera menuju kantor. "Setelah ini, jangan menjemputku lagi!""Terserah aku mau jemput atau tidak."Anita menatap Rama tajam."Ram, aku tidak tahu apa motifmu melakukan ini padaku. Memperlakukanku spesial seolah aku ini orang yang berarti bagimu.""Apa kau berfikir begitu? Bagiku biasa saja, dan aku juga tidak menganggapmu lebih." Rama hanya melirik sekilas pada perempuan di sebelahnya."Oh....ya? Tapi orang lain tidak berfikir begitu.""Aku tidak perduli pikiran orang lain. Sekarang kau pikir saja, apakah aku makan ikut orang l
Pintu ruangan bersifat privasi itu dibuka tiba-tiba, menampakkan sosok seorang pria tampan dengan sebuah kaca mata yang menghias wajahnya."Hei, Bro, tumben kamu nggak keluar," sapanya saat memasuki ruangan. Berjalan mendekat lalu duduk di kursi, depan meja kerja Rama."Gimana tugas luar kotamu?" tanya Rama balik, mengabaikan pertanyaan pria tersebut."Yahh....lancar-lancar saja. Pak Robby akhirnya mau bekerja sama dengan kita.""Aku tahu kau pasti berusaha keras untuk memenangkan hatinya. Dia bukan klien yang mudah ditakhlukkan. Itulah sebabnya aku mengirimmu, dan bukan yang lain." Rama kembali menyendukkan nasi goreng ke mulutnya.Hal itu mendapat perhatian dari pria di depannya. Ia mengamati dengan teliti isi kotak makanan yang sedang di hadap oleh teman sekaligus bosnya itu."Kau makan nasi goreng?" tanyanya heran. "Tumben?"Rama hanya diam. Sambil men
Rama turun setelah membersihkan dirinya. Ada Rio dan Amanda sedang asik pada bacaan di tangan masing-masing."Kau sudah makan malam, Sayang?" tanya Amanda begitu melihat kemunculan putranya."Sudah, Ma. Tadi bersama Arya."Rama lalu mengambil duduk di dekat keduanya."Gimana pekerjaanmu, Ram? Tidak ada masalah?" Rio melipat korannya, fokus pada sang anak."Sejauh ini tidak, Pa. Arya membantuku dengan baik.""Okay. Berhati-hatilah dalam menghadapi klien-klienmu. Mereka bisa saja jadi musuh dalam selimut.""Iya, Pa." Sejenak pembicaraan terhenti dan Rama mulai membuka obrolan lagi ketika Amanda yang baru saja kembali dari dapur, datang dengan sepiring irisan buah apel serta kiwi di tangannya. "Ehm, kalian ingat sama Papa Rangga dan Mama Heni?"Rama terlihat ragu saat bertanya. Ia menggosok ujung hidungnya, sedikit resah kalau tanggapan kedua
Dua manusia lawan jenis itu saling melempar tatapan tajam.Anita seolah lupa kalau yang ada di depannya saat ini adalah atasannya sendiri. Ponsel yang retak dan entah masih bisa dipakai atau tidak, membuatnya meradang. Sementara Rama dengan angkuhnya menunjukkan kewibawaan dan harga dirinya sebagai atasan, tak ingin terintimidasi oleh Anita yang notabenenya hanya seorang karyawan."Anda harus bertanggung jawab atas kerusakan ponsel saya!" Anita mempertegas perkataannya kembali."Kau pikir aku perduli? Kau saja yang jalan tidak hati-hati. Begitulah kalau mata ditaruh di kaki." Rama tak mau kalah dan menekan balik lawan bicaranya."Bagaimana Anda bisa bicara demikian? Jelas-jelas Bapak sendiri yang salah. Ponsel saya jatuh karena Anda.""Kau yang berjalan tidak melihat. Fokusmu hanya pada telpon dan telpon. Apa tidak bisa membedakan waktu berpacaran di rumah atau di kantor, huh?!" Rama semak
Anita masih mengutuk kebodohannya yang dengan gampang mengikuti kemauan pria itu.Sejak masuk dalam mobil, ia hanya diam sambil menggigit tipis bibir dalamnya. Pikirannya masih berkecamuk, apa yang Rama inginkan dengan mengajaknya pergi? Dan kemana pria itu akan membawanya?Untunglah ia sempat menghubungi orang tuanya dengan alasan harus pulang malam karena lembur. Beberapa pesan masuk yang berasal dari Sandi tak ia hiraukan. Anita tak ingin menanggapi isi pesan tersebut yang bisa ia pastikan berupa pertanyaan basa-basi, yang mungkin pada akhirnya akan berujung kebohongan darinya."Kau tidak mau tanya kita kemana?" Rama membuka suara. Ia menoleh sesaat pada Anita dan fokus kembali pada setang kemudinya."Buat apa?" sahut Anita tak acuh."Kau tidak takut aku membawamu ke suatu tempat menakutkan gitu?" Rama memancing."Kan ada kamu yang bakal jagain aku," jawab Anita sekenan
Anita berdiri seketika dari tempatnya."Apa maksud ucapanmu itu?" Ia menatap sengit pada keberadaan Rama yang masih tampak santai, namun tidak dengan orang tua Rama yang semakin was-was."Duduklah, akan kujelaskan sesuatu," kata Rama lembut, masih nampak tenang. Namun itu tak membuat perasaan Anita luluh. Justru hatinya makin bergejolak."Penjelasan apa? Sesuatu yang tak kupahami dan hanya diputuskan sepihak olehmu, begitu? Aku benar-benar kecewa padamu!"Anita menyentak kasar tas kerjanya. Tanpa pamit, ia segera kabur dari tempat itu. Dan inilah yang dicemaskan Rio juga Amanda sejak tadi.Rama yang tak menyangka akan kemarahan Anita, mengejarnya dengan segera. Tubuhnya hampir menyenggol pelayan yang datang membawa nampan makanan."Anita, Anita, tunggu!" Ia mencoba mencegah kepergian Anita. Beberapa pasang mata sudah memperhatikan keduanya sejak tadi. Dan kini mereka berdu
Gairah Anita melonjak begitu cepat saat bibir keduanya menempel. Ia berfikir Rama akan menciumnya dengan dalam, namun rupanya ia salah menduga. Pria itu justru menarik diri setelah beberapa detik kemudian, membuat Anita merasa kehilangan, kecewa.Ia mengutuk dirinya yang mengharap kelanjutan dari kejadian mengejutkan baru saja. Tapi Anita memang tak bisa memungkiri, ia ingin sesuatu yang lain sekarang ini. Sebuah sentuhan. Dan yang pasti ia berharap akan mendapatkannya dari Rama meski hati kecilnya memberontak meneriakkan kebodohannya."Ku harap, kau memikirkan kata-kataku ini," gumam Rama sesaat kemudian setelah ia berjalan mundur. Keduanya hanya saling menatap satu sama lain. "Tidurlah, selamat malam."Rama hampir menjauh ketika tiba-tiba Anita merengkuh lehernya tanpa diduga."Kau mau kemana?""Kemana? Tentu saja pulang." Mata Rama berputar menelusuri wajah cantik di depannya.
Anita masih mengurung diri di dalam kamar sementara Heni sejak tadi sibuk mempersiapkan kedatangan sang calon menantu. Anita masih merenungkan kata-kata Rama yang memintanya untuk menikah kembali. Entah berapa kali pria itu mengulang pernyataan yang sama. Di kantor, Rama akan kembali mengingatkan Anita tentang permintaannya tersebut saat ada kesempatan. Dan puncak semuanya adalah ketika jam pulang kerja tadi. Flash Back On Suasana kantor sudah tampak sepi. Seperti perusahaan lainnya, tiap hari Sabtu karyawan hanya bekerja setengah hari saja. Dan Anita baru membereskan meja kerjanya, bersiap akan pulang. Seorang teman menjajarinya ketika berjalan di koridor kantor menuju lift. Keduanya sempat terlibat obro
Satu kantor Ardyatama Corp dibuat heboh. Pasalnya Arya membawa kabar penting buat seluruh staf disana. Berita mengenai pernikahan sang direktur dengan salah satu karyawannya, menjadi topik utama. Hampir di setiap sudut kantor bergerombol para karyawan yang sedang membahas berita pernikahan dadakan itu. Ya, akhirnya Rama berhasil menikahi Anita kembali. Perempuan yang ia cintai selama ini. "Duh, aku harus beli gaun baru kalau gitu," gumam Wulan bingung sendiri. Seorang teman yang kebetulan ada di dekatnya juga ikut menyela. "Sepertinya aku juga. Gimana kalau kita beli sama-sama? Aku punya kenalan pemilik butik. Pakaian yang dia jual bagus-bagus loh. Dan yang pasti kita akan dikasih harga miring," ujar perempuan bernama Dinda itu. "Benarkah? Wah....boleh tuh. Nanti ya kita kesana sama-sama." "Eh, tapi ngomong-ngomong nih, Anita beruntung ya dapetin Pak Rama. Udah ganteng, kaya pula." Dinda mulai
Semua orang di ruang tamu dibuat terkejut begitu Sandi muncul di tengah-tengah mereka. Kinara spontan berdiri dan menghampiri kakaknya, bertanya apa yang terjadi."Mas, gimana? Apa yang Mbak Anita katakan?""Mas ingin bicara sama Mama dan kalian secara pribadi."Jawaban Sandi sudah bisa ditebak kalau masalahnya sedikit serius. Sandi mendekati mamanya dan membisikkan sesuatu pada perempuan berjilbab itu. Setelah pamit pada sang tuan rumah untuk keluar sebentar, Sandi memulai percakapan dengan keluarganya."Apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu mengajak Mama dan adik-adikmu keluar?" tanya Sari penasaran. Saat ini mereka sedang duduk melingkar di sebuah meja bundar, di teras rumah Anita."Aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian." Sandi menatap Mama dan kedua adiknya, bergantian. "Dan apa yang akan Sandi katakan ini akan menjadi keputusan yang Anita ambil nantinya.""Ada apa sih
Meski sebisa mungkin Heni dan Rangga mencairkan suasana dengan mengajak ngobrol salah satu dari tamunya, namun tetap saja suasana kaku dan tegang masih menyelimuti. Seperti ada kabut tebal yang menyelubungi ruang tamu tersebut. Dan pada akhirnya, hanya kebungkaman yang terjadi. Memperkukuh kesenyapan di antara banyaknya orang dalam ruangan itu. Sementara itu.... Ketiga orang di ruangan yang berbeda masih duduk membeku dalam kebisuan. Penantian yang mereka tunggu, bukan sesuatu yang menyenangkan bagi ketiganya. Mereka tahu, keputusan apapun yang akan diambil hari ini, akan menyakiti hati seseorang. "Apa kalian siap dengan keputusan yang akan ku ambil hari ini?" Manik mata Anita menatap dua pria di seberangnya, bergantian. "Apapun keputusanmu, kami harus siap menerimanya, Anita," cetus Rama mendahului. Di sisi lain, Sandi nampa
Heni menatap keempat tamunya dengan tubuh tegang. Ini kali pertama ia sebagai seorang ibu menghadapi langsung yang namanya calon besan. Sandi mengurai senyum lebih dulu pada ibu kekasihnya, membuat ketegangan Heni sedikit berkurang."Mari masuk," ia mempersilahkan.Sandi mengangguk lalu mengajak mama dan dua adiknya masuk.Rio dan Anita menyalami keluarga Sandi diikuti Dona kemudian. Setelahnya Anita menyuruh mereka duduk, sementara Dona masuk ke dalam membantu mamanya menyiapkan suguhan."Sebelumnya aku minta maaf. Karena sebelum kita masuk ke topik pembicaraan, aku ingin kita menunggu tamu yang lain datang dulu," Anita mendahului.Pemberitahuannya sedikit membuat Sandi terkejut."Siapa Sayang? Apakah keluargamu yang lain?" tanya Sandi cepat."Kau akan tahu nanti kalau mereka sudah datang."Sandi menatap Anita lekat. Berusaha menyelidik m
Heni dan Rangga sampai di rumah Anita tepat siang hari. Tampak sang putri tengah duduk seperti menanti kedatangan mereka."Ma, Pa, aku merindukan kalian." Anita memeluk orang tuanya penuh kerinduan. Matanya yang menangkap sekelebat bayangan wanita muda masuk ke dalam rumah, sedikit terkejut juga heran. Ia pun langsung menanggapi, "Dona ikut juga, Pa?""Adikmu berkeras untuk ikut. Katanya bosan di rumah terus," jawab Rangga melepas jaket kulitnya lalu duduk di sofa. Heni yang biasanya terus masuk ke dalam, kini hanya mengikuti apa yang Rangga lakukan. Duduk di sampingnya."Hai, Mbak. Rumah daerah sini lumayan juga ya. Aku barusan lihat-lihat," seru Dona dari jauh. Wajahnya terlihat sangat berseri."Kamu nggak tanya kabar Mbak dulu malah asik lihat-lihat rumah. Emang nggak kangen?" cetus Anita merengut."Iya deh. Dona juga kangen sama Mbak kok." Dona memeluk kakaknya. "Gimana tinggal disini,
Sandi tak akan menyangka kalau sang adik akan menentang rencananya. Kinara berdiri dari tempatnya dengan wajah setengah geram."Ara tidak setuju, Mas!""Kenapa, Ra?""Perempuan itu bukan wanita baik-baik.""Apa maksudmu bilang begitu?""Mas nggak tau kan apa yang dia lakukan di belakang Mas Sandi?" Kinara melangkah gelisah, mondar-mandir tanpa jelas."Memang apa yang tidak aku tahu?" Sandi mendesak tak sabar.Kinara berdecak lalu mengambrukkan tubuhnya kembali, namun kali ini ia mengambil tempat tepat di samping Sandi."Apa Mas lupa kalau kemarin kita mencari Mbak Anita? Dan apa kata orang waktu itu, kekasih Mas itu keluar sama laki-laki lain bukan?" Suasana kini berubah tegang. Wajah serius mulai ditunjukkan Sari, sang mama."Apa maksud ucapanmu, Kinara? Kapan kalian mencari Anita? Dan siapa pria yang bersamanya itu?" Kal
Rama mondar-mandir dengan gelisah di ruangannya. Disana juga ada Arya yang setia mendampingi keberadaan sahabatnya."Kira-kira, apa yang akan dilakukan Sandi pada Anita?" Rama meminta pertimbangan Arya setelah merasa lelah berjalan kesana-kemari dan menghenyakkan tubuhnya di sofa tunggal. "Sandi tidak mungkin menyakiti Anita bukan?""Aku yakin dia tidak akan melakukan hal sejauh itu. Sandi sangat mencintai Anita, jadi tidak mungkin berbuat sekasar itu padanya.""Ah....mungkin sebaiknya aku menyusul mereka. Aku benar-benar tidak tenang kalau hanya berdiam diri di sini terus." Rama berdiri kembali dari tempat duduknya."Tunggu Rama! Please, jangan berpikir seperti anak-anak. Aku tahu kamu mencemaskan Anita saat ini. Tapi berikan kesempatan pada Anita untuk menyelesaikan masalahnya dengan Sandi. Kau tidak harus ikut campur dalam hal ini."Tangan Rama mengepal kuat. Ia mengutuk kalimat Arya ya
Anita dan Wulan sudah siap untuk kembali ke kota. Rupanya Arya dan Rama telah menanti mereka di dekat mobil masing-masing. Kembali Anita ingat suatu hal yang ingin ia tanyakan pada Wulan. Karenanya sebelum keduanya mendekati mobil, Anita menghentikan langkah temannya itu."Lan, aku mau tanya sesuatu padamu," ujarnya perlahan."Soal apa?""Kau sama Pak Arya. Kenapa tiba-tiba kalian begitu dekat?" Pandangan Anita begitu menuntut, namun hanya ditanggapi Wulan dengan gelak tawa kecil."Nggak ada apa-apa. Kami cuma berteman saja kok.""Tidak. Kau pasti bohong. Ayo jujur padaku, apa sebenarnya yang kalian sembunyikan? Yang kutahu, kalian tak sedekat ini sebelumnya.""Kau terlalu berpikir macam-macam, Nit. Sudahlah. Ayo kita pulang. Lihat, mereka sudah tak sabar menunggu kita.""Kalau kau tidak mau menjawab, aku akan bertanya pada Pak Arya, hari ini juga."
"Kamu jadi ke mall atau tidak? Tapi maaf, Mas tidak bisa menemanimu." Suara Sandi terdengar dingin, membuat nyali Kinara sedikit ciut."Kita pulang saja," jawab Kinara lesu. Ia sungguh tak berani menatap wajah sang kakak yang jelas-jelas sedang meredam amarah.Tanpa banyak kata, Sandi melajukan mobilnya, pulang ke rumah."Mas Sandi tidak turun?" tanya Kinara saat mobil telah sampai di depan pagar, dan Sandi membuka kunci otomatis mobil, menandakan bahwa Kinara harus turun tanpa menunggu mobil masuk dalam garasi terlebih dulu."Aku masih ada perlu.""Kemana? Mencari Mbak Anita?"Tatapan tajam dilayangkan Sandi pada adiknya, membuat Kinara harus menunduk kembali karena takut. Sungguh baru kali ini kakaknya itu bersikap demikian padanya."Turunlah!" Perintah tegas itu mendapat respon cepat dari Kinara. Ia membuka pintu mobil dan turun segera. Tidak lama, dan Sandi kemb